Shintarou murka, inginnya.
Terutama jika ramalan suci Oha-asa mendadak mengalami disfungsi. Lucky item-nya jadi lemot sekali. Telat mengeluarkan tameng sakti penangkal kesialanyang kian hari kian secanggih radiasi.
Yang membuat si hijau lumut pening kepala, kenapa situasi merugikan itu selalu menimpanya saat dia bertemudengan pasangan cetarmembahanaSeijuurou-Tetsuya?
Berawal 'kebetulan jumpa', pas di depan aula.
Shintarou sengaja berangkat pagi karena ada agenda pertemuan kilat dengan seluruh penganggung jawab acara perayaan ulang tahun Rakuzan. Rencananya setelah pertemuan itu kelar, Shintarou mau mendekam di laboratorium sambil menunggu jam kuliahnya datang.
Tak sengaja, iris zamrudnya menangkap sang ketua BEM tengah melenggang santai bersama pacarnya menuju destinasi yang berbeda.
Shintarou langsung curiga.
Kenapa Seijuurou malah santai-santai saja padahal sudah mepet sekali waktu rapatnya? Lagipula, ruang rapat ada di belakang sana. Dan sangat menyampah waktu kalau harus memutar lewat wilayahnya anak-anak sastra.
Didorong rasa tanggung jawab sekelas dewa, Shintarou nekat menegur sang ketua.
"Akashi." Shintarou bergerak menghampiri.
Yang dipanggil putar badan. Seijuurou menatap sang tangan kanan dengan raut datar, tanpa sedikit pun merasa perlu membalas sapaan bahkan mengucap salam.
"Midorima-kun, ohayou." Si baby blue lebih beradap rupanya.
Shintarou mengangguk lalu membenarkan kacamata. "Ohayou."
"Jadi, ada apa?" Seijuurou langsung bertanya. Anti basa-basi dia.
"Kau ini mau pergi ke mana, Akashi?" Shintaro pasang tampang tegas terbaik. "Bukan bermaksud mengingatkan. Tapi pagi ini kita punya agenda rapat, nanodayo."
"Aku tahu." Ujar Seijuurou. "Tapi aku mau mengantar Tetsuya ke kelasnya dulu."
Shintarou baru akan buka suara, saat Tetsuya lebih dulu menyela.
"Sei-kun tidak perlu mengantarku." Ujar Tetsuya. "Aku bisa pergi sendiri. Sei-kun tidak boleh telat mengahadiri rapat, iya kan?"
Shintarou mengangguk-angguk bangga. Si baby blue ini lumayan pengertian juga ternyata.
"Tidak mau." Tolak Seijuurou serta merta. Kedua lengannya bahkan sudah melingkar manis di pinggang kekasihnya.
Shintarou tidak jadi merasa lega.
"Banyak manusia berbahaya di sepanjang jalan, Sayang. Aku benci mereka melirikmu, melihatmu, atau nekat mendekatimu. Mereka mencari-cari kesempatan karena kau sedang bebas tanpa penjagaan. Jadi, aku akan mengantarmu sampai kelas dan aku tidak menerima penolakan."
Seijuurou menjelaskan panjang lebar. Tak lupa menambah aura diktator nan mencekam.
'Dasar posesif akut! Dipikir dia Paspampres?!'
Shintarou menyumpah. Tapi masih cukup waras untuk melakukannya hanya dalam hati saja.
"Tapi kau yang membawa surat edarannya, nanodayo." Shintarou masih berusaha berkepala dingin.
"Sudah aku serahkan pada Shuuzou." Seijuurou mengangkat sebelah alis. "Aku tetap akan mengantar Tetsuyaku, tidak peduli meski kau keberatan sekalipun."
Tetsuya hanya menghela napas. Seijuurou sudah menggamit lengannya dan bersiap menariknya ke kelas. Untuk terakhir kali, Tetsuya menatap Shintarou dengan raut minta maaf.
"Maaf, Midorima-kun." Tetsuya tersenyum setipis kertas. "Midorima-kun boleh ikut kalau mau."
Entah setan dari neraka lapis ke berapa yang berbisik di telinga. Tapi setan itu berhasil menyentil titik rawan di otak si kacamata.
Rasa penasaran.
Seumur-umur menghuni Rakuzan, Shintarou memang tidak pernah benar-benar menginjakkan kaki di teritorinya para seniman. Satu-satunya alasan, gedung kuliah tempatnya bersemayam terletak jauh di seberang. Kalau dari simpang empat utama di depan Aula Besar, jalannya memang berlawanan. Anak-anak seni ke kiri, sedangkan dirinya ke kanan.
Kecuali ada tugas dadakan sialan dari sang ketua BEM seperti tempo hari, sampai lulus pun, Shintarou ragu kakinya akan pernah bertandang ke sarangnya anak-anak kesenian. Itu pun lewat jalan pintas dari markas BEM yang langsung menuju fakultas sastra di belakang.
Karena itulah di dalam benaknya yang terdalam, Shintarou sebenarnya luar biasa penasaran. Gosip yang beredar bilang, anak-anak seni Rakuzan itu aneh-nya kelewatan. Saking anehnya, sampai tidak bisa dipaham bahkan oleh teori penalaran para ilmuwan.
Dibilang antonim sejati anak-anak kedokteran. Mereka, yang diketahui Shintarou sebagai para pengguna otak kanan.
Parahnya, sebelum logikanya benar-benar sadar, kedua tungkai panjang Shintarou sudah bergerak lebih dulu. Mengikuti sepasang love birds kasmaran macam bodyguard yang super patuh.
Gapura belang-belang bercat ngejreng menyambut di depan mata.
SELAMAT DATANG DI KAWASAN NIR-LOGIKA!
'Kosongkan Pikiranmu dan Rasakan Sepuasmu!'
Shintarou menganga.
Jangankan sekedar penderita minus sepertinya. Orang katarak yang berdiri di jalan raya sana dipastikan melek melihat spanduk besar berwarna pelangi dengan tulisan menyala yang terbentang tepat di atas kepalanya.
Lalu, Shintarou dibuat paham dalam sekejap mata. Saat kakinya menginjak wilayah pertama. Kawasan anak-anak seni rupa!
Kalau ada manusia waras yang pernah nyasar ke negeri atah berantah berpenghuni makhluk-makhluk khayal produk dongeng pengantar tidur bocah-bocah insomnia, tapi dalam versi jungkir baliknya, mungkin beginilah rasanya.
Abstrak. Absurd. Aneh. Unik. Nyentrik.
Mahasiswanya mungkin tidak sebanyak fakultas lainnya. Tapi orang-orang ini mampu membuat dunia yang berbeda.
Penghuninya menyebar ke mana-mana. Mereka melakukan apapun yang mereka suka. Mencipta apapun yang mereka rasa. Tak peduli dimaki gila. Dicela IQ tiarap pun sudah biasa.
Shintarou sampai tidak bisa berkomentar apa-apa. Apapun sebutannya, tempat ini memang nir-logika!
Dan si kacamata mustahil melewatkan tatapan-tatapan asing sepanjang jalan. Duduk sebagai tangan kanan ketua BEM, plus predikatnya sebagai mahasiswa kedokteran berprestasi membanggakan, otomatis membuat profilnya lumayan terkenal.
Tapi tatapan mereka membuat Shintarou bergidik ngeri. Shintarou tidak pernah ditatap dengan cara aneh seperti ini.
Datar tanpa ekspresi. Dingin tak beremosi. Tak terbaca, tapi menimbulkan kesan menelanjangi. Plus seringai-seringai miring sinting mencurigakan di bibir ala psikopat pelaku mutilasi.
Sumpah!? Shintarou ingin segera lenyap dari tempat ini.
Beranjak semakin ke dalam, perasaan Shintarou semakin tenang. Paling tidak, kawasan para pemusik dan penari terasa lebih normal. Para mahasiswanya juga tampak seperti manusia beradap dan paham aturan.
Baru saat itulah Shintarou ingat kalau wilayahnya anak-anak sastra berada nun jauh di belakang jika lewat gapura depan. Kawasan yang kelewat tenang, sampai terasa bagai di kuburan. Tapi mungkin destinasi paling tepat untuk kembali pada kenyataan. Terutama bagi mahasiswa kedokteran yang baru saja mengalami tekanan mental dan kejiwaan.
Sampai di kelas, si baby blue menggiring masuk kedua pengantarnya.
"Duduk dulu, Midorima-kun." Tetsuya mempersilakan. "Midorima-kun baik-baik saja?"
"Otakmu masih waras, Shintarou?" sindir Seijuurou.
"Aku masih waras, nanodayo." Shintarou menaikkan kacamata yang bahkan tidak pernah bergeser semili pun dari posisinya. "Hanya sedikit terguncang."
"Good." Seijuurou mengedikkan bahu. "Karena otakmu masih dibutuhkan dalam rapat pagi ini."
"Apa maksudmu, Akashi?" Kening Shintarou mengernyit curiga.
"Kau." Seijuurou menunjuk muka Shintarou dengan jari. "Masih dibutuhkan dalam rapat."
"Ralat, nanodayo." Shintarou langsung mengoreksi. "Kita, dibutuhkan dalam rapat. Itu artinya..." Shintarou menjeda, lalu mengetuk jam tangannya di depan muka sang ketua. "Kita harus pergi sekarang juga kalau tidak mau kena marah ketua senat."
"Aku berubah pikiran." Ujar Seijuurou tanpa beban. Pemuda itu mengelus sayang kepala sang pacar. "Aku mau melihat Tetsuyaku belajar dari dekat."
Shintarou berdiri serta merta. Pemuda itu nyaris menggebrak meja, kalau saja Tetsuya tidak keburu menyela.
"Sei-kun mau bolos?" Tetsuya merengut tudak suka. "Tidak boleh, Sei-kun!"
"Pacarmu benar." Shintarou kontan mendukung. "Kau harus dengarkan pacarmu, nanodayo."
Tapi si merah malah menggeleng keras kepala.
"Khusus hari ini, aku tidak akan mendengarkan siapa pun. Tidak Tetsuya, apalagi kau, Shintarou. Lagipula agenda rapat pagi hanya penyerahan tugas yang bahkan sudah tersusun di selebaran. Bahkan Reo bisa membereskan rapat itu sendirian. Dan aku malas menghadiri pertemuan yang tidak benar-benar penting."
'Dasar cabe merah keriting! Memangnya, jogrok di kelas lain demi menunggui pacar yang tengah diceramahi dosen itu penting?!'
Di sudut labus otaknya, Shintarou tengah menonjok habis-habisan muka pemuda merah yang –sialnya- sudah dia kenal sejak masih batita.
Sungguh, hanya Tuhan yang tahu berapa banyak Shintarou memimpikan hal itu setiap kali dia tidur.
Seakan ditampar realita, meski Shintarou terpaksa, tapi pemuda itu harus percaya.
Kalau para tetua bilang cinta itu buta, bikin gila, menumpulkan logika, tak peduli kasta, masa bodoh si dia bergender apa, maka semua itu bukan hanya sekedar pemerah bibir saja.
Dan Shintarou sudah melihat buktinya, tepat di depan mata.
Masih sambil menahan kesal, si hijau lumut memutuskan pergi saja. Bukan karena mengalah pada sang ketua, tapi lebih karena mengamankan keselamatan nalarnya.
Lama-lama berdekatan dengan ketua BEM yang sedang dimabuk asmara –dalam kasus ini, mungkin lebih tepat jika disebut mabuk Tetsuya- bisa berbahaya. Shintarou tentu saja ogah tertular virus cinta penumpul logika.
Sebelum Shintarou membuka pintu kelas Tetsuya, pemuda itu menyempatkan diri menyemburkan ultimatum terakhir pada sang ketua.
"Lakukan sesukamu! Tapi aku tidak mau jadi tameng penyelamat kalau Nijimura-senpai mengamuk padamu, nanodayo."
Menulikan telinga dari gumaman Seijuurou yang entah apa, Shintarou membuka pintu kelas penuh gaya bak aktor-aktor drama.
Meski begitu, niat baik pemuda berbudi luhur pun tak selamanya berbuah mujur.
Jangankan keluar kelas, bergerak selangkah pun Shintarou tak bisa. Tubuhnya membeku tiba-tiba, lantaran si kacamata tengah berhadapan muka dengan Profesor Kagetora.
"Apa yang sedang kau lakukan di situ, Nak?" Kening sang profesor mengernyit. "Cepat kembali ke tempatmu!"
Shintarou gelagapan. "Maaf, Prof. Tapi saya bukan..."
"Jangan membuang waktuku, Nak! Kuliah sudah terlambat 5 menit." Profesor Kagetora menarik paksa Shintarou ke dalam kelas, lalu mendudukkan pemuda itu di bangku paling depan.
Pertunjukan lawak Shintarou menuai cengiran geli dari sepenjuru ruangan.
Shintarou melongo.
Super bingung dengan daya ingat profesor legendaris kebanggaan anak-anak satra. Yang tetap santai ceramah bahkan dengan seorang mahasiswa kedokteran dan seorang mahasiswa manajemen yang menyasarkan diri ke kelasnya.
Dan lagi, Shintarou sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan Profesor Kagetora!
Demi apapun juga! Seharusnya, saat ini Shintarou tengah bermesraan dengan seonggok kadaver, pisau bedah, dan saudara-saudaranya. Bukannya malah menikmati dongeng tentang epos kadaluarsa dari zaman bahuela!
Shintarou sungguh tidak bisa percaya ini.
Kepalanya mendidih gegara pasangan cabe rawit di belakang punggungnya tidak berhenti terkekeh geli. Sementara dirinya setengah mati mengekang kedua kaki yang ingin melesat melarikan diri.
Begitu dua jam mata kuliah berakhir, pemuda itu kontan berdiri. Berjalan sambil menghentakkan kaki, Shintarou bersumpah dalam hati.
Tidak akan dia menginjakkan kaki di tempat itu lagi.
~ ~ aish ~ ~
.
Disclaimer :
Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi sensei
Rated : masih T kayaknya
Genre : Romance (failed!), Drama (failed!)
Warning : BL, Yaoi, Typos, gaje, abal, OOC akut!
Apapun yang dirasa tidak logis dalam fict ini, mohon dimaklumi!
DLDR, bro...! It's simple. (cz you've been warned)
.
BLUE RHAPSODY
An 'I Found You's Sequel
By AISH
.
~ ~ aish ~ ~
"Midorima-kun pasti masih marah pada Sei-kun." Tetsuya menggumam setelah melapas cumbuan bibirnya pada sedotan.
"Abaikan saja. Nanti juga sembuh sendiri." Ujar Seijuurou tidak peduli. Pemuda itu tengah sibuk melahap lasagna buatan sang kekasih hati.
Tetsuya mengedar pandangan ke sepenjuru ruangan. Seperti biasa, kantin pusat selalu dipenuhi mahasiswa-mahasiswa kelaparan di jam makan siang. Beruntung Seijuurou menemukan tempat kosong di pojokan.
Gara-gara insiden tak terduga di kelas Tetsuya tadi pagi, Seijuuruo praktis meninggalkan fakultas sastra setelah kuliah Profesor Kagetora berakhir. Untungnya, Seijuurou masih sempat membuat janji makan siang bersama Tetsuya di kantin.
"Kasihan Midorima-kun." Tetsuya menghela napas. "Aku rasa, Sei-kun berhutang satu permintaan maaf pada Midorima-kun."
"No. Bukan salahku Shintarou terjebak di kelasmu, Dear." Seijuurou mengedikkan bahu. "Salahnya sendiri mengikuti ajakanmu."
Tetsuya mendengus kesal. "Sei-kun menyebalkan."
Seijuurou mencuri kesempatan mengecup pipi sang pacar. "Terima kasih. Aku anggap itu pujian, Sayang."
Tetsuya menggelengkan kepala. Heran dia. Kekasihnya sama sekali tidak merasa bersalah, padahal jelas Seijuurou turut andil penuh atas peristiwa yang menimpa wakilnya.
Tetsuya menyangga kepala dengan kedua tangan di atas meja. Ditatapnya Seijuurou yang semakin khusyu menghabiskan lasagna buatannya.
"Okaa-sama mengidam apa waktu mengandungmu, Sei-kun?" Tetsuya pasang wajah prihatin. "Bagaimana urusannya Okaa-sama bisa melahirkan anak sepertimu?"
Seijuurou mengangkat dagu bangga. "Maksudmu, aku terlalu hebat untuk jadi putra ibuku?"
Tetsuya memutar bola mata. "Maksudku, Sei-kun kelewat menyebalkan untuk jadi putra seorang wanita seramah, sebaik, dan selembut Okaa-sama."
Bukannya merasa tertusuk sindiran kekasihnya, Seijuurou justru tertawa. Pemuda itu meraih tengkuk Tetsuya, lalu melumat lembut bibir cemberut favoritnya.
"Tapi Tetsuya sangat mencintai laki-laki menyebalkan ini."
Pipi pucatnya sontak merah padam. Tetsuya langsung membuang pandangan. Pemuda itu bertambah kesal karena dia juga gagal paham. Dia sama sekali tidak menyangka akan jatuh hati pada pangeran tampan dengan kepribadian bermasalah yang perlu penanganan para profesional.
Sementara Seijuurou hanya tergelak dan mengacak gemas rambut Tetsuya.
"Kau sudah selesai?" tanya Seijuurou kemudian. "Sebaiknya kita segera pergi."
Tetsuya mengangguk, lalu memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya. Seijuurou langsung menggenggam jemari kekasihnya begitu Tetsuya berdiri di sampingnya. Mereka berdua melenggang pergi tanpa peduli sedang diperhatikan oleh lusinan pasang mata.
"Sei-kun?" Tetsuya memanggil.
"Hm?" Seijuurou menggumam.
"Sudah tiga tahun." Tetsuya menggigit bibir bawahnya. "Sei-kun tidak ingin mengajakku menjenguk Okaa-sama?"
Seijuurou tiba-tiba berhenti berjalan.
Heterokromnya membelalak lebar. Jantungnya berdetak liar. Kepala dan matanya memanas. Paru-parunya sesak seolah kehabisan napas. Genggamannya di jemari Tetsuya terlepas. Telapak tangannya mendingin. Tremor mendadak membuat tubuhnya menggigil.
"Sei-kun, ada apa?" tanya Tetsuya khawatir.
Suara halus sang pacar terasa menampar. Seijuurou memejamkan mata, lalu menghela napas dalam-dalam. Setengah mati berusaha mengendalikan ketenangan yang nyaris pecah berhamburan.
"Sei-kun baik-baik saja?" Tetsuya kembali bertanya.
Menguatkan hati, Seijuurou menatap Tetsuya dengan senyum palsu. "Aku baik-baik saja, Tetsuya."
Tapi Tetsuya tidak langsung percaya. Seijuurou berubah sebegini cepatnya. Sesuatu terjadi, yang Tetsuya belum tahu apa.
Tetsuya membelai lembut pipi Seijuurou. "Tapi Sei-kun pucat sekali. Sei-kun sakit?"
Pendar cemas di iris samudra itu membuat Seijuurou semakin tergugu. Entah reflek dari mana yang menyuruhnya maju, kedua lengannya terulur memeluk erat si baby blue.
Seijuurou menenggelamkan wajahnya di bahu Tetsuya. Hidungnya menghirup dalam-dalam aroma vanilla kekasihnya, sementara hatinya tengah menjerit terluka.
'Ah, mau disembunyikan serapat apapun, cepat atau lambat, Tetsuya pasti akan tahu.'
Jarak yang menghilang membuat Tetsuya merasakan jantung kekasihnya berdetak dengan kecepatan yang tidak wajar. Tapi Tetsuya memahami, Sei-kunnya sedang menenangkan hati. Tetsuya tidak mau memaksa, karena akan ada waktu yang lebih tepat untuk bercerita.
Tanpa mengatakan apa-apa, tak peduli ada di mana, tak mau tahu sedang dilihat siapa saja, Tetsuya membalas pelukan Sei-kunnya. Pemuda itu membelai lembut kepala merah kekasihnya.
"Tunggulah sebentar lagi." Seijuurou berbisik, akhirnya.
Jawaban itu sama sekali tidak menghadirkan lega. Entah kenapa, justru terasa mengiris jantungnya. Karena telinga Tetsuya menangkapnya dalam suara parau dan nada bicara yang tak pernah dia dengar sebelumnya.
"Akan aku carikan waktu agar kita bisa menjenguk Okaa-sama bersama-sama."
Tetsuya hanya mengangguk setuju. Ada yang sudah terjadi, Tetsuya tahu. Tapi Tetsuya tidak keberatan diminta menunggu.
~ ~ aish ~ ~
Di persimpangan koridor beberapa puluh meter dari ruang rapat, Seijuurou dan Tetsuya berpapasan dengan sang wakil ketua. Sungguh pas seperti yang dikira Tetsuya, si hijau lumut itu langsung melengos, mempercepat langkah sambil membuang muka.
Tetsuya mendesah miris, sedangkan Seijuurou mengangkat alis sambil meringis.
"Sudah aku duga." Tetsuya berbisik. "Midorima-kun masih marah pada kita."
Seijuurou tidak merespon bisikan pacarnya. Pemuda itu justru gatal ingin menjahili wakilnya. Jemari Tetsuya dalam genggaman ditarik lembut demi mengejar langkah-langkah lebar si kacamata.
"Shintarou!" Seijuurou menepuk pundak si rambut hijau. "Kenapa terburu-buru sekali? Kau tidak mau berjalan bersama kami?"
Yang ditepuk pundaknya kontan terlonjak menjauh.
"Berhenti di situ!" Shintarou memekik serta merta. Kedua tangannya terjulur ke depan, sementara kakinya mundur perlahan. Jari telunjuknya mengacung lurus memperingatkan.
"Jangan dekat-dekat! Jaga jarak! Kalian berdua berdampak negatif pada keberuntunganku, nanodayo!"
Tetsuya menganga. Seijuurou tertawa. Tidak menyangka si calon dokter bisa parno sampai sebegitu parahnya.
Shintarou kembali berjalan, tapi sambil sesekali menoleh ke belakang. Pemuda itu meningkatkan kewaspadaan demi mengantisipasi serangan dadakan.
Sampai di tempat tujuan, mereka bertiga disambut wajah-wajah familiar para kawan yang sedang bersantai di taman depan ruang pertemuan.
"Wow, sureprize! Kalian datang bersama." suara tengil Shougou menyapa pertama kali. "Aku jadi penasaran. Kalian main threesome sekarang?!"
Shintarou semakin meradang.
"Tutup mulutmu, nanodayo!" Muka cengengesan Shogou ditunjuk dengan ujung jari. Shintarou menatap si anak teknik elektro dengan nafsu menguliti.
"Sekali lagi kau ucapkan, sumpah akan aku cuci mulutmu dengan desinfektan!"
Ogah menunggu balasan ultimatumnya barusan, Shintarou pergi dengan langkah menghentak-hentak berang. Pemuda itu menarik kasar pintu ganda ruang rapat, lalu menutupnya dengan bantingan.
Sukses membuat teman-temannya tercengang.
Tidak menduga akan dimaki, kening Shougou berkerut rapat nyaris keriting.
Sementara yang lain saling melempar tanya lalu sama-sama mengedikkan bahu. Mereka juga baru tahu Shintarou bisa semarah itu.
Bahkan Shuuzou juga langsung memilih diam saat Shintarou membentak sang pacar. Niatnya menegur si kacamata perihal mangkir dari pertemuan tadi pagi jadi batal.
"Ada apa dengannya? Sedang PMS?" Suara Shougou meninggi. Entah kenapa jadi ikutan emosi. "Dan lagi, apa tadi? Desinfektan? Dia pikir mulutku sarang kuman?"
"Bukan mulutmu yang berkuman." Shuuzou pasang tampang simpati palsu sambil menepuk-nepuk kepala Shougou. "Tapi kata-katamu positif beracun, Sayang."
"Sialan!" Shougou mengumpat gusar. "Aku kan hanya bercanda!"
Muka cemberut Shougou jadi bahan tertawaan. Kesepakatan kolektif mengesahkan, mulut uncensored Shougou memang sering kebablasan.
Shuuzou melipat tangan di depan dada saat sang ketua BEM yang bolos dari rapat tadi pagi masuk ke area diskusi abal dan tak jelas ini. Shuuzou siap menginterogasi.
"Bagus kau baru datang sekarang." Gayanya persis bos preman mau menghajar bawahan. "Tidak menghadiri rapat. Tanpa pemberitahuan pula. Ke mana saja kau?"
"Terkurung di kelas Tetsuya." Seijuurou menyahut ringan, sama sekali tidak segan. Takut? Hah! Jangan dibayangkan! Justru Seijuurou yang tukang bikin takut orang.
"Bullshit! Mustahil kau terkurung. Kau pasti mengurung diri." Shuuzou juga mulai terpancing emosi. "Otakmu yang diperebutkan banyak orang itu seharusnya ingat, kau punya tanggung jawab tadi pagi."
Seijuurou hanya melirik, lalu menyeringai. "Sudah kau wakili."
BHLAARR!
Bom atom meledak di kepala sang ketua senat. Martabatnya digilas remuk si junior kurang ajar berlidah keparat.
'Sudah kau wakili', Seijuurou bilang? HELL! Setan merah itu rupanya minta dihajar. Biar sadar siapa atasan, siapa bawahan!
Shuuzou memang kelewat sensitif kalau disinggung soal jabatan.
"Oh, pilih ribut ternyata." Lengan kemeja digulung sampai siku. Asap mengepul dari ubun-ubun. "Ayo, satu lawan satu! Biar aku buat bonyok muka songong-mu itu!"
Seijuurou mendecih. Sama sekali tidak tertarik menanggapi, pemuda itu malah merangkul mesra sang kekasih hati.
"Sei-kun keterlaluan." Tetsuya ikut protes. "Sei-kun harus minta maaf sekarang."
Tak mengindahkan nasihat sang pacar, protes Tetsuya sukses terbungkam dengan satu ciuman.
Sementara di depan mata, fenomena 'senior kalap' kembali terulang.
Kaki Shuuzou menendang-nendang liar. Tapi tidak bisa maju menerjang lantaran kedua lengan dan tubuhnya tengah ditahan. Reo mencekal lengan kiri, dibantu Chihiro mencekal lengan kanan. Sedangkan perutnya dipeluk erat oleh sang pacar.
"Tarik napas dalam-dalam, Ketua!" Suara gemulai Reo mendadak jadi manly. "Setelah ini, aku sarankan kau ikut pelatihan jadi biksu saja!"
"Hentikan, Brengsek!" Chihiro berteriak mengancam. "Kalau tidak, aku tabok mulutmu!"
"Shut the hell up, Idiot!" Shougou ikutan memaki. "Kau kelihatan lebih sinting daripada orang gila!"
Tapi Shuuzou masih gencar mengutuk, mengumpat dan menyumpah serapah.
"KOHAI KURANG AJAR! KETUA BEM SIALAN! AKU INI ATASANMU, BANGSAT!"
Lalu dalam sekajap yang hampir tak terlihat, sekelebat perak dan merah meluncur mulus, menghasilkan desing halus akibat gesekan antara logam dan udara.
Keempat orang yang tengah berjibaku seru itu seketika membatu, saat telinga keempatnya menangkap suara benda berujung tumpul menancap tepat di pohon di balik punggung.
Keempatnya membalikkan badan. Napas kontan tertahan saat melihat sebilah gunting merah yang masih bergetar.
Menilik dari tempatnya menancap, gunting sakti itu hanya meleset sesenti saja dari mengoyak daun telinga sang ketua senat.
Kembali berbalik, empat pemuda itu berhadapan langsung dengan heterokrom yang menyorot sebeku mata patung.
"Begitukah seharusnya sikap pemimpin tertinggi senat mahasiswa?" Seijuurou mendesis persis ular berbisa. "Memalukan!?"
Shuuzou telak tertampar. Meskipun masih gusar, pemuda itu pilih aman. Daripada muka semakin tercoreng malu, mending bungkam demi meredam detak jantung dan napas yang masih memburu.
Reo, Chihiro, dan Shougou langsung tergolek lemas di atas meja batu.
Sebagai pihak yang paling waras, Shigehiro mendekati keempatnya dengan beberapa botol air mineral di tangan.
"Minum dulu." Ujar Shigehiro simpati. "Biar tenang."
Air mineral kontan ditenggak sampai tandas.
Setelah memastikan kondisi sudah terkendali, Seijuurou kembali memusatkan atensi pada sang kekasih hati.
"Tetsuya sudah mau pulang?" tanya Seijuurou sarat keberatan. "Aku masih ada rapat, Dear. Aku ingin pulang bersama."
Tetsuya menggelengkan kepala. "Aku mau ke perpustakaan dulu, Sei-kun. Ada yang harus aku kerjakan."
"Bagus." Seijuurou menarik tengkuk Tetsuya. "Jangan pulang dulu sebelum aku jemput."
Ciuman manis di bibir menjadi interaksi terakhir sebelum mereka berpisah.
Shigehiro yang mendengar si baby blue akan ke perpustakaan segera meraih tasnya, dan bergegas menghampiri Tetsuya. "Tetsuya-kun, tunggu aku! Aku juga harus hunting referensi untuk tugas minggu depan."
"Sebentar, Ogiwara-kun." Ujar Tetsuya ketika Shigehiro sampai di sampingnya. Pemuda itu lalu menghampiri sang ketua senat.
"Untuk semua tingkah menyebalkan Sei-kun..." Tetsuya menundukkan kepala. "...Aku minta maaf, Nijimura-senpai."
Shuuzou menghela napas lelah. Pemuda itu melambaikan tangan. "Sudahlah, lupakan saja! Sebenarnya malu juga. Aku sudah bertingkah seperti orang gila."
"Sei-kun memang pakarnya bikin orang darah tinggi." Tetsuya mengedikkan bahu. Tak lupa sopan santun, Tetsuya lalu berpamitan undur diri dari tempat itu.
Tingkah Tetsuya segera diikuti Shougou. Pemuda urakan itu memasukkan semua diktatnya ke dalam tas, lalu meraih botol air mineral kosong dari atas meja.
"Aku pulang dulu." Shougou melenggang. Botol kosong dilempar ke tempat sampah dalam perjalanan.
Untuk sesaat, suasana berubah lengang. Tapi langsung buyar saat suara arogan sang ketua BEM memecah keheningan.
"Mau sampai kapan kalian besantai di situ? Masuk sekarang atau rapat dibatalkan!"
Shuuzou menggeram. Ditatapnya punggung Seijuurou yang menghilang di balik pintu ganda ruang pertemuan.
"Cebol merah itu benar-benar bisa membuat orang waras jadi hilang akal." Shuuzou menggusak rambutnya kasar. "Kalian punya jurus ampuh untuk menghadapi Akashi?"
"Kalau kau berani..." Chihiro menimpali. "...Tonjok saja mukanya. Pastikan giginya tanggal dua. Hidungnya patah. Matanya lebam." Si kelabu menepuk punggung Shuuzou. "Kalau kau berhasil melakukan itu, aku akan sembah sujud di kakimu."
Seringai kejam di bibir Chihiro membuat Shuuzou ingin berteriak gahar. DASAR SESAT!
"Sayangnya, aku masih ingin menjejak tanah dan meraih cita-cita dengan bangga." Shuuzou melengos dramatis. "Bukan terbaring di bawahnya."
"Kalau begitu biarkan saja, meskipun bikin iritasi mata." Chihiro mengedikkan dagu, menunjuk Reo. "Lebih bagus lagi kalau kau ikuti saran Mibuchi. Jadi biksu. Sepertinya kau memang butuh pencerahan spiritual. Kau perlu ketenangan batin."
Shuuzou meninju pundak Chihiro. "Sialan kau!"
Reo terkikik geli. Si onyx centil itu langsung ikut nyemplung ke dalam diskusi.
"Aku punya saran" Reo menaik turunkan alisnya. Sebiji jempol tegak di depan hidungnya. "Dijamin ampuh."
Shuuzou meliriknya sangsi. "Apa?"
"Do'akan saja!" Reo terbahak melihat sang ketua senat ternganga. "Pergi ke kuil, bawa banyak sedekah, lalu minta pertolongan dewa."
Reo spontan melompat menjauh saat Shuuzou merogoh geram tasnya dan mengeluarkan botol air mineral yang isinya masih tersisa separuh.
Meski tahu keselamatannya sedang terancam, Reo tetap saja menyemburkan sarannya yang penuh ejekan.
"Tapi aku ragu permintaanmu akan langsung dikabulkan." Reo berjalan mundur sambil tertawa kencang. "Nijimura-chan kan banyak dosa. Tobat dulu sana!"
Shuuzou sontak terbakar emosi. Botol dilempar demi menimpuk jidat si bendahara bermulut nyinyir.
Nyaris saja kena!
Reo berhasil menarik mundur kepalanya, dua detik sebelum botol plastik itu menggampar dahi mulusnya. Alih-alih mengenai sasaran, botol naas itu justru penyok lantaran menghantam pintu ganda ruang pertemuan.
Reo tergelak sampai perutnya kram. Pemuda itu melenggang cantik sambil menertawakan sang ketua senat yang tengah kebakaran.
Shuuzou mengumpat dengan muka merah padam. "Dasar banci sialan!"
~ ~ aish ~ ~
Hari-hari berikutnya berlalu penuh kesibukan.
Sepasukan anggota panita dan penanggung jawab proyek ulang tahun Rakuzan seakan tak lagi memiliki waktu luang. Rapat diadakan nyaris setiap siang. Tak jarang pula baru berakhir saat malam.
Sore itu, setelah mengecek dan mengevaluasi data-data baru, Seijuurou bersama Shuuzou dan Reo meluncur menuju markasnya anak-anak IT.
Imayoshi Shoichi, yang ketiban tanggung jawab mendesain seperangkat properti khusus untuk proyek gila Seijuurou mengabarkan kalau desain keseluruhannya sudah jadi.
"Bagaimana?" tanya ketua senat.
"Sudah siap." Shoichi memutar laptop -nya.
Layar datar itu menampilkan berbagai benda dalam bentuk pencitraan 3 dimensi.
"Kelihatannya rumit sekali." Reo mengerutkan kening. "Kau yakin benda-benda ini tidak akan membuat kantong kita kering?"
"Jaminan 150%." Shoichi mengangguk yakin. "Jangan meremehkan jiwa perhitunganku, Bung. Kita bahkan bisa membuat benda-benda ini dari barang-barang bekas."
Reo masih melihat-lihat desain yang ditampilkan. Sementara Seijuurou dan Shuuzou sudah memikirkan berbagai macam rencana brillian.
"Kalau kau belum yakin..." Shoichi mengedikkan dagu, menunjuk Seijuurou. "...tanya saja pada pimpinan proyek itu. Kelihatannya dia sudah tahu harus melakukan apa."
Shuuzou mengirim senyum mencurigakan pada Seijuurou. "Apa yang kau pikirkan sekarang?"
Seijuurou menyeringai. "Waktunya bersih-bersih gudang."
"Hah?" Reo berjengit. "Aku tidak mau kotor, Sei-chan. Aku ini alergi debu."
Protes Reo otomatis diabaikan.
"Catat ini baik-baik, Mibuchi!" Shuuzou melanjutkan. "Kerahkan semua anggota yang kita punya untuk menyisir setiap sudut laboratorium dan tempat-tempat praktek Rakuzan. Kalau perlu minta bantuan pada setiap penghuni kelas."
Reo buru-buru menuliskan titah sang ketua ke dalam agenda.
"Dengan ini pengeluaran memang bisa ditekan." Shuuzou mengetuk-ngetuk dagu. "Tapi rasanya masih ada yang kurang."
"Bagaimana pun, kita perlu mendatangkan beberapa barang dari luar, Shuuzou." Seijuurou menyahut. Atensinya beralih pada senior berkacamata yang tidak bosan menebar senyum misterius.
"Karena kau yang membuat desainnya, kau pasti tahu apa saja yang kita butuhkan." Seijuurou melipat lengan di depan dada. "Kau sudah mengantisipasi soal ini juga, Shoichi?"
"Tentu saja." Shoichi berdiri bangga. "Aku bahkan sudah menyiapkan jalan keluarnya."
Pemuda itu masuk ke ruangan sebelah, lalu menarik keluar seseorang dari sana. Seorang pemuda kurus yang tampak pemalu. Shuuzou memperkirakan, pemuda itu mungkin masih satu angkatan dengan Seijuurou.
"Kenalkan. Sakurai Ryou. Kunci untuk memecahkan masalah kita. Dan juga..." Shoichi mengecup ringan pipi pemuda di sampingnya. "...dia pacarku."
Reo melongo. Satu lagi realita pahit yang menegaskan, mungkin hanya tinggal dirinya saja yang masih jomblo.
"Sumimasen." Pemuda imut itu tiba-tiba menundukkan kepala. "Maaf saya terlambat datang. Maaf saya masih berani nampang. Maaf saya lancang. Maaf..."
Shoichi memeluk pacarnya, menenggelamkan suara pemuda itu di dadanya. Punggung Ryou dibelai perlahan, bermaksud menenangkan. Shoichi juga tidak tahu kenapa, tapi pacarnya suka sekali mengumbar permintaan maaf ke mana-mana.
"Di luar dugaan." Shuuzou mendengus. "Hebat juga sepak terjangmu, Imayoshi."
"Tentu saja." Shoichi menarik kedua ujung bibir. "Punya pacar anak distributor alat-alat elektronik bisa berguna di saat-saat yang tidak terduga."
"Kalau begitu kita anggap masalah ini selesai." Seijuurou memutuskan. "Reo, kau tinggal di sini. Catat semua yang kita butuhkan, buat daftarnya, termasuk perkiraan pengeluaran."
Begitu mandat diterima oleh sang bendahara, Seijuurou pergi tanpa menunggu rekan kerjanya.
Shuuzou menepuk bahu Shoichi. "Aku bisa mengandalkanmu untuk masalah ini, kan?"
Shoichi mengangguk. "Serahkan padaku."
"Mibuchi." Shuuzou memanggil Reo. "Setelah urusanmu di sini selesai, segera buat jadwal rapat berikutnya."
"Roger!" Reo mengacungkan ibu jari.
"Aku pergi dulu." Shuuzou melangkah keluar. Tapi baru akan membuka pintu, pemuda itu mendadak balik badan. "Ah, satu lagi, Imayoshi."
Shoichi memutar kursinya sampai menghadap sang ketua senat.
"Sekalian saja. Tolong unggah video tutorial pembuatan benda-benda itu di web Rakuzan." Shuuzou tersenyum miring. "Dan pastikan semua mahasiswa Rakuzan melihatnya."
Shoichi membentuk huruf 'O' dari ibu jari dan jari telunjuknya. Pemuda itu memutar kembali kursinya menghadap meja, langsung bertatap muka dengan laptop tercinta.
Waktu bagi jari-jari panjangnya untuk kembali bekerja.
~ ~ aish ~ ~
Tempat itu sungguh sunyi.
Berdiri sendiri di puncak bukit kecil. Berdiam di tengah rumpun-rumpun cantik bunga-bunga perdu mungil. Bernaung di bawah pohon momiji besar peneduh dari hujan dan petir.
Saat Seijuurou menepati janjinya tempo hari, Tetsuya tidak pernah menyangka akan dibawa ke tempat seperti ini.
Memori tentang tempat lain dalam kepalanya seketika tersapu bersih.
Bangunan besar bercat putih. Bahkan seragam para penghuninya juga didominasi warna putih. Aroma tajam antiseptik yang tersebar nyaris di setiap titik. Satu ruang khusus di lantai VVIP. Dan wajah tirus seorang wanita pengasih yang dia harap menyambutnya dengan senyum bidadari.
Terganti sempurna oleh gundukan tanah bertembok putih. Berbingkai batu nisan yang terpancang tegak nan tinggi.
Entitas beku yang menolak bersuara. Namun bisu itu mampu mengoyak perisai jiwa. Monumen batu pengingat ironi akhir hidup manusia.
Sehebat apapun kau di atas tanah, sekali kau tertanam di bawah, mustahil kau bisa kembali menikmati mentari yang bersinar cerah.
Telapak tangan keduanya masih tertangkup di depan wajah. Mata terpejam. Bibir bungkam. Meminta hati melantunkan permohonan.
Seijuurou membisikkan selaksa doa.
Tetsuya meminta maaf sebanyak yang dia bisa.
Saat lengannya kembali terkulai di samping paha, Tetsuya tidak lagi bisa menahan air mata.
"Lahan ini sudah menjadi milik keluarga Akashi."
Parau suara Seijuurou sungguh menyisakan sakit. Namun tetap saja, pemuda itu memaksakan senyum tipis di bibir meskipun getir.
"Tetsuya tahu? Okaa-sama selalu suka tempat ini."
Seijuurou menautkan jemari mereka berdua erat. Jantung Tetsuya melesak merasakan jemari kekasihnya bergetar hebat.
"Terakhir kali berkunjung kemari, Okaa-sama bilang ingin membuat kebun sayur di sebelah sana." Seijuurou menunjuk lahan terbuka di sebelah kanan.
"Dan taman bunga di sebelah sana." Lengan Seijuurou mengayun ke depan.
"Lalu taman bermain kecil untuk anak-anak desa di sebelah sana." Terakhir, lengannya membentang ke belakang.
"Tapi sampai saat terakhirnya..." Heterokrom itu basah. Kilat lukanya seperti pecahan kaca. "...Aku tidak bisa mewujudkan keinginan Okaa-sama."
Cukup sudah. Tangis Tetsuya tumpah ruah. Bibir bawahnya digigit sampai berdarah.
Tetsuya menghambur memeluk kekasihnya. Menyurukkan wajah di bahu kokohnya. Meredam isak tangis dalam hangat dekapnya.
Bahkan setelah tangisan panjang itu sedikit mereda, Tetsuya hanya bisa bertanya dengan satu kata.
"Kapan?"
Seijuurou menarik napas berat sebelum menjawab. Wajahnya disurukkan lebih dalam ke leher si pemuda tersayang.
"Di hari yang sama..." Nada bicara Seijuurou terdengar hampa. "...dengan kepergian Tetsuya."
Tetsuya termangu. Tubuhnya membatu. Napas teratur berubah terputus-putus. Jantungnya bekerja seperti mesin aus.
Rasa bersalah telak mengahantam sekeras angin topan. Menggulung dan melebur ego-nya dalam satu pusaran. Lalu melemparnya ke dasar jurang penyesalan.
"Maafkan aku..." Air mata Tetsuya mengucur deras. Suara halusnya semakin serak. "Aku minta maaf, Sei-kun."
Seijuurou memejamkan mata. Lengannya mengurung lebih erat tubuh gemetar kekasihnya.
"Bukan salah Tetsuya." Punggung rapuh dibelai lembut. Puncak kepala biru berkali-kali dikecup. "Sama sekali bukan salah Tetsuya."
"Tapi aku tidak ada..." Tetsuya berujar terbata-bata. "...Aku tidak ada di sana. Aku tidak ada di samping Sei-kun. Aku pergi saat Sei-kun jatuh. Aku keterlaluan. Aku jahat. Aku sangat menyesal, Sei-kun. Aku..."
"Sssstt..." Seijuurou berbisik menyela. "Tidak apa-apa. Sungguh. Ini bukan salah Tetsuya. Semua terjadi begitu saja. Tetsuya tidak tahu. Dan tidak ada yang sempat memberi tahu."
Kemeja Seijuurou dicengkeram kuat. Tangisan Tetsuya semakin keras. Air matanya merembes, membuat bahu Seijuurou basah.
Fakta ini begitu menyesakkan. Pembicaraan ini luar biasa menyakitkan.
Meski begitu, tak pantas kiranya menghambur tuduhan 'Kau bersalah!', atau 'Aku yang salah!', atau 'Kita bertemu di waktu yang salah, dan terjebak di situasi yang salah.'
Akankah keadaan berubah menjadi lebih indah jika menemukan siapa yang salah?
Seijuurou sangat memahami jika tak ada satu elemen pun yang patut disalahkan. Bahkan pemikiran paling rasional sekalipun sering kali harus tunduk pada ungkapan, ini memang sudah digariskan.
Seijuurou tak menginginkan ini. Tetsuya pun tak mau begini. Elegi takdir tiga tahun lalu memaksakan jalan ini. Mau tidak mau, cerita mereka memang harus begini.
Seijuurou dan Tetsuya... hanya sedang diuji.
"Maafkan aku." Lirih Tetsuya. "Maaf, Sei-kun."
Seijuurou menggelengkan kepala. Pemuda itu merenggangkan pelukannya. Satu tangan mendekap pinggang ramping kekasihnya. Tangan satunya menghapus jejak basah di pipi Tetsuya.
Seijuurou menyatukan dahi mereka. "Tetsuya ingin tahu apa harapan terakhir Okaa-sama?"
Tetsuya mengerjapkan mata. "Apa?"
Seijuurou mencium kedua kelopak mata Tetsuya. "Okaa-sama berharap agar kita berdua selalu bahagia."
Bibir mungil Tetsuya mengurai senyum manis pada akhirnya.
Begitu perasaan berangsur tenang, mereka berdua memutuskan untuk pulang. Setelah mengucap salam perpisahan dan berjanji akan kembali datang, Seijuurou dan Tetsuya menuruni bukit dengan bergandengan tangan. Berjalan berdua menyusuri jalanan lengang.
Tetsuya mengedarkan pandangan.
Nyaris tak ada yang berubah dari desa itu. Tetap sejuk, bersih, dan tenang seperti dulu. Meski hanya sekali berkunjung, Tetsuya tidak pernah melupakan tempat itu.
Tetsuya tersenyum saat mengingat alasan konyol kenapa dia bisa terdampar di desa kecil di pinggiran Tokyo itu.
Tiga tahun lalu... saat kabur bersama Seijuurou.
"Ingat kenangan tiga tahun lalu, Sayang?" Seijuurou mengerling jahil.
Tetsuya mengangguk, lalu terkekeh geli. "Seperti cerita di dorama saja. Kita kabur bersama. Begitu pulang, status kita berubah jadi pasangan."
Seijuurou ikut tertawa.
"Bagaimana kalau kita menginap di villa?" Seijuurou mengusulkan. "Kita menginap semalam. Besok baru pulang. Lagipula ini akhir pekan."
"Sekalian bernostalgia?" Tetsuya mengangguk setuju. "Boleh juga."
Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih lega. Berjalan santai menikmati suasana. Sesekali berhenti untuk mengagumi pemandangan. Atau menyapa dan berbincang sebentar dengan penduduk desa yang bersua di tengah jalan.
Kakek Fujiwara, sang pengurus villa, sigap membukakan pintu saat Seijuurou dan Tetsuya tiba.
Keduanya langsung meluncur ke kamar Seijuurou di lantai dua untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah. Namun belum sempat menaiki anak tangga, keduanya mematung melihat seseorang tengah bersantai di ruang tengah.
Seijuurou reflek menggenggam erat jemari Tetsuya di sampingnya. Memastikan kekasihnya tidak pergi ke mana-mana. Sekaligus meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja.
"Otou-sama..." Seijuurou mendesis.
Laki-laki itu, Akashi Masaomi, bangkit dari duduknya dengan begitu anggun dan berkharisma. Berjalan tegap dengan ketenangan yang menakutkan. Angkuh, layaknya sikap seorang bangsawan.
"Sudah tiga tahun berlalu." Akashi Masaomi mengulas senyum simpul. Mata dewasanya menatap lekat-lekat dua pemuda yang saling merapatkan bahu.
Sang putra tunggal. Dan kekasih tercinta.
"Sungguh mengejutkan. Kalian muncul bersama di depan mataku."
~ ~ aish ~ ~
'Sejak pertama kali mengenal marganya, seharusnya kau mafhum bahwa putraku bukan berasal dari kalangan biasa.'
Tetsuya merasakan napasnya tercekat. Bulir azurenya disembunyikan rapat-rapat. Gema suara di dalam kepalanya sungguh membuat dadanya sesak.
'Sebagai orang tua, aku pribadi, selalu menginginkan yang terbaik untuk putraku, kau tahu?'
Selusur pagar balkon dicengkeram kuat sampai jemarinya memutih.
Tetsuya tidak menginginkan ini. Tetsuya berharap bisa melupakan ini. Tetsuya tidak ingin suara ini kembali.
Sungguh, tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk memberangus suara yang menyebabkan hatinya memekik nyeri.
'Jika ingin memilih...'
Kepala biru menggeleng kencang. "Jangan sekarang. Aku mohon, jangan sekarang!"
Sekuat tenaga hatinya merapal permohonan. Namun suara itu menolak hilang.
'...Tentu aku akan memilih seseorang yang berasal dari keluarga bersih tanpa cela.'
Tetsuya hampir menjerit.
Seluruh otot dan pembuluh darahnya ngilu. Sendi-sendinya terasa lumpuh. Tubuhnya mendadak limbung. Nyaris saja jatuh bersimpuh, jika sepasang lengan tidak memeluk erat bahu dan pinggangnya tepat waktu.
"Tetsuya!"
Suara Seijuurou yang tertampung telinga sungguh membuatnya lega. Tubuhnya yang sempat menegang berangsur tenang. Tetsuya memasrahkan seluruh bobot tubuhnya dalam dekapan kekasihnya.
"Tenanglah, Dear. Ada yang sakit?" Seijuurou bertanya khawatir. Dengan hati-hati pemuda itu mendudukkan diri di lantai, membawa serta tubuh lemas sang pemilik hati.
Tetsuya menggeleng lemah, tapi mata dan pipinya terlanjur basah.
Hebat! Tetsuya merutuk dalam hati. Untuk pertama kalinya setelah tiga tahun, dia banjir air mata lagi sampai dua kali dalam sehari.
"Tidak apa-apa. Aku ada di sini." Seijuurou membisikkan kata-kata menghibur. Pemuda itu mengecupi puncak kepala si baby blue. "Kita sudah bersama. Kita akan baik-baik saja."
Tetsuya mengangguk. Wajahnya disurukkan lebih dalam ke dada Seijuurou. Mereguk rakus seluruh keberadaan kekasihnya dalam pelukan kencang. Mencari kehangatan familiar yang selalu berhasil membuat gelisahnya hilang.
Seijuurou mempererat dekapan. Mengayun lembut tubuh ringkih si pemuda kesayangan. Pun juga memanjakan Tetsuya dengan kecupan-kecupan sayang.
Tidak perlu bertanya lagi. Seijuurou paham mati mengapa kekasihnya menjadi seperti ini. Tidak heran, karena dia sendiri sudah pernah melewati fase ini.
Paling tidak, reaksi Tetsuya cukup menjadi bukti bahwa ayahnya, sedikit banyak, punya andil atas perubahan drastis kisah cinta mereka.
Simfoni cinta kasih semanis madu mendadak berubah menjadi elegi beracun sepahit empedu.
Yang juga membuat Seijuurou kini berani bersumpah. Elegi sialan itu, tak akan pernah dia izinkan kembali merobek gendang telinga.
"Kita hadapi ini bersama, oke?" Seijuurou menunduk, mengecup samping leher dan tengkuk Tetsuya. "Tetsuya percaya padaku, kan?"
Meskipun dengan suara serak, Tetsuya berhasil menjawab. "Aku percaya Sei-kun."
Detik-detik berikutnya berlalu dalam keheningan yang menentramkan.
Seijuurou memuaskan diri mendekap tubuh Tetsuya penuh cinta. Merasakan betapa bahagia dan sempurna hidupnya hanya dengan memeluk sang belahan jiwa.
Sementara Tetsuya memanjakan diri dalam rengkuhan yang selalu memberinya kenyamanan, perlindungan, juga rasa aman. Berharap sepenuh jiwa, kebersamaan ini tidak akan pernah hilang.
"Sei-kun." Lirih Tetsuya.
Seijuurou menggumam. "Hmm?"
Tetsuya bergerak perlahan, sedikit menjauh dari pelukan, hanya agar dapat menatap heterokrom sang lelaki pujaan. Kening Seijuurou mengerut penasaran.
"Sei-kun..." Tetsuya menggigit bibir. Pipinya merona semerah ceri. "...tidak ingin menciumku?"
Seijuurou mengangkat sebelah alis. Ujung bibir naik membentuk seringai tipis.
"Wah, ada apa ini?" Seijuurou memicing, pasang muka sok menyindir. "Tidak biasanya Tetsuya begini. Apa matahari sedang berbalik mengelilingi bumi?"
Tetsuya langsung cemberut. Rona manis di pipinya meluntur. "Ya sudah kalau tidak mau!"
Bibir mungil si baby blue sibuk menggerutu. Pemuda itu buru-buru kabur. Meski sebenarnya masih mau bermanja-manja ria pada Seijuurou.
Sudah nekat menawarkan, yang ditawari malah tidak mau. Kan malu!?
Tapi seperti yang sudah-sudah, Tetsuya jelas salah sangka. Salah duga dan salah perhitungan, lebih tepatnya. Belum juga kakinya sempuna tegak berdiri, pinggangnya keburu ditarik ke bawah lagi.
Kali ini lebih parah. Tetsuya jatuh tepat di tengah jerat mangsa. Dan langsung dikurung rapat oleh pemburunya.
Seijuurou menyeringai menang. "Siapa bilang aku tidak mau, hm?"
Tidak ada kesempatan unjuk rasa. Karena bibir Seijuurou sudah terlanjur menangkap bibir candunya.
Seijuurou menghisapnya perlahan. Melumat belah atas dan bawahnya bergantian. Menikmati tekstur kenyal dan lembutnya penuh perasaan. Lalu mematri rasanya dalam ingatan.
Tidak ada yang bisa mengalahkan legitnya bibir ekstasi ini. Seijuurou betah memagut bibir ini sampai berhari-hari.
Terutama saat lidahnya ikut menjelajah. Invasi besar-besaran pada tambang manis vanilla. Apalagi saat menggoda sang penjaga. Yang selalu menolak kalah pada pertemuan pertama. Tapi membangkitkan gairah dalam pertarungan dansa.
Menghisap lidah Tetsuya serupa minum wine murni yang disuling dari anggur pilihan tanpa tersentuh terik sinar matahari. Seijuurou jelas tidak akan menyerah sampai bisa meneguknya walau hanya secangkir. Meski sudah bisa dikira, Seijuurou selalu menjadi pihak yang tertawa paling akhir.
Karena lenguh halus yang mengalun adalah tanda penyerahan total. Sekaligus menjadi akhir perjamuan yang memabukkan.
Seijuurou tersenyum penuh kemenangan.
Pipi pucat Tetsuya menghangat semerah bara api. Entah karena terlalu menikmati, atau justru panik gegara napasnya nyaris dihabisi.
"Aku menang. Lagi." Seijuurou berbisik di depan bibir Tetsuya. Lalu melumatnya sebelum berkata. "Untuk yang kesekian ratus kali."
"Sei-kun licik." Bibir mungil itu mengerucut imut. "Dan lagi, kapan ciuman kita mencapai angka seratus?"
"Memangnya belum?" Kening Seijuurou berkerut. Sedetik kemudaian, seringai serigala kembali muncul. "Kalau begitu kita ulangi sampai seratus kali. Kali ini dihitung dari angka satu."
Tetsuya kontan mendelik.
Seijuurou mendekatkan wajah, berniat menggoda kekasihnya. Bergerak menyerang, meski hanya pura-pura. Pemuda itu tertawa saat Tetsuya menyembunyikan wajah di dadanya.
"Sudah cukup, Sei-kun." Tetsuya menggerutu. "Aku masih mau hidup."
Seijuurou tergelak. Direngkuhnya tubuh mungil itu lalu dikecupi gemas.
"Ah, hampir saja lupa." Ujar Seijuurou tiba-tiba. "Aku mau menunjukkan sesuatu pada Tetsuya."
Kening Tetsuya meriak tidak mengerti. Karena penasaran, Tetsuya ikut saja saat digandeng masuk ke kamar pribadi sang kekasih.
Tetsuya duduk manis di atas ranjang. Menunggu Seijuurou yang tengah sibuk mengaduk isi lemari dan mengeluarkan sebuah kotak penyimpanan.
Seijuurou membawa kotak itu dan menunjukkannya pada Tetsuya. Si baby blue mendengus saat melihat kotak berukir rumit itu ditempeli panel-panel angka. Seperti brankas mini saja.
"Kunci yang merepotkan." Tetsuya mendecih skeptis. "Memang isinya apa, Sei-kun? Harta karun?"
"Iya." Seijuurou menjawab tanpa menatap Tetsuya. Pemuda itu sedang serius berkutat dengan panel-panel angka di depan mata. "Ini memang harta karun, Dear."
Tetsuya agak terkejut dengan respon kekasihnya. Tidak menyangka Seijuurou akan menjawab seserius itu, padahal Tetsuya hanya bercanda.
Mendadak ide menggelikan muncul dalam kepala.
Apa Seijuurou akan melamarnya? Sekarang? Tidak mungkin, kan? Mereka masih sekolah. Kuliah tepatnya, dan belum wisuda.
Pipi Tetsuya seketika memanas. Pemuda itu sontak menahan napas. Jantungnya berdetak kencang tidak karuan. Kalau Seijuurou benar-benar melamarnya...
'Tidak, tidak, tidak!' Tetsuya menjerit dalam hati. 'Tidak mungkin, kan?'
Mendadak gugup sendiri, Tetsuya menggelengkan kepala berkali-kali.
"Kau ini sedang apa?" Seijuurou mengernyit heran. "Apa yang kau pikirkan?"
Malu meraja, Tetsuya membuang muka. "Tidak memikirkan apa-apa."
Seijuurou menyeringai dalam hati. Reaksi ketus tapi malu-malu Tetsuya sungguh membuat Seijuurou gatal ingin menggoda sang kekasih.
Tapi urusan goda-menggoda bisa ditunda dulu. Ada sesuatu yang lebih penting yang harus ditunjukkannya pada si baby blue.
"Ini." Seijuurou mengulurkan tangan.
Dengan jantung deg-degan, Tetsuya menguatkan hati melihat pemberian sang pacar. Detik berikutnya, mata Tetsuya mengerjap-ngerjap kebingungan.
"Surat?" Tetsuya memiringkan kepala. "Untukku? Dari siapa?"
Seijuurou mengedikkan dagu. "Baca saja."
Karena sudah sangat penasaran, Tetsuya menuruti perintah sang pacar.
Yang terjadi selanjutnya, Tetsuya sungguh terkesima.
Deretan huruf kanji itu seharusnya tergores rapi. Tapi guratan huruf-huruf itu justru terlihat bergerigi. Di beberapa bagian tampak lebih tebal. Dan di bagian lain tampak ditulis penuh penekanan.
Seolah sang penulis tengah kesakitan, dengan napas tersengal, dan jantung yang berdetak di luar batas normal. Seolah ditulis dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga dalam.
Iris samudra itu berkaca-kaca. Tanpa bertanya pun, Tetsuya sudah tahu surat itu ditulis oleh siapa.
Tangan gemetar Tetsuya jatuh ke atas paha. Pemuda itu memejamkan mata, menghela napas, lalu menguatkan diri membaca pesan terakhir yang... sungguh luar biasa.
'Jadilah kuat! Jadilah orang hebat! Agar saat kalian memutuskan untuk benar-benar bersama, bahkan dunia tidak akan punya satu alasan pun yang tersisa untuk menghujat.
Surat itu ditutup dengan satu do'a berhias asa... juga restu paripurna.
'Berbahagialah!'
Setiap sel darah dalam pembuluh Tetsuya berdesir halus. Tetsuya begitu terharu. Sungguh.
Di antara semua orang dewasa, si penulis surat ini, Akashi Shiori, mungkin adalah orang pertama yang tahu tentang hubungan spesialnya dengan Seijuurou. Yang mengejutkan, Akashi Shiori, juga menjadi orang pertama yang memberikan restu.
Dalam sekejap, Tetsuya merasa kehilangan jutaan kosakata dari otaknya.
"Pesan Okaa-sama ini sungguh..." Tetsuya kesulitan memilih kata yang tepat. "...bijaksana?"
Seijuurou tersenyum lembut. Helai biru diacak sayang, lalu ditarik agar bersandar nyaman di bahu.
"Mengejutkan, bukan?" Seijuurou menggumam. Kepala biru dalam pelukannya mengangguk mengiyakan. "Tapi surat ini berhasil menyelamatkanku. Setidaknya, menyelamatkan kesehatan mentalku."
Tetsuya menatap Seijuurou dengan pandangan bertanya.
"Aku juga mengalaminya, Sayang." Seijuurou mengecup pelipis Tetsuya. "Saat aku begitu dikuasai amarah, nyaris seperti orang gila."
"Tapi Sei-kun bisa mengatasinya." Lirih Tetsuya. "Aku tidak yakin aku bisa."
"Tetsuya bisa." Seijuurou mengoreksi. "Kita pasti bisa."
"Bagaimana?" Tetsuya menuntut.
"Okaa-sama sudah memberi tahu caranya." Seijuurou hanya mengedikkan dagu. "Di surat itu."
"Jadilah kuat! Jadilah orang hebat!" Tetsuya merapal pesan itu tanpa melihat. "Ini berat dan susah. Kedengarannya mustahil untukku."
"Kenapa Tetsuya pikir itu mustahil?" Seijuurou bertanya seolah sedang menginterogasi.
"Karena aku tidak punya kemampuan untuk itu!" Entah kenapa Tetsuya jadi emosi. Pemuda itu duduk tegak, menantang langsung heterokrom sang kekasih. "Memangnya apa yang aku punya? Aku tidak pernah punya apa-apa, Sei-kun."
Seijuurou menangkup pipi Tetsuya. Bibir cemberutnya dikecup mesra.
"Tetsuya punya." Heterokrom menatap azure penuh kasih. "Mungkin karena sudah terlalu nyaman dan terbiasa, Tetsuya tidak menyadarinya."
Tetsuya semakin merengut. "Apa?"
"Sudah ada dalam darahmu, Dear." Seijuurou tersenyum penuh arti. "Sudah seperti itu sejak dulu."
Sejujurnya, Tetsuya semakin tidak mengerti. "Apa sich?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Tetsuya, Seijuurou justru melempar tanya.
"Pertanyaannya sekarang adalah..." Seijuurou menyeringai tampan. "...siapa orang pertama yang Tetsuya targetkan?"
Tetsuya memijit pelipis. Dia sungguh tidak mengerti.
'Orang pertama yang aku targetkan?' Tetsuya melempar pandangan keluar kamar. 'Memangnya aku punya? Siapa?'
Seijuurou menghadapkan lagi wajah Tetsuya agar menatapnya. "Orang yang paling ingin kau lampaui saat ini, Love."
Tiba-tiba, iris langit itu membulat sempurna. Tetsuya tahu apa maksud kekasihnya.
Seijuurou mengerling. "Sudah mengerti sekarang?"
Tak dinyana, Tetsuya tahu siapa targetnya. Seseorang, yang tanpa sadar membuat Tetsuya mengurung diri dalam nostalgia. Kali ini, Tetsuya akan melepas semuanya, merelakan segalanya. Keluar dari kurungannya. Lalu terbang sesuka hatinya.
Tetsuya sudah menemukan jawabannya. Tetsuya juga tahu dia harus melakukan apa. Memantapkan hati, Tetsuya siap melakukan langkah pertama.
Tetsuya tersenyum lebar, lalu menghambur memeluk sang pacar.
"Terima kasih." Ujar Tetsuya sepenuh hati. "Benar-benar terima kasih, Sei-kun."
Sayangnya, Tetsuya tidak melihat Seijuurou tengah nyengir jahil.
"Begitu saja?" Seijuurou mencibir. "Setelah bersusah payah melakukan pencerahan batin sekelas Buddha, aku hanya dapat ucapan terima kasih?"
Tetsuya kontan menarik diri. "Sei-kun perhitungan sekali."
Menghela napas lelah, Seijuurou pasang wajah memelas pura-pura. "Menjadi motivator hebat seperti tadi bukan perkara gampang, Baby."
"Lalu Sei-kun mau minta apa?" Tetsuya mendecih. "Tumbal? Sesaji?"
Seijuurou menyeringai licik, membuat Tetsuya sontak berjengit. Alarm bawah sadarnya mengirim impuls ke otak agar segera melarikan diri.
Tapi sialnya, reflek Seijuurou memang tak tertandingi. Baru juga mundur sejauh sepuluh senti, tubuh mungilnya sudah ditangkap lagi. Masalahnya, bukan hanya ditangkap saja, tapi juga dihempaskan ke bawah, lalu ditindih pula.
"Mau ke mana, hm?" bibir Seijuurou menggoda telinga Tetsuya. "Bukankah Tetsuya tadi bilang mau bernostalgia?"
Antara merasa nelangsa atau justru berbunga-bunga, otak Tetsuya nyaris blank dan tidak bisa memutuskan mau melakukan apa. Kalau Seijuurou menggodanya lebih dari ini, Tetsuya bisa tiba-tiba menggila.
"Nostalgianya tidak harus seperti ini, Sei-kun."
Pemuda itu masih saja terpikir mengajak gencatan senjata, padahal pihak lawan sudah menyisir lekuk tubuhnya.
Mulut Seijuurou tengah berkonsentrasi menandai teritori di leher Tetsuya. Sementara satu tangannya sibuk menjamah medan di bawah kaus kekasihnya.
"Tentu saja harus seperti ini." Seijuurou menyeringai.
Entah Tetsuya memang keras kepala atau tertular varian baru virus malu-malu mau-nya si Tsunderima. Reaksi tubuh jelas lebih jujur daripada lidah. Sebanyak apapun Tetsuya menyangkal, yang Seijuurou lihat, si baby blue sudah terjerat gairah.
Dan sebagai pemburu sejati, Seijuurou tidak akan pernah melepas si mangsa. Karena dalam permainan ini, Seijuurou yang punya kuasa.
Seijuurou kembali memerangkap bibir Tetsuya. Kedua lengan Tetsuya bertengger nyaman di lehernya. Jari-jari lentik pelukisnya terbenam di antara helai-helai merah menyala.
Seijuurou tersenyum dalam ciuman. Tubuh diposisikan di titik yang pasti tepat sasaran. Lalu dengan sengaja, pemuda itu menggesekkan kedua bagian bawah yang sama-sama menegang.
Erang dan desah yang tertahan menggema keluar dari dasar tenggorokan.
Pipi mulus yang memerah dan menghangat dikecupi mesra. Sementara satu tangan tanpa ragu menyusup ke bawah. Meraih, memanja, dan menggoda. Akan Seijuurou buat Tetsuya meleleh sampai melenguhkan namanya.
"Aku ingin membawa Tetsuya ke Shangri-la."
Kelopak mata pucat bergerak-gerak terbuka. Menyingkap binar-binar indah iris samudra. Dan dipercantik dengan senyum manis di bibir merah muda.
Shangri-la.
Ingatan Tetsuya bergulir kembali. Merangkai kisah lampau bersama sang kekasih hati. Tiga tahun lalu, di tempat ini.
'Muak pada dunia. Bosan melihat realita. Ingin hengkang dari alam nyata.'
Keluhan yang menjadi awal segalanya. Alasan konyol sok dewasa dua bocah 16 tahun yang baru saja meginjak masa remaja.
Dalih pembenaran atas rasa frustasi. Berdua melarikan diri. Mencari kebahagiaan sendiri. Yang tak disangka, justru berakhir seperti drama romantis di televisi.
Dua hati, mengikat diri. Menjalin janji, menasbih cinta kasih. Setelah mereguk habis kenikmatan duniawi. Untuk yang pertama kali.
Itulah Shangri-la. Setidaknya, bagi Seijuurou dan Tetsuya.
Tetsuya terkekeh geli. Lengannya menarik leher sang kekasih, lalu memberi kecupan di bibir. "Kita akan terlambat makan malam, Sei-kun."
"Makan malam bisa ditunda." Seijuurou melempar kaus Tetsuya, yang entah sejak kapan, sudah terlepas begitu saja.
Bulir azure mengerling menggoda. Jemarinya bergerak lebih berani, memisahkan kancing-kancing kemeja Seijuurou dari lubangnya. "Makan malam bisa jadi sesaji mewah untukmu, Sei-kun."
"Tidak perlu." Seijuurou menarik lepas celana kekasihnya. "Tetsuya saja sudah cukup menjadi sesaji sekaligus tumbal untukku."
Tetsuya tertawa. Tapi tawa itu tidak bertahan lama. Bibir Seijuurou kembali membungkam bibirnya. Tetsuya menyambut sepenuh jiwa. Pun juga tak keberatan membalas dengan ritme yang sama.
Menit-menit berikutnya berlalu begitu saja.
Seberapa pun kerasnya, dentang jam tak bisa mencapai telinga. Mentari yang lari dalam pelukan cakrawala tak mampu menggugah mata. Kegelapan yang datang pun tak sanggup mengejutkan logika.
Hanya suara lenguh dan desah yang bisa membuktikan, dua anak manusia di sana masihlah bernyawa.
Keduanya tengah mendaki menjauhi dunia. Dan berlari menjemput Shangri-la.
~ ~ aish ~ ~
Suara musik klasik merajai setiap sudut ruangan. Menghipnotis pendengaran, menyuguhkan suasana romantis nan elegan bagi setiap tamu yang tengah menikmati santap malam. Pemandangan lazim yang mudah ditemukan di restoran-restoran bertema klasik bertabur bintang.
Namun sejak tadi, wanita itu hanya diam dan melempar pandangan keluar. Hiruk pikuk dan gemerlap jalanan Tokyo di luar jendela kaca sama sekali tak menyurutkan tatapannya yang tajam.
Tetap teguh terpancang. Tepat ke kios kecil di seberang jalan.
Tidak berubah meski tiga tahun sudah berlalu. Wanita itu bertanya-tanya. Siapa gerangan yang menempati kios itu sekarang?
"Apa yang sedang Anda lihat, Miss?" suara tegas dan dingin menyindir.
Araki Masako, sang asisten, yang telah menjadi partner terbaiknya sejak dua tahun terakhir.
Wanita itu menghela napas, lalu menjawab dengan gumaman tidak jelas. "Hanya mengenang serpihan masa lalu."
Sang asisten mendengus. Desainer cantik yang aslinya kelewat ceria di sampingnya ini sungguh tidak cocok mengucapkan kata-kata bagus.
"Sebaiknya Anda berhenti mencoba merangkai kata-kata puitis, Miss." Sindiran tajam sang asisten semakin menusuk telinga. "Sekalipun kata-kata itu hasil kutipan dari novel putra Anda, tapi sekali lagi saya yakinkan, Anda tidak punya jiwa sastra seperti Tetsuya-sama."
Wanita itu, Miss Yuna, menatap kesal pada sang asisten di sampingnya. Sindiran Masako berhasil merusak mood-nya. Niat hati ingin mengenang masa lalu lenyap seketika.
"Kalau perlu aku ingatkan lagi, Araki-chan." Miss Yuna melipat lengan di depan dada. "Jiwa sastra anakku memang warisan kakeknya. Tapi aku yang telah melahirkan Tetsu-chan."
Tak disangka, sang asisten malah tersenyum. "Sebagai teman, saya hanya ingin mengingatkan Anda, Miss. Tidak perlu mengenang masa lalu, jika hal itu membuat Anda membuka luka lama."
Miss Yuna menjatuhkan punggungnya ke sandaran. Tatapannya menerawang, kembali pada kios kecil di seberang jalan.
"Tapi aku tidak merasakan sakit itu, Araki-chan." Wanita itu menggumam. "Mungkin masih sedikit sesak, tapi sudah tidak sakit."
Masako hanya diam. Tidak lagi berniat melempar sindiran. Pun juga tak ingin memulai topik pembicaraan. Beruntung, kolega yang mereka tunggu akhirnya datang. Alasan yang sangat bagus untuk menyadarkan Miss Yuna dari lamunan.
Miss Yuna segera memperbaiki raut wajahnya. Wanita itu berdiri dan melempar senyum demi menyambut sang kolega.
"Selamat malam." Laki-laki itu mengulurkan tangan. "Apakah Anda sudah menunggu lama?"
"Tidak, Akashi-sama." Miss Yuna menjabat tangan sang kolega. "Baru 10 menit. Silakan duduk."
"Maaf." Ujar laki-laki itu, Akashi Masaomi, setelah duduk nyaman di kursi. "Saya berziarah ke makam istri saya dulu."
"Ah, benar juga. Hari ini hari peringatan kematian Shiori-sama." Miss Yuna memasang raut menyesal. "Saya akan berziarah dulu sebelum kembali ke Paris."
"Tidak sekalian mengunjungi putra Anda, Miss Yuna?" Masaomi mengingatkan.
Miss Yuna tersenyum simpul sambil menggelengkan kepala.
"Tidak ada waktu luang untuk mampir ke Kyoto." Miss Yuna mengerling sang asisten di sampingnya. "Tapi Araki-chan sudah menjadwalkan liburan beberapa waktu ke depan. Jadi saya akan pulang ke Kyoto saat liburan tiba."
"Saya sarankan, luangkan waktu untuk menjenguk putra Anda." Masaomi menasihati. "Waktu berlalu begitu cepat, Miss Yuna. Anda akan terkujut saat menyadari anak-anak sudah dewasa dan tidak hidup lagi bersama kita."
Obrolan ringan itu terputus saat seorang pelayan datang untuk menanyakan pesanan.
"Ngomong-ngomong, Anda sudah membaca novel ini?" Masaomi mengulurkan satu eksemplar buku tebal setelah sang pelayan pergi.
"Tentu saja sudah." Miss Yuna menerima buku itu. "Novel ini sudah muncul di Paris beberapa hari yang lalu. Saya juga mendengar novel ini sedang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing yang lain."
Miss Yuna menatap lekat novel itu. Jari telunjuknya menyusuri judul novel yang dicetak timbul. Mata indahnya berbinar penuh bangga. Tanpa sadar, senyum manis menghiasi bibirnya.
Twilight Symphony.
Bersampul indah dengan warna merah dan jingga. Dan judul manis berwarna biru muda. Serta nama sang penulis yang tertera di bagian bawah.
Blue Twilight.
Miss Yuna tertawa geli. "Saya masih tidak percaya Tetsu-chan bisa menulis novel seperti ini."
"Anak-anak sedang bertransformasi menjadi orang-orang hebat, Miss Yuna." Masaomi mengangguk mafhum. "Saya dengar novel ini akan segera difilmkan. Benarkah?"
Miss Yuna mengangguk mengiyakan. "Entah kenapa, kakak saya sudah tidak sabar ingin mengerjakan filmnya. Bahkan dia juga sibuk merecoki anaknya agar mau menulis skripnya."
"Si Grey Phantom." Masaomi menaikkan sebelah alis. "Penulis skrip misterius itu?"
Mata Miss Yuna melebar. "Anda tahu?"
"Tentu saja." Masaomi mengedikkan bahu. "Anda akan terkejut kalau tahu apa saja yang saya tahu."
Miss Yuna tersenyum maklum.
"Tapi kami, saya dan putra saya, tidak akan bisa mencapai ini semua kalau bukan karena bantuan Anda, Akashi-sama." Dengan sepenuh rendah hati, Miss Yuna menundukkan kepala.
"Terima kasih sebanyak-banyaknya. Saya bahkan tidak tahu lagi harus berterima kasih kepada Anda dengan cara apa."
Masaomi tersenyum simpul. "Bagaimana kalau dengan membantu menyukseskan proyek saya yang baru?"
"Saya bersedia." Miss Yuna menyetujui serta merta.
Akashi Masaomi menerima dokumen yang diulurkan sekretarisnya, lalu menyerahkannya pada Miss Yuna.
Detik berikutnya, kedua bola mata Miss Yuna membulat sempurna. "Ini..."
"Benar." Masaomi menyela. "Itu cita-cita Shiori. Sebuah sekolah seni yang ingin dibangun oleh mendiang istri saya."
"Apa..." Miss Yuna bertanya terbata-bata. "...Apa yang bisa saya bantu?"
Masaomi tersenyum menenangkan. "Tolong buatkan desain seragam sekolah untuk anak-anak istimewa itu."
Miss Yuna tercengang, lalu mengangguk kencang.
"Akan saya lakukan." Wanita itu berjanji sepenuh hati. "Akan saya buatkan seragam sekolah terbaik di Jepang."
Kesepakatan besar terjalin, tepat sebelum pesanan mereka datang.
~ ~ aish ~ ~
"Akashi bodoh!"
Shigehiro mengumpat sambil meremas gemas sisa-sisa kertas yang bertebaran. Menyiksa lembar-lembar tak beraturan itu sampai jadi bulatan. Membantingnya, lalu menginjak-injak gusar si bola kertas malang macam orang kesurupan.
"Iblis merah sialan! Jahat! Kejam! Aku sumpahi kau tenggelamdi tengah laut! Biar mampus dilahap ikan hiu!"
Lalu dilemparnya bola lecek penyek itu ke tempat sampah dengan berapi-api. Tapi sayang sekali. Si bola rupanya tidak sudi mampir ke recycle bin. Malah menggelinding bebas dan nangkring di pinggir bersama bola-bola penyek yang lain.
Tidak peduli lemparannya gagal total, si coklat manis itu kembali duduk di bawah sofa. Meraih kertas yang lain, kembali membuat pola. Meskipun mulutnya juga jadi semakin kreatif membuat varian-varian baru sumpah serapah.
"Apa perlu aku ingatkan lagi, Ogiwara-kun?" Suara lempeng menggaung dari balik punggung. "Orang yang sedang kau sumpahi itu pacarku."
Shigehiro menoleh ke belakang. Ditatapnya adik kesayangan pacarnya dengan mata nyalang.
"Pacar sialanmu itu membuatku tidak bisa mengerjakan tugas, Tetsuya-kun!" Shigehiro belum puas unjuk rasa rupanya. "Profesor Eiji pasti membunuhku kalau tugas itu tidak dikumpulkan tepat waktu!"
Tetsuya menghela napas lelah. Gelas merah penuh susu vanilla diletakkan di meja.
"Salah Ogiwara-kun terlalu sibuk di lab psikologi." Sekeping Oreo diculik dari toples, lalu dicelupkan ke likuid putih. "Ogiwara-kun sendiri yang tidak bisa membagi waktu, malah menyalahkan pacarku. Mentang-mentang calon asisten dosen."
Shigehiro semakin merengut tidak suka. Tidak terima proyek masa depannya diprotes Tetsuya. Maklum, dia itu mahasiswa pintar tapi miskin dana. Jadi, begitu ada kesempatan di depan mata, tidak akan dia buang sia-sia.
Shigehiro mendecih. "Daripada menasihatiku terus, lebih baik Tetsuya-kun membantuku."
"Tidak mau." Tolak Tetsuya serta merta. "Aku ini sedang sibuk, Ogiwara-kun."
"Sibuk apanya?!" Shigehiro berteriak gusar. Suaranya sampai naik seoktaf. "Dari tadi kau cuma duduk sambil minum susu, Tetsuya-kun."
"Juga sibuk melihatmu, Ogiwara-kun." Sahut Tetsuya sok diplomatis.
"Kalau Ogiwara-kun mau tahu, minum susu juga perlu konsentrasi penuh. Vanilla lezat ini akan terasa semakin nikmat jika kita mengoptimalkan kinerja otak agar menstimulasi saraf-saraf pengecap di lidah."
Astaga! Sejak kapan Tetsuya kita pindah ke jurusan biologi, saudara-saudara?!
Shigehiro melongo sesaat. Begitu sadar, pemuda itu spontan membanting lem dalam genggaman. Untung botolnya tertutup rapat. Kalau tidak, hampir bisa dipastikan akan muncul bencana susulan.
Ogah meladeni alasan absurd si baby blue, Shigehiro kembali pada calon prakarya meskipun sambil menggerutu. Tugas tambahan menyebalkan ini harus segera selesai, kalau tidak ingin tugas wajibnya semakin terbengkalai.
Siapa sangka. Deklarasi sang Ketua BEM soal 'membuat sendiri perlengkapan perayaan' tempo hari benar-benar serius ternyata. Apalagi sejak gerakan perbersihan gudang besar-besaran. Ditambah properti-properti yang dipesan dari luar mulai berdatangan.
Sepasukan panitia dan aktifis organisasi mahasiswa langsung kerja rodi nyaris selama tujuh hari. Menyortir segunung bahan baku, mengelompokkan, dan mengemasnya ke dalam paket-paket kecil. Markas besar senat dan ruang rapat mendadak menjelma menjadi home industry.
Esoknya, segunung PR berwujud calon kerajinan tangan dibagi rata kepada seluruh mahasiswa Rakuzan. Sialnya, PR itu dipercantik dengan tenggat waktu pengumpulan macam pembayaran hutang. Di hari bersejarah itu, setiap batok kepala dibuat pusing gegera memikirkan si tugas tambahan.
Dalam hatinya, Shigehiro mengeluh. Kalau saja Chihiro ada di rumah dan tidak sibuk, pacarnya itu pasti rela membantu. Tapi tanggung jawab yang tidak bisa ditinggal mengharuskan Chihiro menginap di kampus. Jadinya, Shigehiro ketiban jatah jaga rumah bersama si baby blue.
"Bukankah beberapa hari yang lalu kau main ke Tokyo, Tetsuya-kun?" Shigehiro kembali buka suara. Ternyata sepi juga, ada teman tapi malah diam-diaman. "Mana oleh-olehnya?"
"Aku ke Tokyo untuk berziarah ke makam seseorang, Ogiwara-kun." Ujar Tetsuya datar. "Memangnya Ogiwara-kun mau oleh-oleh apa? Dupa? Batu nisan?"
Shigehiro terkekeh geli. "Ngomong-ngomong Tetsuya-kun santai sekali. Tidak mengerjakan PR sialan ini?"
"Aku ini pengecualian, Ogiwara-kun." Tetsuya mengedikkan bahu. "Aku tidak mendapat bagian tugas merepotkan itu."
"Apa? Bagaimana bisa?" Shigehiro mendelik tidak terima. "Apa ini perlakuan khusus untuk pacar Ketua BEM atau semacamnya?"
"Bukan." Tetsuya tersenyum bangga. "Aku dibebas-tugaskan karena Chihiro-nii butuh bantuanku."
Shigehiro menggelengkan kepala tidak percaya.
Pemuda imut penggila vanilla itu punya sisi licik juga rupanya. Permintaan sang kakak tersayang datang saat mood bermalas-malasan sedang berjaya. Karena ogah repot membuat prakarya, Tetsuya langsung mengiyakan permintaan kakaknya.
Hasilnya? Skrip untuk pertunjukan teatrikal selesai dengan begitu sempurna. Sementara ribuan mahasiswa lain tengah berjibaku dengan PR prakarya macam anak-anak TK, Tetsuya tinggal berleha-leha.
"Aku ngantuk, Ogiwara-kun." Tetsuya mengeluh. Pemuda itu mengambil gelas merahnya yang telah kosong, lalu membawanya ke dapur.
Sebagai seorang yang setia kawan, Tetsuya berniat menujukkan kepeduliannya pada sang sahabat yang sedang giat berjuang. Ditepuknya bahu Shigehiro dari belakang.
"Karena aku selalu baik hati, aku akan membatu Ogiwara-kun dengan do'a dan suntikan semangat." Jari-jari digenggam membentuk kepalan. Tidak lupa Tetsuya pasang muka datar dan senyum hambar. "Semangat, Ogiwara-kun!"
Tetsuya melenggang santai sambil terkikik geli. Shigehiro menggertakkan gigi saking sudah sangat emosi. Botol penuh lem pun dibanting sekali lagi.
"Tidak adil! Aku juga mau tidur, Tetsuya-kuuunn!?"
~ ~ aish ~ ~
Suara berisik seperti dengung lebah menyapa telinga saat Tetsuya masuk ke Aula Besar.
Semua orang terlihat sibuk. Grup orkestra kampus sedang berkumpul di satu sudut. Grup penari dan para aktor berkumpul di tengah panggung, sedang mendengarkan briefing dari para mentor.
Mendekati hari H, tim khusus pementasan di hari penutupan semakin memadatkan jadwal latihan. Semua anggota yang terlibat sangat menyadari ada reputasi yang tengah dipertaruhkan.
Jadi, meskipun Ketua Senat membebaskan mereka dari tugas-tugas tambahan, bukan berarti mereka bisa bersantai dan merencanakan liburan barang sebentar. Justru tim ini yang paling terlihat kerepotan, lantaran slogan dadakan: tiada hari tanpa latihan!
Tetsuya bergegas menghampiri Chihiro saat menemukan kakaknya tengah berbicara serius dengan Ketua UKM teater, Izuki Shun.
Tapi baru sampai di tengah jalan, Tetsuya keburu dipeluk seseorang dari belakang.
"Tumben kau datang, Sayang." Ujar Seijuurou di telinga Tetsuya. "Merindukanku?"
Tetsuya balik badan. Maunya mengingatkan kekasihnya agar tidak ke-pede-an. Tapi langsung batal lantaran bibirnya lebih dulu dibungkam dengan ciuman.
Tetsuya mendorong pelan bahu Seijuurou. Wajah merengut dengan bibir cemberut itu sudah siap mau demo. Tapi lagi-lagi batal gara-gara keburu diserobot Chihiro.
"Jangan GR, Akashi!" Melipat kedua lengan di depan dada, Chihiro pasang gaya sok punya kuasa. "Tetsuya kemari bukan untuk mencarimu. Tapi mencariku."
Kening sang Ketua BEM menggelombang. "Benarkah?" tanya Seijuurou pada sang pacar. Tetsuya mengangguk membenarkan.
Si iris belang memicing sok menyelidik. "Ada urusan apa kau dengan Chihiro, Dear?"
"Urusan penting..." Chihiro menyela penuh provokasi. "...yang tidak perlu kau tahu apa itu."
Heterokrom menatap nyalang si iris kelabu. Percik ketegangan itu dipecah oleh suara si baby blue.
"Hanya soal pertunjukan teater yang akan kita tampilkan, Sei-kun." Ujar Tetsuya menengahi. "Sebenarnya, aku membantu Chihiro-nii mengerjakan skripnya. Lalu Chihiro-nii memintaku datang saat latihan hari ini."
Seijuurou mengangguk mengerti, meskipun masih kesal pada kakak sang kekasih hati.
Chihiro menggulung naskah tebal yang dia bawa, lalu memukul lengan pecicilan Seijuurou yang masih melingkari pinggang Tetsuya.
"Kau dengar itu? Sekarang, cepat lepaskan tangan kurang ajarmu dari pinggang adikku!" Chihiro menabok keras lengan Seijuurou sampai terlepas. "Pergi sana! Aku ada urusan dengan Tetsuya."
Seijuurou jelas sakit hati lantaran seenaknya diusir. Senior tengik ini benar-benar cari mati. Mulut si pemuda merah sudah siap menyemburkan balasan berupa kata-kata sarkas. Tapi batal lantaran panggilan Ketua Senat.
"Akashi, cepat ke sini!?"
Seijuurou mendecih. Urusan Chihiro terpaksa ditunda lain kali. Tak peduli si kakak sepupu tengah mendelik, pemuda itu kembali mengait pinggang sang kekasih.
"Aku ke sana dulu ya, Sayang." Seijuurou berpamitan setelah mendaratkan sebuah kecupan ringan. "Nanti tunggu aku. Kita pulang sama-sama."
Seijuurou beranjak pergi setelah memberi Chihiro tatapan benci.
"Aku baru tahu Chihiro-nii suka mengajak orang ribut." Sindir Tetsuya.
"Tidak juga. Yang ini khusus untuk pacarmu." Chihiro menyeringai kejam. "Laki-laki model bromocorah seperti dia perlu dites dulu. Baru bisa dapat izin resmi pacaran denganmu."
Tetsuya mendengus. 'Dipikir Sei-kun lagi bikin SIM?' Batinnya dalam hati.
"Ayo. Aku mau kau ikut mengawasi latihan mereka." Ujar Chihiro sambil menyerahkan segepok naskah ke tangan Tetsuya.
Baru saja mereka melangkah, sang penanggung jawab pertunjukan mendadak muncul di depan muka.
Raut khawatir Izuki Shun membuat kening Chihiro mengeriting. "Ada masalah?"
"Yah, kalau menurutku ini masalah." Ujar Shun gugup. "Sejak tadi aku ingin menanyakan soal ini padamu, Mayuzumi."
"Soal apa?" kejar Chihiro tidak sabar.
Shun membuka naskah tebal itu tepat di lembar terakhir. Lalu menunjukkannya pada sang penyusun skrip. "Ini. Kau yakin soal ini? Karena sejujurnya, kami keberatan."
Kening Chihiro berkerut semakin rapat. "Kenapa kau keberatan?"
"Oh, c'mon, Dude." Shun memutar bola mata jengah. "Apa kau tidak tahu kalau komposisi ini lumayan sulit? Dan kau malah ingin ini dimainkan di bagian akhir."
Chihiro melipat tangan di depan dada. "Para pemusik itu bisa mengatasinya."
"Mereka tidak bisa mengatasinya!" Shun membantah serta merta. Pemuda itu mengusap kasar wajahnya. "Aida Riko yang bilang. Mereka memang mempelajarinya. Tapi tidak ada yang cukup ahli memainkannya."
Raut Chihiro semakin datar. "Kalau begitu ini masalah."
Shun mendengus kesal. Pemuda itu memasang raut 'aku bilang juga apa!'. Menghela napas lelah, Shun kembali berkata. "Sebenarnya kami ingin mengusulkan jalan keluarnya padamu."
Manik kelabu memicing curiga. "Apa?"
"Kita tetap akan memainkannya..." Shun menjeda. Suaranya memberat, entah kenapa. "...tapi dengan rekaman audio biasa."
Manik kelabu membelalak lebar dan berkilat penuh kemarahan. "Jangan rusak pertunjukanku dengan barang semacam itu, Izuki!"
"Ini terpaksa!" bentak Shun tidak mau kalah.
Chihiro merenggut kasar jas almamater si penanggung jawab teater. "Diantara semua orang, seharusnya kau yang paling tahu apa yang sedang dipertaruhkan dalam pertunjukan ini."
"Lalu kenapa kau memberikan tuntutan seberat itu pada kami?" sentak Shun emosi. Pemuda itu menepis lepas jemari Chihiro yang menarik jasnya. "Kau tahu komposisi itu sulit. Tapi kau malah minta dimainkan live dengan biola. Apa kau sudah gila?!"
'Biola?' Firasat Tetsuya tergelitik mendengar Shun menyemburkan kata itu.
Chihiro dan Shun saling melempar tatapan nyalang. Meski masih emosi, tapi mereka sadar sudah jadi obyek lirik dan bisik-bisik banyak orang. Kalau pertengakaran ini diteruskan sampai ketahuan Ketua BEM atau Ketua Senat, masalah bisa jadi semakin runyam.
"Kalau kau masih tetap bersikeras, sebaiknya kau bantu kami mencari jalan keluar secepatnya." Ujar Shun sebelum beranjak meninggalkan mereka.
Chihiro mengerang kesal, lalu membuang umpatan ke udara. "Shit!"
Tak membuang waktu, Tetsuya langsung gerak cepat. Si baby blue berhasil menahan Shun sebelum pemuda itu melangkah terlalu jauh.
"Izuki senpai, tunggu! Aku tahu cara menyelesaikan masalah ini."
Shun berbalik. Chihiro juga batal pergi. Keduanya saling melirik, lalu menghampiri Tetsuya dengan raut tidak yakin.
"Kau serius, Tetsuya?" tanya Chihiro.
Tetsuya mengangguk. "Aku tahu jalan keluarnya."
"Bagaimana?" tanya Shun penuh harap.
Tetsuya balik badan, lalu menunjuk grup orkestra yang tengah sibuk menyetel instrumen di sudut ruangan. Wajah mereka merengut kusut lantaran diceramahi mentor selama berjam-jam. Tambah dongkol lagi karena mereka ada di bawah pengawasan ketat Ketua BEM dan Ketua Senat.
Kalau jadi mereka, Tetsuya pasti lebih memilih kabur saat itu juga.
"Dia." Tetsuya menunjuk dengan ujung jari. "Orang itu pemegang biola." Sambil nyengir, Tetsuya berbisik. "Dan dia ahli."
Shun dan Chihiro mengikuti arah yang ditunjuk Tetsuya. Setelah memicing sesaat, mata keduanya sontak membulat.
"Dia?" Chihiro memekik, macam tikus tercekik.
Tetsuya mengangguk mantap.
"Serius?" Shun pasang tampang horor.
"Seratus persen." Jawab si baby blue tanpa ragu. "Dan aku yakin dia bisa memainkan kompisisi yang kalian permasalahkan barusan."
Shun dan Chihiro saling bertukar pandangan.
"Aku sudah mencarikan jalan keluarnya." Tetsuya tersenyum bangga. "Soal bagaimana cara kalian mengajak orang itu bergabung, aku tidak mau ikut campur."
Sungguh kalimat motivasi yang sangat menghibur. Dan seakan ingin menegaskan maksudnya, si baby blue buru-buru kabur.
Chihiro reflek berlari mengejar adiknya, tapi langsung mengerem langkah saat melihat Tetsuya ternyata menghampiri pacarnya.
Si baby blue mengejutkan Seijuurou dengan pelukan erat dari belakang punggung. Seijuurou, tentu saja, menyambut kekasih tercinta dengan seulas senyum. Momen itu dimanfaatkan si baby blue untuk bersembunyi di pelukan Seijuurou. Dan dengan jahilnya, Tetsuya menoleh ke belakang sambil meleletkan lidahnya pada Chihiro.
Chihiro sampai terbengong-bengong macam sapi ompong.
Dikhianati adik sendiri, sungguh mengiris batin. Meski di hati terbersit rasa prihatin, tapi Shun tetap manusia biasa yang lebih tidak bisa menahan kekehan geli.
"Untuk masalah ini aku terpaksa angkat tangan, Mayuzumi." Shun menepuk-nepuk punggung sang kawan sok peduli. "Tapi aku yakin kau bisa mengatasinya sendiri. Aku serahkan semuanya padamu, Bung!"
Lagi-lagi, suntikan semangat yang amat sangat menghibur. Mirisnya, untuk kali kedua di hari itu, Chihiro kembali ditinggal kabur.
~ ~ aish ~ ~
Bandara memang jauh dari kata hening. Seolah setiap elemen terkecilnya pun mampu menimbulkan suara bising.
Miss Yuna menyeka lembut sisa minuman di bibir. Sang asisten baru saja mengingatkan bahwa mereka harus segera bersiap pergi. Pesawat yang akan mereka tumpangi menuju Paris akan berangkat 15 menit lagi.
Miss Yuna baru saja berdiri di antrian terakhir boarding pass saat ponselnya berdering nyaring. Melihat antrian di depan masih panjang, wanita itu memutuskan melihat pesan yang masuk, barangkali ada yang penting.
Pesan dibaca, kedua mata cantiknya sontak membulat sempurna.
"Araki-chan." Miss Yuna memanggil sang asisten sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. Entah kenapa, wanita itu tampak sangat gugup. "Aku tidak bisa pergi ke Paris hari ini."
"Apa? Kenapa?" Masako sampai memekik terkejut.
"Aku harus bertemu Tetsu-chan. Sekarang." Desainer cantik itu buru-buru meninggalkan barisan.
Masako reflek mengejar. "Kembali, Miss! Program kerja kita di Paris tidak bisa dibatalkan."
"Tapi bisa ditunda!" Bentak sang desainer cantik. Wanita itu tidak sadar suaranya naik. "Tetsu-chan bisa terjebak dalam masalah besar!"
"Dan fashion show kita di Paris terancam gagal total!" Bentak Masako tidak kalah keras.
"Tapi putraku lebih penting." Bibir Miss Yuna bergetar hebat.
Masako terpana, saat melihat mata atasannya berkaca-kaca. "Miss..."
"Aku mohon mengertilah, Araki-chan." Wanita itu menelan ludah susah payah. "Bagaimana pun, aku tetaplah seorang ibu."
Tanpa menunggu respon sang asisten, Miss Yuna berlari menerobos keramaian.
"Shit!" Masako mengumpat, tapi bergegas mengejar. Wanita itu merogoh saku, mengeluarkan ponsel, lalu mengontak satu nomor secepat kilat.
"Setidaknya biarkan aku menghubungi sopir kita agar kembali ke sini." Masako menggerutu sambil berlari. "Dasar! Memangnya dia ingin jalan kaki?"
Meskipun luar biasa kesal, dalam hatinya, Masako benar-benar bersyukur. Untung mereka mampir ke Kyoto, dan berniat terbang ke Paris dari bandara kota itu. Entah bagaimana jadinya kalau mereka masih di Tokyo.
Masako bertanya-tanya. Tidak tahu ini memang takdir atau hanya kebetulan belaka. Selesai membahas proyek kerja sama dengan Akashi Masaomi di Tokyo tempo hari, giliran kakak Miss Yuna sendiri yang memaksa minta bantuan dari sang adik.
Dasar adik perempuan yang berbakti dan berbudi luhur. Miss Yuna ngotot meluncur ke Kyoto malam itu juga lantaran ancaman basi sang kakak yang ogah disuruh menunggu.
Dan di sinilah mereka, terjebak di kota tua. Gara-gara ulah mengesalkan produser terkenal -yang sialnya- kakak satu-satunya Miss Yuna. Sampai nyaris seminggu pula.
Baru akan kembali ke tempat kerja di Benua Eropa sana, si Tuan Muda membawa masalah baru yang entah apa. Padahal keberangkatan mereka sudah sangat mepet jadwal, malah dibatalkan paksa.
Sempat terbersit dalam pikiran sang asisten cantik. Jangan-jangan bosnya kualat gara-gara membatalkan janji. Karena alih-alih berziarah ke makam Akashi Shiori, Miss Yuna justru berziarah ke makam orang tuanya sendiri.
Memikirkannya saja membuat bulu kuduk Masako berdiri.
~ ~ aish ~ ~
To : My Mom
Subject : Otou-san.
Okaa-san, hari ini Otou-san membuka pameran di galeri. Aku akan datang ke sana. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan pada Otou-san. Okaa-san tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja.
P.S : Dalam waktu dekat, aku berencana mengembalikan nama margaku seperti semula. Aku harap Okaa-san menerima keputusanku. Karena seburuk apapun, beliau tetap ayahku.
P.S.S : Aku sayang Okaa-san. Selalu. ^_^
Tetsuya membaca sekali lagi pesan yang baru saja dikirimnya untuk sang ibu. Tetsuya menarik napas kuat, membiarkan oksigen memenuhi paru-paru. Tinggal selangkah lagi, tidak ada waktu untuk merasa ragu.
Seijuurou memeluk pinggang rampingnya dari belakang. Seolah tengah menyalurkan dukungan, Seijuurou menciumi pelipis dan pipinya penuh rasa sayang.
"Sudah siap?" Seijuurou bertanya.
Tetsuya tersenyum, lalu mengangguk meyakinkan. "Aku tidak akan mundur, Sei-kun."
"Bagus." Seijuurou mencium dahi Tetsuya. "Kita berangkat sekarang."
Mereka melangkah bersama, bergandengan tangan. Menjemput si kuda merah di parkiran kampus Rakuzan.
~ ~ aish ~ ~
"Kawamura, bisa ngebut sedikit?" Miss Yuna ribut merecoki laki-laki di belakang setir. "Ini keadaan darurat!"
"Serahkan pada saya, Nyonya. Anda pasti bisa bertemu dengan Tetsuya-sama." Sang sopir membalas sambil menepuk dada.
Masako mendengus. Sopir keluarga Mayuzumi di sebelahnya ini lagaknya memang sok tahu. Tidak tahu apa kalau karir Masako terancam terjun ke dasar neraka?
Sang asisten memijit kening. Kepalanya sungguh pening.
Sementara bosnya sibuk memaksa si sopir agar menjadi pembalap liar, Masako justru sibuk tarik urat melawan pihak panitia penyelenggara di Paris sana.
Hasilnya?
Hidup Dewi Fortuna! Keberuntungan masih berpihak pada mereka. Panitia bilang ada desainer baru yang bersedia menempati tempat Miss Yuna. Jadi, penampilan karya-karya bosnya bisa ditunda sementara.
"Itu Tetsu-chan!" pekik Miss Yuna sambil menunjuk keluar.
Masako langsung tersadar dari lamunan. Ternyata mereka sudah sampai di tempat tujuan. Kawamura memarkir mobilnya di seberang jalan galeri yang jadi tempat pameran. Sementara si Tuan Muda yang jadi sumber persoalan masih berdiri di depan pintu bersama seseorang.
"Pakai ini." Miss Yuna menjejalkan sesuatu ke tangan Masako.
Kening Masako berkerut rapat. Kacamata hitam?
Masako baru akan bertanya, tapi Miss Yuna sudah keburu menyela. "Araki-chan, kau harus pergi ke sana. Ikuti Tetsu-chan. Rekam apapun yang dia lakukan. Paham?"
Muncul tanda tanya besar di atas kepala. Dia ini asisten desainer atau mata-mata CIA?
Masako sudah siap menolak mentah-mentah. Tapi Miss Yuna yang bersekongkol dengan Kawamura berhasil mendepaknya keluar.
"Semangat, Araki-chan!" Miss Yuna mengepalkan tangan. "Aku tahu kau bisa. Aku mangandalkanmu."
Masako mengelus dada. Hatinya nelangsa. Mungkin ini memang tanda jika karirnya tengah dijemput bencana.
Tapi jika ini memang akhirnya, Masako ingin berakhir dengan paripurna. Membusungkan dada layaknya seorang tentara, Masako siap mengintai sang Tuan Muda.
~ ~ aish ~ ~
Seijuurou menarik Tetsuya ke satu sudut yang sepi dan tersembunyi begitu mereka berdua melewati pintu galeri.
"Ada apa, Sei-kun?" tanya Tetsuya tidak mengerti.
Seijuurou mengait pinggang Tetsuya dan menariknya mendekat. "Kau yakin sudah siap, Sayang?"
Si baby blue malah merengut. "Justru pertanyaan Sei-kun yang membuatku gugup."
Seijuurou tertawa. Pemuda itu menyatukan dahi mereka. Ditatapnya lekat iris langit pujaannya. "Apapun yang terjadi, aku ada di sampingmu, Love. Ingat itu!"
Tetsuya tersenyum, lalu mengangguk.
"Good." Seijuurou menyeringai dan mengangkat satu alis. "Masih ada satu hal lagi untukmu, Love."
"Apa?" tanya Tetsuya.
Bibir Seijuurou menyerang tanpa aba-aba, bahkan sebelum Tetsuya sempat menutup bibirnya.
Satu tangan Seijuurou mengeratkan pelukan di pinggang. Sementara tangan yang lain meraih tengkuk Tetsuya demi memperdalam ciuman. Seijuurou sedang tidak ingin basa-basi. Pemuda itu langsung mengeksplorasi rongga manis sang kekasih hati.
Tetsuya melenguh dalam ciuman. Kedua lengannya mengalung erat di leher sang pangeran. Meskipun menikmati, tapi pemuda itu membatin dalam hati. Bagaimana caranya dia bertarung nanti kalau Seijuurou malah membuatnya meleleh duluan seperti ini?
Seijuurou melepaskan bibir lembut itu saat dadanya digedor pelan si baby blue. Pemuda itu menyeringai melihat si bibir merah malah cemberut dan mengerucut lucu.
"Itu doping spesial dariku, Dear." Seijuurou mengecup sayang pipi pucat Tetsuya yang kini merona. "Dan ini tidak gratis. Akan aku tagih balasannya kalau aku sedang ingin."
Tetsuya mencebik kesal. "Pervert!"
Seijuurou terkekeh geli. "Ayo, kita temui ayahmu."
Seijuurou dan Tetsuya keluar dari tempat persembunyian dengan jemari yang erat bertautan. Tanpa menyadari seseorang tengah meringkuk di bawah tanaman hias dengan tubuh gematar dan jantung berdentam-dentam liar.
~ ~ aish ~ ~
Dahi mulus Masako sukses membentur tembok.
Siapa yang akan menyangka kalau si anak tunggal kesayangan sang atasan, yang imut menggemaskan, polos tak ketulungan, yang isi otaknya tidak pernah jauh-jauh dari novel dan lukisan, tertangkap matanya tengah melakukan french kiss dengan seorang pemuda serupawan pangeran?
Apa ini mimpi?. Masako sama sekali belum mengerti. Tapi kalau mimpi, kenapa keningnya berdenyut nyeri sekali? Masako mengeluh dalam hati.
Sementara selusin pertanyaan berputar-putar dalam kepala. Siapa? Kenapa? Bagaimana?
Masako menarik napas panjang, memaksa jantungnya agar lebih tenang. Berusaha kuat, wanita itu mengintip ke sudut persembunyian. Masako tersentak saat sang buruan ternyata sudah hilang.
Masako buru-buru bangun.
Soal siapa, kenapa, dan bagaimana di dalam kepalanya bisa diurus belakangan. Sekarang ini, ada masalah urgen yang harus segera diselesaikan.
Masako bergegas meluncur menuju ruang utama, dengan lihai membaur bersama pengunjung lainnya. Tanpa kentara, Masako mengambil ponselnya, lalu mengaktifkan fitur kamera.
~ ~ aish ~ ~
Kuroko Takeshi, Sang Master, berdiri dengan gagah. Dada membusung bangga. Senyum ramah ditebar ke segala arah.
Pameran di galerinya selalu menarik perhatian.
Para awak media berbondong-bondong memberitakan. Para akademisi berebut tempat untuk menimba ilmu dalam penelitian. Para kolektor berlomba menambah koleksi lukisan. Para bangsawan membanjiri orderan dengan harga miliyaran.
Di galerinya, ada satu lukisan yang selalu jadi incaran para jutawan.
Namun tak pernah ada yang bisa meluluhkan hati Sang Mater agar rela menjual, meski harga yang ditawarkan kelewat tidak masuk akal.
Taman Surga.
Proyek pertama putranya. Yang tak akan pernah dia serahkan pada siapa saja. Sekalipun yang datang sesosok dewa sungguhan penghuni surga.
"Maaf, lukisan ini tidak dijual. Galeri kami masih punya banyak koleksi cantik. Mari, saya tunjukkan."
Begitulah Sang Master selalu menolak. Dan hanya senyum datar yang dia berikan jika sang penawar mulai mendesak.
Kuroko Takeshi baru akan kembali melangkah ke depan lukisan yang lain saat lengan jasnya ditarik-tarik seorang anak kecil.
"Otou-sama..."
Sang Master melihat ke bawah, dan terkekeh melihat putra kecilnya cemberut sambil menyodorkan sebatang lolipop rasa vanilla.
"Ya, Ryu." Sang Master membungkukkan badan, lalu mengangkat putranya dalam gendongan. "Ada apa?"
"Ingin makan ini." Si anak kecil, Kuroko Ryu, berujar manja. "Tapi bungkusnya tidak mau dibuka."
Kuroko Takeshi tertawa geli. Laki-laki itu dengan sabar membukakan bungkus permen, lalu memberikannya pada si kecil.
"Di mana Okaa-sama, hm?" tanyanya kemudian.
Ryu menggelengkan kepala. "Okaa-sama sedang sibuk bercerita."
Sang Master menghela napas lelah. Tidak perlu menanyakan apa maksud putranya. Dia tahu, istrinya sedang bersama teman-temannya, sibuk berbisnis barang-barang mewah.
Laki-laki itu mengecup sayang kepala putra kecilnya. Lalu beranjak menghampiri seorang bangsawan sepuh yang tengah terkagum-kagum memandangi Taman Surga.
Tapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara asing menyapa.
"Selamat siang, Master Kuroko."
Kuroko Takeshi memutar badan. Lalu dalam sekejap tercengang mendapati seraut senyum di wajah rupawan. Tak berlebihan, karena pemuda itu menganggukkan kepala dengan begitu anggun layaknya seorang bangsawan.
"Selamat siang." Sang Master membalas dengan senyum ramah.
"Saya ingin meminta sedikit saja waktu Anda, Master." Ujar pemuda itu tanpa basa-basi.
Entah kenapa, nada suara pemuda itu sungguh sulit ditolak. "Ya. Apa yang bisa aku bantu, Anak Muda?"
Si pemuda tersenyum penuh arti. "Seseorang yang paling berharga untuk saya sangat ingin bertemu dengan Anda."
Kening Sang Master berkerut penasaran. "Siapa?"
Sang pemuda hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun. Pemuda itu lalu melangkah ke samping, menyingkap profil seorang pemuda lain yang bersembunyi di balik punggung.
Sepasang manik senimannya lebar terbuka. Tertarik jauh ke dalam dominasi biru muda. Bahkan diantara jutaan kosakata, Sang Master hanya sanggup merapal satu nama.
"Tetsuya..."
Pemuda itu, Tetsuya, melangkah mendekat dengan ketenangan yang luar biasa.
"Selamat siang..." Tetsuya membungkukkan badan. "... Otou-san."
~ ~ aish ~ ~
Tiga tahun berlalu. Dan Tetsuya tidak tahu apa yang dia pikirkan tentang laki-laki itu.
Perawakannya tidak berubah, memang. Justru terlihat semakin dewasa karena bergulirnya zaman. Namun kharisma dan wibawanya bertambah kuat mengingat laki-laki itu masuk ke dalam dunianya orang-orang terpandang.
Untuk sesaat, tekad Tetsuya berubah gamang. Tetsuya bingung memutuskan apa yang harusnya dia lakukan. Karena itulah, Tetsuya hanya membungkukkan badan, lalu mengucapkan salam.
Pilihan yang salah. Karena dalam hitungan detik, perih di hatinya bertambah parah. Kenangan menyakitkan di masa lalu memancing sepasang iris samudranya mengalirkan basah. Tetsuya bertahan agar tak mengangkat kepala, menunggu sampai setitik basah itu menyerah dan jatuh ke bawah.
"Tetsuya. Kau datang, Nak?"
Suara yang menghilang dari hidupnya tiga tahun lalu perlahan mendekat. Entah bagaimana, berhasil menggali lagi tekad Tetsuya agar mengangkat kepala dan berdiri tegak.
Namun yang paling tegak pun bisa runtuh kapan saja. Tetsuya nyaris menyerah saat menerima tepukan lembut di kepala.
"Kau sehat? Bagaimana kabarmu?"
Hatinya menjerit terluka.
Telapak tangan itu masih sama. Lebarnya masih sama. Hangatnya masih sama. Irama tepukannya juga masih sama.
Bibir Tetsuya menolak terbuka. Sesak di dadanya sungguh menyika. Merangkak naik hanya untuk mencekik pita suara.
Jemarinya sudah hampir mengepal, jika tak dihalangi jemari lain yang lebih besar. Hangat di sela-sela jemarinya sungguh familiar. Obat penenang yang sangat sederhana, tapi ampuh menahan tercerabutnya pertahanan akal.
Tetsuya menghela napas dalam-dalam, sebelum menampilkan senyum menawan. "Aku sehat, Otou-san."
Ayahnya tersenyum penuh kelegaan. "Bagaimana kalau kita berbincang di kantor saja? Atau sekalian makan siang bersama?"
Anak kecil di gendongan ayahnya tiba-tiba menyela. "Aku ikut."
Ayahnya tertawa, lalu mengiyakan rajukan putra kecilnya.
Saat tak sengaja Tetsuya bertumbuk tatap dengannya, Tetsuya merasa seperti sedang berdiri di depan kaca. Sepasang biru langit itu nyaris serupa seperti miliknya. Tetsuya seakan bisa melihat pantulan wajahnya di sana.
Saat itu Tetsuya sungguh menyadari. Tak ada setetes pun rasa iri, apalagi benci yang menyeruak masuk ke dalam hati.
"Maaf." Tetsuya menggelengkan kepala. "Aku tidak akan lama, Otou-san."
Raut dewasa itu tampak kecewa. "Kenapa, Tetsuya?"
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan pada Otou-san." Jawab Tetsuya.
Raut ayahnya menegang. "Ya?"
Sungguh detik-detik yang menakutkan. Tapi genggaman jemari kekasihnya sanggup menyalurkan dukungan, sekaligus kekuatan. Tetsuya melirik ke samping, mendapati kekasihnya tersenyum hangat sambil mengangguk yakin.
Tetsuya menghadap sang ayah setegar yang dia bisa.
"Aku akan menjadi seseorang yang lebih hebat daripada Otau-san."
Tetsuya melihat sepasang iris dewasa yang dirindukannya terkesima.
"Aku pasti akan membuat Otou-san bangga."
Binar di mata ayahnya melembut, persis seperti yang selalu diingat si baby blue.
"Dan akan aku buat satu-satunya alasan Otou-san bersyukur telah hidup di dunia adalah karena dikenal sebagai ayah seorang Kuroko Tetsuya."
Deklarasi murni dari hati itu ditutup dengan sebentuk senyum indah dan setetes bening air mata.
Tak dinyana. Sorakan dan tepuk tangan mengalir begitu saja. Datang bersama decak kagum para pengunjung yang menyaksikan mereka.
Tetsuya tepana, menatap kekasihnya yang mengerling bangga padanya. Sejurus kemudian, Tetsuya kembali menatap ayahnya. Niat dan tekadnya sudah terlaksana. Waktunya mengucapkan sampai jumpa.
Untuk hari ini, cukup sampai di sini saja.
"Mungkin aku tidak pernah mengatakannya pada Otou-san. Tapi aku ingin berterima kasih sebanyak-banyaknya."
Sekali lagi, Tetsuya membungkukkan badan. "Sampai jumpa lagi, Otou-san."
~ ~ aish ~ ~
"Tunggu!"
Kuroko Takeshi tidak tahu apa yang membuatnya spontan bergerak maju. Yang dia tahu, dia harus segera menghentikan langkah pemuda itu sebelum jauh.
Bukan Tetsuya. Tapi pemuda yang sedari tadi bersamanya.
Pemuda itu berhenti, lalu berbalik. "Ada yang ingin Anda sampaikan pada saya, Master?"
Sang Master memicing. Profil pemuda ini sungguh tidak asing.
"Ah, tidak. Hanya saja, tadi kau sempat berkata bahwa putraku adalah orang yang sangat berharga bagimu." Sang Master mengulum senyum. "Apakah kalian memang sedekat itu?"
Pemuda itu menyeringai misterius. "Yah, bisa dibilang seperti itu."
"Kalau begitu..." Sang Master menepuk pundak si pemuda. "...bisakah aku meminta tolong padamu?"
Pemuda itu menganggkat satu alis, tapi tidak mengatakan apa-apa. 'Dia menunggu', Sang Master menerka.
"Tolong jagalah putraku!" Ujar Sang Master sepenuh hati. "Untukku. Atau setidaknya, untuk menggantikan posisiku."
Pemuda itu bungkam. Membuat Sang Master bertanya-tanya, apakah permintaannya keterlaluan. Karena bagaimana pun, mereka belum saling mengenal. Sampai beberapa detik setelahnya, pemuda itu justru mengulas senyum menawan.
"Saya akan menjaganya." Pemuda itu berjanji. "Bukan untuk Anda. Tapi untuk hidup saya."
Sang Master tidak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Karena bagi saya, putra Anda adalah segalanya, Master." Seringai pemuda itu tampak semakin memikat. "Dan lagi, kami bukan hanya sekedar 'dekat'."
Frasa 'dekat' yang diucapkan pemuda itu sungguh mengusik batin. Entah bagaimana, terdengar sangat intim. Lagipula, Sang Master sangat yakin kalau pemuda itu memang tidak asing.
Pembawaan yang angkuh namun anggun. Seringai tampan tapi mematikan. Dan surai merah menyala yang mencolok mata.
Tepat saat otak Sang Master memunculkan sebuah nama, putranya muncul tiba-tiba dari balik punggung si pemuda.
"Sei-kun, ada apa?" Tetsuya bertanya. "Ada masalah?"
"Tidak ada apa-apa, Tetsuya." Jawab si pemuda.
"Kita pulang sekarang?" Tetsuya bertanya lagi.
Pemuda itu mengangguk menyetujui. Namun Sang Master kembali menginterupsi.
Sang Master sangat ingin memastikan. "Apakah kau..."
"Ya." Pemuda itu menyela. "Siapapun yang Anda pikirkan sekarang, saya pastikan Anda benar."
Tanpa diduga, pemuda itu mendadak menarik Tetsuya. Tanpa ragu melingkarkan lengan di pinggangnya. Lalu melumat lembut bibirnya di depan sekian banyak pasang mata.
Pekik terkejut sontak menggema di mana-mana. Disusul rentetan kilatan cahaya menyilaukan dari puluhan unit kamera.
Sang Master reflek melihat purta kecilnya, dan bersyukur si kecil sudah tertidur di pundaknya. Saat Sang Master kembali menatap pada kedua pemuda, dia tidak bisa tidak terpana.
'Dia...' Batinnya dalam hati. '...Akashi Seijuurou.'
Seijuurou melepaskan bibirnya dan tertawa melihat pipi Tetsuya yang merah membara. Pemuda itu lalu merangkul bahu Tetsuya, menyembunyikan raut manis sang kekasih di dadanya.
Dalam sedetik yang terasa sangat lambat, mata seniman Kuroko Takeshi memasung tatap. Iris belang pemuda itu memang berkilat dingin, otoriter, namun penuh tekad. Membuat Sang Master meyakini dalam sekejap, bahwa putranya telah menemukan orang yang tepat.
Sekali lagi, pemuda itu menganggukkan kepala dengan begitu anggun. Melenggang pergi sambil merengkuh putranya, bahkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sang Master tersenyum.
Menatap punggung putranya menjauh mengirimkan gelenyar rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Karena sebagai seorang ayah, Kuroko Takeshi sudah melihatnya.
Betapa biru langit itu berbinar bahagia. Betapa senyum itu merekah seindah bunga. Bersama seseorang yang tengah menatapnya dengan pandangan memuja penuh cinta.
Sang Master menghembuskan napas lega. Mengusir sesak yang sekian tahun menghimpit dada.
Sang Master tahu putranya tak akan mendengar. Namun sebagai seorang ayah, Kuroko Takeshi sangat ingin berujar.
"Kau sudah membuat Ayah bangga, Nak. Selalu, sejak dulu."
~ ~ aish ~ ~
"Waahh... putraku keren sekali!" Ujar Miss Yuna. Wanita itu terkagum-kagum menonton rekaman hasil pengintaian asistennya.
Sementara sang asisten justru diam terpekur. Merenungi nasib lantaran kembali ingat karirnya mungkin tengah menunggu di tepi liang kubur.
Seumur hidupnya, Masako tidak pernah mengira akan berakting bak mata-mata negara. Mimpi saja tidak pernah.
Menyusup mulus diantara para pengunjung. Menyalakan kamera dan menyamarkannya diantara celah sempit pamflet dan brosur. Lalu, begitu momen incaran berbonus kejutan sepenuhnya terkumpul, dia buru-buru kabur.
Jika karirnya benar-benar tamat setelah ini, mungkin Masako bisa melamar menjadi agen CIA.
"Aku masih tidak bisa percaya." Miss Yuna mengerjap-ngerjapkan mata. Rekaman di-pause sementara. "Putraku bisa mengucapkan kata-kata sebagus itu. Belajar dari mana dia?"
Masako mendengus. Deklarasi sang Tuan Muda memang bagus. Tapi momen setelah itu justru lebih bagus.
"Daripada itu..." Masako melirik ke belakang. "...Ada bagian yang lebih mengejutkan setelahnya. Lihat saja, Miss."
Masako melanjutkan dalam hati, 'Semoga Anda tidak jantungan, Miss.'
Kening Miss Yuna berkerut penasaran. Tanpa bertanya, rekaman kembali dinyalakan. Beberapa menit kemudian, mereka hampir mengalami kecelakaan.
"APA-APAAN INI, ARAKI-CHAN?!" Sang desainer memekik kencang.
Masako reflek menutup telinga. Kawamura menginjak rem sekuat tenaga. Mobil mereka nyaris menyundul pantat truk angkutan. Momentumnya menyentakkan tubuh ketiganya ke depan.
Alhasil, dahi Masako mencium dasbor mobil. Wajah Miss Yuna mencium punggung jok supir. Sementara wajah tegang Kawamura menghantam setir.
"Yuna-sama!" Kawamura berteriak marah. "Jangan mengejutkan saya! Kita sedang di tengah jalan!"
"Jangan salahkan aku!" Miss Yuna berkilah sambil mengusap hidungnya yang memerah. "Salahkan Araki-chan yang memintaku melihat rekaman itu!"
Masako kontan mendelik. "Kalau Anda sudah lupa, itu ide Anda, Miss!"
"Sudah cukup, kalian berdua!" Kawamura menengahi dengan lagak bak seorang tetua. "Saya pikir sebaiknya kita berhenti dulu. Sikon seperti ini sangat berbahaya."
Tanpa menunggu persetujuan kedua penumpangnya, Kawamura membelokkan mobil mereka ke rest area.
"Saya mau membeli minuman sebentar." Pamit Kawamura sambil beranjak keluar.
Dalam sekejap, ruang kecil itu dirajai keheningan.
Miss Yuna mengembalikan atensinya pada si rekaman. Wanita itu amat sangat penasaran.
Bagaimana tidak, jika di dalam rekaman itu, si putra tunggal tersayang tengah berciuman mesra dengan seorang pemuda setampan dewa?
Semakin lama, matanya semakin memicing. Kening benjolnya ikutan mengeriting.
"Rasanya aku pernah melihat pemuda ini." Jari telunjuk mengetuk dagu, berusaha mengingat-ingat. "Tapi di mana?"
"Anda bahkan sudah bertemu dengannya, Miss." Sang asisten mendesah lelah. "Tapi dalam versi lebih dewasa."
Miss Yuna melempar tatap sarat tanda tanya. "Di mana?"
Masako menyungging senyum misterius berjuta makna. "Tokyo."
Rasanya seperti ditampar. Otak loading sang desainer sontak tersadar. Kedua matanya membelalak semakin lebar. Mulutnya membuka dan menutup tanpa ada suara yang keluar.
"D... Di... Dia ini..." Suara dipaksa keluar susah payah. Miss Yuna berkali-kali menelan ludah. "...Akashi Seijuurou?"
Sang asisten mengangguk mengiyakan, meski dengan raut penuh penyesalan.
Lima detik berselang, sang desainer terkenal terkapar, pingsan di jok belakang.
~ ~ TeBeCe ~ ~