#BukanSinopsis
Buat kamu yang sakit, semoga cepet sembuh. Buat kamu yang baper, semoga cepet senyum lagi. Mari menyongsong hari dengan peeenuh syemangat~~~
#binhwan #ikon #t #yaoi
LOST
3
"KIM HANBIN!" suara kecil Jinhwan melengking bersamaan dengan sosok tinggi Hanbin membuka pintu apartemen dan melangkah keluar menuju koridor tanpa menoleh. Tak dihiraukannya derap kaki tergesa yang mencoba menyusulnya dari belakang. Di jarak yang lebih jauh sebuah teriakan lain ikut menggema.
"JINAN HYUNG!"
Dan entah kenapa suara itu mendadak membuat tangan Hanbin mengepal kuat, darahnya terasa mendidih seketika.
"Hanbin-ah!" Jinhwan berhasil meraih lengan kemeja kekasihnya, mencengkeramnya kuat, mematri kaki pada lantai, mencoba untuk mengajak Hanbin berhenti tepat di tempat dia berdiri. Hanbin memang bergeming kemudian. Tidak melawan, tidak membantah, tidak menepis tangan yang lantas beralih menggenggam jemarinya. Namun di sisi lain namja itu juga tidak berbalik, tidak menghadap Jinhwan apalagi menatap wajah maupun matanya seolah dia sedang tidak ingin melihat kekasihnya tersebut.
"Ini tidak seperti yang kau lihat." Jinhwan mencoba menjelaskan. Napasnya terdengar terengah. "Aku bisa menjelaskan semuanya."
Tak ada jawaban. Hanbin masih terdiam di tempatnya tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Bin-ah..." Jinhwan memanggil nama kesayangan Hanbin, mencoba untuk merajuk, mengeluarkan aegyo yang selama ini dia simpan dan dia benci hanya demi meluluhkan ekspresi keras lelakinya sekarang.
Namun namja yang lebih muda tetap bergeming. Perlahan dia menghela napas, menarik pelan tangannya dari pegangan Jinhwan.
"Aku akan mendengarkan penjelasanmu, tapi tidak sekarang, Jinan," desisnya lalu kembali melangkahkan kaki, meninggalkan Jinhwan yang ganti terdiam menatap punggung lebar pacarnya beranjak menjauh.
"Hyung!" sosok jangkung lain muncul dari belakang Jinhwan dengan dua tangan masing-masing menenteng sepatu namja mungil itu. "Kau meninggalkan sepatumu," ujar Junhoe sambil berlutut, meletakkan Converse putih di depan masing-masing kaki Jinhwan yang tanpa alas dan nampak memerah dibekukan lantai kotor koridor yang dingin.
"Iya..." bisik Jinhwan, suaranya terdengar gamang dengan mata menyorot kosong. "Dia juga meninggalkanku..."
Junhoe mendongak, mencari manik mata Hyung-nya lalu mengalihkan pandangan pada Hanbin yang tengah berdiri di depan lift. Sebentar kemudian namja tersebut kembali memandang Jinhwan dan terkejut ketika menemukan dua pupil sahabatnya sudah digenangi oleh air bening.
-o-
Beberapa jam yang lalu,
Dari semua yang disukai Hanbin, hal inilah yang paling menjadi favoritnya. Duduk di lantai dengan tangan menyangga dagu, jendela memperlihatkan langit biru cerah tanpa awan—
Nguuung~
—ditemani sejuk suara kipas angin—
"Sederhananya, definisi dari literatur Korea adalah suatu struktur sastra atau tata bahasa yang berasal maupun diciptakan serta ditentukan oleh orang Korea sendiri dan bukan merupakan saduran atau tiruan dari sastra asing—"
—dengan melodi indah yang meluncur dari bibir tipis sang kekasih yang tengah duduk di depannya menghadap sebuah kitab suci berisikan pembahasan mengenai sastra Korea dengan sebuah kacamata minus nangkring di atas hidung dan bolpoin terayun-ayun di sela jari.
Hanbin tersenyum seperti orang idiot, tak mampu mengalihkan mata dari Jinhwan yang masih melanjutkan penjelasannya mengenai dasar-dasar sastra Korea, membiarkan pena menganggur di dekat buku tulis yang seharusnya dia isi dengan catatan dan inti dari ceramah panjang sang pacar.
"Kau mendengarkanku atau tidak, Kim Hanbin?" tegur Jinhwan begitu sadar cengiran di wajah namja yang duduk di depannya tak kunjung berubah dan malah semakin melebar parah.
Hanbin mengangguk tanpa pikir panjang, masih tersenyum mengagumi wajah mungil Jinhwan yang menurutnya nampak lucu hari ini dengan kacamata membingkai dua manik sipit laksana sobekan lubang celengan, kulit putih yang terlihat bening diterpa oleh cahaya matahari dari lebar jendela membuat titik-titik tahi lalatnya menjadi lebih jelas menghias, dan—inti penampilan seorang Kim Jinhwan siang itu—rambut poni yang mulai tumbuh memanjang lalu dikuncir satu ke atas menggunakan karet gelang menjadikannya mirip tangkai apel.
Aigoo kyeowoo~ Hanbin tidak bisa menemukan obyek pandangan yang lebih menarik dari ini meski dia sudah hampir mengelilingi Korea untuk memuaskan nafsu memotretnya.
Kim Jinhwan memang yang terbaik. Jjang!
"YAH! Kau mendengarkanku atau tidak, hah!?"
BRAK!
Hanbin terlonjak di tempatnya duduk begitu mendengar pekikan suara kecil Jinhwan disusul gebrakan buku di atas meja yang mana langsung membuat benda itu bergetar seolah akan terbelah menjadi dua saking ada orang yang menghantamkan kamus setebal ratusan halaman dengan begitu keras di permukaan kayunya. Dengan gugup namja tersebut memandang kekasihnya yang sudah merah padam mencengkeram pinggiran kamus, lalu dia sok menyibukkan diri meraih pena dan hendak menulis sesuatu.
Menulis apa? Tidak ada satu pun penjelasan Jinhwan yang tersangkut di kepalanya sama sekali.
"A-anu..." Hanbin mendesis.
"ANU ANU APA!?" Jinhwan menyembur. "Sedari tadi aku mengoceh, kau diam, aku pikir kau mendengarkan, tapi ternyata—!?"
"Aku mendengarkan kok, aku dengar." Hanbin berkilah.
"Kalau begitu ulangi yang baru saja aku katakan. Semuanya!"
Namja yang lebih muda seketika menelan ludah. Terpatung. Memutar mata. Mencoba mengingat-ingat penjelasan Jinhwan soal sastra Korea yang barusan terlontar, namun yang bermunculan di benaknya hanyalah 'Wah, Jinan lucu sekali hari ini', 'Rambut apelnya kyeo~', 'Suaranya indah', 'Dia terlihat pintar dengan kacamata itu. Cocok sekali!'.
Hanbin mengembalikan tatapan pada kekasihnya.
"Saranghae," cetusnya kemudian, langsung membuat namja mungil di depannya mengetatkan geraham kuat-kuat.
"Hehe..." Hanbin nyengir tanpa dosa.
.
"Jinan, aku tidak bisa melakukannya! Aku tidak bisa belajar begini! Kau harus membantuku, Jinan!" Hanbin merengek dari ruang duduk namun hanya ditanggapi dingin oleh kekasihnya yang sedang menyeduh kopi di dapur.
"Berhenti mengeluh seperti bayi dan lakukan saja!" Jinhwan melanjutkan dengan gerutuan, "Salah siapa kau tidak mendengarkan penjelasanku dan malah melamun kemana-mana."
Hanbin merengut, menjatuhkan tatapan pada buku sastra yang terbuka di hadapannya lalu dia menarik napas. "Definisi dari literatur Korea adalah suatu struktur sastra atau tata bahasa yang berasal maupun diciptakan—" namja itu membaca setiap kata dan baris tulisan kecil-kecil di buku dengan suara keras, mengeja seperti anak TK.
Tak lama kemudian Jinhwan masuk ke ruang duduk dengan membawa dua buah cangkir yang mengepulkan asap di tangannya.
"KOPI!" sorak Hanbin begitu melihat cairan hitam kental mengisi cangkir yang diletakkan di hadapannya.
"Lanjutkan!" hardik Jinhwan yang langsung membuat senyuman kekasihnya hilang.
"Ne," jawab Hanbin patuh, kembali meneruskan membaca materi sastra Korea yang harus dia pelajari dan sedang dia usahakan untuk bisa lulus ujian tengah semester setelah merengek berhari-hari meminta Jinhwan untuk mengajarinya.
"Bahasa Korea itu gampang, kau menggunakannya setiap hari dan bahkan mempelajarinya sejak SD. Bagaimana bisa kau tidak tahu?" tanya Jinhwan di sela-sela kesibukan menyeruput kopi dari dalam cangkir. Dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja tak jauh dari sofa.
"Beda!" tukas Hanbin. "Bahasa Korea yang aku gunakan untuk bicara ini 'kan prakteknya sementara yang aku butuhkan adalah teori. Lagipula materi yang ada di SD, SMP, SMA hanyalah materi dasar, tidak serumit ini." Dia menunjuk buku tebal yang masih terbuka menyebalkan di depan matanya. Seumur-umur Hanbin tidak pernah sekali pun membaca buku setebal ini. Panduan kelas fotografinya hanya memiliki dua atau tiga lembar modul dan referensi yang paling tebal yang pernah dia baca tidak lebih dari seratus halaman. Ini adalah kali pertama Hanbin menenggelamkan wajah pada alkitab (super) tebal dan seketika merasa kagum kekasihnya dapat tahan kuliah bertahun-tahun membaca buku yang lebih cocok digunakan sebagai bantalan tidur tersebut.
"Wah, sepertinya membacamu sudah menunjukkan hasil," celetuk Jinhwan. "Cara bicaramu sudah persis seperti dosenku," imbuhnya. "Lanjutkan." Dia memungkasi.
"Jinaaan~" Hanbin mulai merengek. "Aku bosan. Bacakan untukku. Aku tidak bisa belajar seperti ini. Tidak ada praktek ataupun membongkar kamera. Aku bosan, Jinan~ aku bosan, aku bosan, aku bosaaan~" pemuda itu ambruk ke karpet dan mulai berguling-guling.
"Yah!" bentak Jinhwan. "Berhentilah bersikap kekanakan!" ujarnya merasa kesal pada rengekan Hanbin dan sikap manja namja itu.
"Tapi aku benar-benar tidak bisa mempelajari hal seperti ini. Aku tidak sanggup. Aku tidak cocok. Aku menyerah." Pemuda yang lebih tinggi menelungkupkan badan, diam, bersikap seolah dia adalah salah satu dari karpet kulit hewan yang biasa di pajang di rumah orang-orang kaya. Setelah agak lama baru Hanbin beranjak, merangkak perlahan mendekati kekasihnya lantas menjatuhkan kepala di salah satu paha Jinhwan, mengusel-uselkan wajah di sana dan namja yang lebih tua membiarkan dia. Jinhwan sibuk mengusapkan ibu jari pada layar ponselnya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Hanbin, dengan penasaran bangkit lalu duduk bersandar pada tubuh mungil kekasihnya, ikut memandang layar ponsel yang sedang menunjukkan laman chat pribadi sang pemilik. Bola mata Hanbin beralih ke nama akun yang diajak mengobrol oleh pacarnya dan seketika dia melengos.
"Junhoe mengirim pesan banyak sekali. Apa yang terjadi dengannya?" desis Jinhwan masih mengusapkan jari ke atas, membaca satu demi satu balon percakapan yang dikirim sepihak sejak satu jam lalu yang sama sekali tidak dia sadari getaran kedatangannya.
Hyung, kau ada dimana?
Hyung...
Aku perlu bantuan, Hyung.
Hyung, balas aku!
Jinan-Hyung!
Please!
Kau ada dimana, Hyung?
Hyuuung TTTTTTTTTT
Jinhwan tiba di kalimat terakhir.
TELPON AKU, HYUNG! TTTTTTTTTT
Jinhwan berdecak. "Anak itu pasti tidak punya pulsa makanya hanya mengirim pesan." Dia keluar dari laman chat menuju home dan baru akan menekan nomor ponsel Junhoe ketika tangan Hanbin menghentikannya. Si namja mungil menoleh kaget. "Wae?"
"Apa yang biasa terjadi padanya waktu mengirimimu pesan seperti ini?" tanya Hanbin mengarahkan ujung dagu ke layar ponsel Jinhwan.
Kekasihnya memutar mata sejenak. "Banyak sih, Junhoe sering minta tolong dengan cara begini." Dia memandang Hanbin. "Wae?" tanyanya lagi.
"Aniya." Hanbin melepaskan jari Jinhwan. "Aneh saja. Dia minta tolong seolah hidupnya sedang terancam bahaya," desisnya lalu mendengus sementara pemuda di sebelahnya cuma mengerutkan kening.
Kenapa sih?
Jinhwan menekan nomor telpon Junhoe—adik kelas di jurusan Sastra sekaligus sahabat lama dan orang yang dia kenal sejak SMA—baru juga ringtone berbunyi, panggilan sudah serta merta dijawab.
"Jun—" kalimat Jinhwan terpotong oleh sebuah teriakan.
"HYUUUNG!" suara Junhoe menggelegar di speaker ponsel.
"Yah, ada apa!?" tanpa sadar Jinhwan ikut berseru, punggungnya tegak dan wajahnya tegang sampai membuat Hanbin yang masih bersandar padanya nyaris luput jatuh ke lantai. Dengan keheranan namja yang lebih muda menatap kehebohan kekasih mungilnya.
"HYUNG! SELAMATKAN AKU, HYUNG! TOLONG AKUUU!" suara Junhoe sangat keras memenuhi speaker telpon dan terdengar begitu panik seolah nyawanya sedang terancam atau dia akan tertabrak kereta subway.
"Yah! Apa yang terjadi padamu!? Apa maksudmu!? Junhoe-ya!" seru Jinhwan.
"HYUNG! WA—UWAAA, HYUNG TOLOOONG! UWAAAAA!"
Pip.
Tut tut tut, sambungan terputus.
"Junhoe-ya! Kau kenapa!? Halo? June?" Jinhwan memandang layar ponselnya dengan tatapan khawatir. Dia menoleh pada Hanbin yang membalas dengan mengedipkan mata diam.
"Kita harus ke sana, Bin-ah," desis Jinhwan lantas bangkit berdiri dan beranjak ke kamar tidak sadar jika Hanbin sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu.
Namja yang lebih muda masih duduk di tempatnya, menghela napas panjang dengan gusar.
Junhoe lagi, Junhoe lagi!
.
Ting, pintu lift baru akan terbuka namun Jinhwan sudah mendesak keluar, tubuh kecilnya dengan mudah menyelip ke dalam celah lalu dia segera berlari meninggalkan Hanbin yang terpaksa bersabar menunggu sampai pintu benar-benar terbuka.
"Jinan, tunggu!" seru Hanbin mengikuti kekasihnya yang sudah menghilang membelok di tikungan.
Jinhwan mempercepat langkah dan berhenti di depan sebuah pintu salah satu kamar apartemen yang tertutup rapat. Dor! Dor! Dor! Dia memukulkan telapak tangannya.
"Junhoe-ya, buka pintunya!" panggil Jinhwan. "Goo Junhoe!"
Sunyi, tak ada jawaban.
"Kenapa kau yakin dia ada di rumahnya?" Hanbin tiba dengan napas terengah.
"Entahlah," jawab Jinhwan tidak masuk akal, dia kembali menggedor pintu apartemen Junhoe. "Junhoe-ya, kau di dalam? Jawab aku!"
Masih hening.
"Hanbin-ah, bisakah kau mendobraknya?" tanya Jinhwan membuat mata kekasihnya melotot.
"Buka saja pakai password, kenapa harus mendobraknya?" Hanbin menunjuk kotak berisi tombol angka di sebelah pintu.
"Aku tidak tahu kodenya," geleng Jinhwan.
"Aku bisa dituduh merampok kalau mendobrak pintu rumah orang sembarangan," tolak Hanbin.
"Terus bagaimana..." suara Jinhwan mengecil. "Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dia di dalam sana? Bagaimana kalau dia jatuh dan pingsan, berdarah, lalu kita terlambat menemukannya dan dia sudah mati kehabisan darah—"
Hanbin berdecak keras, mengulurkan tangan untuk meraih namja mungil yang berdiri gelisah di sampingnya, kedua telapak besar pemuda itu menangkup pipi halus Jinhwan dan menatap matanya dalam.
"Tenanglah, Jinan. Kau terlalu panik, kecemasanmu berlebihan. Junhoe akan baik-baik saja. Dia akan baik-baik saja jadi tenanglah dulu. Hm?" ujar Hanbin seperti mantera dan ajaib, Jinhwan bergeming seketika. Namja tersebut diam, memegang tangan yang masih berada di wajahnya. Hanbin tersenyum, memajukan kepala untuk mendaratkan sebuah kecupan di dahi kekasihnya.
"Tenanglah," ucapnya untuk yang terakhir seraya menepuk pelan pipi Jinhwan layaknya seorang Oppa sedang menghibur adik perempuannya.
Jinhwan menghela napas, memandang daun pintu sekali lagi, mengangkat tangan, hendak mengetuk kembali di saat bersamaan benda tersebut terbuka. Si namja mungil terlonjak kaget, pun dengan Hanbin yang berdiri di sebelahnya.
"Junhoe?" desis Jinhwan lebih kaget melihat penampilan adik kelasnya. Pemuda tinggi itu nampak berantakan, hanya memakai kaos putih polos dengan celana pendek, rambut acak-acakan, dan wajah pucat berminyak seolah dia baru saja bangun tidur.
"Hyung..." bisik Junhoe. "HYUNG!" dia menghambur ke depan dan segera memeluk erat Jinhwan hingga namja yang lebih tua nyaris tenggelam dalam dekapannya.
"Yah, apa yang terjadi? Lepaskan! Woy! Sesak!" Jinhwan memukul-mukul tangan Junhoe yang masih melingkari badannya, sedangkan di dekat mereka Hanbin termangu diam.
"Hyung, selamatkan aku. Tolong aku, Hyung," tangis Junhoe begitu sudah melepaskan Jinhwan.
"Ada apa? Apa yang terjadi padamu?" tanya sang kakak kembali merasa cemas melihat mata adiknya berair.
"Gawat. Pokoknya gawat sekali. Masuklah dan lihat sendiri." Junhoe menarik lengan Jinhwan, membuatnya berjalan paling depan memasuki rumah sementara dia bersembunyi, berpegangan pada pundak kakaknya dari belakang.
"Tunggu," Hanbin menahan tangan Jinhwan sekejab mengundang tatap mata bersamaan dari dua orang calon sastrawan tersebut.
"Apa ada yang berbahaya di dalam?" tanya Hanbin pada Junhoe.
"Sangat berbahaya!" jawab pemuda yang seumuran dengan sungguh-sungguh. Jinhwan bergantian menatap mereka.
"Aku akan melihatnya dulu." Hanbin bermaksud untuk masuk mendahului namun kain mantelnya segera diraih oleh pemilik rumah.
"Aku tidak yakin kau bisa mengatasinya," ujar Junhoe, raut mukanya menampakkan keyakinan yang mendadak malah membuat Hanbin berdecak keras. Dia menepis tangan dari bajunya lalu melangkah memasuki apartemen, di belakangnya mengekor Jinhwan yang masih dipegangi kuat oleh Junhoe.
Hanbin melepas sepatu, melangkahkan kaki perlahan di koridor.
"Di dapur. Dia ada di dapur," celetuk Junhoe.
"Dia siapa?" tanya Jinhwan.
"Dia, Hyung. Menakutkan sekali," suara namja yang lebih muda kembali berubah menjadi rengekan seakan 'dia' yang dimaksud sudah melakukan hal sangat mengerikan pada dirinya. Hanbin yang mendengar percakapan itu dari depan hanya dapat mendengus sebal.
Sok imut, batinnya dalam hati. Dia memang sedikit sensitif pada Junhoe, adik kelas Jinhwan di jurusan sastra sekaligus sahabat dekat dan hoobae-nya waktu SMA. Bukan apa-apa, tapi Junhoe itu seringnya kelewatan bertingkah layaknya adik pada Jinhwan. Seperti tadi, tiba-tiba saja dia memeluk Jinhwan begitu, di depan pacarnya pula.
Junhoe sudah tahu kalau Hyung-nya berkencan dengan Hanbin namun dia sering pura-pura lupa—atau mungkin memang sengaja tidak peduli—dan masih saja bersikap manja pada namja yang hanya dia kenal selama setahun di SMA tersebut. Pemuda tiang itu suka memeluk Jinhwan, menyandarkan kepala padanya, mengusel-usel dia dan orang yang lebih tua hanya mengatakan 'kyeo~' pada sikapnya. Iya, memang kyeo untuk Jinhwan tapi mengesalkan untuk Hanbin. Yang lebih membuat sebal, si namja mungil sama sekali tidak keberatan ataupun punya niatan menegur hoobae-nya, setidaknya untuk sedikit menjaga sikap kalau sedang ada sang pacar di sekitar mereka.
Jinhwan seolah cuek, beranggapan jika selama Junhoe hanya sekedar adik baginya maka dia akan tetap menjadi seorang adik tanpa peduli mau bagaimana tingkah lakunya. Sementara untuk Hanbin yang punya rasa posesif pada kekasih hati, tentu tidak bisa berpikir sesederhana itu. Menurutnya Junhoe sedang mendekati Jinhwan, dengan caranya sendiri. Perlahan-lahan membangun mindset tentang seorang adik yang lucu dan menggemaskan, lalu menjadi orang terdekat, sampai datang waktu yang tepat dimana dia akhirnya dapat memberikan kesan mendalam bagi Jinhwan kemudian BAM! Jinhwan jatuh ke pelukannya.
Ah, tidak tidak tidak!
Berkali-kali Hanbin mencoba untuk menepis pikiran buruk seperti itu, menganggap dia hanya overprotektif dan iri pada kedekatan kekasihnya dengan orang lain. Dari waktu ke waktu dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak melihat Junhoe sebagai saingan, mencoba menanamkan mindset namja yang seumuran dengannya—meski dia lebih tinggi, lebih tampan, lebih punya mata yang tajam, dan lebih bisa menarik perhatian para gadis ketimbang dirinya—itu hanyalah adik Jinhwan dan tidak lebih, jadi tidak perlu terlalu dia khawatirkan.
Tapi tetap saja...!
Hanbin sekarang mengerti kenapa banyak orang mengatakan kalau cara berpikir laki-laki dan perempuan itu berbeda, logika mereka berbeda dan cara pandang mereka atas sesuatu juga bisa berada di titik yang paling berselisih. Dia sudah membuktikannya. Jinhwan adalah buktinya. Namun Jinan laki-laki... well, say it again.
Hanbin melangkahkan kaki dengan hati-hati memasuki dapur, sebelumnya dia melongokkan kepala dulu untuk melihat keadaan. Pemuda itu berdiri di mulut pintu dan memandang berkeliling pada ruangan kecil dengan meja penuh kantong cemilan yang sudah terbuka beberapa, serta westafel yang penuh oleh timbunan perkakas bekas makanan khas anak kuliahan yang tinggal seorang diri. Dia bergeming.
"Tidak ada apa-apa di sini," ujar Hanbin merasa tidak menemukan sesuatu yang aneh dari penampilan dapur Junhoe.
"Di pojokan, Hanbin-ah." Jinhwan menoel dari belakang. "Dia bilang ada di pojok dekat selang kompor gas," lanjutnya. Hanbin menoleh ke belakang dan tidak dapat menemukan sosok si pemilik rumah, hanya Jinhwan yang menemaninya.
"Mana Junhoe?" tanya pemuda itu.
"Dia bilang mau menunggu saja di luar," jawab Jinhwan menuai kerutan alis kekasihnya.
"Ada apa sih sebenarnya?" gumam Hanbin dibalas kedikan bahu namja di dekatnya.
Hanbin mendengus, dalam hati mengejek remeh.
Badannya saja yang tinggi, tingkahnya sok keren, nyatanya dia punya mental seperti bocah!
Pemuda tersebut berjalan mendekati selang kompor gas, Jinhwan masih setia mengekor di belakangnya. Hanbin berjongkok tanpa pikir panjang, melongokkan kepala meneliti sekitar dan sepasang matanya langsung melotot.
Bruk! Jinhwan hampir memekik ketika tubuh jangkung di depannya mendadak ambruk ke belakang, terlebih ketika dia kemudian bergeser mundur lebih jauh hingga membuat jarak dua meter dari tempat Jinhwan berdiri. Wajah Hanbin pucat pasi, kedua matanya melotot menyimpan teror dan mendadak napasnya terengah.
"Ada apa? Apa yang kau lihat?" tanya Jinhwan kaget bercampur khawatir. "Kau melihat ular? Ada ular di sana?" berondongnya.
Hanbin menggeleng cepat-cepat, dia menatap nanar pada kekasihnya, mulutnya terbuka seperti akan mengatakan sesuatu tapi dia tidak sanggup, sebagai gantinya pemuda tersebut menjulurkan tangan, menunjuk ke arah selang kompor gas dengan ujung jari gemetar. Jinhwan mengerutkan kening, menerka-nerka hal apa yang sudah membuat Hanbin ketakutan hingga seperti itu. Sambil mengantisipasi sesuatu terburuk, pemuda mungil tersebut memberanikan diri untuk melongokkan kepalanya ke bawah, dia mengedarkan mata dan...
Oh, itu masalahnya.
"Hyung, ketemu!?" terdengar teriakan Junhoe dari luar dapur.
"Eoh," jawab Jinhwan kalem. "Ambilkan kantong plastik, Junhoe-ya."
"Kau yakin kau hanya butuh kantong plastik, Hyung?" suara Junhoe terdengar kaget.
"Ambilkan saja! Jinhwan bisa mengatasinya!" timpal Hanbin. Sejenak kemudian suara derap langkah menggema, Junhoe pergi untuk menemukan apa yang diminta kakaknya.
"Jinan, apa dia bergerak?" tanya Hanbin penasaran karena kekasihnya nampak santai berjongkok di dekat selang kompor gas.
"Tidak, tapi kalau kau memanggilnya begitu dia akan mendatangimu," canda Jinhwan sambil tersenyum meledek yang sekejab membuat Hanbin melototkan mata lebar.
"Hyung, ini." Junhoe muncul di mulut pintu, menyodorkan kantong plastik di tangannya begitu saja membuat namja yang lebih tua berdecak keras.
"Bawa ke sini! Bagaimana mungkin aku bisa meraihnya kalau kau ada di situ?" berang Jinhwan melihat Junhoe yang bergeming di luar batas pintu dapur, empat meter dari tempat kakaknya berada.
"Nih." Entah sadar atau tidak pemuda jangkung tersebut malah melempar plastik kosong itu ke arah Jinhwan. Tanpa dosa si kantong plastik melayang-layang ringan di udara, mengambang sejenak, lalu jatuh tergeletak dengan anggun kembali ke dekat kaki Junhoe. Sudah pasti, dia 'kan plastik kosong.
"KAU BODOH ATAU APA, HAH!?" Jinhwan meledak. Serta merta Hanbin mengambil kantong plastik di kaki Junhoe lalu mendekati Jinhwan dan menyerahkannya, kemudian namja itu kembali menjauh dalam sekejab mata.
Jinhwan mendengus keras, memasukkan tangan ke dalam kantong plastik, menggunakannya sebagai sarung tangan, lantas namja tersebut berbalik dan seketika terpaku.
"Lho? Kemana dia pergi?"
Wajah Junhoe dan Hanbin memutih seketika, bersama mata mereka membelalak lebar.
"EMERGENCY!"
"AAARGHH!"
"TELPON POLISI!"
"911!"
"SWAT!"
"PEMADAM KEBAKARAN!"
"BERLINDUNG!"
"KABUR!"
Jinhwan menggeretakkan gigi.
"JINAN, PERGI DARI SITU!"
"HYUNG, SELAMATKAN DIRIMU!"
"POLISI!"
"EOMMAAA!"
"BERISIK! INI CUMA KECOA! BUKAN AKHIR DUNIA!" Jinhwan berteriak sekuat tenaga, melampaui kehebohan dua namja tiang di belakangnya yang sudah kalang kabut melebihi cacing kepanasan dan seketika mereka berdua diam bersamaan.
"Diam—" napas Jinhwan terengah, antara lelah karena baru saja berteriak dan menahan marah.
"Kalau kalian takut kalian keluar saja. Biar aku yang menangkapnya." Pemuda mungil itu melepas mantel, menyandarkannya di kursi setelah mengambil ponsel dan kembali berjongkok di dekat selang kompor gas. Dia menyalakan senter pada ponselnya, mencoba mengamati hingga ke sudut-sudut gelap terdalam. Sementara di dekat pintu, dua orang namja yang lebih tinggi, lebih macho, dan diakui dapat membuat para wanita hamil hanya dengan satu kedipan mata mereka, hanya dapat berdiri bersisian dengan kaki gemetar serta wajah memucat pasi.
"J-Jinan, berhati-hatilah," gumam Hanbin tak kuasa menggerakkan kakinya yang seolah terpaku dalam pada bumi.
"Eoh," jawab Jinhwan singkat, masih mengamati sekitar tempat serangga berwarna hitam tadi menghilang.
"H-Hyung, b-berjuanglah," imbuh Junhoe.
"Oke," sahut Jinhwan asal. "Sejak kapan kau melihatnya, Junhoe-ya?" dia bangkit berdiri, memandang sekeliling, mencoba untuk mencari sedikit lebih jauh.
"P-pagi tadi waktu aku mau makan. Dia ada di meja," jawab Junhoe bergetar.
"Makanya aku selalu bilang padamu untuk bersih-bersih 'kan." Jinhwan mengomel.
"Tapi aku sama sekali tidak membuka pintu ataupun ventilasi, Hyung. Jadi aku pikir tidak mungkin hewan seperti itu bisa masuk ke sini." Sang hoobae membela diri.
"Tetap saja bisa!" tukas Jinhwan. "Mungkin dia masuk dari bawah pintu atau malah kau sendiri yang membawanya ke sini. Dia sudah hinggap di bajumu sejak awal dan terbawa masuk kemari," ucap pemuda tersebut asal tanpa memikirkan akibat dari kalimatnya yang sekejab langsung membuat kepala Junhoe pening.
Dihinggapi kecoa sampai masuk ke rumah... membayangkannya saja Junhoe sudah mau pingsan.
"Tidak ada." Jinhwan berkacak pinggang. "Dia pasti bersembunyi. Akan sulit untuk mencarinya. Tunggu saja sampai dia muncul lagi."
"Ah, Hyuuung~" Junhoe menyahut dengan rengekan panjang. "Bagaimana bisa aku menunggu sampai dia muncul lagi. Bagaimana kalau selagi aku menunggu tahu-tahu hewan itu sudah berpindah tempat? Bagaimana kalau dia mendadak terbang? Bagaimana kalau dia masuk ke dalam makananku? Ke minumanku? Ke kopiku!? 'Kan warnanya sama-sama hitam!"
Hanbin menutup mulut, merasakan perutnya tiba-tiba mual mendengar semua penggambaran Junhoe.
"Tenang saja, kau tidak akan mati hanya karena memakan kecoa," ujar Jinhwan santai yang segera dibalas oleh dengungan panjang adik kelasnya.
"Hyuuuuunggg!"
"Tidakkah kau punya obat serangga?" Hanbin menyeletuk, lama-lama panas juga kupingnya mendengar aegyo yang seolah dibuat-buat itu—well, kalau pun tidak dibuat-buat Hanbin juga tidak peduli. Orang sensitif memang rentan sewot pada semua yang dilakukan obyek emosinya.
"Semprot saja dengan obat serangga," pungkas namja tersebut.
"Aku tidak bisa..." Junhoe mencicit.
"Dia pernah keracunan obat serangga, Hanbin-ah. Dia tidak bisa memegang benda seperti itu." Jinhwan yang menjelaskan dan entah kenapa malah membuat namja yang lebih muda menoleh dengan mata tajam padanya.
Berhentilah membela anak ini! Hanbin berteriak di dalam hati, menahan kesal pada pemuda mungil yang cuma menatap lugu.
"Hyung, temani aku sampai kau berhasil menangkap kecoa itu. Tinggallah di sini," pinta Junhoe kembali membuat mata Hanbin nyalang melibasnya.
KAU PASTI BERCANDA 'KAN?
Jinhwan tinggal di rumah Junhoe...
Dia tinggal di sana...
Makan, mandi, tidur, memakai pakaian pendek...
Meski mungkin mereka sudah pernah melakukannya di masa lalu sebelum kemunculan Hanbin, mereka tidak boleh mengulanginya lagi kali ini. Tidak! Tidak selama Hanbin masih bernapas, masih menjadi pacar Jinhwan, dan dia tidak akan pernah mengijinkannya dengan alasan apapun! Titik!
Jinhwan memutar mata, nampak berpikir, dan di dekatnya Hanbin diam menunggu, dalam hati tak bisa berhenti merapal mantera 'Jangan diiyakan, jangan diiyakan, jangan diiyakan, jangan diiyakan, jangan diiyakan.'
"Aku—" kalimat Jinhwan terputus oleh suara sebuah ringtone ponsel. Sekejab semua orang merogoh saku mereka dan mengecek ponsel masing-masing namun cuma Hanbin yang berakhir dengan menempelkan telpon ke telinganya.
"Halo," sapa namja tiang itu. "Aku lupa alamatnya. Aku sedang ada di luar sekarang." Pemuda tersebut memberi isyarat untuk menjauh sebentar yang dijawab anggukan oleh kekasihnya.
"Hyung, aku mohon tolong temani aku. Aku tidak bisa tidur kalau masih ada hewan itu di rumah." Kembali Junhoe memelas.
"Aku tidak bisa, Junhoe-ya," desis Jinhwan.
"Wae~~~" seketika namja yang lebih muda merengek seperti anak kecil minta kue coklat.
"Hanbin tidak suka aku menginap di rumah orang lain."
"Kim Hanbin lagi, Kim Hanbin lagi." Bibir Junhoe cemberut maju. "Kenapa kau sangat menurut padanya, Hyung? Dia cuma pacarmu, dia bukan suamimu!" nada suaranya berubah ketus.
Jinhwan menghela napas sabar. "Kau pernah mengalaminya juga, Junhoe-ya. Jangan bersikap seolah-olah kau tidak tahu kehidupan orang pacaran."
Junhoe membuang muka, "Aku top, aku tidak perlu menurut pada siapapun."
"Lalu apa kau tidak akan sakit hati kalau bottom-mu membantahmu?" Jinhwan membalik keadaan. Terdengar dengus napas dari adiknya.
"Goo Junhoe," ujar Jinhwan, suaranya masih rendah dan lunak, sangat enak didengar layaknya seorang kakak yang sedang menasehati adiknya dengan penuh kasih sayang. "Kau bisa menelponku segera begitu kau melihat hewan itu keluar. Aku akan langsung datang ke sini secepat mungkin. Tenang saja, aku janji." Namja yang lebih tua mengusap lengan pemuda di depannya.
"Sudah ya, aku pulang dulu. Sepertinya Hanbin dicari teman-temannya." Jinhwan hendak beranjak namun Junhoe kemudian memegang tangannya dengan kuat.
"Kenapa kau masih mengikuti orang itu, Hyung? Dia bahkan selalu meninggalkanmu untuk berkumpul dengan gengnya," tanya Junhoe, ada duri dalam perkataannya namun Jinhwan sama sekali tidak sadar.
"Hanbin 'kan memang sibuk. Aku sudah terbiasa." Pemuda mungil itu tersenyum, orang di sampingnya membalas dengan seringaian.
"Sadarlah, Hyung. Dia selalu meninggalkanmu untuk pergi dengan teman-temannya, itu berarti kau bukan seseorang yang penting bagi dia. Untuk apa kau mempertahankan orang yang bahkan tidak punya keinginan selalu bersamamu?"
Jinhwan menepis tangan Junhoe, ada jengkel menguar dari kedua alisnya yang mengerut tegas. "Sepertinya kita sepakat untuk tidak membahas ini lagi, Goo Junhoe," ujarnya.
"Aku tahu kau tidak menyukai Hanbin, tapi kau lebih tahu kalau aku tidak suka kau mengatakan sesuatu yang buruk tentang dia di depanku." Si mungil menegaskan.
"Itu bukan fitnah, Hyung. Itu kenyataan." Junhoe menukas cepat. "Buktinya dia langsung pergi begitu temannya menelpon 'kan?"
"Semua orang pasti akan mengangkat telpon yang penting, Junhoe-ya," bantah Jinhwan.
"Jadi telpon lebih PENTING daripada keberadaanmu?"
Jinhwan membuka mulut namun tidak ada satu pun kata-kata yang dia lontarkan. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa untuk menjawab kalimat Junhoe. Bukan karena dia speechless, bukan juga karena dia berpikir apa yang dikatakan adiknya tersebut benar. Dia hanya terkejut jika selama ini Junhoe bisa salah pemikiran sampai seperti itu.
Mendadak air muka Junhoe berubah. Instingnya merasakan ada sesuatu yang aneh di sekitar dia. Ada yang datang, tapi entah apa dia sendiri belum tahu. Namja tinggi tersebut mengedarkan pandangan ke samping, atas, bawah... dan matanya seketika melotot melihat seekor kecoa hitam legam tengah merayap menuju ke tengah-tengah kakinya.
"AAAAAAARRRGGHHHH!" Junhoe berteriak sekuat tenaga mengagetkan makhluk kecil yang ada di hadapannya. Pemuda itu melompat-lompat heboh, membuat serangga yang cuma numpang lewat ikut panik. Dia membelok jalannya menuju Jinhwan yang sudah terlanjur terkejut dengan teriakan Junhoe dan reflek ikut mengangkat kaki untuk menghindari binatang yang sebenarnya tidak terlalu dia takuti tersebut.
Sret, mendadak pijakan Jinhwan tergelincir membuat badan mungilnya melayang menjemput gravitasi, dia mengulurkan tangan untuk meraih sandaran kursi namun luput dan pemuda itu hanya dapat menutup mata menunggu punggung membentur lantai. Hop! Dengan cepat sepasang lengan melingkar ke belakang kepala serta tubuh Jinhwan, jatuh bersamanya, memberikan alas bagi organ fatal namja tersebut untuk tidak langsung menghantam permukaan ubin yang keras.
Bruk!
Sang kecoa melipir kabur.
"Aduh..." Jinhwan merintih merasakan kedua sikunya ngilu membentur lantai. Untuk sesaat dia tidak bergerak, hanya mengevaluasi satu per satu nyeri yang kemudian bermunculan di badan akibat kecerobohannya terbang bebas.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jinhwan pada tubuh besar yang menindih di atasnya, memeluk erat, memegangi bagian belakang kepalanya dengan protektif. Terasa Junhoe mengangguk, hangat napas menerpa kulit leher Jinhwan dan untuk itu namja yang lebih kecil menghembuskan napas lega. Setidaknya Junhoe tidak terluka apalagi pingsan setelah didatangi kecoa secara langsung.
"Bangunlah, aku sudah tidak apa-apa," desis Jinhwan namun adiknya bergeming, masih mendekap dirinya seolah tidak ingin melepaskannya lagi.
"Jinan..." tiba-tiba terdengar suara Hanbin ada di sekitar mereka membuat si mungil tersentak dan segera mengedarkan pandangan. Ada sesuatu di dalam dadanya yang terasa jatuh ketika menemukan tatapan kaget sang kekasih ditambahi oleh ekspresi tidak percaya dari wajahnya membentuk sebuah kesan shock yang sempurna.
"H-Hanbin-ah...?" desis Jinhwan mencoba melepaskan diri dari Junhoe yang masih kukuh memeluknya.
Hanbin tidak mengatakan apapun, hanya bergerak mundur, dan satu detik kemudian dia berbalik, melangkah pergi begitu saja.
"Hanbin! Kim Hanbin!" panggil Jinhwan panik. "Yah, lepaskan aku!" dia membentak Junhoe, membuat pemuda jangkung tersebut bergerak bangun lantas Jinhwan segera bangkit untuk mengejar kekasihnya yang sudah membuka pintu.
"KIM HANBIN!"
-o-
Jinhwan masih terpaku melihat sosok tinggi Hanbin yang berdiri menunggu lift. Ting, akhirnya pintu benda itu terbuka namun Hanbin masih bergeming di sana, sama sekali tidak melangkahkan kaki masuk dan hal tersebut membuat Jinhwan sadar jika dia harus mengejar kekasihnya. Hanbin sedang memberinya isyarat jika dia memutuskan untuk menunggu, untuk mendengarkan sebuah penjelasan yang masuk akal. Maka Jinhwan pun beranjak.
"Hyung," cengkeraman tangan Junhoe menghentikan pergerakan Jinhwan, membuat pemuda tersebut menoleh dengan tatap mata bercampur antara cemas, sedih, dan kesal. "Menyerahlah soal dia. Dia tidak mau mendengarkanmu sudah cukup membuktikan egonya terlalu tinggi untuk bersamamu. Lepaskan saja dia, Hyung. Dia tidak pernah mempercayaimu."
Jinhwan menatap tajam mata Junhoe. Lama. Perlahan getar muncul pada kedua maniknya dan dia menurunkan pandangan dengan bimbang. Tanpa namja mungil itu tahu, Junhoe mengangkat wajah, menemukan tatapan Hanbin tengah mengarah pada mereka. Pusat iris kedua pemuda tinggi itu bertubrukan, ada kilat di masing-masing pandangan, dan Hanbin yang pertama memutus kontak mata. Dia masuk ke dalam lift dengan Jinhwan masih berdiri memunggunginya.
-TBC-
Karena ternyata jumlah word-nya melebihi rencana, jadi Myka potong begini aja ya
Hehe
Masih tahap perkenalan sama iKon dan mungkin cuma Myka yg nekat bikin ff soal mereka sementara tahu mukanya aja enggak *stiker Cony lari melambai
Next chapter?
Bentar ya
Hehehehehehehehehehehe