War of Difference Chapter 3 *2*

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pair : NaruSasu

Genre : Romance and Angst. Ada sedikit bumbu Western.

Warning : BoysLove, Historical, typo(s), Lime, OC, M-PREG, Chara Death, dll.

.

.

Tidak bermaksud untuk menjelekkan pihak apapun, fanfic ini di buat untuk memperingati suatu kejadian di bulan Agustus pada masa perang dunia ke dua.

Damai itu indah ^_^

Jangan lupa lihat waktu dan tempatnya ya.

Happy Reading

.

.

.

Pada akhirnya...

Itu hanyalah angan-angan saja...

.

.

.

.

.

.

.

Ohayou Gonzaimasu...

Jika kau tidak tahu artinya, maka cobalah untuk mencari tahu! Memangnya aku harus selalu mengalah kepadamu hah?!

Bercanda.

Selamat Pagi.

Itu adalah artinya.

Aku tidak peduli dengan waktumu saat kau membaca surat ini, karena aku menulisnya pada pagi hari, maka aku akan mengucapkan selamat pagi kepadamu!

.

.

.

.

Semilir angin sore menerpa rambut pirangnya yang mulai memanjang, tangan coklatnya pun ia gunakan untuk merapikan poni rambutnya seraya berjalan riang menuju ke suatu tempat.

Senyum tak henti-hentinya terlukis di wajahnya, tak sabar menemui kekasih hatinya yang sudah lama tak ia jumpai.

Setelah perjanjian perdamaian itu di tandatangani, Naruto baru bisa bebas memasuki wilayah Jepang, walaupun begitu ia tetap harus berhati-hati, penduduk belum sepenuhnya memaafkan negaranya.

Jepang pasti sangatlah dendam terhadap negaranya, ia sangat memakluminya. Maka dari itu, tak capek penduduk Jepang mengutuk negaranya, meskipun melakukan itu tidak ada gunanya.

Dahinya pun berkerut saat melihat rumah yang dihuni oleh Sasuke, terlihat sangat sepi, bahkan terlihat tak terawat.

Kemanakah mereka semua?

Osaka... Juga sempat terkena bom. Apakah Sasuke dan lainnya sedang mengungsi?

Lagi-lagi ia merasa sangat bersalah dan memutuskan untuk mencari tempat pengungsian. Tempatnya berbeda dari yang terakhir kali ia ingat, dan ia sendiri pun tidak bisa sembarangan bertanya kepada warga Osaka lainnya. Bisa-bisa mereka malah salah paham.

"Hei you! Stop Please!"

Langkahnya pun mendadak berhenti, ia pun membalikkan badannya dan melihat sosok berseragam tentara yang sudah tak asing lagi di ingatannya.

Ia merasa dejavu akan kejadian ini.

"Kiba!" ia pun berseru senang seraya memeluk singkat kawan lamanya ini, "Syukurlah kau baik-baik saja, apakah kau sedang bertugas?"

Seseorang yang di panggil Kiba pun hanya tertawa kecil seraya memukul pelan punggung Naruto, "Dasar kau ini! Kenapa baru sekarang kau kemari?! Dunia telah damai sejak negaraku ini menyerah tahu!"

Wajah Naruto pun mendadak sendu, "Sudahlah, jangan bahas hal itu lagi, itu bukanlah keinginanku jika kau tidak tahu." Ujarnya seraya menggaruk belakang kepalanya tak enak.

"Aku mengerti..." balas Kiba cepat, "Sasuke pun pasti lebih mengerti." Lanjutnya seraya membalikkan badannya.

"Ayo aku antar kau menemui Menma! Dia tumbuh menjadi bocah yang cerdas! Kau pasti terkejut melihatnya yang sekarang!"

"Hahahahaha Apakah dia sekeren diriku?"

"Mungkin, hahahahaha!"

Mereka berdua pun berjalan menyusuri jalanan Osaka yang mulai dalam tahap perbaikan, sesekali mereka pun berbincang tentang masalah yang di hadapi selama Naruto tidak ada.

Jangan harap cerita yang membahagiakan, tidak ada yang bahagia dalam perang, walaupun sang pemenang sekalipun.

"Aku mendengar kabar jika Amerika Serikat sedikit bersitegang dengan Uni Soviet ya? Apakah akan ada perang lagi? Astaga... Padahal baru saja dunia ini damai..."

"Tidak sedikit lagi Kiba, kami benar-benar memiliki hubungan buruk dengan negara itu.." jawab Naruto seraya mendengus, "Tetapi tidak ada hubungannya denganku lagi, aku sudah keluar dari dunia kemiliteran. Sekarang aku membuka sebuah rumah makan sederhana di pusat kota Washington. Walaupun penghasilan yang aku dapatkan tidak ada apa-apanya dengan gajiku selama menjadi tentara, tetapi aku menikmatinya." Lanjutnya seraya tersenyum lebar.

"Woahhh? Kau pensiun dini gitu?"

"Yup!"

'Lagi pula... Bagaimana mungkin aku masih tetap menjadi Tentara setelah memerintahkan pengeboman mematikan itu?' batin Naruto dalam hati.

Mereka pun telah sampai pada sebuah rumah sederhana, rumah baru yang lebih nyaman di tinggali dari pada sebelumnya.

"Masuklah... Aku harus bertugas kembali. Hanya ada Menma sendiri di rumah dan kebetulan hari ini hari minggu, jadi ia tidak berada di sekolah hehehe.." ujar Kiba seraya berjalan menjauhi Naruto.

Naruto sendiri pun hanya menganggukkan kepalanya dan melangkahkan kakinya memasuki rumah tersebut, setelah berseru lirih 'Tadaima' ia pun lekas melepas sepatu yang ia gunakan dan masuk lebih dalam.

"Menma! Kau ada di mana?" panggilnya lebih keras, "Menma! Daddy pulangg!"

Suara tapak kaki yang terdenga terburu-buru membuat Naruto segera memandang kamar yang masih cukup jauh dari tempatnya berdiri, sesosok anak berumur 10 Tahun keluar dari kamar tersebut dan memandangnya terkejut.

"Daddy?" gumamnya tak percaya.

Naruto pun tersenyum lebar seraya berjalan mendekati sang anak yang tumbuh lebih besar dari yang terakhir kali ia lihat, kedua tangannya pun ia rentangkan dan langsung saja memeluk anak lelaki satu-satunya itu dengan erat.

"Daddy pulang..." ujar Naruto dengan mata berkaca-kaca, "Maafkan Daddy..."

Menma sendiri masih terkejut, tak percaya dengan penglihatannya kali ini.

Ayah yang ia rindu-rindukan kehadirannya ini... Telah ada di hadapannya?

Tengah memeluknya?

"Daddy... Kau benar-benar Daddy...?" tanyanya sekali lagi, takut jika ini hanyalah delusi semata.

"Memangnya kau pikir aku ini siapa sayang.." jawab Naruto cepat, ia pun sedikit merenggangkan pelukannya, membiarkan Menma melihat wajahnya dengan jelas, "Hahahaha Daddy memang terlihat lebih tua dari sebelumnya, tapi Daddy masih tetap keren kan?"

Mata Menma pun menyipit, air mata mulai keluar membasahi kedua pipinya, "Daddy..." ujarnya serak, "Aku sangat merindukan Daddy!" serunya seraya membalas pelukan sang Ayah.

"Daddy juga..."

"Sangat merindukan Menma..."

.

.

.

.

.

.

.

Apakah kau sudah bertemu dengan Menma saat membaca surat ini?

Dia sangat merindukanmu, aku sampai bingung menjelaskan apa kepada anakmu itu saat menanyakan keberadaanmu.

Dia pasti sudah besar saat ini.

Semoga saja ia menjadi anak yang pintar.

Awas saja jika kau menularkan kebodohanmu kepadanya!

Aku akan menghantuimu!

.

.

.

.

"Sakura Ba-san dan juga Ino Ba-san sedang bekerja dan tidak pulang dari kemarin, mereka tidak khawatir lagi karena aku sudah besar, lagi pula memang banyak sekali penduduk yang terserang penyakit aneh semenjak kepulanganku dari Korea."

Kini mereka berdua tengah duduk bersama di teras belakang, di temani segelas teh hangat yang spesial Menma buat untuk Daddy tercintanya.

"Dari Korea?" tanya Naruto tak mengerti.

Menma pun menjelaskannya dengan lirih, "Chici menyuruhku untuk ke Korea bersama Ba-san dan juga Ji-san, katanya aku akan bertemu denganmu di sana, karena Jepang sudah tidak aman lagi, jadi Daddy tidak akan kemari." Ujarnya.

"Kapan Sasuke mengirimmu ke Korea?"

"Aku lupa Daddy, sepertinya saat aku masih berumur 5 Tahun saat itu. Tetapi lagi-lagi Chici membohongiku, Chici bilang Daddy akan segera pulang, tetapi nyatanya Daddy tak kunjung datang." Jawab Menma sedih.

Naruto lagi-lagi merasa bersalah, Sasuke pasti selalu membohongi Menma untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.

Bicara tentang Sasuke... Apakah lelaki itu sedang bertugas sekarang?

"Chici mu tidak berbohong, Daddy lah yang tidak menepati janji Daddy buat dengan Chici. Jangan salahkan Chicimu.." ujar Naruto seraya mengelus rambut hitam Menma, "Ah, ngomong-ngomong apakah kau tahu di mana Sasuke sekarang? Aku tidak sabar lagi untuk bertemu dengannya!"

Raut wajah Menma pun berubah, ia pun menyingkirkan tangan Naruto yang mengelus puncak kepalanya, lalu berdiri dari duduknya.

"Menma sudah tahu yang sebenarnya kok Daddy, lima tahun yang lalu dunia di landa perang yang besar kan? Menma sudah tahu kok, tenang saja hahahaha!" ujar Menma seraya tertawa kecut, "Benar juga, Chici pasti sangat merindukan Daddy juga! Daddy harus segera bertemu dengan Chici!" serunya seraya menggenggam tangan besar Naruto.

"Aku akan mengantarkan Daddy menemui Chici!"

.

.

.

.

.

Ah...

Kau sudah membaca surat ini ya...

Bagaimana bisa kau membaca surat ini?

Bukankah aku menyuruh Kiba untuk memberikan surat ini jika aku gugur?

Ah...

Jika kau membaca ini..

Jadi artinya...

.

.

.

.

Naruto memandang Menma aneh.

"Menma..." panggilnya setelah melihat keadaan sekelilingnya, cukup berbeda dari yang ia bayangkan.

"Apakah markas kemiliteran Jepang telah berganti tempat menjadi sebuah pemakaman?" tanyanya tak mengerti, walaupun begitu jantungnya mulai berdegup tak nyaman.

Menma tidak menjawab apapun, ia masih tetap melangkahkan kakinya dan langsung berhenti tepat di sebuah gundukan dengan sebuah batu ukir berukuran sedang di atasnya.

"Astaga... Menma lupa tidak membersihkan tempat tidur Chici... Sebentar ya Daddy~ Menma mau membersihkan daun-daun kering dulu!" ujarnya riang seraya membersihkan dedunan kering yang mengotori gundukan tanah yang mulai di tumbuhi rerumputan hijau yang segar.

Naruto masih tidak mengerti dengan perkataan Menma, mata birunya pun melihat makam seseorang yang tengah Menma bersihkan. Ragu, ia pun memberanikan diri untuk mendekati makan tersebut, melihat nama seseorang yang mendiami makam ini.

"Nah sudah selesai! Akhirnya Chici bisa bertemu dengan Daddy! Menma tunggu di sini yaa!" ujar Menma seraya berjalan sebentar dan berhenti di belakang Naruto.

"Daddy... Ini adalah tempat tidur Chici!"

DEGG!

DEG!

Dadanya terasa terhimpit oleh sesuatu saat melihat nama yang tertera pada batu nisan tersebut. Perkataan yang Menma ucapkan seakan tanpa beban itu juga telak mengenai ulu hatinya. Pupil birunya membelalak, nafasnya mulai tersendat-sendat, kedua tangannya langsung saja menyengkram batu nisan di hadapannya, mencegah tubuhnya untuk tidak terjatuh.

"Tidak mungkin..." gumamnya seraya menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin Menma... Jangan bercanda... Daddy tidak mau bercandaan yang seperti ini!" ujarnya sedikit keras.

Menma yang sedari tersenyum, memandang tubuh Daddy nya dengan sendu, kepalanya ia tundukan dalam-dalam, tak sanggup menceritakan yang sebenarnya kepada Ayahnya.

Menma sudah tahu semua.

Ia bukan lagi anak kecil yang polos.

Ia bahkan tahu jika kedua orang tuanya tengah bermusuhan.

Ia bahkan tahu jika guncangan yang pernah ia rasakan bertahun-tahun yang lalu di sebabkan oleh negara yang ayahnya tempati.

...dan ia juga tahu... Apa yang membuat sang Chici memutuskan untuk mengirimnya ke Korea.

"Tiga jam setelah kepergianku ke Korea, aku merasakan lagi guncangan besar yang berasal dari pulau yang sebelumnya aku tempati. Nagasaki namanya, kami semua pindah ke pulau tersebut karena Chici di pindah tugaskan."

"Wajah Ji-san benar-benar sangat pucat, Ba-san mulai menitikkan air mata dan berusaha mencari tahu informasi guncangan dan juga sebuah awan berbentuk jamur yang sempat aku lihat, sebelum Ji-san menyuruhku untuk bersembunyi."

"Keesokan harinya, aku melihat mereka bertiga menangis tanpa sanggup mereka tahan. Aku juga mendengar tentara-tentara Jepang yang berada di sekitar sana berbicara tentang 'Nagasaki di bom atom! Bom itu jatuh kembali!' dan lambat laun aku menyadarinya..."

Menma mengangkat wajahnya yang telah berlinangan air mata, "Jika Chici menjadi salah satu korban bom besar tersebut."

.

.

.

.

.

.

Aku sudah mati ya?

Kapan aku mati?

Aku menulis surat ini pukul 5 pagi sebelum aku mengantarkan Menma ke Pelabuhan.

Kalau tidak salah, aku menulis ini pada tanggal 9 Agustus. Yahh kalau aku tidak salah, aku tidak memperdulikan hari di tengah situasi perang ini.

Kalau aku boleh tahu... Aku mati karena apa?

Terkena dampak radiasi dari bom Hiroshima... atau terkena serangan tentara-tentaramu?

Atau karena lainnya?

Ah, lupakan.

Intinya, aku sudah mati.

Karena kau membaca surat ini.

.

.

.

.

.

Tidak mungkin...

Naruto pun jatuh terduduk, matanya memandang kosong batu nisan di hadapannya, bibirnya selalu bergumam seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tidak mungkin...

Katakan kalau ini semua bohong Sasuke!

Cepatlah datang dan tonjok aku sekeras-kerasnya!

Sasuke...

Sasuke...

"Kau pasti masih hidup kan...? Kau pasti membohongiku kan?" racaunya, ia pun memandang sekelilingnya dengan kalap, "Cepat keluar Sasukee! Hajar aku sepuasmu! Kau boleh menghajarku hingga aku babak belur! Sasukee! Dengarkan akuu!"

"Daddy..."

"Sasukee! Cepat datang dan hajar akuu!" Naruto pun berdiri dari duduknya dan berlari meninggalkan areal pemakaman. Ia akan mencari Sasuke, jika perlu ia akan berlari mengelilingi Jepang untuk menemukan Sasuke.

Pasti mereka berdua kompak mengerjainya.

Tidak lucu!

"Daddy! Chici sudah meninggal! Chici tidak ada lagi di sini!"seru Menma seraya berlari mengejar Naruto, "Berhenti Dad! Percuma saja!"

Tetapi Naruto tak mendengarkannya.

Atau bisa di bilang...

Menolak untuk mendengarkannya.

.

.

.

.

.

.

.

Apakah dunia telah damai?

Bagaimana rasanya? Apakah menyenangkan?

Sayang sekali aku tidak bisa menikmatinya.

Tetapi, kau, Menma, dan lainnya wajib menikmati damainya dunia ini!

Ah ya!

Apakah Jepang dan Amerika Serikat sudah berdamai?

Tenang saja, aku sudah memaafkan negaramu kok.

Maaf aku tidak bisa menengok rumahmu di sana.

Tetapi kau bisa membawa Menma ke sana.

Jika Menma mau, dia bisa menjadi seorang American sepertimu.

Cepat ceritakan kepadaku!

Bagaimana damainya dunia saat ini!

.

.

.

.

.

.

.

"Sasuke! Teme! Jangan bercanda! Kau belum mati! Kau pasti selamat dari ledakan itu!" teriak Naruto kalap, warga-warga yang mendengar teriakannya pun hanya memandang aneh dirinya.

"Sasuke..." ia pun jatuh tersandung bebatuan di sekitar jalanan di pinggir pantai, tak lekas untuk bangkit dan memilih tengkurap seraya menyembunyikan wajahnya.

Pundaknya bergetar dengan hebat, tak kuasa lagi menahan kesesakan di dadanya, terserah jika orang lain menganggapnya cengeng saat melihatnya saat ini, ia tidak peduli.

"Aku akan melakukan apapun untuk kedamaian dunia ini. Setelah itu kita akan tinggal bersama, bertiga saja. Entah dimana saja yang penting aku bisa selalu bersama kalian."

"Hn."

..

Dia seorang pembunuh.

Jika Sasuke benar-benar mati... Maka dia lah pembunuhnya.

PEMBUNUH!

Rasa-rasanya, ia tak memiliki semangat hidup lagi. Ia pun bangkit perlahan seraya menyeka air mata dan juga tanah yang mengotori wajahnya.

Mata birunya memandang hamparan lautan, biasanya ia selalu melihat pemandangan ini dengan perasaan senang, juga ada seseorang yang menemaninya melihat hamparan biru di hadapannya ini.

Sekarang tak ada lagi...

Hatinya terasa sangat hampa..

Sepertinya... Menceburkan diri di dalam lautan itu terasa sangat menyenangkan.

Ia pun tertawa kecil seraya melangkahkan kakinya memasuki pantai, terus melangkah hingga hingga sepatu miliknya mengenai air.

Terus melangkan kakinya hingga separuh badannya mulai terendam ke dalam dinginnya air laut, melangkah terus hingga seruan seseorang menghentikan niatannya untuk 'Berendam'.

"Jika Daddy pergi lagi! Siapa yang akan menemani Menma!

Safirnya yang semula memandang kosong itu pun mulai bercahaya kembali, ia pun membalikkan badannya dan melihat Menma kembali berlari ke arahnya, "Jangan mati Dad! Menma tidak mau kehilangan kedua orang tua Menma sekaligus!"

..

..

..

..

..

..

..

Jangan sedih.

Aku tahu kau juga tidak menginginkan hal ini terjadi.

Kau orang yang baik, aku memang salah menilaimu saat pertama kali kita bertemu.

Mata-mata eh? Aku benar-benar bodoh.

Teruslah hidup hingga Tuhan benar-benar memanggilmu untuk pergi.

Rawat Menma, besarkan Menma agar menjadi lelaki yang hebat seperti dirimu.

Dan juga...

..

..

..

..

..

..

Naruto pun berlari dan langsung menerjang tubuh kecil Menma, mereka berdua pun menangis dengan kerasnya tanpa memperdulikan hari yang mulai gelap. Pria berambut pirang itu tak henti-hentinya mengucapkan maaf atas semua yang ia perbuat tadi.

Bodohnya dia...

Masih ada Menma... Menma masih membutuhkannya...

Sasuke benar-benar akan menghajarnya jika ia menyusulnya sekarang.

Keesokan harinya, ia berniat untuk membawa Menma pulang ke Amerika, dan tanpa di duga anak berambut hitam tersebut mau pergi bersamanya.

"Asalkan bersama Daddy, Menma mau ikut kemana pun!"

Naruto pun tak lupa meminta izin kepada ketiga kawan yang sudah merawat Menma semenjak Sasuke meninggal. Tak enak rasanya membawa Menma begitu saja, ketiga orang itu bahkan lebih dekat dengan Menma dari pada dirinya.

"Jika Menma mau, bagaimana mungkin kami melarangnya?" ujar Sakura seraya mengelus puncak kepala Menma, "Sejak lama ia ingin sekali bersamamu, kenalkan kepadanya dunia yang lebih luas lagi! Menma anak yang cerdas!" serunya senang.

Berbeda dengan Ino yang malah menangis tersedu-sedu, "Akhirnya hari ini terjadi juga hiks... Jangan lupa berkunjung ke Jepang ya Menma-Chan hiks!"

"Selama kau tidak ada, biarkan Ji-san yang membersihkan tempat tidur Chici mu! Kau belajarlah bersungguh-sungguh di sana ya!" ujar Kiba seraya tertawa.

Ketiga orang itu pasti sangat-sangatlah berat melepaskan Menma, anak itu sudah mereka anggap seperti anak sendiri, apalagi semenjak kepergian Sasuke untuk selama-lamanya.

Tetapi, pada akhirnya Menma akan memilih untuk tinggal bersama sang Ayah yang sangat di rindukannya.

"Tentu saja Ino Ba-san! Menma pasti akan kembali ke Jepang!" serunya seraya tertawa lebar.

Naruto pun hanya tersenyum, kedua tangannya telah menenteng tas-tas berisi semua pakaian dan keperluan milik Menma.

"Ummm Naruto..."

"Ya?"

"Bukannya kau bilang kalau kau telah pensiun?"

"Yup!"

"Mengapa kau bisa mengendarai pesawat lagi?" tanya Kiba bingung, sedangkan Naruto sendiri hanya tertawa seraya memasukkan barang milik Menma ke dalam pesawat yang ia piloti sendiri.

"Pemerintah Amerika baik sekali memberikan pesawat butut ini kepadaku sebagai hadiah pensiunku! Walaupun aku hanya akan mengendarainya di saat sepert ini saja. Aku mau berfokus kepada usaha rumah makanku!" jawab Naruto seraya mengangkat Menma dan memasukkan anaknya ke dalam pesawat.

"Kalau begitu, kami akan berangkat! Aku tidak bisa berlama-lama di sini! Maafkan aku!" seru Naruto seraya memakai kacamata terbangnya.

Ia pun memakaikan sabuk pengaman untuk Menma dan untuk dirinya sendiri, setelah menyalakan mesin pesawatnya, ia pun segera terbang dengan sempurna, menuju ke negaranya.

Bibirnya pun tersenyum miris.

Pada akhirnya...

Ia hanya bisa membawa Menma...

.

.

.

.

.

Thank you... Thank you for the time we spent together, Thank you for never leaving me in the bad times, Thank you for understanding me, Thank you for your patience, kindness, and thanks for accepting me. However, the most important is thanks for loving me like you love yourself...

I Love you...

And...

Good bye My Precious.

Uchiha Sasuke

..

...

..

...

..

...

..

...

..

...

END

.

.

.

Anggap saja mereka orang dari negara ini ya wkwkwkwk

JAPAN :

UCHIHA SASUKE, INUZUKA KIBA, HARUNO SAKURA, YAMANAKA INO.

UNITED STATES :

UZUMAKI NARUTO, NARA SHIKAMARU, HATAKE KAKASHI, KONOHAMARU.

UZUMAKI MENMA memiliki darah campuran okay!

Maafkan saya jika endingnya tidak sesuai yang anda bayangkan! *Bungkuk-bungkuk*

Akhirnya bisa matiin Sasuke juga! Hahahahaha!

Jika saja Sasuke mau menjajah negara lain, dia nggak bakalan mati loh~ Tapi karena dia pingin nungguin Naruto terus di Jepang, jadi dia lebih milih pindah ke Nagasaki hehehehe

Yaa... Mana tahu kalau wilayahnya itu bakalan kena bom XD

Sebenarnya sih saya pingin yang benar-benar Happy Ending, tetapi rasanya kurang greget gitu! Genrenya aja Angst, masa' ya Happy Ending *DihajarReaders

Terima kasih ya sudah mau mengikuti fic ini hingga selesai.

Ini adalah fanfic yang benar-benar menguras kepala saya karena berhubungan dengan sebuah sejarah.

Project fanfic tersulit dan terasik yang pernah saya buat hahahaha Karena saya juga suka sejarah, dan bergelut juga di fandom sejarah hahahaha

Minta Reviewnya dongg~

Hahahaha

..

Update!

Chapter ini benar-benar selesai di tanggal 9 Agustus 2016. Saat Update lagi sekitar bulan September itu murni kesalahan saya hahahaha

.

.

.

.

Uchiha Iggyland