"Ha—haaah..."

Satu tarikan nafas hampir saja putus.

Suara derit ranjang halus terdengar ditengah kesunyian.

Punggung habis membusur dengan seluruh kekuatan, terlampiaskan puncak yang tersentuh setelah sekian lama menahan hasrat.

Mata sayu miliknya menatap sepasang obsidian lain yang berada diatas. Tajam menusuk, mengirimkan sedikit getaran hingga keseluruh tubuh setelah sebelumnya sudah diporsir habis-habisan demi menghabiskan malam hingga menerima lelah yang sangat.

"Engh..."

Bibir merah halus yang sedikit membengkak digigit gemas, suara kekehan yang diiringi nada berat sampai kegendang telinga.

"Milikku..."

"Ah! Cuk—cukup... Akh!"

Dan seluruh nafas yang hampir mendekati normal dengan terpaksa harus kembali digenjot bersamaan dengan sentakan yang mengirimkannya menyentuh nirwana.

Ada banyak hal tak pernah dimengertinya, termasuk ketika dirinya tak ingin namun tubuhnya berkata sebaliknya. Ia berusaha menolak, tapi ia juga menerimanya.

Tak pernah sekalipun ia berpikir untuk berbuat suatu kesalahan yang fatal, namun mengapa ia merasa begitu berdosa?


I take no profit. Characters are belong to their owner, and this story is mine.

Warning(s) contain; MalexMale/Slash, R18, Highly unrecommended to someone who feels disturbed with Explicit Sexual Intercourse, Dirty Talk, Mature Content, Smuttiness a lot, am sure, noncon, etc. Unedited.


"Aku akan mengetuk jadi bisakah kau membiarkanku masuk?
Aku akan memberikan sensasi yang tersembunyi."

(EXO – Monster)


Jungkook ingat.

Ia hidup dikota Seoul bukan untuk bersenang-senang, melainkan mengejar pendidikan yang didapat dari hasil kerja keras meraih beasiswa yang total tanggungannya tak main-main besarnya.

Ia masih ingat ketika ia dengan susah payah mencapai hasil tertinggi tanpa berpikir lelah, dan menjalani hidup sebagai murid teladan yang dihargai para tenaga pengajar dan dihormati juga dibanggakan teman-temannya yang mengenyam bangku pendidikan yang sama. Ia terus menerus meningkatkan kinerja pemikirannya dan menaikkan indeks prestasinya disekolah menengahnya, hingga akhirnya sebuah surat pengantar dari universitas ternama di ibukota ditujukan langsung padanya tepat beberapa hari menjelang kelulusan karena uji kelayakan nilai masuk universitasnya yang bukan main sempurnanya.

Hingga beberapa bulan kemudian, bermodalkan restu kedua orang tua dan modal hasil dari tabungannya yang tak pernah henti ia isi, ia berangkat ke kota Seoul. Mencari apartemen murah dan menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa fakultas keguruan dengan nilai ujian masuk universitas yang ditrade sepuluh besar terbaik. Ia bertekat mempertahankan beasiswanya yang telah didapat dengan perjuangan selama kurang lebih 3 tahun.

Dan sekarang, ia hanya bisa memijat pelipis. Ia sudah melanggar salah satu larangan ibunya, berhubungan dengan kehidupan malam dikota yang keras ini. Terutama kehidupan remaja kota yang mendapat fasilitas memadai dan lepas dari pengawasan orang tua, mereka liar dan begitu bebas. Tak ada pantangan dan melewati batas sesuka mereka.

Jungkook tak ingin menerobos salah satu petuah sang ibunda, hanya saja teman sekamar diasrama kampus begitu gigih membawanya ke tempat seperti ini.

Masih ingat betul dirinya, bahwa teman aktifnya yang memiliki mata tersenyum tersebut terus-terusan merengek selama 3 hari penuh hanya untuk meminta Jungkook menemaninya kerumah salah seorang senior yang mengadakan pesta besar dirumahnya yang ternyata terbilang mewah untuk seorang pria menengah bawah yang datang dari pedataran, jauh dari kehidupan glamor perkotaan seperti dirinya ini. Jungkook bahkan ingat betul hitungannya lepas dari usaha menolak temannya yang bernama Park Jimin tersebut, namun akhirnya ia tak bisa berkata apa-apa lagi dan hanya bisa pasrah begitu dirinya diseret ke pesta malam ini karena terlalu lelah untuk berkata tidak maupun hanya sekedar menggeleng.

Suara bising musik DJ dan riuh para pria dan wanita muda yang sibuk ber-euforia menikmati malam. Jungkook tak tertarik untuk ikut masuk kedalam keributan mereka, karena ia lebih memilih berdiri menyendiri sembari bersandar pada dinding yang letaknya cukup terpojok.

Jungkook sudah risih karena dikiri kanannya sudah banyak pasangan sibuk mendua dengan dunia mereka, bahkan beberapa dari mereka ada yang tanpa malu bercumbu dan menggesekan tubuh. Membuat suasana panas setelah sebelumnya sudah terlihat menggerahkan karena hampir penuhnya orang-orang yang menggila diruang tengah rumah yang nampak luas tersebut, yang telah disulap menjadi lantai dansa.

Seluruh bagian tempat yang dapat dicapai pandangan mata Jungkook agak remang, dan hanya satu lampu khusus pencahayaan disertai lampu diskotik yang sepenuhnya berpusat pada lantai dansa. Jungkook setidaknya bersyukur dirinya berdiri disini, karena dirinya jadi tidak terlalu terlihat diantara bayangan pilar rumah dan kounter bartender dipojok kanannya.

Matanya yang berpendar sesekali menemukan wajah beberapa senior difakultasnya yang dapat dikenali atau sekedar diketahui bentuk rupanya saja. Jimin berkata, ia datang keacara ini karena kekasihnya merupakan sahabat baik dari pemilik acara. Ah, Jungkook juga baru tahu ternyata Jimin memiliki kekasih seorang senior dari semester 5. Jungkook hanya bisa memberengut sekilas, dirinya tak kenal siapa-siapa dan ia terpaksa berdiri disini tanpa berniat melakukan apapun.

Sial untuknya, berniat kabur namun ia masih belum ingat betul jalan pulang ke asramanya, apalagi dari arah rumah besar ini. Dan seakan ditumbuk ketidakmujuran berlipat, Jungkook lupa membawa kunci cadangan untuk kamar mereka. Meminta kunci cadangan lainnya pada ketua asrama? Sama saja membuat dirinya dikorbankan untuk dihukum keesokan harinya karena pulang melewati batas waktu yang ditentukan. Ia saja bingung bagaimana caranya ia pulang dengan Jimin nanti tanpa diketahui oleh Choi Seungcheol, senior semester 3 dari fakultas kesenian yang memegang wewenang sebagai ketua asrama tersebut.

"Sex on the beach atau Tequilla, Tuan?"

Dirinya menoleh kekiri dan mendapati seorang pelayan berdiri didekatnya, membuatnya menggeleng pelan. "Maaf, tapi saya tidak meminum alkohol."

"Ada yang kadarnya hanya 10%, Tuan."

"Tidak, terimakasih banyak."

Dan pelayan tersebut pun pergi setelah meninggalkan senyuman sekilas. Jungkook menekuk bibir bingung, ia tidak pernah mau menyentuh minuman seperti itu karena memang ia sangat tahu bagaimana akibatnya nanti untuk dirinya yang sama sekali bukan peminum keesokan harinya.

"Tequilla or Rum, Tuan?"

Pelayan dengan nampan lainnya. "Maaf, tapi saya tidak meminum alkohol," ucapnya lagi, "terimakasih banyak atas tawarannya" lanjutnya.

Dan pelayan tersebut pun beralih pada orang-orang lainnya, meninggalkan Jungkook yang menghembuskan nafas keras dan mengusap wajahnya.

"Baru kali ini aku melihat seseorang datang ke Night Party Namjoon-hyung hanya dengan setelan kelewat kasual."

Jungkook menoleh, dan mendapati seorang pemuda yang cukup tinggi darinya bersandar tepat hanya tersisa sejengkal dari tempatnya. Ia menyerngit, apa ada yang salah dengan penampilannya? Ia memang hanya mengenakan sebuah kaus neck-v merah dan celana baggy pendek berwarna hitam, dengan jaket hitam yang terikat dipinggangnya dan sepasang sepatu adid*s wedges berwarna senada dengan kausnya.

"Aku hanya tidak punya pakaian yang mewah."

Jungkook berucap tanpa menoleh. Ditilik dari penampilan, sepertinya pria disampingnya ini juga merupakan anak-anak kaya lainnya seperti yang ia lihat ditempat ini. Setelannya memang terlihat cukup santai, hanya saja tidak seperti dirinya yang memakai pakaian yang bahkan dapat diketahui sebagai barang murah, milik pria tersebut terlihat sangat berkelas dengan merek-merek yang jelas berada dipuncak.

"Kau tidak bersenang-senang? Ini pesta, loh."

Pria ingin sok kenal sok dekat dengannya, 'kah? Padahal Jungkook sudah mengusir secara halus pria tersebut dengan isyarat tubuhnya, tapi si pria nampaknya bergeming.

"Tidak, aku datang memang bukan berniat untuk bersenang-senang."

"Lantas?"

"Hanya menemani teman."

"Dan... dimana dia?"

"Bersama pacarnya," pelan dengusan sebal terdengar pemilik sendiri, "dan memintaku tetap ditempat sementara mereka—katanya—pergi sebentar."

"Sendirian pada akhirnya, huh?"

Jungkook hampir terkesiap ketika mendapati hembusan hangat menjatuhi telinganya. Ia menoleh, dan wajah si pria asing begitu dekat dengannya, bahkan sedikit saja ia salah bergerak maka hidung mereka akan bersentuhan. Ia sudah mau berbicara, telunjuk panjang sudah jatuh dipermukaan bibir ranumnya.

"...Bagaimana jika menemaniku?"

Posisi wajah mereka kembali menjauh, namun tatapan pria itu tetap tak beralih dari wajahnya. Ia hampir tak dapat berkata apa-apa, namun ia yakin bahwa pria ini memiliki maksud lain dibalik kata-katanya.

"Tidak, terimakasih."

Jungkook kembali menyandarkan tubuhnya kedinding. Matanya beralih, tak berniat sedikit pun kembali bersinambung tatap dengan si pemuda asing.

Satu desir dingin menyentuh permukaan tengkuk, Jungkook membelalak ketika dengan pelan pinggangnya ditarik hingga tidak sempat melawan. Tubuhnya bergeser jauh kesisi tergelap ruang, membuat sosoknya—dan pria asing—tersebut tak terlihat jelas.

"Apa yang—"

"Ssstt..."

Telunjuk jatuh dipermukaan tebal ranumnya, dirinya membelalak. Hitungan kedua wajah mereka lagi-lagi hampir tak berjarak. Ia hampir membuka mulut lagi ketika dibalik kelopak tajam tersebut tersirat kilau kecoklatan berpendar biru gelap yang menusuk langsung retinanya.

"Jarang—hampir tidak pernah," pucuk termuka hidung sudah menyentuh, "ada yang menolakku."

Jungkook merasakan kepitan diantara dinding dan tubuh tegap orang tersebut semakin menyesak. Ia hampir berespirasi dengan putus-putus. Dentum yang menghantam berulang didada mendorong naik adrenalin dari pucuk kaki hingga ke ubun-ubun. Ia bisa melawan mengingat persamaan gender, tapi mengapa iris itu seakan menyihir habis pergerakan ditubuhnya?

"Kau menolak... dan berani memalingkan wajah dariku?" wangi mint pekat itu menjatuhi pembauannya. Ia hampir mabuk dan isi kepalanya berputar. Ia keras kepala dan kakinya tetap berpaksa memijak. Ia berusaha melawan, tapi mengapa begitu berat?

"Aku suka sesuatu yang memberontak," miring sudah wajahnya, membuat Jungkook menahan nafas dalam hitungan detik. "Sesuatu terasa lebih panas, lebih banyak bergerak, dan lebih menggairahkan dan itu yang membuatnya tahan lama, bukan?"

Jungkook tahu kemana arah pembicaraan ini. Dada besar para senior yang lalu-lalang sedari tadi saja sudah membuatnya panas dingin karena malu, dan sekarang pria ini ingin menantangnya dengan tonjolan besar yang menyentuh permukaan pusarnya karena perbedaan tinggi tersebut?

Tangannya bergerak cepat—

"Hm?"

—menutup permukaan bibir yang berniat menyerang miliknya.

"Kau gila..." bisikan Jungkook masuk ketelinga pria itu, membuatnya terkekeh geli. Dan Jungkook tak perlu berpikir dua kali untuk membenarkan ucapannya.

"I am."

"Ah!"

Jungkook menarik tangan kanannya sementara yang lainnya mendorong dada pria itu spontan. Remang lampu disko membuatnya dapat samar melihat warna merah dan basahan bau yang barusan menjadi familiar sudah meruami sebagian besar telapaknya.

"Eih, gigitan kecil sudah mendesah begitu?"

"..."

"Bagaimana kalau gigitan yang lain, hm?"

Dan saat itu juga Jungkook tak sempat melakukan perlindungan kedua.

Bibir pria itu sudah memerangkap habis delimanya, memberinya gerakan kasar dan terburu-buru. Ia menggerakan tangan. Lengan pria itu melingkari habis tubuhnya, membuat mereka menempel habis. Dirinya tak bisa lari, bahkan kepalan tangannya bergerak kasar memukul punggung si pria dan yang lainnya menjambak erat surai-surai miliknya dengan tarikan yang kuat. Apalah daya nampaknya semua tak berhasil membuatnya membebaskan diri.

Dirinya merasakan dadanya panas karena nafas yang tak benar. Sudut matanya membendung cairan yang hampir menetes keluar. Geritan gigi menggesek-gesek bibir bawahnya yang tebal dan dirinya merengek kecil dengan gerakan kaki yang hampir tergelincir jatuh, jika saja dirinya tidak ditahan dengan tangan-tangan bermassa penuh tersebut.

Saat dirinya merasakan nafas kembali tersebut jatuh, kening mereka yang bersentuhan membuatnya tak kuasa memalingkan wajah.

Tremor kencang membungkus seluruh tubuhnya hingga membuatnya lemas seketika.

"Aku akan membuatmu lebih sesak dari ini."

"...Ekh..."

"Begitu sesaknya hingga kau tak bisa melihat sedikitpun celah. Aku suka menyesaki sesuatu yang panas, kau harus tahu itu sekarang."

Dan dunianya tak lagi terlihat saat ia jatuh pingsan dipelukan pria tersebut.


...:: PROLOGUE ::...

(—Unexpected Triggering Feels—)


-END-


Ide baru:") ih saya harus gimana? Saya gak mau idenya hilang makanya saya tulis duluan. Astaga ih dua fanfik lain aja masih ngestuck, wkwk.

Review aja gih, mau ini atau dua fanfik saya yang lain yang lanjut duluan? Saya idenya banyak tapi, otak saya sepantaran cuman bisa fokus nulis satu fanfik sampai selesai baru lanjutin yang lain kalau mau update cepat. Karena kalau tiga-tiganya lanjut mungkin bisa makan waktu sebulan, wkwk.

Yasudahlah, saya usahakan semuanya update. Susah ih anak kuliahan sambil kerja buat dapetin kesempatan buat nulis, sempit sekali waktunya:') kalau kalian bertanya kabar dua fanfik saya lain, saya baru ada istirahat sedikit buat ngetik lanjutannya:')

Tanggepan nya gimana tentang prolog abal ini? Ini maunya Oneshot atau Twoshot... atau Chaptered? Atau gak usah dilanjutin sekalian? /dia galau/:'D

yang mau temanan /dia kepedean/ bisa cari saja diwitter: meganetra

Samarinda, August 06th, '16.

Petra.


...:: TRAILER ::...

"Kook, kau tahu senior terkenal dari Manajemen Bisnis?"

"Tidak."

"Asal kau tahu saja, dia dari tadi menatap kesini—tepatnya kearahmu."

"...Huh?"

"Dia seperti ingin menelanjangi dan memakanmu habis."

"..."

.

.

.

"Yakin tidak mau ditemani, cantik?"

"Di—diam saja kau! Dan bisakah... kau menjauh pergi dariku barang sehari saja?"

"Eih, kau ini galak sekali, tapi kau semakin manis jika seperti ini."

"..."

"Kau begitu manis, sangat nikmat saat menyentuh ujung lidahku."

"...erm..."

"Kau marmut kecil manis yang berusaha melarikan diri dan bersembunyi dari ular berbisa yang bisa menjatuhkanmu kapan saja ia mau, kau tahu? Kau begitu mudah terbaca."

.

.

.

"Kau berani menyentuhnya?"

"Ada masalah? Kau kekasihnya?"

"Dia milikku."

"Tanpa ikatan apapun? Maaf saja, bung. Dia lebih nyaman berada didekatku."

"Kau..."

"Jawab aku. Sebutkan perbedaan jelas yang bahkan satu kampuspun tahu. Dia terlihat lebih baik saat berada disampingmu yang seperti budak penurutmu, atau disampingku yang terlihat seperti lelakinya yang begitu memanjakan dirinya dan dia terlihat tak terpaksa sedikitpun?"

.

.


Last time my breath were taken out, I've been craving the same respiration on yours only.

Will you give it purely to me?

Or do you want me to break it slowly and take it all from you?

Babe, I might be so greedy, but is that wrong to ruin such perfection?

I am inhumanly want to make you subdued to me on my fingertips.

Make you begging 'til it hard to avoid my different kind of affection.