Dark Shadow Chapter 9 – Hurt

Cast: Ino Yamanaka – Uzumaki Naruto – Uzukami Menma.

Disclaimer: Masashi Kishimoto, Naruto.

Warning: Typo, OOC. Dan warning-warning lainnya.

.

.

.

~*0*~

Jam kini telah menunjuk pada angka. Namun, Ino masih berada di apartemen Naruto. Dan semua atas dasar permintaan Naruto yang ingin berada dekat dengannya lebih lama.

Saat mendengarnya Ino sempat dibuat ge-er. Namun, dengan cepat ditepisnya pikiran itu, mengingat posisinya di sini sebagai dokter pribadi Naruto. Atau yang Ino samarkan jadi 'teman'.

Tak!

Ino meletakkan segelas teh camomile di hadapan Naruto yang tengah duduk di sofa sambil menatapnya. Sementara ia sendiri ikut duduk berhadapan dengan pria itu.

Ino menatap gelas dalam genggamannya, sebelum kemudian ikut meletakkannya di atas meja saat merasa minuman digelasnya masih terlalu panas untuk di minum.

"Apa ini?" Ino mendongak dan menatap Naruto yang tengah menatapnya dengan tatapan tak terima. Yang sontak membuat Ino merasa heran.

Apa aku berbuat salah?

"Kenapa?" tanya Ino.

"Kau membuat coklat panas untuk dirimu sendiri, tapi kau justru membuat teh untukku." Ucapan polos Naruto itu sontak membuat rahang Ino terasa terlepas, hingga tanpa sadar membuat wanita cantik itu menganga.

Ino menggeleng sebelum kemudian menatap Naruto kembali. "Kenapa? Kau tidak suka?" tanya Ino pelan.

"Aku tidak suka teh. Aku lebih suka susu, dan coklat." Naruto cemberut, dan memalingkan muka. Sementara Ino nampak berfikir.

"Sekarang aku benar-benar tidak heran kenapa Menma bisa begitu mudah menekanmu." Bukannya mencoba menjelaskan ketidak tahuannya tentang apa yang Naruto suka dan tidak ia suka. Ino justru mengutarakan pendapatnya.

"Eh?" Naruto menoleh saat mendengar Ino menyinggung pasal Menma. "Apa maksudmu?" tanya Naruto pelan. Namun, melihat dari kerutan di dahi pria itu, membuat Ino begitu mudah membaca keadaan hati pria itu yang kini nampak berkecamuk. Tampaknya Naruto tidak terlalu suka ia menyinggung pasal Menma.

Namun, Ino tetap harus melanjutkan ucapannya, dan menjelaskan kenapa ia berbicara seperti itu. "Kau benar-benar seperti anak usia 7 tahun." Ucap Ino.

"..."

Ino menghela nafas. "Kau harus bisa lebih dewasa. Agar kau bisa menghadapi Menma. Jika kau terus seperti ini, hanya akan membuatmu terlihat seperti semut kecil yang berniat melawan gajah." Naruto semakin cemberut. Dan berniat membalas Ino. Namun wanita itu terlebih dahulu menyela. "Dan jangan pernah menyamakan dirimu dengan Daud yang dengan tubuh kecilnya mampu melawan Goliath."

Naruto tertunduk.

"Kau harus bersikap dewasa."

"... aku tidak bisa." Ucapnya dengan kepala kembali berpaling dari Ino.

"Apa maksudmu? Kau harus berusaha, Naruto. Aku memang bisa membantumu, tapi keberhasilan itu bisa dicapai juga dengan tekad dan usahamu untuk sembuh."

"Ini... terlalu sulit, Ino. Aku tidak pernah merasakan tumbuh dewasa. Yang aku tahu hanya, aku terbangun dengan tubuh dan wajah yang tak kukenali. Dan aku dituntut untuk bisa menerima kondisiku yang seperti itu dalam waktu yang tidak lama. Dan setelah itu aku dituntut untuk mempelajari semua hal tentang perusahaan. Yang padahal pelajaran dasar saja aku tidak tahu. Aku berusaha menguasainya, dan aku bisa. Kecuali untuk menguasai pengontrolan diri. Itu terlalu sulit."

"..."

"Saat paman Ibiki mengatakan mengenai diriku yang memiliki alter-ego yang sangat ingin menguasai tubuhku. Aku merasa takut, dan hampir depresi. Dan, saat mendengar apa yang sudah Menma perbuat selama ia menguasaiku, aku juga merasa sangat buruk, padahal itu diluar kehendakku. Namun, paman Ibiki terus berada di sampingku, dan mendukungku. Karena itulah aku mulai belajar untuk menjadi orang yang lebih baik. Aku berusaha belajar, dan menjadi seperti apa yang ayah dan paman Ibiki inginkan. Tapi, aku masih tidak bisa mengontrol diriku untuk tidak bersifat kekanakan." Naruto menghela nafas. "Bahkan aku sendiri malu mengingatnya." Naruto menghela nafas.

"Apa hanya karena itu kau ingin menjadi lebih baik? Meski kau tahu semua yang akan kau bangun, selalu dihancurkan Menma."

Naruto menggeleng. "Bukan hanya itu yang membuatku bertekad untuk jadi sosok lebih kuat. Tapi saat paman Ibiki mengatakan, Menma telah melukai ibu... hingga membuat ia koma."

"A-apa? Menma melakukan itu?" tanya Ino dengan wajah terkejut. "B-bagaimana...?"

"Menma sengaja merusak rem mobil yang akan dipakai ibu untuk pergi mengunjungi rumah kakek. Hingga akhirnya ia kecelakaan. Namun, aku bersyukur ibu masih hidup. Tapi, sampai sekarang ibu tidak pernah bangun. Dan itu membuatku khawatir."

"Apa yang membuatmu khawatir?"

"Sekarang ibu berada disuatu tempat yang tersembunyi, dan tidak di ketahui Menma. Tapi, aku takut, ia mengetahuinya. Karena dari laporan paman Ibiki, Menma memiliki satu orang yang sangat setia padanya dan dia ada di sekitar kami. Tapi, hingga sekarang kami tidak tahu siapa dia." Naruto menunduk. "Karena itulah aku ingin berusaha, berusaha untuk lebih dari Menma. Agar ia tidak kembali mengambil tubuhku sesukanya." Naruto kembali menatap kesamping. Tatapannya nampak kosong, tapi salah satu tangannya terkepal.

"Dan kau... apa kau tahu dimana ibumu?" tanya Ino.

"Tidak. Paman Ibiki tidak memperbolehkan aku untuk tahu, dan mengunjunginya. Karena aku sendiri tidak pernah tahu kapan Menma bangun. Paman Ibiki khawatir, aku tidak kuat melihat keadaan ibu, dan membuat Menma bisa dengan mudah mengambil alih... dan melukai ibu." Jawab Naruto.

"Apa kau merindukannya? ... meski kau tahu penyebab keadaanmu yang seperti sekarang ini disebabkan oleh wanita yang melahirkanmu?"

"Ya... aku merindukannya. Sejahat apapun perlakuan ibu padaku, dia tetap lah ibuku. Dan tanpa dia, aku tidak akan hidup di dunia, memiliki Menma, yang pada akhirnya mempertemukanku denganmu." Naruto menoleh, dan menatap Ino sebentar. Lalu tersenyum. Membuat yang ditatap sontak salah tingkah. "Karena itulah... tidak pernah terpikir dibenakku, untuk membencinya."

Ino menatap Naruto lama dan dalam diam. Sebelum kemudian menarik nafas. "Maafkan aku," ucap Ino tiba-tiba.

"... kenapa?"

"Aku seharusnya membantumu untuk semua hal. Termasuk membantumu membangun mentalmu selayaknya orang normal, dan bukannya memaksamu... dan aku merasa bersalah untuk itu. Aku minta maaf." Ucap Ino tulus.

"Tidak apa-apa. Bukankah kita baru memulainya?" Naruto tersenyum.

"Ish.. apa ini? Aku justru merasa, bahwa posisi pasien kini jatuh padaku." Ucap Ino dengan diselingi kekehan.

Membuat Naruto ikut tertawa singkat. Sebelum kemudian kembali menatap Ino.

"Tapi Ino.. apa kau yakin tidak ingin mundur saja?" tanya Naruto yang sontak membuat orang yang ia lempari pertanyaan menatapnya kesal.

"Berhentilah mempertanyakan keyakinanku!"

"Aku hanya khawatir kau akan terluka saat berurusan dengan Menma. Lalu kau menyerah, dan menuntutku atas tindak kekerasan." Ucap Naruto dengan itonasi cepat.

"Bicara apa kau ini? Aneh." Ino cemberut. "Tidak akan pernah. Aku tahu, aku akan baik-baik saja." Ucap Ino santai sambil meraih gelas coklat panasnya.

Ino menyesap coklat panasnya, yang uapnya telah menipis itu, dengan mata melirik kearah jam tangannya.

"Astaga! Sudah larut, aku harus pulang." Ucap Ino saat menemukan jarum jam menunjuk pada angka setengah sebelas.

"Aku akan mengantarmu." Ucap Naruto lalu berdiri.

"Aih, tidak perlu, tidak apa-apa. Aku tidak mau merepotkanmu." Ucap Ino dengan tangan meraih tasnya.

"Aku memaksa." Ucap Naruto menatap Ino tajam. Membuat orang yang ditatap menggaruk kepala dengan tawa paksa.

"Baiklah."

.

.

.

Naruto menepikan mobilnya di depan pekarangan rumah Ino, lalu benar-benar menghentikannya. "Kita sampai." Ucapnya kemudian.

"Terima kasih." Ucap Ino dengan senyuman.

"Selamat malam."

"Malam." Balas Ino dan segera membuka seftbelt. Lalu keluar dari mobil. Sebelum berjalan meninggalkan mobil Naruto, Ino terlebih dahulu berpaling, dan melambaikan tangan kearah Naruto. Lalu benar-benar berjalan kearah rumahnya.

Sementara Naruto masih tetap berada di dalam mobil, dengan tatapan terus tertuju pada Ino.

Deg!

"Akh!"

Bug!

Naruto memukul setirnya, dan dengan tangan kanan yang mencengkeram kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.

Kau sudah terlalu lama menguasai tubuh ini,dan juga bermain dengan milikku. Sekarang giliranku.

"T-tidak! Jangan!" dengan padangan tak fokus, Naruto terus mencoba menyalakan mesin mobil, dan memaksa untuk segera meninggalkan tempat itu, sebelum mendapati dirinya bangun dengan keadaan telah membahayakan Ino. Walaupun ia yakin Menma tidak mungkin mennyakiti wanita itu. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, yang ia khawatirkan adalah... apa yang kemungkinan terjadi di antara mereka, dikarenakan sikap pemaksa Menma. Semenjak tahu dan mengenal Menma, hanya satu hal yang ia pahami tentang alternya itu. Pemaksa.

Dia pasti akan melakukan berbagai cara agar bisa menyentuh Ino. Naruto bahkan belum bisa menghilangkan bayangan cctv yang menunjukkan bagaimana Menma menyentuh Ino malam itu dari pikirannya. Ia tidak mau menerima hal yang lebih dari itu.

Jika hal itu di masa lalu yang ia tak ketahui, itu berbeda dan ia sedang berusaha menerima kemungkinan apapun yang sudah terjadi dimasa lalu antara dirinya─tepatnya Menma, dengan Ino.

Tapi, tidak dengan sekarang. Tidak sekarang, disaat ia telah jatuh hati pada wanita itu. Ia tidak bisa begitu saja menerima wanita yang dikasihinya disentuh orang lain, sekali pun itu menggunakan tubuhnya juga. Tapi, jika bukan benar-benar dirinya. Ia tidak terima.

"Akhhh!"

"Eh?"

Mesin mobil menyala, dan Naruto dengan segera menginjak gas.

Sementara Ino mengernyit saat merasa mendengar geraman seseorang. Awalnya ia kira Naruto, namun saat melihat mobil itu perlahan menjauh, Ino menggeleng, tanda menolak firasatnya. Lalu segera berbalik dan memasukkan kunci ke tempatnya.

Ckittt!

"Haah... haah... hah... dasar bodoh. Kenapa harus memberontak? Menyia-nyiakan waktu dan tenagaku saja." Menma mendesis. Namun, kemudian menyeringai.

Dan tanpa melihat kebelakang, ia mengemudikan mobilnya secara mundur.

Lagi-lagi mobil Naruto terparkir di pekarangan rumah Ino. Menma menghentikan mobil itu tepat dipekarangan rumah Ino.

Pria itu menyeringai saat melihat Ino masih di depan pintu. Dan dengan segera dilepas selfbelt yang mengikat tubuhnya, lalu keluar dari mobil.

Ctek!

Kunci masuk, dan pintu pun terbuka. Ino baru saja hendak masuk, jika saja tangannya tak dicekal seseorang. Ino berbalik dan mengernyit mendapati Menma yang dikiranya Naruto kini berada dibelakangnya.

"Eh? Naruto.. kenapa? Kau melupakan sesuatu?" tanya Ino.

"Kau mau kemana?"

"... ?... masuk.. inikan rumahku.." jawab Ino dengan wajah bingung.

"Bukan kah kita baru bertemu?"

"Apa?" Ino semakin mengernyit saat mendengar ucapan Naruto.

Namun, tak lama kemudian Ino kedua bola mata Ino melebar, saat menyadari bahwa yang dihadapannya kini bukanlah Naruto.

"M-Menma?"

"Kau mulai bisa mengenaliku."

Dahi Ino mengkerut tak suka, dan dengan segera menepis tangan Menma."...maaf... bukankah aku sudah bilang untuk jangan pernah menemuiku lagi? Sebaiknya kau pergi sekarang." Ucap Ino lalu berbalik dan membuka pintu. Namun, tangannya justru kembali dicekal dan ditarik oleh Menma.

"Aku bilang kita baru bertemu!"

"Me-Uphh!" Menma mendorong tubuh Ino hingga gadis itu membentur pintu rumahnya. Bibir pria itu berada dibibir Ino, dan melumatnya dengan tergesa-gesa.

"M-Menma.. lhephas!" Ino mencoba memberontak dengan cara memukul-mukul dada pria itu.

"Diam!" Menma menarik wajah Ino, dan menahannya agar wanita itu berhenti bergerak. Dan memberontak.

Menma melirik kearah pintu rumah Ino yang sedikit terbuka, dan dengan segera membukanya menggunakan kakinya, dengan tangan yang terus mencengkeram tangan Ino.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!"

"Bukankah kau bilang kau ingin masuk?" ucap Menma dengan suara dingin campur amarah. Ia menutup pintu rumah Ino dan menguncinya.

"Lepaskan aku, dan keluar dari rumahku!" ucap Ino dengan terus memberontak.

Menma berbalik, dan menatap Ino dengan tatapan tajam. "Kenapa? Bukankah kau dulu sangat senang saat aku berada dirumahmu."

"Itu dulu sebelum aku tahu kebusukanmu."

"Kau benar-benar telah banyak berubah. Tapi, tidak masalah. Perubahanmu membuatku semakin tertarik padamu."

"Cih! Aku tidak sudi di cintai oleh pria arogan dan tidak nyata sepertimu!"

"..." Menma terdiam, dengan tatapan kosong. Sebelum kemudian raut itu berubah lebih marah dari sebelumnya.

Rahangnya terkatup, dan perlahan matanya memerah. Menma menarik tubuh Ino kearah kamar gadis itu, dan dengan kasar mendorong Ino hingga terbaring di atas kasurnya setibanya mereka didalam.

Ino mencoba menjauh, namun, Menma lebih dulu menarik kaki Ino, dan dengan tanpa perasaan membalik tubuh Ino dengan kasar.

"Akh!" Ino menggeram saat Menma membalik tubuhnya, dan membantingkannya kekasur dengan keras. "Aaaa!" Ino menjerit saat dengan cepat Menma menindih tubuhnya, lalu mencumbu lehernya.

Ino mencoba berontak dengan cara mendorong bahu pemuda itu. Namun hasilnya sia-sia. Pria itu benar-benar telah menjadi monster.

"Lepaskan aku!" Ino berontak, sekaligus menahan lelehan air mata yang berontak keluar. Disamping itu, ia juga merasa ketakutan dengan kemungkinan yang akan Menma lakukan padanya.

Menma mengacuhkan berontakkan Ino, dan jutru menaikkan wajahnya kearah wajah Ino, lalu melumat bibir gadis itu. Sementara itu Ino terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba untuk membuat tautan itu terlepas. Dan pada akhirnya mendatangkan lebih banyak kemarahan Menma.

"Diam Ino! Diam!" Menma menahan wajah Ino. Namun wanita itu tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.

Menma menggeram, dan dengan kasar menarik sabuk yang melingkar dipinggangnya. Lalu mengikatkannya pada tangan Ino, lalu mengikat sisi lain tali itu ke dasboard kasur Ino.

"T-tidak, jangan lakukan itu! Lepaskan aku!" Ino berontak semakin keras saat Menma membawa tubuhnya lebih naik, lalu mengikat tangannya.

Menma tersenyum puas saat melihat Ino tak mampu berbuat banyak dikarenakan tangan yang terikat.

"Lihatkan? Seadainya kau berperilaku lebih jinak, aku tidak harus mengikatmu. Tapi, mau bagaimana lagi. Kau terlalu keras kepala. Sekarang mari kita mulai permainannya. Sudah sangat lama aku memendam perasaan ini. Dan kali ini, aku tidak akan sekadar menyentuhmu. Tapi aku akan memilikimu... seutuhnya." Menma menunduk, dan dengan kasar merobek kemeja kotak-kotak yang tengah Ino pakai, hingga kini hanya memperlihatkan tubuh Ino yang hanya tertupi tank-top hitam.

"Padahal aku belum benar-benar menelanjangimu, tapi dia sudah menggeliat." Menma menunduk, dan menyingkap tank-top Ino lalu mengecup perut wanita itu.

"Tidak..." Ino tak kuasa lagi menahan air mata, dan pada akhirnya ia hanya mampu menangis dengan tetap berusaha untuk berontak.

"Semakin dewasa, kau terlihat semakin sexy Ino."

"Jangan..." tangis ino semakin menjadi-jadi saat melihat Menma berdiri, dan mulai melepas kaosnya.

Menma melempar kaosnya asal, lalu perlahan kembali menunduk kearah Ino, lalu merangkak diatas tubuh wanita itu. Ia menatap Ino sebentar, sebelum kemudian menundukkan wajahnya lalu kembali mengecup bibir Ino. Sementara Ino masih terus memaksa untuk lepas dari pria itu. Walaupun dengan kesadaran yang telah menipis. Semua berontakkan yang ia lakukan telah menghabiskan banyak tenaganya.

Kau harus kuat Ino.. harus. Jangan biarkan dia kembali menyentuhmu menggunakan tubuh orang lain! Jangan biarkan!

"Jangan... hentikan! Naruto!"

Deng!

"Akh!" Menma berjengit, dan sontak beranjak dari atas tubuh Ino. Pria itu mengcengkeram kepalanya, dan terus mundur, hingga kemudian ia jatuh terduduk. Rasanya seperti suara lonceng gereja yang dipukulkan tepat disamping telinganya. "Akh!" Menma terus mencengkeram kepanya, dengan tubuh yang tertunduk-tunduk. "A-a-aku bahkan belum memulainya, berhentilah memaksa untuk keluar!" Menma berucap marah. Dan kembali menggeram kesakitan.

Hingga tak lama kemudian pria itu terdiam. Dengan posisi kepala tertunduk.

Ino terus menatap kearah pemuda itu, sebelum kemudian beringsut saat melihat kepala itu perlahan mendongak. Kepala itu tampak bergerak menyusuri sekelilingnya, sebelum kemudian berhenti tepat diatas ranjang.

"Apa ya─... Ino?" Mata shapire itu membulat sementara Ino terlihat semakin takut. Naruto tertunduk, saat merasakan rasa dingin menusuk tubuhnya, dan ia tersadar ia sedang tak memakai pakaian. Namun. Daripada memikirkan dirinya, Naruto lebih fokus untuk segera bangun dan mendekat kearah Ino yang kini nampak memasang wajah takut.

"Ino..."

"Menjauh! Menjauh dariku!" Ino menangis dan mencoba menendang Naruto dengan kakinya yang bebas.

"Ino... ini aku." Ucap sosok itu yang ternyata Naruto.

Ino menghentikan tangisnya, dan menatap Naruto cukup lama. "N-Naruto?" Ino menatap Naruto, sebelum kemudian matanya kembali berkaca-kaca.

Naruto, dengan segera naik keatas tempat tidur Ino, lalu melepaskan ikatan pada tangan gadis itu.

Setelah berhasil terlepas, Ino dengan segera memeluk tubuh Naruto. "A-a-a-aku senang kau kembali... aku khawatir aku kembali membuat Menma menekanmu semakin kuat... hiks! Kumohon... jangan hilang lagi, walaupun hanya sedetik. Kumohon jangan biarkan orang itu kembali keluar. Jangan..." Naruto memejamkan mata, dan perlahan setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Digerakkan tangannya untuk memeluk Ino. Dan menenangkan gadis itu.

Cukup lama mereka berpelukan, dan sekarang Ino telah berhenti menangis, dan jatuh tertidur. Naruto menatap wajah Ino yang kini terlelap, lalu memandangnya sedih. "Maaf... tapi, aku sudah pernah memperingatkanmu. Dan sekarang, kau membuatku tak bisa meninggalkanmu begitu saja." Ucap Naruto pelan.

Ia menatap wajah Ino lama, sebelum kemudian menunduk lalu mengecup dahi Ino.

Wush!

Naruto mendongak saat melihat jendela kamar Ino terbuka, membuat angin malam masuk kedalam kamar dengan nuansa ungu itu.

Lalu Naruto menunduk saat merasakan Ino menggeliat didalam pelukannya.

Blush!

Naruto terdiam membeku, dengan wajah memerah pada saat melihat kondisinya dan Ino yang tak memakai pakaian layak.

Naruto mengalihkan kepalanya, lalu menarik nafas dengan cepat. "Bersikap dewasa. Aku harus bersikap dewasa."

Glek!

Naruto menelan ludah, dan kini tubuhnya menghangat dan bergetar. Ia hendak menidurkan Ino, lalu mengambil pakaian untuknya. Namun, wanita itu justru memelukanya erat. Membuatnya tak bisa apa-apa.

Akhirnya Naruto memutuskan untuk merebahkan dirinya juga, lalu menarik selimut menggunakan kakinya, lalu menyelimuti tubuhnya juga tubuh Ino.

"Aku harap kau tidak akan bangun dengan histeris." Gumam Naruto lalu perlahan mulai memejamkan matanya. "Oyasumi..."

.

.

.

"Engh!"

Ino menggeliat pelan saat mencium aroma enak menyapa hidungnya.

Perlahan dibukanya matanya, lalu mendudukkan dirinya diatas kasur. Lalu merenggangkan otot-ototnya.

"Selamat pagi."

"Eh?" Ino menoleh dan sontak melebarkan matanya saat melihat Naruto berdiri diambang pintu dengan senyuman menghiasi wajahnya.

Namun, Ino justru beringsut mundur dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Naruto menatap sendu kearah Ino, lalu tersenyum. "Ini aku..."

"Naruto...?" Naruto memberi Ino senyum lima jari dan berjalan kearah Ino. Naruto duduk disamping Ino, lalu mengelus kepala wanita itu.

Ino bernafas lega, lalu perlahan bergerak maju dan memeluk Naruto.

"Maaf... maafkan aku Ino, aku sudah berjanji untuk lebih kuat. Tapi lagi-lagi aku kalah."

"Tidak... aku... aku yang harus minta maaf... aku tidak bisa... tidak bisa, hiks.. tidak bisa sekuat yang diharap. Aku sendiri masih merasa takut pada Menma."

"Tidak apa-apa... tidak apa-apa."

"Hiks, aku senang kau tidak lama perginya." Ucap Ino sambil mengeratkan pelukannya.

.

.

.

"Apa kau merasa lebih baik sekarang?" tanya Naruto sambil menatap Ino yang tengah memakan sup yang baru saja ia buat.

Ino mendongak dan menatap Naruto. Lalu mengangguk pelan.

Naruto menghela nafas. "Sungguh, Ino. Kau harus berhenti. Ini semakin berbahaya."

"Aku tidak akan berhenti... tidak bisa."

"Kenapa? Apa kau berharap Menma berubah?!" tanya Naruto sedikit kesal.

"Ya... aku ingin dia berubah, dan mau membiarkanmu hidup normal." Ucap Ino dengan suara sendu.

"..." Naruto terdiam. "Tapi... kau sendiri merasa ketakutan bukan?" tanya Naruto dengan tatapan mengarah pada tangannya yang kini berada di atas meja. Sebelum kemudian ia mendongak dan menatap Ino. "Dengar Ino... Menma sudah tak sejinak saat kalian masih dekat seperti dulu. Dia sudah berubah."

"Apa kau ingin aku kembali menyerah? Kau ingin aku menyerah?"

"Ino..."

"Aku tidak perduli Menma telah berubah atau apapun itu. Yang aku mau dia segera meninggalkan tubuhmu, dan tidak pernah muncul lagi dihadapanku."

Naruto mengacak rambutnya. Lalu kembali menatap Ino yang kembali memakan makanannya dengan tenang.

"Baiklah.. sepertinya kau sudah benar-benar dalam keadaan baik sekarang. Aku harus segera kembali. Hari ini aku ada meeting."

"Hm... maaf sudah merepotkanmu." Ucap Ino.

"Aku pergi dulu. Semoga harimu menyenangkan."

"Ya... sekali lagi terima kasih. Dan maaf."

Naruto menatap Ino lama. Sebelum kemudian beranjak dari posisi duduknya, lalu berjalan mendekat kearah Ino.

Diraihnya wajah cantik itu untuk lebih dekat, sementara ia sendiri menunduk. Perlahan Naruto mengecup bibir Ino. Lembut dan sangat berhati-hati.

Ciuman itu cukup lama. Hingga kemudian Naruto menjauhkan wajahnya, lalu mengecup dahi Ino.

"Jaga dirimu."

"Ya... sampai jumpa."

"Ekhm!"

Naruto dan Ino sama-sama saling menatap dengan wajah terkejut sebelum kemudian menoleh kebelakang.

"A-ayah." Ino menelan ludahnya saat melihat sang ayah berdiri dibelakang Naruto dengan wajah dingin.

"Paman..."

"Apa kau sudah selesai dengan urusanmu? Jika sudah selesai, segeralah pergi."

"..."

"Cepat."

Naruto menunduk sedikit. Sebelum kemudian melangkah pergi.

Setelah kepergian Naruto. Ino langsung menatap ayahnya.

"Kenapa ay─"

"Bagaimana?" tanya Inoichi tiba-tiba.

"Eh?"

"Ackting ayah? bagus tidak?"

"Ackting? Maksud ayah?" tanya Ino masih tak paham.

"Sebagai ayah dari seorang anak gadis, ayah harus tegas, dan benar-benar melindungimu. Ayah tidak ingin kau mendapat pasangan dari keluarga tidak jelas."

"Astaga..." Ino menepuk dahi. "Kami tidak ada hubungan apa-apa."

"Memang siapa yang mengatakan kalian sepasang kekasih?"

"..." Ino diam dengan wajah datar. Namun perlahan semburat merah muncul dipipinya.

Inoichi tersenyum. "Kau masih menyukainya?"

"Siapa?"

"Pria itu... Menma."

"..." Ino terdiam. Bukan Menma ayah... bukan.

"Apa sekarang dia sudah ingat?"

"Dia bukan lagi... Menma yang kita kenal dulu. Dia sudah berubah... jadi lebih baik." Ucap Ino mencoba tersenyum.

"Apa?"

"Sudahlah ayah. Sebaiknya ayah mandi, ayah bau sekali." Ucap Ino sambil meraih tas yang ayahnya bawa dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menjepit hidungnya.

Inoichi mengkerut lalu mencium tubuhnya. "Ayah tidak bau.. apa ada yang salah dengan hidungmu?"

"Sudah cepat. Aku akan masakkan makanan untuk ayah. Ayah pasti belum makan."

"Ino,"

"Hm?"

"Apa yang sudah kalian berdua lakukan selama ayah pergi?"

"Apa maksud ayah?"

Inoichi tak menjawab melainkan menunjuk kearah leher Ino. "Ada bercak merah di lehermu."

Deg!

"Tidak ada... ini... tadi aku digigit serangga."

"Ino... ayah bukanlah seorang anak kecil, yang mudah percaya dengan ucapanmu."

"Tapi... ini..."

"Tidak apa-apa jika kau tidak mau mengatakannya. Tapi, ayah harap kalian benar-benar serius. Dan bukannya menganggap ini sebagai permainan, seperti dulu. Kalian sekarang sudah dewasa." Ucap Inoichi sebelum kemudian berjalan kearah kamarnya.

Sementara Ino masih berdiri diam di sana. Sebelum kemudian menggelengkan kepalanya, dan segera masuk kedalam.

.

.

.

"Kenapa kau melakukannya?" tanya Naruto pada bayangannya. Tatapannya tajam, dan penuh amarah.

"Apa?" jawab Menma santai.

"Seharusnya jika kau benar-benar menyukai gadis itu, lakukanlah sesuatu yang membuatnya mencintaimu, dan bukannya membuatnya membencimu."

"Cih, tanpa aku harus melakukannya sekali pun, ia akan tetap jatuh pada pesonaku."

"Kenapa kau begitu naif? Atau sekarang kau telah mempersiapkan kepergianmu dari tubuhku?" tanya Naruto.

"Hentikan omong kosong itu. Aku tidak akan pernah meninggalkan tubuh ini. Karena ini milikku."

"Lalu kenapa kau bertindak bodoh dengan bersikap layaknya monster?"

"Aku menginginkannya. Dan tidak ada satu orang pun yang berhak mengkritik caraku untuk mendapatkannya. Termasuk dirimu." Menma mendengus. "Lagipula, kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu? Apa sekarang kau berubah pikiran, dan berniat suka rela untuk pergi dari tubuhmu ini?"

"Tidak. Aku tidak akan sudi kau memiliki tubuh ini. Aku hanya tidak terima kau memperlakukan Ino seperti wanita murahan."

"Dia memang wanita murahan."

"Sialan!"

Prang!

Nafas Naruto menderu kencang, dan kaca yang semula utuh itu kini hancur berkeping-keping. Sementara Naruto menatap pantulan wajah Menma dengan tangan terkepal dan darah yang mengucur.

"Usaha yang bagus, anak manja. Tapi, apa kau pikir dengan memecah kaca akan mengakhiri semua hal yang sudah terjadi? Tidak." Menma menggeleng dengan memasang senyum meremehkan. "Satuhal yang harus kau ketahui Naruto.. aku tidak akan pernah pergi dari dunia ini. jadi, hentikan saja usahamu itu. Karena semua hal itu hanya akan berakhir sia-sia. Sampai jumpa."

Menma menghilang. Menyisakan Naruto yang kini nampak semakin putus asa.

"Ini sulit... terlalu sulit."

TBC