LIFE
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Miina Cherry
[Uchiha Sasuke & Haruno Sakura]
.
Warning!
Alternate Universe, Out Of Character, TYPO, Three Shot, M for Theme, Cerita mainstream (maybe?), Feel kurang ngena, Kadar drama diatas rata-rata, etc.
.
DON'T LIKE, DON'T READ!
.
.
.
.
LIFE.
[PROLOG]
.
.
.
.
Enjoy Reading...
.
.
.
.
"Sakuraa, cepat turun nak! Ini hari pertamamu bekerja!"
Sosok wanita berambut merah muda sebahu itu terlihat tergesa-gesa merapikan helaian rambutnya, kembali memastikan poni yang ia buat model menyamping tertata rapi. Wajahnya yang cantik dan terkesan lembut ia beri polesan make up tipis, dilengkapi dengan lipsgloss pink yang senada dengan warna rambut. "Iya ibu!" ia menjawab.
Buru-buru ia turun dari kamarnya yang berada dilantai dua rumah mereka–keluarga Haruno. Wanita musim semi, Haruno Sakura namanya. Ia memakai stelan kantor wanita layaknya kebanyakan orang.
"Selamat pagi, Ayah Ibu!"
Kedua orang berbeda gender yang sedang sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing itu menoleh dan tersenyum pada putri semata wayang mereka, serta membalas sapaan selamat pagi darinya. Sang ayah–Haruno Kizashi–seperti biasa membaca koran ditemani segelas kopi buatan sang Ibu–Haruno Mebuki–sendiri yang sedang memasak untuk sarapan mereka bertiga.
Sakura tersenyum manis dan mendudukkan dirinya disalah satu kursi meja makan. "Hari ini adalah hari pertamaku kerja. Yaampun! Aku gugup sekali Ibu."
Mebuki terkekeh geli sambil menata makanan buatannya diatas meja. "Kau tidak perlu gugup Sakura." Ibu satu anak yang wajahnya tak termakan usia itu mengelus pucuk kepala Sakura pelan. "Anak ibu sudah besar ya.. Tak terasa, ibu ternyata sudah tua."
"Ya, kita sudah tua, dan Sakura semakin dewasa. Tapi tetap saja dia bersikap manja pada kita." Kizashi menimpali.
Bibir Sakura mengerucut lucu. "Aku tidak manja kok! Ayah saja yang berlebihan." jawabnya tak mau kalah. Mengabaikan kedua orang tuanya yang tertawa, Sakura menyuapkan nasi kedalam mulutnya. "Ah iya, hari ini aku berangkat bersama Ayah 'kan?" Kizashi mengangguk pelan sebagai jawabannya.
"Sakura, nanti malam kita makan diluar. Ibu ingin merayakan hari kerja pertamamu."
"Huh?" raut muka Sakura berubah bingung. "Astaga Ibu, aku hanya bekerja sebagai karyawan biasa, tak perlu sampai dirayakan."
"Tak apa Sakura." Kizashi tersenyum agak lebar. "Anggap saja ini sebagai kenang-kenangan."
Sakura mendelik tak suka. "Kenang-kenangan apa maksud Ayah? Ayah berkata seolah-olah kalian akan pergi saja." Mereka berdua tersenyum, tapi entah kenapa perasaan tak enak tiba-tiba menyelimuti hati Sakura. Ia menggelengkan sedikit kepalanya, tidak akan ada apa-apa.
"Sudah, cepat habiskan sarapanmu. Nanti terlambat."
"Iya!"
.
Kau menjalani hidup sebagai manusia biasa..
..melewati hari demi hari dengan bahagia–
.
Mereka bertiga tertawa ketika Sakura berkata tentang bagaimana hari pertamanya dikantor. Atasannya yang berwajah jutek, ada yang menatapnya sinis, ada yang ramah, dan lainnya. Tapi Sakura menceritakannya dengan penuh semangat, walau diumurnya yang sudah menginjak 23 tahun, ia tetap terlihat seperti gadis remaja Sekolah Menengah Atas dengan sikapnya yang kekanak-kanakan.
"Dan kalian tahu? Walau aku baru pertama masuk, tapi pekerjaanku sudah menumpuk saja!" ia mendengus mengakhiri ceritanya.
"Haha, bersabarlah sayang." Mebuki memotong steak dihadapannya, lalu menyuapkannya kedalam mulutnya sendiri. "Nanti kau akan terbiasa."
Hidangan diatas meja mereka sudah habis. Diakhiri dengan Sakura yang meminum jus strawberrynya hingga tandas. Hari sudah malam dan menunjukkan pukul setengah delapan, tapi restoran bernuansa eropa ini masih ramai pengunjung. Mereka bertiga berdiri dari duduknya, dan keluar dari restoran setelah membayar makanan yang mereka pesan tadi dikasir. Berjalan menuju parkiran tempat Kizashi menyimpan mobilnya.
Sakura tersenyum lembut dari belakang, ia berjalan dua langkah dibelakang Kizashi dan Mebuki, memandang punggung kedua orang tuanya yang entah kenapa membuat dadanya berdebar takut.
Kenapa,
Apa yang sebenarnya Sakura takutkan?
Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali, kemudian menggadah menatap bintang yang berkerlap-kerlip indah diatas langit, lalu bergumam. "Ada apa denganku?"
.
–Berfikir bahwa kehidupan yang kau jalani, akan selalu sempurna...
Tapi,
Bagaimana jika takdir mulai memainkan perannya?–
.
Mobil mereka berhenti saat lampu perempatan berwarna merah. Saat ini, mereka dalam perjalanan pulang usai acara makan malam. "Ibu sangat menyayangimu nak. Teruslah lanjutkan hidupmu," Mebuki tiba-tiba berkata sambil menatap Sakura yang tengah sibuk dengan ponselnya melalui kaca spion tengah mobil.
Sakura yang mendengar sang Ibu berkata mendongak, kedua halisnya bertautan bingung. "Apa? Kenapa ibu berkata seperti itu?" terdengar nada suaranya yang tidak stabil disana. Ia memasukkan kembali ponselnya kedalam tas.
Kizashi ikut menatap Sakura melalui kaca spion tengah, tersenyum lembut dengan kedua maniknya yang meredup. "Ayah juga menyayangimu nak."
"Ada apa dengan kalian?" Sakura menggigit bibir bagian bawahnya kencang, ia tak suka ketika melihat ketua orang tuanya yang berkata seolah-olah mereka akan pergi. "Jangan membuatku takut..."
Mebuki terkekeh pelan, tapi kekehan itu terdengar begitu lirih. "Tidak ada sayang."
Lampu perempatan kembali hijau. Kizashi menginjak pedal gas pelan, namun baru sampai tengah jalan. Sebuah klakson kencang terdengar dari arah sebelah kanan.
TIINNNN–TIIINNN–!
Orang-orang yang melihatnya berteriak kencang, beberapa dari mereka memekik kaget dan menutup mulutnya dengan kelopak mata yang melebar. "YATUHAN!"
Semuanya terjadi begitu cepat, secepat kedipan mata. Rasa sakit tiba-tiba menghampiri Sakura, tubuhnya berbentur dengan pintu mobil sebelah kiri. Ia berteriak keras ketika sebuah truk pengangkat kayu menabrak mobil yang mereka kendarai sehingga mobil ini terpental jauh, berguling beberapa kali, dan berakhir dengan posisi mobil yang terbalik.
Sakura menjerit ketika tubuhnya merasakan beribu-ribu rasa sakit yang luar biasa, ia merasakan kulitnya yang tersayat akibat pecahan kaca mobil yang pecah, apalagi matanya yang terasa sangat perih ia bahkan tak mampu membuka kedua matanya sekarang.
Ada apa ini?
Kenapa?
"AAAAAAAAAAAA–!"
Ia kembali berteriak, sebelum kesadarannya hilang. Terakhir, ia terdengar sayup-sayup suara beberapa orang yang berkata disekitarnya.
"ASTAGA! PANGGIL AMBULAN CEPAT!
.
–Kau terdiam tak berkata..
..Pandanganmu menjadi gelap, kau tidak bisa melihat apa-apa,
Bahkan kedua kakimu sendiri sudah mati rasa–
.
'TERJADI KECELAKAAN DIPEREMPATAN JALAN XXX. SEBUAH TRUK YANG MELAJU DARI ARAH JALAN XXX MELAJU KENCANG MENEROBOS LAMPU MERAH, MENABRAK MOBIL YANG BERADA DIDEPANNYA. DUA KORBAN MENINGGAL, DAN SATU MENGALAMI LUKA PARAH. SUPIR YANG MENABRAKNYA KABUR, SAMPAI SAAT INI POLISI MASIH MENCARI SUPIR TAK BERTANGGUNG JAWAB TERSEBUT.'
"Ibu, sedang menonton apa?"
Wanita berambut hitam legam itu menatap putra bungsunya yang mendekat dan mendudukkan diri disebelahnya. Ia menunjuk layar televisi didepan, disana terpampang jelas kondisi mobil silver yang sudah tak berbentuk. Rusak parah. "Sasuke, lihat. Kasihan sekali mereka, berita bilang mereka korban tabrak lari." jawabnya. Kedua manik oniksnya menatap ngeri kearah televisi.
"Hn?" Pemuda berambut hitam dengan model yang unik itu ikut menatap layar televisi. Ia diam tak menjawab, hanya memandang tampilan layar tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan.
.
–Tak ada lagi senyum yang biasa terukir diwajahmu,
Kau menatap kosong kearah depan walau kau tak bisa lagi melihat..
Kau menangis, menangis dalam diam–
.
Wanita merah muda itu terduduk diatas ranjang sebuah ruangan bernuansa putih tersebut. Kedua matanya diperban, kakinya tak bisa bergerak, seluruh badannya dihiasi perban-perban yang menutupi setiap lukanya. Sayup-sayup, ia mendengar pembicaraan dokter yang menanganinya setelah kecelakaan satu minggu yang lalu.
"Kedua matanya mengalami kebutaan karena beberapa serpihan kaca masuk kedalamnya. Kepalanya terbentur keras dengan pintu mobil, sehingga sempat mengalami pendarahan dasyat, syaraf yang terhubung dengan beberapa bagian tubuh mati. Salah satunya adalah kedua kaki, ia mengalami kelumpuhan..."
Sakura menjerit tertahan ketika mendengarnya. Pantas, pantas saja. Ia tidak bisa merasa pergerakan dikedua kakinya, pandangannya juga menjadi gelap. Sangat gelap.
Tapi, kemana Ayah dan Ibunya?
Apakah–
"Sayang sekali, kedua orang yang ikut tertabrak langsung meninggal ditempat. Tubuh mereka terjepit didalam mobil, sampai mobil itu meledak setelah mereka yang berada disana, hanya berhasil mengeluarkan wanita ini."
Sudut bibirnya tertarik keatas. Membentuk sebuah senyuman pilu, perkataan kedua orang tuanya kembali terlintas. Dimana itu adalah terakhir kalinya Sakura mendengar dan melihat senyuman kedua orang tuanya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, isakkan kecil mulai terdengar diruangan sepi ini.
"Ayah... Ibu... Kenapa Tuhan tidak membawaku juga bersama kalian?"
Diambang pintu, seorang wanita berambut pirang diikat satu ikut menangis. Melihat kondisi sahabatnya yang mengenaskan, Sakura tak bisa menyadari keadaannya karena mata wanita malang itu sudah tak bisa melihat. Yamanaka Ino menahan isakkannya. Ia berjalan pelan mendekat kearah Sakura yang tubuhnya bergetar hebat.
"Sakura.." ia berbisik pelan, Ino tersenyum pilu ketika tubuh sahabat sejak kecilnya tersentak serta kepala yang mengadah mencari asal suaranya. "Ini–i-ini aku.."
"Ino?" Sakura menangis kencang ketika dirasakan tubuhnya dibawa kedalam dekapan hangat. Sakura tahu Ino memeluknya. Kedua wanita itu menangis, meluapkan semua kesedihan yang bersarang dihati mereka.
.
–Sejak saat itu, Air matamu selalu keluar tanpa diminta,
kau sering kali menangis tanpa suara..
..sekarang–
.
Satu bulan kemudian, Sakura sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Ia duduk diatas kursi roda, kedua matanya sudah tidak lagi ditutupi perban. Kelopak mata itu terbuka menampilkan sepasang emerald yang sudah tak memiliki pupil didalamnya. Meski terbuka, apapun yang Sakura lihat sekarang adalah sama. Gelap, hitam pekat dimana-mana.
Ino yang berada tepat disampingnya berjongkok, mengelus pergelangan tangan Sakura yang putih pucat. Wanita disebelahnya kini jadi pendiam, wajahnya putih seperti mayat, bibir tipisnya yang biasa menyunggingkan senyum manis kini selalu terlihat bungkam tak bergerak, kedua emeraldnya yang sangat redup. Sakura terlihat seperti orang mati yang hidup. Kenapa begitu? Entahlah.
"Sakura. Aku membawa buah cherry kesukaanmu loh! Ayo dimakan!" Ino berkata–sedikit berteriak, guna membuat Sakura sedikit lebih baik. Namun sayang, yang Ino harapkan sangat berbeda dengan kenyataan. Sakura hanya menjawabnya dengan kata 'terimakasih' setelah itu ia kembali terdiam. Memandang kosong hamparan rumput dibelakang halaman rumahnya.
"Ino.." Sakura membuka mulutnya. Membuat Ino berbinar karena akhirnya ia mau bicara serta menoleh cepat. "Apakah orang cacat sepertiku masih pantas hidup?" Sedetik kemudian sinar binar diwajah cantik Ino terganti dengan raut marah.
"Kau ini bicara apa huh? Tentu saja kau pantas! Aku ada disini, tak ada yang perlu kau khawatirkan! Dasar bodoh!" Ino menutup mulutnya saat refleks meninggikan intonasi suara dan membentak Sakura. Astaga, ada apa dengan dirinya? Kenapa ia bisa kelepasan membentak Sakura? "S-Sakura.. Maafkan aku. Aku tidak–"
"Tak apa Ino.." Sakura menyela ucapannya dengan cepat. Jantung Ino serasa ditusuk seribu jarum ketika melihat sahabatnya mengeluarkan setetes air mata.
Ia segera memeluk tubuh Sakura yang semakin lama semakin kurus. "Maaf..." Ino kembali menangis.
.
–Kau buta, tak bisa melihat..
..Kau lumpuh tak bisa berjalan..
Bagaimana kau melewati hidupmu dengan keterbatasan fisik seperti saat ini?–
.
"Dokter... Apakah kedua mata dan kaki Sakura tidak bisa disembuhkan?" Ino berkata lirih, kedua tangannya bergetar diatas celana hitam yang ia pakai. Menatap penuh harap kearah sang dokter yang menangani Sakura sebulan yang lalu.
Dokter lelaki itu terdiam, memikirkan jawaban atas wanita pirang yang kini berada disebrang meja dalam ruangannya. Ia menghela nafas, lalu berkata. "Dia bisa disembuhkan, jika dia melakukan operasi untuk kedua matanya. Lalu, terapi berjalan untuk kedua kakinya."
Ino sumringah "Benarkah?!" Dokter itu mengangguk mantap.
"Tapi.. Biaya untuk pengobatan semua itu tidak sedikit.."
Ia membisu. Benar juga, biaya operasi mata itu pasti sangat besar, apalagi dengan menjalani terapi untuk Sakura bisa kembali berjalan. Kedua orang tua Sakura sudah tiada, Ino juga tidak bisa menghasilkan uang berjumlah besar dalam waktu singkat. Mengingat ia hanya pemilik toko bunga kecil-kecilan.
Ino menggigit bibir bawahnya kencang.
Tuhan,
Bagaimana ini?
.
–Kau hampir putus asa..
..terlintas fikiran untuk menyusul kedua orang tuamu disurga..
Sampai akhirnya, setitik cahaya kembali memberimu harapan–
.
"Selamat pagi, Uchiha-sama."
Sosok pria tampan dengan stelan jas yang terlihat mahal serta berkelas itu mengangguk sekilas, saat beberapa orang pegawai menyapanya. Uchiha Sasuke, putra bungsu keluarga Uchiha yang terpandang di Jepang, memang selalu menjadi pusat perhatian setiap harinya. Beberapa pegawai wanita diperusahaan yang dia pimpin mengerling–sedikit nakal dan juga genit–jika ia hanya sekedar lewat biasa.
Sasuke menghela nafas, ia tidak suka ditatap seperti itu.
Sifat dingin dan irit bicaranya membuat Sasuke jarang didekati para wanita. Mereka hanya berani menatap makhluk yang Tuhan pahat sempurna ini dari jauh. Tentu saja, kalau kau tidak mau mendapat tatapan sinis dan kata-kata tajam dari sang Uchiha muda tersebut, maka jangan berani selangkahpun mendekatinya. Cukup pandang dan kagumi saja dari jauh. Ah, Sasuke memang sangat sulit untuk digapai.
Ia mendudukkan diri dikursi kebanggaannya dalam ruangan kerja pribadinya. Memijat pelan keningnya yang terasa berkedut-kedut karena pagi-pagi begini sudah harus adu mulut dengan sang kakak. Uchiha Itachi yang saat ini memegang kendali salah satu perusahaan Uchiha Corporation yang lain.
Manik oniks tajamnya bergulir menoleh kearah sang sekertaris. Uzumaki Naruto, kenapa Sasuke tidak memilih sekertaris perempuan melainkan lelaki pirang dengan tiga garis dipipi yang berisik ini? Entahlah. Sasuke bukan gay yang tak tertarik pada wanita. Ia hanya tak mau kerjanya diganggu jika saja sekertarisnya adalah seorang wanita. Kalian paham kan maksudnya?
"Naruto."
"Ya Teme?"
Sasuke mendengus. "Panggil aku dengan nama 'Sasuke-san' atau 'Uchiha-sama' jika sedang dikantor. Naruto."
Pria yang ia panggil Naruto terkikik–entah karena apa. "Baiklah, Sasuke-san. Jadi, ada apa? Anda terlihat tak sehat." jawab Naruto sambil berjalan mendekat dan berdiri tepat didepan meja sang atasan.
"Hn." Hanya itu yang Sasuke jawab. Naruto yang sudah biasa mendengarnya hanya bisa memutar kedua bola mata biru langitnya bosan, ia sudah biasa dengan sikap atasannya yang satu ini. "Aku akan keluar sebentar, bisakah kau menggantikanku?"
"Tentu." Naruto menjawab cepat, tapi tak lama ia mengkerutkan dahinya bingung. "Tapi anda mau kemana?"
"Cari angin segar.." Sasuke beranjak, dan meninggalkan Naruto yang terdiam memandang punggungnya mulai menjauh. Sebelum benar-benar menghilang dibalik pintu, Sasuke berbalik dan menyeringai. "Kerja yang bagus. Dobe." dan akhirnya benar-benar pergi dengan pintu ruangan yang tertutup.
Naruto mendengus sebal. "Sialan, baka Teme." gerutunya.
.
–Membantumu, untuk kembali merasakan indahnya dunia..
..Ia bagaikan malaikat yang Tuhan kirim khusus untukmu–
.
Sakura terdiam diatas kursi roda. Telinga yang masih berfungsi itu berkali-kali mendengar orang-orang berbisik kasihan padanya. Kedua tangannya mengepal erat, ia tidak suka dikasihani. Tanpa pikir panjang, ia menggerakkan kursi rodanya, menjauh dari tempat itu. Ino sudah membuatnya menunggu lama didepan rumah sakit, ah sudahlah.
Ia terus menggerakkan kedua tangannya mengikuti insting. Sampai dari arah samping terdengar suara klakson berbunyi nyaring, diiringi teriakan orang-orang disekitarnya. Deja vu, Sakura terus memajukan kursi rodanya, ia sangat tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
–GREB!
"Dasar bodoh!"
BRUK!
Sakura merasakan tubuhnya terbawa terbang dan jatuh keatas tanah. Bukan, bukan tanah. Tapi ia yakin ini adalah tubuh seseorang. Ia menindihnya. "M-maaf–!" Sakura bangkit, kedua tangannya mengapai-gapai udara seolah berniat meraba sesuatu. Membuat orang dihadapannya mengernyit bingung.
"Nona, kau baik-baik saja?"
Jantungnya berdebar hanya karena mendengar suara berat khas lelaki yang sedikit ngebass tadi. "Ya. Sekali lagi, terimakasih." Sakura menundukkan kepalanya takut.
Pria tampan didepannya meneliti penampilan Sakura dari atas kebawah. Sasuke–pria itu–menatap kedua emerald didepannya yang tak memiliki pupil. Seketika, oniknya sedikit membulat. "Kau tak bisa melihat?" ia bertanya, melihat kepala wanita itu semakin menunduk. Sasuke berkata. "Maaf, aku tidak tahu." ia memegang sebelah tangan Sakura. "Mari kubantu berdiri."
Sakura menggeleng. "Aku.. Tidak bisa berjalan, Tuan." ia berbisik pelan.
Sekali lagi, oniksnya membulat. Ia jadi teringat pada berita ditelevisi sebulan yang lalu saat tragedi kecelakaan mengenaskan sedang gempar-gemparnya dibicarakan. Apakah, wanita ini korbannya? Dilihat dari ciri-ciri yang dulu berita sebutkan, Sasuke yakin bahwa dialah orangnya.
"Tak masalah, akan kubantu. Tunggu sebentar." Sasuke berdiri kearah kursi roda yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka terjatuh, membenarkan posisi kursi tersebut dan kembali mendekat kearah Sakura yang masih setia terduduk diatas tanah.
"Eh?" Sakura merasakan tubuhnya kembali melayang, kali ini disertai kehangatan–yang entah apa–dihatinya. Rupanya, lelaki baik hati penolongnya-lah yang menggendong Sakura dan mendudukkannya kedalam kursi roda. "Sekali lagi. Terimakasih banyak Tuan!"
"Hn. Sasuke."
Kepalanya mengadah, mengikuti asal suara diatasnya.
"Uchiha Sasuke. Salam kenal."
"A–aa, Sakura. Haruno Sakura. Salam kenal Uchiha-sa–"
"Sasuke saja." Ia memotong ucapan Sakura cepat.
Sakura tidak bodoh, ia tahu siapa Uchiha Sasuke. Pria yang memegang salah satu perusahaan Uchiha sukses dan dikabarkan bersifat dingin serta acuh pada siapapun. Dulu, Sakura pernah mendengar ketika mendiang Ibunya yang menyalakan televisi dan nama Uchiha Sasuke disebutkan disana. Kini bicara didepannya? Astaga. Walaupun Sakura tak tahu bagaimana rupanya, tapi ia merasa sangat gugup. "Baiklah.. Sasuke-san.." Tapi Sakura bisa bernafas lega dalam hati, ya setidaknya nada bicara Sakura masih bisa ia kontrol dengan sangat baik.
Tanpa Sakura tahu, seorang Uchiha Sasuke kini tersenyum tipis. Ekspresi yang pernah sekalipun ia perlihatkan pada banyak orang. Terkecuali keluarga tentunya. "Begitu lebih baik."
.
–Percaya 'kah kau..
..bahwa setiap masalah yang datang..
Pasti akan selalu ada jalan keluar.
.
.
.
.
.
To be continued...
.
.
.
.
.
A/N: Ye aye~! /muter muter pinggir jurang/ MUEHEHEHEH GOMEN NIH MINNA-SAMA :""" Miina malah buat fic baru lagi. Habisnya gimana ya aduh. Em. Itu. /apasih #dzig soalnya Old Building bentar lagi tamat. Jadi ya, Miina buat baru lagi. /ganyambung
Sekarang temanya agak dewasa nih/? Miina mau coba yang SasuSakunya udah duapulu tahunan #ngok. Semoga gaaneh ya :") tadinya mau Sasuke yang cacat/? Tapi pas difikir-fikir, ganteng-ganteng cacat. Kasian *ngelap air mata* semoga feelnya dapet. Mau cari suasana baru, agak bosen juga tiap bikin MC SasuSakunya pasti SMA. Tenang aja, ini cuma sampe 3chapter kok. Jadi yang lain masih jalan lancar(´∀`)/
Ini masih prolog jadi sengaja dibuat pendek. Moga suki ne Minna-sama *emot lope*
So, gimana tentang fic ini?
NEXT or DETELE?
Sangkyu *emot lope lagi*