© Masashi Kishimoto

Pairing : NaruSaku always. : Genre : Romance & Drama. Rated T slight M (for lime, language, etc)

Story by Hikari Cherry Blossom24

WARNING : DON'T LIKE? DON'T READ!


Faithfully Waiting


Lelaki beralis tebal itu tertawa gelak melihat tingkah konyol sang teman. Perutnya sampai sakit, namun tawanya terus berlangsung. Salah satu temannya yang berkuncir selayaknya buah nanas tampak menguap, sama sekali tak tertarik melihat kelakuan bodoh pria di depan sana. Kiba Inuzuka memang konyol, dia bahkan mau bertingkah gila di dalam kelas. Contohnya seperti menggambar kemaluan wanita di papan tulis. Ia yang melalukannya tampak girang sendiri.

Naruto menatap keluar jendela, enggan melihat kelakuan mereka yang terkadang malampaui batas. Ia menyanggah dagu, duduk tenang menikmati indahnya pagi ini. Matahari pagi menyinari wajahnya, membuatnya tampak berkilau dari kejauhan.

"Hm!?" Pria bersurai pirang itu bersuara. Dahinya membentuk sebuah kerutan tebal, sementara pandangannya fokus pada gerbang sekolah. Di bawah sana terlihat seorang gadis dengan paras manis memasuki halaman sekolah bersama laki-laki muda disebelahnya. Dia tampan dan keren, namun model ramnbutnya begitu aneh. Mirip seperti bokong ayam.

Ini bukan yang pertama, malah sudah berkali-kali Naruto melihat gadis manis itu berangkat sekolah dan terkadang pulang dari sekolah bersama anak itu. Mereka berdua terlihat sangat dekat. Seperti orang pacaran. Satu kali atau dua kal Naruto enggan bertanya, maka untuk yang kesekian kalinya ia akan bertanya.

Gaara melongokan kepala, ikut melihat ke arah pandangan Naruto tertuju. "Gadis itu lagi.." Naruto hanya meliriknya. "Dia manis, tapi sayang sudah ada yang punya." Ia terkekeh, dan sang teman memutar mata malas.

"Jangan sok tahu." Balas lelaki pirang itu— terdengar tak senang. Tentu saja, ia kan menyukai Kohai nya yang manis itu. Entahlah, menyukai atau hanya ingin mempermainkan. Sejak pertama kali melihatnya di sekolah ini Naruto langsung tertarik, punya keinginan untuk memilikinya. Sakura Haruno, siswi kelas XI. Dia murid pindahan dari luar kota yang kini duduk di bangku kelas XI SMA.

"Hay, Sakura.."

Empunya nama memutar kepala ke arah si penganggil tersebut. "Ino." Sahutnya senang. Ia meninggalkan Sasuke dan menghampiri Ino.

Gadis Yamanaka tersebut meraih tangannya. "Ke kantin yukk, yang lain sudah menunggu.." Sakura mengangguk dengan antusias. "Sasuke-kun, mau ikut?" Lelaki emo itu menolak tanpa suara, hanya dengan isyarat dari gerakan kepala. "Hm, ya sudah.."

"Sasuke-kun, aku duluan ya." Sakura melambaikan tangan, lalu meninggalkannya. Gadis mungil itu tersenyum lebar hingga dia terlihat begitu manis. Bibir tipis Naruto melengkung ke atas menyaksikan betapa hiperactive nya Sakura. Diam-diam ia kerap mengamatinya.

.

.

.

Kiba merangkul bahu Naruto, namun empunya langsung melepaskan rangkulan tersebut kemudian berlari meninggalkan mereka. "He—" Tak sempat memanggilnya, Naruto mengangkat tangan seraya mengatakan sesuatu yang membuat Kiba mendengus seketika. "Huh, lagi-lagi dia pulang duluan." Ia mencibir dengan mulut monyong ke samping.

Pukk!

"Sudahlah Kiba, kau tak bisa terus menahannya bersama kita.." Shimakaru menguap lebar mendengar ucapan Lee. Akhir-akhir ini Naruto memang suka pulang sendiri daripada bersama mereka.

Naruto berhenti saat tiba di depan kelas Sakura. Ia berdiri disamping pintu sembari mengamati para murid yang berlalu di depannya. Ketika mendapati Sakura di dalam kerumunan tersebut saat itu pula ia menangkap tangannya lalu membawanya berlari pelan menyusuri koridor sepi. Gadis itu tampak bingung, namun ia tetap mengikuti ajakan sang Senpai yang akan membawanya entah ke mana.

Reflek, Sakura sukses menubruk punggung lebar Naruto kala dia berhenti secara mendadak. "Uhh, senp—" Tak sempat menutur, Naruto langsung menariknya lalu mengajaknya berjongkok. Mereka bersembunyi di bawah tangga.

"Sshht.." Dia menepatkan telunjuk di bibir. Sakura menangguk patuh.

Sejak keluar kelas tadi sampai saat ini Sasuke tak menemukan Sakura. Ia kehilangan gadis itu. Menemukan Ino bersama teman-temannya, ia pun menghampiri gadis pirang itu untuk menyakan Sakura.

"Ino.." Ino menatapnya. "Umm, apa kau melihat Sakura?"

"Justru itu, aku malah mau bertanya kepada Sasuke-kun Apa Sakura bersamamu?"

Sasuke menggeleng. "Aku pikir Sakura bersama kalian.."

"Mungkin dia sudah pulang duluan.." Ino melirik Tenten yang barusan berkata.

Sasuke mendundukan kepala. "Kurasa kau benar.." Ia hanya berkata, sementara hatinya meyakinkan bahwa Sakura belum pulang. Sasuke menegakan kembali kepalanya, kemudian berkata. "Ya sudah, aku duluan." Pamitnya sebelum melenggang, dan direspons dengan anggukan oleh mereka.

Sakura melongokan kepalanya melalui bahu lebar Naruto. "Sasuke-kun mencariku.." Naruto menggenggam tangannya, membuatnya bergegas menarik kembali kepalanya. Ia tersipu saat mendapat tatapan lekat dari pria itu. Berada di dekat Senpai nya yang tampan itu dapat menyebabkan jantungnya berdetak kencang, apalagi tangannya digenggam seperti ini.

"Laki-laki itu siapa?"

"Umm, dia sahabatku.." Sakura gelagapan untuk mengalihkan pandangan. Tatapan Naruto seakan seperti sedang mengintrogasinya. Hanya sesekali ia meliriknya.

Kedua mata Naruto menyipit. "Hm, apa itu benar?" Pipi Sakura memerah ketika Naruto menyentuh dagunya, lalu mengangkat wajahnya untuk saling mempertemukan pandangan mereka. "Jangan bohongi aku.."

Sakura menggelengkan kepala merah mudanya. "Aku tidak bohong." Namun tampaknya Naruto belum percaya. "Senpai.." Panggilnya terhadap lelaki itu.

Terdiam sesaat, kemudian Naruto menghela nafas. "Baiklah." Ia menarik tangan Sakura, mengajaknya berdiri. "Hari ini kita pulang bersama lagi, aku ingin membawamu ke suatu tempat." Sembari berjalan Naruto menggenggam erat tangan Sakura, enggan untuk melepasnya walau hanya sedetik. Keduanya pun meninggalkan sekolah bersama.

Dan disinilah Naruto membawa Sakura. Mereka sedang duduk manis bersama diatas batu karang yang terletak dipinggir pantai nan ribut akan suara deburan ombak, angin pun menjadi pelengkap suasana pantai. Sejuk dan menenangkan, Sakura sangat menikmati tempat tersebut.

"Kau suka tempat ini?" Gadis itu menjawab dengan anggukan. Naruto tersenyum. "Jadi, sejak kapan kalian bersahabat?"

"Umm, aku dan Sasuke-kun?" Kening Naruto bergerak ke atas sebagai tanda jawaban benar darinya. Sakura menatap ke arah lautan. Tiupan dari angin laut menerbangkan rambut, ia dengan sigap menyelipkan anak rambut yang berjatuhan kebelakang telinga. "Kami bersahabat sejak kecil. Ayah kami sama-sama pindah ke kota ini, dan akhirnya kami masih bersahabat sampai sekarang." Naruto diam mendengarkan. "Sasuke-kun baik dan perhatian, dia sudah aku anggap seperti kakak kandungku sendiri." Sakura memang menganggap Sasuke sabagai kakak yang selalu menjaganya, walau sebenarnya ia sudah memiliki seorang kakak.

"Dia tidak suka padamu atau sebaliknya 'kan?"

Sakura terkikik. "Senpai, tentu saja tidak.." Senyum Naruto merekah lebar. "Kami bersahabat, dan selamanya akan tetap menjadi sahabat."

Naruto memutar badan, menghadap sepenuhnya ke arah Sakura. "Aku masih agak ragu." Ujarnya bercanda, Sakura menanggapinya dengan senyum lebar. Ia tahu bahwa itu hanya candaan. "Umm, Sakura.."

"Iya, Senpai?"

"Kemarilah." Naruto memanggil Sakura dengan isyarat tangan. "Aku ingin mengatakan sesuatu.." Sakura memajukan kepala, mendekat pada Naruto yang memanggilnya. Gadis itu semakin mendekat, dekat dan dekat sampai kemudian Naruto dapat mengecup bibir mungilnya saat wajah keduanya terpaut amat dekat. Hanya dapat sekilas karena secara reflek Sakura menarik cepat kepalanya. Dia menutup bibirnya, dan wajahnya tampak bersemu.

"Ss-senpai..." Naruto terkekeh. Sakura gelagapan menyembunyikan merah pekat yang mewarnai pipi mulusnya.

.

.

.

Berulang kali Sakura membuang nafas, sesekali ia menghentakan kaki di lantai. Bolak-balik ia di depan kelas Naruto, namun orang yang sejak tadi ditunggu tak kunjung menampakan batang hidung. Tiga puluh menit sudah yang terlewatkan, biasanya Naruto sampai di sekolah pagi-pagi sekali. Tapi sepertinya untuk kali ini dia datang terlambat. Mungkin bangun kesiangan. Pikiran Sakura makin kacau ketika mendapati teman-teman Naruto baru saja tiba, namun tanpa Naruto bersama mereka. Biasanya mereka selalu bersama.

Seperti kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan. Sakura langsung memutuskan untuk bertanya, jika tidak mana akan ia tahu bagaimana keadaan Naruto.

"Maaf, Senpai." Gaara menoleh ke arah Sakura yang entah memanggil siapa diantara mereka. "Umm, Naruto Senpai tidak masuk?" Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya. Rasanya ia malu sekali.

"Ohh, semalam Naruto masuk Rumah Sakit." Sontak, kedua mata Sakura sukses membulat mendengar jawaban dari Gaara. "Dia demam tinggi, mungkin karena masuk angin." Dan benar saja dugaan Sakura, pasti gara-gara di pantai kemarin. Ia jadi merasa bersalah.

"Terimakasih Senpai.." Sakura membungkukan badan, setelah itu berlari meninggalkan sekolah. Padahal 10 menit lagi jam pajaran akan di mulai, namun Sakura sengaja bolos dari pelajaran hari ini. Ia tak sabar ingin menjenguk Naruto di rumah Sakit, sebab karena dirinyalah Naruto masuk Rumah sakit.

Dahi Kiba berkerut tebal— pertanda heran melihat gadis tadi. Ragu pasti Naruto dekat dengan gadis itu, kan beberapa minggu ini Naruto jarang terlihat bersama mereka. Sekarang dia lebih sering pulang berpisah, kadang duluan dan kadang tertinggal.

.

.

.

Clekk!

Naruto menoleh, menatap ke arah pintu. Seketika senyum di bibirnya terkembang lebar ketika mendapati sosok berutubuh mungil yang sejak tadi ia nanti kehadirannya. Sakura melangkah masuk sambil membawa makanan di tangannya, lalu ia letakan di meja dekat ranjang Naruto. Setelah itu ia duduk di dekat Naruto, tak menggunakan kursi yang ada di dekat ranjang.

"Bagaimana keadaan Senpai?" Sakura menyentuh dahi Naruto, merasakan panas di kulit licin tersebut. Naruto berusaha bangun, di bantu oleh Sakura. "Maafkan aku.." Ucap gadis itu merasa bersalah. Apalagi kalau bukan karena di pantai semalam yang membuat Naruto demam tinggi. Senpai nya itu paling tidak kuat bila terkena angin laut. Begitu kata dokter tadi.

Naruto malah tertawa. "Maaf untuk apa?" Sakura menundukan kepala. Naruto menyentuh pucuk kepalanya, lalu diacak pelan hingga membuat rambutnyanya agak berantakan. "Kau tidak salah, akulah yang salah. Kalau tahu aku paling mudah masuk lalu kenapa pula aku mengajakmu ke pantai." Sakura menatapnya sembari tersenyum geli.

"Seharusnya Senpai mengenakan syal kemarin." Naruto menariknya, lalu mendekapnya. Sakura memejamkan mata menikmati elusan lembut dipuncak kepalanya. "Senpai, aku membawakan sarapan untukmu.." Naruto hanya bergumam, masih ingin mendekap Sakura seperti ini. "Senpai sudah sarapan?" Dia menggeleng.

Sakura melepaskan diri lalu menatap Naruto. "Kau bawa apa?"

"Makanan yang Senpai suka.."

"Umm.." Naruto menggaruk pelan pipi berkumisnya. "Sakura." Ia menggapai tangan mulus tersebut, dan menarik agar empunya mendekat lagi. Sakura menggeliat geli ketika nafas hangat Naruto menguar di dekat telinganya. Pria itu mengecupi area wajahnya hingga ke telinga. Bulu kuduknya sampai berdiri karena merinding.

"Enghh.. Senpai." Gadis itu mengerang manis, mendengarnya membuat Naruto semakin menginginkan dia. Sakura meremas baju pasien yang Naruto kenakan, dan memejamkan mata ketika bibirnya di lumat. Tangan kokoh pria itu menggerayangi pahanya. Berjalan naik ke atas, kemudian memasuki dalaman rok sekolahnya. Telapak tangannya nan lebar itu memijat dengan lembut daging kenyal yang tersembunyi di balik kain bermotif kotak-kotak tersebut. Sakura sampai menggigit bibir dibuatnya.

"Tidak Naruto, jangan kau lakukan itu pada Sakura.."

Naruto menggeram mendengarkan pikirannya berbicara, sementara Sakura tampak terbuai dalam cumbuannya. Ciumannya semakin rakus dan penuh tuntutan. Ia menarik gadis itu, kemudian membaringkannya diranjang. Selang beberapa menit memagut bibir ranum Sakura, Naruto lantas melepaskan bibir mereka. Menarik kepalanya lalu menatap lembut Sakura dari atas. Ia menautkan kening mereka.

Sakura menggapai leher Naruto, dan merangkulnya sembari tersenyum tipis. "Terimakasih." Ucap lelaki itu padanya. Ia hanya mengangguk, tak tahu lagi harus menjawab dengan kalimat apa. Ciuman tadi membuatnya sangat malu. Apakah itu yang dinamakan ciuman basah? Mereka bercumbu mesra tadi. Mengingatnya membuat merah di pipi Sakura semakin menyala. Wajahnya panas sekali.

Sebelum beranjak Naruto memberi kecupan manis terlebih dahulu pada kening lebar Sakura..

.

.

.

Acuh pada kondisi tubuhnya yang belum pulih total, Naruto tak ambil pusing dan pergi mandi tanpa peduli pada larangan. Mana tahan ia tak mandi walau sehari saja, rasanya sangat gerah.

Di balik kaca transparan tersebut dapat terlihat dengan samar badan tinggi Naruto. Dia tengah menyabuni dirinya di sana. Tetesan demi tetesan air hangat mengguyur rambut pirangnya sampai benar-benar layu. Empunya menadahkan kepala untuk membasuh wajah tampannya, kemudian ia kembali menunduk lalu mengusap aliran air di wajahnya.

Sekelebat pikiran Naruto teringat kembali pada kejadian tadi pagi saat di Rumah Sakit. Ia mencium Sakura dengan penuh gairah, bahkan sampai memasuki roknya. Malaikat baik dalam hatinya yang menghentikan aksinya, jika tidak ia pun tak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Mengingatnya membuat birahi Naruto kembali memuncak. Ia ingin sekali memiliki Sakura, namun ia masih berfikir apakah perasaannya kepada gadis itu benat-benar nyata dan ada. Atau mungkin hanya perasaan kagum? Entahlah, Naruto sendiri belum memutuskan akan seperti apa kelanjutannya kelak. Untuk saat ini biarlah ia menimbang dulu perasaannya kepada Sakura.

"Shh, uuhh.." Desahan pelan terdengar lembut dari tempat Naruto. Dirinya tersiksa karena Sakura. Nafsunya sempat tertahan tadi, dan kini ia mengambil jalan pintas dengan cara menyentuh diri sendiri. Hanya membayangkan Sakura sudah cukup membantunya mengatasi birahi. Ini memang tak biasa, namun terlalu mendadak untuk mencari pelampiasan di luar sana. Memikirkan besok sekolah dan bertemu Sakura, makanya Naruto enggan berkeliaran malam-malam untuk mencari MAKAN.

.

.

.

"Sakura, kau pulang sendiri lagi?" Sasuke bertanya pada Sakura yang tengah sibuk memberesi peralatan sekolah. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kau langsung pulang 'kan? Paman dan Bibi pasti akan cemas bila kau pulang terlambat." Ujarnya mengingatkan. Kemarin siang Sakura hilang tanpa jejak, dan pulang ke rumah saat petang menjelang. Dia pergi ke suatu tempat tanpa memberi tahunya, alhasil tudingan cemas pun membuat kepalanya pusing.

Usai membersi perkakas miliknya, Sakura beranjak lalu menggendong tasnya. "Sasuke-kun, tolong sampaikan pada Ayah dan Ibu hari ini aku pulang sore lagi." Pintanya pada sang sahabat, setelah itu ia melesat cepat meninggalkan kelas tanpa banyak bicara lagi.

Sasuke terdiam melihat kepergian Sakura. Entahlah, ia tak tahu hal apa yang Sakura sembunyikan darinya. Mungkin sesuatu yang tak bisa dikatakan kepada siapa pun.

Blamm!

Sedikit membungkukan badan, Sakura memberi seulas senyum ramah kepada supir taxi tersebut. "Terimakasih Paman.."

"Terimakasih kembali gadis manis." Balas supir setengah baya tersebut seraya balas tersenyum. Sakura membalik badan lalu memasuki sebuah halaman. Gadis muda itu menyusuri jalan setapak tersebut sembari bersenandung ria, serta tak lupa bingkisan manis tersemat dalam jari-jemari mungilnya.

Ting tong..

Dan, saat pintu terbuka Sakura mendapati seorang wanita paruh baya yang merupakan Ibu Naruto. Ia tersenyum dan membungkuk sopan. "Selamat siang Bibi.." Sapanya terhadap wanita berparas cantik tersebut.

Kushina balas tersenyum. "Cari siapa?"

"Umm, Naruto-Senpai Bi.."

"Ohh, teman Naruto ya." Sakura mengangguk. Kushina menampilkan wajah ceria. Ia menggapai tangan mulus gadis itu, lalu mengajaknya masuk. "Ayo masuk, Naruto ada di kamarnya. Tadi pagi dia mau pergi sekolah, tapi Ayahnya melarang karena anak itu belum pulih total." Kushina menjelaskan panjang lebar, sementara hanya terdengar sahutan singkat dari belakangnya. Sakura tak tahu harus menjawab apa selain mendengarkan.

"Nah, ini dia kamarnya." Keduanya berdiri di depan pintu kamar bewarna putih polos. "Hmm, manisnya." Ujar wanita merah marun itu seraya menyentuh dagu lancip Sakura. Empunya tersipu malu mendapat perlakuan manis tersebut. "Kau mau minum apa sayang?"

Sakura menggerakan tangan di depan wajah. "Tidak perlu repot-repot Bi.." Sejujurnya, ia jadi tak merasa enak bila datang bertamu membuat orang repot.

"Tidak apa-apa sayang.." Kushina mengelus rambut merah muda Sakura. "Naruto ada di dalam, Bibi tak akan menganggu kalian setelah membuatkan minum untukmu." Ia tersenyum lebar. Kushina sangat menyukai Sakura. Dia gadis manis, ramah dan sopan. "Langsung buka saja pintunya, mungkin dia sedang tidur di dalam."

Sakura tersenyum hingga kedua matanya tampak sipit. "Terimakasih Bibi.." Setelah itu Kushina pun berlalu. Dia menuruni anak tangga dengan langkah pelan. Sakura menarik nafas panjang sebelum mengetuk pintu kamar Naruto, usai menghembuskannya baru kemudian ia mengangkat tangan lalu mengetuk papan licin tersebut.

Tokk tokk..

"..."

Tidak ada jawaban, dan akhirnya Sakura memutuskan untuk langsung membukanya. Ia melakukannya dengan sangat perlahan, takut jikalau orang di dalam sana terganggu karenanya.

Cklekk

Sebelah mata Sakura terpejam mengimbangi suara yang dihasilkan dari pintu. Saat pintu tersebut telah terbuka setengah, ia pun melongokan kepalanya ke dalam. Menyapu ruangan luas tersebut, dan kemudian terhenti pada satu titik. Di mana saat ini Naruto sedang bergumul nyaman di atas ranjang king size miliknya. Melihat itu Sakura melangkah masuk, namun menutup pintu terlebih dahulu. Sepertinya dia sedang tidur.

.

.

.

"Kenapa tidak bilang mau datang ke sini?" Naruto bertanya pada Sakura sembari menerima suapan sepotong buah darinya. "Aku kan bisa bersiap-siap untukmu." Imbuhnya membuat Sakura tersenyum mendengarnya.

"Tidak apa-apa Senpai, tadi juga karena kebetulan.."

Naruto menahan tangan Sakura saat dia kembali menyodorkan potongan buah ke mulutnya. "Emm, sudah cukup." Ia mengambil garpu dari tangan Sakura, lalu meletakannya di atas meja. "Aku senang kau datang." Lagi-lagi wajah Sakura memerah, terlebih ketika Naruto mengelus pipinya dengan sentuhan lembut. Tatapan sayu tersebut ia balas dengan wajah sendu nan menggoda di mata Naruto.

Pria itu menarik Sakura, dan membawanya duduk semakin ke tengah kasur. Dia menyentuh tengkuk gadis itu, kemudian menyatukan belahan bibir mereka. Naruto memagut daging kenyal tersebut dengan lembut sambil menggenggam tangan Sakura. Sesaat kemudian ia melepaskan tautan bibir mereka, lalu menatap Sakura yang tengah bersemu. Merona seperti itu membuatnya terlihat semakin manis, kemarin gara-gara itu Naruto hampir lepas kendali. Kalau sekarang mungkin Naruto akan menuntaskannya hingga selesai, lagi pula tadi ia sudah mengunci pintu setelah Kushina datang mengantarkan makanan dan minuman ke kamar.

"Sakura.." Gadis itu menjawab panggilannya dengan tatapan sendu. Naruto menyentuh dagunya, menahan tatapan empunya. "Maafkan aku." Kemudian Naruto kembali melumat bibir Sakura. Ia membaringkan gadis itu, dan berada di atasnya untuk mendominasi. Puas bermain dengan bibir, ciuman Naruto berangsur turun menggerayangi leher jenjang Sakura.

"Anhh, S-ssenpai.."

Sontak, Naruto menarik kepalanya dengan cepat. "Sstth.." Ia memasang tulunjuk di belahan bibir, mengisyaratkan Sakura agar tak bersuara. Dia mengangguk patuh menuruti perintah darinya. "Nanti ada yang dengar." Bisiknya tepat di telinga Sakura. Gadis itu merinding merasakan nafas hangat didekatnya.

Naruto menyeringai. Mengecup kening lebar Sakura, lalu ia menarik selimut untuk menggumpal tubuh mereka. Sakura menggigit bibir bawahnya dengan keras, begitulah cara dia menahan diri agar tak mendesah.

Kala berhasil melepaskan celana dalam milik Sakura, Naruto meletakan benda bewarna merah tersebut di uar selimut. Reflek, gadis itu membekap cepat mulutnya menggunakan satu tangan, sementara tangannya yang tersisa masuk ke dalam selimut dan meremas rambut Naruto. Berkali-kali desahannya lolos dalam bekapan tangan, membuat suaranya teredam. Ia merapatkan kedua kaki, mengepit kepala Naruto diantara selangkangannya. Jantungnya berdetak semakin keras dan tak terkendali, terlebih ketika Naruto menyentuhnya dengan jari.

"Enghh.. S-senpai, cukh..kuph..."

Mendengarnya Naruto pun segera menyudahi aksinya. Kepala pirangnya melongok keluar, menatap Sakura yang terengah di sana. Ia beranjak lalu mengungkungnya. "Kau tidak pakai celana dalaman?" Ekspresi Sakura terlihat aneh ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Pakailah celana dalam lapis mulai besok dan sampai kapanpun.."

Sakura mengalihkan tatapan ke arah lain, menghindari tatapan lekat dari Naruto. "B-baiklah.." Kalimatnya terbata. Naruto menarik tangan Sakura, membawanya duduk. Ia melepaskan satu persatu kancing seragam Sakura. Empunya tampak diam dan pasrah menyerahkan diri. Setelah membuka segaram sekolah yang Sakura kenakan, pria itu kembali merebahkannya, dan mengungkungnya seperti semula. Gadis manis itu sudah seperti boneka saja.

"Senpai, aku mencintaimu." Naruto terdiam. Sakura memegang tengkuk Naruto, dan menatap langsung ke dalam bola mata biru tajam tersebut. Naruto balas menatapnya, namun dia terlihat kaget. Sakura menarik Naruto lalu memeluknya. "Jangan pernah tinggalkan aku ya.." Ia tersenyum, merasa sangat bahagia hari ini.

Untuk pertama kalinya Sakura benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya. Hal yang akan dirasakan ketika mencintai ialah takut akan kehilangan.

Dan Sakura telah mengalaminya sendiri..

Gadis itu membuka bibir sambil memejamkan mata. Naruto memasang jemari panjangnya di sana. Ia tersenyum puas melihat Sakura tampak basah oleh keringat. Tubuh mungil Sakura kembali terdorong, dan desahan halus pun kembali lolos dari bibir ranumnya. Naruto menggigit bibir menahan geramannya. Sempat berjengit ketika kuku jemari milik Sakura menggaruk leher belakangnya.

Lelaki itu mengangkat salah satu betis jenjang Sakura, lalu ia tahan dengan tangan. Mengunci kaki mulus tersebut agar di bawah sana tetap terbuka, yang memberi keleluasaan untuknya memacu. Ia bergerak dengan nafas terengah, sama halnya dengan Sakura. Bahkan gadis itu terlihat lebih terengah darinya. Dada mulusnya bergerak naik turun dengan hembusan nafas yang tak beratur, hal itu terlihat semakin menggoda di mata Naruto.

Gadis manis itu bagaikan narkotika bagi Naruto, yang baru sekali coba langsung membuatnya kecanduan dan menginginkan itu lagi.

.

.

.

Sakura menarik selimut sampai ke batang hidung. Wajah manisnya tampak berjengit. "Uhhh, kami benar-benar melakukannya." Ia bergumam sendiri mengungkit kejadian tadi siang saat di kamar Naruto, yang mereka lalukan diam-diam. "Naruto-Senpai yang pertama.." Ujarnya lagi dengan wajah bersemu padam. Mereka bahkan belum resmi pacaran, lalu bagaimana bisa hal itu terjadi. Salahkan saja cinta.

Gadis itu memejamkan, mencoba untuk terlelap walau sulit. Kepalanya tak bisa berhenti memikirkan Naruto. Apakah lelaki itu mencintainya atau tidak? Kerena saat tadi menyatakan cinta Naruto tak menjawab dan malah mencium bibirnya. Ia sama sekali tak meragukan cinta Naruto, namun ia hanya takut merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Hal itu pasti sakit sekali, bukan?.

Sementara itu yang terjadi pada Naruto..

"Apa?" Sedikit melantangkan suara lelaki muda itu mengarahkan tatapan pada sang Ayah. "Apa itu tidak terlalu mendadak?" Ia bertanya untuk meyakinkan. Keputusan Minato yang menyuruhnya pindah sekolah ke luar kota sangatlah mendadak baginya, mana lusa pula ia harus berangkat. Katanya Nenek disana sedang sakit parah, jadi karena tidak bisa meninggalkan perusahaan maka Minato memutuskan akan mengirim Naruto ke kota Myobokuzan untuk menjaga sang Nenek.

"Tidak. Ini keputusan Ayah, jangan coba-coba untuk membantah." Minato membalas perkataan Naruto dengan tegas. Pria muda itu sukses dibuat mendesah muak. Ayolah, ia masih ingin menetap di kota ini bersama teman-teman, terutama Sakura. Mereka bahkan belum lama ini memadu kasih, namun ada saja ujian yang menghalangi.

"Ayah, tolong pertimbangkan lagi keputusan Ayah. Sekolahku tinggal 6 bulan lagi, apa tidak rugi menyudahinya ditengah perjalanan?" Naruto mencoba membujuk dengan segala cara yang ia mampu. Apa mungkin orang keras kepala macam Minato mau mengerti?

"Sama sekali tak rugi. Keputusan Ayah sudah bulat, kau selesaikan sekolah di Myoboku dan lanjutkan kuliahmu di sana." Minato beranjak meninggalkan kursi sofa, lalu melangkah— menaiki anak tangga.

"Tapi Ay—"

"Besok hari terakhir kau masuk sekolah sebelum Ayah mengurus surat pindahmu." Tak lama setelah itu sosok Minato menghilang di telan pintu.

Naruto menghempaskan lehernya di badan sofa, lalu menggeram frustasi sembari meraub wajah. "Argghh, kenapa jadi begini!?" Ia mengacak rambut, bahkan sampai menjambaknya dengan geram. Ayahnya itu sangat pemaksa, terutama bila menyangkut soal Neneknya yang sudah terlalu tua untuk tinggal sendirian di kota kelahiran kedua orang tuanya.

Karena mempertahankan perusahaan Minato rela mengirim Naruto ke sana untuk menjaga sang Nenek, kebetulan pula Minato anak tunggal di keluarg Namikaze. Ini sangat merepotkan. Jauh lebih merepotkan dari yang Shikamaru rasakan.

"Ne, Nii-chan, apa aku ikut bersama Nii-chan juga?" Naruto melirik ke arah bocah jabrik yang sedang duduk dihadapan televisi. Ia memejamkan mata untuk mendinginkan kepalanya yang panas, kemudian nafasnya terbuang secara kasar. Kesalnya tampak ketara untuk tak diketahui. Menghiraukan pertanyaan Konohamaru, Naruto berebah lalu memijit pelipis. Ia pusing memikirkan masalah ini.

Entah bagaimana nasib Sakura bila Naruto tinggalkan. Padahal ia baru mulai merasakan getaran cinta di dalam hatinya ketika bersama Sakura. Gadis itu pasti akan sedih sekali bila sampai tahu mengengenai kepergiannya. Sial, hanya memikirkannya saja sudah membuat kepala Naruto seperti ingin meledak. "Ya Tuhan, apa yang akan aku lakukan." Ia mengeluh mendapat cobaan seberat ini. "Sakura..."

"Hachihh.."

Sakura menjepit hidung mungilnya diantara jari telunjuk dan jempol. Kata Ibunya kalau terasa mau bersin segeralah menjepit hidung, dengan begitu maka bersinnya akan tertahan lalu urung terjadi. "Hhh, Senpai.." Sakura bergumam pelan menyebut sang pujaan hati sebelum terlelap.


To Be Continued..


Two-shot lagi. Udah lama ga bikn fic two-shot, Kangen juga. Wkwkwk ^^