Prologue.


.

.

.

Satu kali lagi, ia mematut diri. Menatap pada kaca, pada jejak-jejak merah dan ungu muda yang tersebar di dada dan area selangka. Bagian-bagian itu ia sentuh semuanya. Warna merah tak menghasilkan sakit apa-apa, sedangkan ia akan meringis ketika menekan yang ungu muda.

Ngilunya masih terasa. Padahal sudah menginjak semalaman semenjak tanda hisapan itu tertanda di tubuhnya. Biasanya tidak seperti ini, biasanya Luhan tak merasakan apa-apa setelah kegiatan semalam.

Tangannya yang tadi menekan dada dibawa turun dengan lemas ketika pikirannya kembali ke rekaman kemarin. Kemarin malam, saat Sehun tiba di rumah dengan berang entah karena apa. Saat pria dewasa itu membantingnya keatas kasur, kemudian melucuti pakaiannya, kemudian menggunakan tubuhnya.

Airmata Luhan jatuh tanpa niatan ia tahan. Kilas adegan yang tak seharusnya ia ingat itu kini malah terputar-putar di benaknya. Termasuk adegan seminggu lalu, saat ia sempat berdarah setelah mendapat gigitan Sehun di lehernya.

"Luhan?"

Luhan mengangkat wajahnya yang tengah ia tangkup saat suara Sehun terdengar dari luar kamar mandi. Wajahnya ia usap dengan kasar, sebisa mungkin menghilangkan jejak tangisnya. Kulitnya mungkin akan memerah karena itu, tapi Luhan tidak ingin menunjukkan airmatanya di depan Sehun.

Salah. Luhan tidak boleh menunjukkan airmatanya di depan Sehun.

"Luhan? Luhan? Kenapa lama sekali?"

Membasuh wajahnya agar sisa airmata tidak terlihat, Luhan pun langsung membenarkan kaitan handuknya sebelum membuka pintu dan mendongak menghadap Sehun. Ia dapat mendengar Sehun yang mendesah lega begitu menatapnya.

"Jangan ulangi lagi. Kau membuatku khawatir, Luhan." Sehun memberi satu usapan di kepala Luhan sebelum kemudian duduk berlutut dan memeluk tubuh mungil itu. Tangan besarnya menekan lembut belakang kepala Luhan yang basah, sementara dagunya menghimpit perpotongan leher Luhan.

Luhan mengangkat tangannya perlahan-lahan. Butuh waktu cukup lama, dan juga sedikit gemetar, sebelum akhirnya ia meremas kedua pundak tegap Sehun dari belakang.

"Baik, Daddy…"

.

.

.

.

.

Festival bulanan yang diselenggarakan dekat taman kota menjadi pilihan pertama Luhan jika anak itu ditawari keluar oleh Sehun. Begitu juga dengan bianglala, Luhan akan serta merta menarik tangan Sehun untuk menaiki wahana itu meski mereka sudah melakukannya dua kali sebelumnya.

Luhan takut ketinggian namun ia lebih takut lagi jika kehilangan pemandangan indah kota. Satu-dua minggu ia akan terus menerus berada di kediaman Sehun—yang sekarang menjadi kediamannya juga. Sedangkan ia jarang sekali diperbolehkan bermain seperti saat ini.

Binar matanya mengarah jauh ke kerlap-kerlip kota dan jalanan yang penuh barisan lampu mobil. Mengira-ngira apa jadinya jika ia tak berada disini sekarang, apa jadinya jika ia tidak tinggal bersama dengan Sehun.

Akankah lebih baik? Lebih buruk? Akankah sama seperti saat ia belum bertemu Sehun?

Tiupan di tengkuknya berhasil menarik kembali kesadaran Luhan. Anak itu mengerjap, lalu menoleh kikuk pada Sehun yang kini sudah berada di sampingnya. Tidak tahu kapan pria itu berpindah ke sisinya.

"Menggemaskan." Sehun terkekeh sementara Luhan kembali memalingkan muka. Tangan kecil Luhan menggenggam pegangan di sisi tempat duduk, tiba-tiba merasa takut.

"Begitu kita pulang—" Sehun mengambil pundak Luhan dan menariknya hingga ke rengkuhan. Hidungnya menghirup kepala si anak lelaki, "—aku ingin kita bersetubuh."

Pegangan Luhan mengerat. Rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya berdiri dengan tidak nyaman. Dan kecupan Sehun di area leher malah semakin membuatnya gemetaran.

Sehun yang menangkap kecemasan Luhan pun semakin mengeratkan pelukannya. Alih-alih menenangkan, pelukan itu malah terkesan seperti siratan ancaman. "Jangan membantah, Luhan. Kau tahu aku tidak suka itu."

Luhan memejam mata sebentar. Ketakutannya yang luar biasa nyaris membuat airmatanya jatuh, tapi sekuat tenaga ia menahan. Bibirnya ia gigit kecil, sekecil mungkin agar Sehun tak melihatnya. Lantas ia berbalik kearah si pria. Meraih rahang tajam Sehun sebelum mendaratkan cium lembut di bibirnya.

"Daddy, pakai Luhan malam ini."

Sehun tersenyum, kemudian kembali menempelkan bibir mereka.

Luhan terisak tanpa suara. Dan juga tanpa airmata.

.

.

.


End of prologue.


This is gonna be long chaptered, guys.