Aku langsung terpana pada senyum menawannya, senyum lebar yang hampir menunjukkan semua giginya yang tertata rapi. Kemudian pada punggung tegapnya. Rambutnya yang bergoyang diterpa angin mengakibatkan rona merah menghiasi kedua pipiku. Sifatnya yang ramah pada setiap orang yang baru ditemuinya malah semakin membuatku tak bisa berpaling.

Kami-sama. Terima kasih telah mempertemukanku dengannya. Diusiaku yang baru menginjak limabelas, aku mengerti perasaan yang gadis lain rasakan, perasaan aneh yang disebut jatuh cinta.

.

.

.

TONARI NO IKEMEN-KUN

Tokoh yang saya pakai milik Kishimoto Masashi-sensei, saya cuma pinjem doang

Warning: typo, alur cepet, dan masih banyak lainnya

Just normal high-school romance

Don't like don't read

.

.

.

Aku hanya bisa mondar-mandir dengan cemas. Jam dinding di ruang tengah telah menunjuk pada angka sepuluh, ditambah dengan hujan lebat yang mengguyur malah semakin menambah rasa khawatirku. Setelah kejadian tadi, Sasuke pergi begitu saja. Meninggalkan handphone dan juga dompet miliknya.

Bagaimana kalau Sasuke diculik tante-tante girang atau diserang preman-preman jalanan yang mengambil kesempatan karena melihat tangannya yang terluka?

Membayangkan tubuh Sasuke yang diraba-raba oleh bibi tua yang haus akan anak muda atau tubuhnya yang babak belur semakin membuat pikiranku kalut. Aku sangat percaya Sasuke itu bocah genius dengan IQ tinggi, jadi meskipun kedua pikiran burukku tadi akan terjadi, Sasuke pasti bisa mencari jalan keluar. Tapi tetap saja, perasaanku tetap tidak enak.

Jadi kuputuskan didetik ini juga, aku berlari menuju kamarku. Menyambar jaket dan juga handphone milik Sasuke. Kemudian menuju rak yang berada di dekat pintu masuk, mengambil jas hujan dan payung. Tidak lupa dengan kantong plastik berisikan jaket milik Sasuke. Mungkin aku juga harus membawa sepatu boot milik tou-san juga. Sebelum meninggalkan gedung apartement, aku pastikan keadaan rumahku dalam keadaan terkunci.

.

.

.

Naruto bukanlah orang yang peka dalam urusan cinta. Berkali-kali didekati perempuan malah ditanggapi biasa oleh Naruto, menganggap mereka hanya mengajakknya mengobrol atau hanya sekedar berteman. Namun saat melihat teman dengan gaya rambut anehnya ini, Naruto langsung tahu Sasuke tengah menghadapi masalah. Masalah cinta kurang lebihnya.

"Ada gadis yang menolakmu?" Naruto memancing, ingin tahu reaksi seperti apa yang akan Sasuke tampilkan. Meskipun Naruto tahu, hanya gadis itulah yang bisa membuat Sasuke menampilkan raut wajah seperti ini. Sasuke tidak menjawab. Namun dari diamnya Sasuke, Naruto malah mendapatkan jawabannya.

"Apa lagi sekarang? Dia benar-benar menolakmu?" Meskipun tanpa menoleh, Naruto bisa menebak Sasuke tengah merengut sekarang.

"Hn." Naruto terbahak. Menepuk lututnya berkali-kali sebagai pelampiasan. Baru kali ini ada seseorang yang menolak pesona Uchiha Sasuke.

"Salahmu sendiri, kau terlalu lama. Seharusnya kau langsung mendekatinya, bukannya malah pura-pura berkencan dengan–dengan siapa?"

"Karin." Sasuke menjawab ogah-ogahan. Tangannya masih saja bergerak dengan lincah memainkan stik PS.

"Benar, Karin. Bukannya cemburu, dia malah biasa saja." Tubuh Naruto bergerak ke kanan, seolah dengan gerakan itu ninja yang ia mainkan juga akan ikut bergerak ke kanan. "Alasannya?"

"Hn?"

"Alasan dia menolakmu."

"Ya begitulah." Sasuke sangat malas membahas kisah cintanya yang kandas, berhubung ia tidak tahu harus pergi kemana ia dengan spontan mengarahkan kakinya ke kediaman Namikaze. Memutuskan untuk menginap satu malam di kamar Naruto.

"Begitu bagaimana?" Ingat Naruto yang tidak peka, beginilah jadinya. Bukannya menghibur, Naruto malah mengorek luka baru di hati Sasuke.

Tidak ingin Naruto mengusirnya, Sasuke sudah menyiapkan jawaban pertanyaan Naruto sebelum benda persegi panjang berwarna orange yang terletak diantara keduanya bergetar. Naruto dengan segera mempause game yang mereka mainkan.

"Teme, kau menelponku." Iris birunya langsung ia alihkan pada oniks, meminta solusi. Sasuke hanya angkat bahu tidak perduli. Kemudian kembali memainkan gamenya lagi.

Piip

"Moshi-moshi." Naruto lebih memilih mengangkat rupanya.

"Ah, Hinata. Ada apa?" Sepertinya Naruto mulai memerankan tokoh innocent sekarang.

"Sasuke?" Naruto menoleh lagi, meminta jawaban apakah ia harus memberitahukan keberadaannya atau tidak. Namun Sasuke hanya menatap Naruto sekilas. Seolah mengatakan Naruto untuk menentukan sendiri, memberi tahu Hinata atau tidak.

"Dia tidak ada disini." Meskipun terkesan tak acuh, telinga Sasuke tetap dalam mode siaga. Mendengarkan dengan seksama percakapan antara keduanya.

"Tempat yang biasa dia kunjungi? Mungkin game center atau café yang ada di dekat perpustakaan kota."

"Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Hee?! Sasuke tidak pulang? Kenapa bisa?"

"Oh, begitu. Baiklah, aku akan mencoba menghubungi yang lainnya." Bola mata Sasuke sedikit bergeser, melirik Naruto. Apa mungkin Hinata mengatakan kalau dia kabur setelah mendapat penolakan darinya.

"Baik. Kalau dia kemari aku akan bicara padanya untuk segera pulang. Sama-sama, Hinata. Selamat malam." Naruto menjauhkan smartphone dari telinganya. Menyentuh layar untuk mengakhiri sambungan telepon.

"Begitu katanya." Naruto menghadap Sasuke. Namun Sasuke tetap tidak peduli, ia terus saja bermain.

"Hinata sangat khawatir kau tidak pulang." Naruto tahu, Sasuke hanya pura-pura sibuk dengan permainannya, hampir lima tahun bersahabat membuat Naruto hapal dengan peringainya.

"Sasuke." Sangat jarang Naruto memanggil namanya, jika bukan dalam keadaan serius Naruto akan memanggil Sasuke dengan sebutan kesayangannya. Naruto bersungguh-sungguh, meminta Sasuke untuk mendengar perkataannya. Atau setiadaknya mendapat perhatian.

"Pulanglah. Hinata khawatir." Pundak Sasuke ditepuk pelan.

"Dia hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri."

"Maksudnya?"

"Ibuku dan ayahnya menyuruhnya untuk menjagaku. Cih, seperti aku anak kecil saja." Naruto menghela nafas.

"Kalau kau tinggal sendiri aku pastikan tiga hari ini kau tidak meminum obatmu, jangankan obat, makan saja pasti tidak teratur." Memang selama tiga hari tinggal bersama Hinata, kadar gizi Sasuke selalu terjaga. Hinata selalu memasakkan sesuatu untuk Sasuke meskipun itu hanya lauk sederhana seperti telur goreng. Memaksanya untuk meminum obat secara teratur, membangunkannya tiap pagi, atau yang paling penting Sasuke tahu Hinata selalu mengalah padanya.

"Aku tahu kau sengaja melukai tanganmu agar bisa tinggal bersama Hinata." Sasuke mendelik. Tidak tahu jika teman pirangnya ini menyadari alasan dibalik tangannya yang cidera.

"Akan sangat aneh Sasuke yang jago main basket terluka saat mendribel bola." Naruto tersenyum menang, untuk pertama kali ia menang berdebat dengan Sasuke.

"Hanya karena alasan sepele, melihat seorang gadis berambut indigo di luar lapangan tengah asyik berbincang dengan bocah dari kelas sebelah." Mendengar perkataan Naruto membuat Sasuke menggenggam erat stik di tangannya.

Memang itulah alasan dibalik tangan kirinya yang cidera. Minggu lalu dengan sengaja Sasuke menjatuhkan dirinya sendiri saat tengah berlatih basket. Membuat salah satu tangannya didera rasa nyeri berkepanjangan. Bahkan beberapa hari tangan kirinya membengkak dan berwarna keunguan.

Mulanya ia senang mengetahui ia akan menghabiskan seminggu masa pemulihannya tinggal bersama dengan Hinata, menggodanya habis-habisan selama tiga hari ini. Melihat raut wajah masam yang ditujukan pada dirinya, bahkan sampai bagian paling menarik, tidur satu ranjang bersama orang yang disukainya. Namun pengorbanan yang ia lakukan tidak membuahkan hasil sama sekali. Secara tidak langsung ia ditolak mentah-mentah oleh gadis yang dia taksir diam-diam.

"Jadi kembalilah." Sasuke semakin goyah, ia tahu atau bahkan sangat tahu Hinata akan mengkhawatirkan dirinya. "Hinata bahkan sampai pergi mencarimu." Meskipun Hinata tidak bilang jika ia pergi mencari Sasuke, telinga Naruto terlalu tajam untuk tidak mendengar suara hujan yang menjadi backsound percakapan antara dirinya dan Hinata tadi.

Onyx dimata Sasuke membola. Dipikiran awalnya, Sasuke pikir Hinata hanya menunggu di dalam rumah bukannya pergi menembus derasnya hujan untuk mencari sosok ayam jantan yang selama ini mengganggu harinya. Tanpa menunggu, Sasuke langsung membanting benda hitam ditangannya. Berdiri tergesa meninggalkan kamar yang rencananya akan ia tinggali untuk malam ini.

.

.

.

Mengabaikan rasa dingin yang menembus kulitnya, Hinata berjalan tergesa menuju tempat yang dimaksud Naruto. Sebuah cafe yang berada tidak jauh dari perpustakaan kota. Hinata sudah berkeliling disekitar game center tadi dan tidak mendapati batang hidung mancung Sasuke. Oleh karena itu, ia segera melangkahkan kakinya ke tempat terakhir yang memiliki kemungkinan keberadaan Sasuke di dalamnya.

Jalanan tentu sangat sepi, mengingat hari sudah malam dan hujan mengguyur deras. Membuat Hinata tidak perlu harus berdesak-desakan di trotoar. Limabelas menit waktu yang ditempuh Hinata untuk sampai, namun lavendernya disuguhi suasana cafe yang gelap gulita, pertanda jika cafe itu sudah tutup. Hinata mendesah kecewa, mungkin ia terlalu lama berputar-putar disekitar game center tadi. Jika seperti ini, ia harus kembali berpikir tempat mana yang kemungkinan akan Sasuke datangi.

Saat Hinata akan beranjak dari tempatnya berdiri, mata bulannya menangkap siluet hitam yang sangat dihapalnya. Berdiri mematung sekitar duabelas meter dari tempatnya berdiri. Hinata hendak berlari mendekatinya jika orang yang selama ini ia cari malah berlari ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan, huh?!" Hinata menelan ludahnya. Suara nyaringnya seolah dapat menembus suara derasnya hujan.

"S-Sasuke." Mulut Hinata seolah bungkam. Tidak pernah Sasuke berteriak sekeras ini padanya. Bahkan kalimat yang sudah ia siapkan jika bertemu dengan Sasuke seolah menguap akibat tatapan tajam itu.

"Kenapa mencariku?" Setelah berteriak, nada dingin yang Hinata tangkap. "Bukannya kau tambah senang jika aku tidak kembali?"

"Bukan seperti itu."

"Lalu apa?!" Sasuke kembali berteriak, ia sangat kesal sekarang. Namun sesaat ia tersadar, dia bukanlah siapa-siapa bagi Hinata. Dirinya hanyalah seorang yang telah Hinata kenal sedari kecil, bukan keluarga ataupun kekasih. Tapi saat mendengar Naruto mengatakan Hinata mencarinya, membuat Sasuke hilang akal. Pergi begitu saja dari rumah Naruto dan berlari sekuat tenaga untuk sampai ke tempat ini. Mengabaikan tubuhnya yang basah kuyub akibat derasnya air hujan.

"Aku khawatir padamu Sasuke." Kalau hal ini, Sasuke sudah dengar banyak dari Naruto, namun mendengar Hinata mengucapkan langsung padanya membuat amarah Sasuke yang entah apa penyebabnya menguap seketika.

"Kau pergi begitu saja, meninggalkan ponsel dan juga dompetmu." Hinata mengeratkan genggaman pada gagang payungnya. "Kau juga tidak membawa kunci rumah."

"Lalu kau mencariku?" Hinata mengangguk, sebagai buktinya payung transparan itu bergerak naik turun.

Sasuke seketika sadar apa alasannya membentak Hinata tadi. Rasa khawatir yang juga mendera dirinya karena Hinata mencarinya di malam hari ditambah dinginnya suhu saat ini akibat hujan.

"Kau dari mana saja?"

"Doko ni mo."

"Uso." Hinata tentu sadar akan penampilan Sasuke saat ini, pakaian yang sama seperti sore tadi. Bedanya, kaos merah itu tampak sangat basah akibat tetesan air. Hal ini semakin membuat rasa khawatir Hinata semakin bertambah.

"Hinata soal pembicaraan tadi–" Kalimat Sasuke terpotong akibat melihat ungu pucat yang sekarang mengarah padanya. Tatapannya seolah hanya terfokus pada wajahnya. Tubuh Hinata yang memang lebih pendek dari tubuhnya membuat Sasuke harus menunduk untuk semakin mendekat. Nafas Sasuke seolah terhenti saat tangan kanan Hinata menyentuh pelan pipinya, berangsur-angsur kebawah menuju bibir atasnya. Mengusapnya pelan.

"Sasuke–" Hinata sedikit berjinjit untuk ikut mengeliminasi jarak mereka. Entah kenapa Sasuke malah sedikit menutup matanya ketika nafas hangat menerpa kulit wajahnya. Semakin dekat jarak mereka hingga Sasuke kini memiringkan kepalanya. Sedikit lagi hingga dua bibir itu saling bersentuhan, jika saja–

"Ingusmu keluar banyak." Jika saja Hinata tidak mengelap bagian bawah hidung pemuda jabrik itu.

Membuat Sasuke langsung menegakkan kembali tubuhnya. Dan langsung menoleh kesamping untuk memutar bola matanya bosan. Selalu saja moodnya rusak akibat perbuatan Hinata. Kadang ia bertanya, gadis pendek ini tidak peka atau memang seperti inilah kelakuannya jika bersamanya.

"Ah! Tubuhmu basah, kau pasti sangat kedinginan. Pegang."

Sasuke semakin jengah saat Hinata mengobrak-abrik tas plastiknya hanya untuk menemukan sekotak tissue dan handuk. Tidak lupa sekarang gagang payung itu berpindah pada tangan kanan Sasuke. Memayungi tubuh keduanya.

"Kau akan masuk angin kalau bajumu basah seperti ini." Mulailah sesi ibu-ibu versi Hinata. Tangan Hinata mengusap rambut jabrik Sasuke keras dengan handuk, seolah dengan cara itu rambut mencuatnya lekas kering. Tidak lupa tissue yang menempel disetiap sisi wajahnya, lalu masih dengan handuk yang bertengger di bahu Sasuke, Hinata mengeluarkan sesuatu lagi dari kantung plastiknya.

"Termos hangat."

Bahkan suaranya terdengar seperti robot kucing biru tanpa telinga sekarang. "Dengan termos hangat setidaknya sedikit membuat kulit dinginmu menjadi sedikit hangat, jangan lupa dengan sesuatu di dalamnya. Coklat hangat kesukaanku." Ditambah dengan penjelasan panjang lebar tentang apa kegunaan ia membawa benda berwarna silver itu. Sasuke bergumam dalam hati, menyalahkan isi termos yang dibawa Hinata. Seharusnya dalam keadaan seperti ini Hinata membawa matcha yang merupakan minuman kesukaannya, bukannya malah coklat hangat.

Sasuke biarkan Hinata terus berceloteh tentang apa saja yang ia bawa. Dan juga membiarkan barang yang dibawa gadis itu menempel pada seluruh tubuhnya.

.

.

.

Sarapan pagi ini terasa amat canggung. Sasuke yang biasanya berulah mendadak menjadi tenang kali ini. Dalam sarapan mereka kemarin-kemarin, pasti ada saja yang Sasuke keluhkan tentang masakannya. Yang kurang asinlah, kurang matanglah, atau sebagainya. Mengatakan tidak mau makan kalau rasanya amburadul–tidak jelas. Namun meski begitu, Hinata selalu mendapati mangkuk nasi dan piring lauk Sasuke kosong tak berisi. Diam-diam Hinata tersenyum, sifat Sasuke yang sedikit tsundere tidak terlalu cocok dengan tampangnya.

"Warukatta na. Kinou." Lamunan Hinata langsung buyar mendengar permintaan maaf dari Sasuke. Walaupun singkat, Hinata tahu Sasuke tulus mengucapkannya.

Hinata menggeleng sambil tersenyum. Tidak ada yang harus dimaafkan tentang kejadian kemarin. Kalau empat hari yang lalu ada. Banyak malah.

"Iie. Aku juga minta maaf." Tentang berpikir untuk mengutuk dan mencincangmu tempo dulu, batin Hinata dalam hati. Dan juga tentang kemarin.

"Lupakan apa yang aku katakan. Anggap aku tidak pernah bilang begitu."

"Hm." Hinata mengangguk kaku. Mana bisa gadis itu menganggap Sasuke tidak pernah mengatakan bagaimana perasaannya padanya. Pernyataan yang butuh waktu agak lama sehingga Hinata sadar tentang perasaan Sasuke.

Setelahnya mereka kembali diam. Kembali berkutat pada sarapan mereka masing-masing. Seolah saling menghindari topik pembicaraan tentang kejadian kemarin.

"Bagaimana?" Canggung, Hinata harus mengalihkan suasana ini.

"Hn?" Bagus, Sasuke terlihat berpatisipasi dalam pengalihannya.

"Rasa masakannya."

"Seperti biasa, tidak buruk." Keduanya saling pandang. Sasuke yang baru sadar dengan perkataannya dan Hinata yang baru sadar dengan maksudnya. Secepat kilat mereka berdua mengalihkan wajahnya ke arah berlawanan. Entah kenapa, Hinata ikut-ikutan Sasuke yang menoleh kesamping, melirik sekilas dan mendapati ada sedikit rona merah tipis pada wajah pemuda itu. Dan mau tidak mau Hinata juga sedikit merona akibatnya.

"Kanchigai shinaide, hanya...um...hanya nasinya yang rasanya lumayan."

Keluar sudah sifat malu-malu kucing Sasuke. Sifat yang Hinata anggap tsundere akut itu hanya Sasuke perlihatkan padanya saja. Membuat bibir Hinata sedikit berkedut, kalau enak bilang saja tidak usah sok seperti itu.

"Ja, tidak usah makan lauknya kalau begitu!" Hinata menarik piring lauk milik Sasuke, memakan semua sosis dan juga tamagoyaki dengan satu kali suapan.

"Oi, Hinata. Kenapa kau memakan semuanya?!" Sasuke berdiri, mencegah sosis terakhir di piringnya masuk ke dalam mulut gadis itu.

"Khatanyha kkau shuka nashinya sazza." Dengan mulut yang penuh dengan lauk, Hinata memaksa untuk bicara. Membuatnya terlihat lucu dengan pipinya yang menggelembung dan matanya yang menyipit.

"Mana ada sarapan hanya dengan nasi saja. Ck, kau ini. Berikan lauk punyamu." Meskipun lauk milik Hinata tinggal separuh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun saat Sasuke hendak menarik piring milik Hinata, ada barikade berupa dua tangan yang menghalangi Sasuke.

"Langkahi mayatku dulu, Uchiha." Di mata Sasuke, tampilan wajah Hinata tak lebih dari wajah dai maou-sama dengan satu mata menyala. Kalau begini mana berani Sasuke mengambil lauk milik Hinata, jika ia masih sayang dengan nyawanya, lebih baik jangan.

.

.

.

Haruno Sakura selalu mengajak–menyeret lebih tepatnya–Hinata untuk selalu datang ke ruang olahraga pada Kamis sore. Langsung menggandeng lengan sahabatnya setelah bel pulang sekolah. Tujuannya hanya satu, supaya mereka berdua bisa berada pada barisan paling depan. Melihat secara live latihan klub basket laki-laki. Kebiasaan yang sudah menjadi agenda rutin keduanya semenjak tahun pertama.

"Cepat Hinata, kita akan dapat barisan belakang lagi seperti minggu kemarin." Hinata berlari tergopoh dibelakangnya. Meskipun ia juga menantikan untuk segera sampai, tapi ia tidak sefanatik teman merah mudanya itu.

"Tidak! Tempatnya sudah penuh!" Langkah Hinata ikutan berhenti saat kaki Sakura mengerem mendadak.

"Padahal pemainnya saja belum datang." Hinata geleng-geleng kepala, takjub dengan fenomena alam yang ada di depannya. Gym sudah dipenuhi dengan siswi dari tiap angkatan, seingatnya minggu lalu kumpulan itu tidak sebanyak sekarang. Dari tempatnya berdiri, Hinata mendengar bisik-bisik jika latihan kali ini, sekolahnya akan melawan Suna–sekolah yang berada di kota sebelah. Jadi tidak heran banyak yang ingin menonton latihan tanding ini.

"Ah, kali ini kita tidak bisa melihat bagaimana kerennya Sasuke-kun." Seorang siswi disampingnya mengeluh dengan nada kecewa, Hinata hampir mengenal semua siswi disini, tentu saja, karena kebanyakan adalah penggemar ayam jantan itu.

Hinata juga sedikit menyayangkan karena tidak bisa melihat Sasuke bermain kali ini, tangannya yang cidera harus diistirahatkan supaya bisa sembuh total. Tapi saat mendengar jeritan yang amat nyaring, atensi Hinata beralih ke arah lapangan. Dengan mata lavendernya, Hinata melihat Sasuke ikut berbaris bersama tim basket, dengan seragamnya, dan juga dengan sepatu olahraganya. Rasa khawatir langsung mendera gadis Hyuuga itu.

Tidak mungkin Sasuke bermain, dia pasti akan berada di bangku cadangan. Batin Hinata.

Tapi sepertinya dugaannya meleset jauh, bukannya duduk di kursi pemain, Sasuke malah terlihat sedang melakukan pemanasan dengan teman satu timnya.

Apa dia tidak perduli dengan tangannya? Kalau tambah parah bagaimana?

Spekulasi negatif terus saja menghantui pikiran Hinata, mana ada orang dengan luka seperti itu memutuskan dengan gegabah bermain basket. Kecuali dia sepaham dengan Misugi Jun di Capt. Tsuba yang bersi keras tetap bertanding, tapi sayangnya fanfic ini bukanlah bergenre sport melainkan romance, untuk itu sepertinya Hinata harus mengingatkan Sasuke kembali.

"KYAAAA~SASUKE-KUUUUN!" Hinata geram sendiri, teriakan nyaring melengking keras di telinga kanannya. Bahkan dari paduan suara itu, Hinata bisa mendengar suara Sakura yang ikut-ikutan. Bahkan sepertinya yang paling keras. Dalam hati Hinata heran, bukankah gerombolan siswi disini adalah penggemar Sasuke, apa tidak ada satupun yang khawatir melihat pemuda itu ikutan bertanding dengan tangan yang cidera? Apalagi Naruto yang ada di sebelah Sasuke, apa Namikaze itu tidak mencegah temannya sama sekali? Atau hanya dirinya saja yang heboh sendiri disini?

Ditengah kalutnya pikiran Hinata, secara tak sengaja kedua teman masa kecil itu saling menatap. Tidak lama karena Sasuke yang memutus kontak mata itu duluan, membuat Hinata semakin yakin jika Sasuke akan bunuh diri seperti Misugi. Disaat seperti ini dibutuhkan seorang manajer cantik yang menghentikan sang kapten yang gegabah, tapi Hinata sama sekali tidak melihat manajer cantik itu. Melainkan melihat seorang manajer dengan potongan batok yang terlihat malah menyemangati Sasuke dengan menggunaakan 'semangat masa muda'. Kalau begitu, bukannya mundur, Sasuke malah semakin terbakar semangatnya.

Dareka! Tolong sadarkan temanku yang satu itu!

Sudah sepuluh menit waktu berlalu, menunjukkan kedua tim yang sudah siap bertanding. Bahkan di detik-detik genting seperti ini tidak ada satupun yang ingin menghentikan Sasuke, bahkan fans-nya lebih mementingkan ego mereka sendiri untuk melihat betapa kerennya temannya yang sedang bermain basket.

Jadi selama ini ia memperhatikan Sasuke?

Jangan salah paham, dia tidak hanya memperhatikan, tapi dia sangat perduli terhadapnya. Maka dengan menghetikan harapannya, Hinata berjalan cepat ke arah pinggir lapangan tempat tim basket sekolahnya berkumpul. Mengabaikan ratusan pasang mata yang kini menatapnya dengan tanda tanya besar.

"Apa yang kau lakukan, boke?" Hinata dengan mengumpulkan segenap keberaniannya berdiri di samping Sasuke dengan menarik tangan kanannya. Membuat semua orang yang ada di sana memperhatikannya.

"Hinata." Bagi Sasuke, pemuda itu tentu saja bingung mendapati teman masa kecilnya berdiri disni. Mungkin pertanyaan Hinata sebaiknya dibalik pada gadis sendiri.

"Sudah tahu tanganmu cidera, kau masih saja mau bermain." Cengkraman Hinata semakin erat menggenggam tangan Sasuke. Kalaupun bisa Hinata ingin membuat tangan kanannya cidera sekalian supaya Sasuke sadar.

"Ayo pulang." Dengan itu, Hinata menyeret Sasuke keluar dari tempat itu. Dan kembali mengabaikan pandangan tidak suka yang pasti dilayangkan untuknya.

Oke, cukup. Semua itu hanya khayalan Hinata. Maaf atas ketidak nyamanannya.

Mana berani Hinata melakukan hal seperti itu. Dirinya masih tetap di tempatnya kok, tak beranjak seinci pun. Melakukan hal yang ia bayangkan tentu akan merusak prinsip hidupnya saat SMA. Jadi dengan berat hati Hinata hanya bisa berdoa supaya tidak terjadi apa-apa pada temannya.

Brukk

Bahkan sebelum Hinata selesai, hal yang menjadi ketakutannya terjadi. Dengan matanya sendiri, Hinata melihat Sasuke terjatuh di dua menit setelah pertandingan dimulai. Membuat semua orang yang berada disana memekik. Termasuk Hinata.

Maka tanpa menunggu, khayalan yang tadi sempat Hinata pikirkan langsung saja terealisasi. Berlari dengan kecepatan penuh ke arah Sasuke yang mulai di pindahkan ke pinggir lapangan. Untuk kali ini, Hinata lebih cepat dari lainnya. Berjongkok di samping tubuh Sasuke yang terbaring.

Oh my God.

Sepertinya hantaman bola tadi membuat kesadaran Sasuke menghilang. Jangan tanya siapa yang melempar bola dengan kekuatan super jika bukan Naruto. Membuat Sasuke yang hendak menangkap lemparan bocah kuning itu dengan tangan kirinya yagng cidera, malah meleset membentur kepalanya.

"Akh! Sasuke! Kau baik-baik saja?!" Itu suara Naruto, terdengar panik dengan keadaan temannya. Jika saja Naruto menoleh kebelakang, ada ratusan tatapan membunuh untuk anak tunggal Namikaze itu.

Hinata melihat kelopak mata Sasuke mulai terbuka, memperlihatkan iris hitamnya yang langsung bergulir ke arahnya. "Sasuke, kau tidak apa-apa?" Hinata berusaha untuk tidak ikut panik seperti Naruto melihat temannya sedang terkulai tidak berdaya. Hanya anggukan pelan yang membuat Hinata mengerti Sasuke mendengarnnya.

"Permisi." Seorang perempuan dengan membawa sebuah handuk basah tiba-tiba menyela tempat Hinata. Membuat Hinata sedikit tersungkur mundur menjauh dari Sasuke.

"Sasuke-kun, kau baik-baik saja?" Gadis dengan rambut merah itu mengelap keringat yang membasahi wajah tampan Sasuke dengan handuk. Memperlihatkan betapa khawatirnya ia pada pemuda berambut ayam itu.

Hinata yang merasa perannya tidak dibutuhkan disini, memutuskan untuk pergi. Memberikan ruang pada orang lain untuk mengurusi Sasuke. Namun ketika Hinata hendak berdiri, ada sesuatu yang menghentikannya dan juga membuatnya terbelalak kaget di saat yang sama.

Kedua hal itu adalah tangan Sasuke yang menggenggam erat tangannya, mencegah Hinata untuk tidak pergi dari tempat itu. Dan satu lagi adalah.

"Kita harus mengantar Sasuke pulang." Kata dari si pelatih basket, Maito Gai desu.

.

.

.

.

.

.

TBC