NCT School

NCT & SMRookies © SM Entertaiment

YAOI. AU. Typo(s). OOC(s).

.


Chapter IV

They're Back

.


Satu yang memenuhi benak Jaehyun hingga tak karuan seperti ini, membuatnya gelisah dan tak bisa tenang. Siapa sebenarnya Taeyong? Sebuah pertanyaan sederhana yang seharusnya bisa ia jawab. Tapi kenapa ia tak bisa?

Kenapa begitu banyak hal yang tak biasa pada sosoknya. Ia baru datang kemarin dan pengaruh pemuda manis itu begitu kentara baginya. Dia, Jaehyun yang biasanya tak pernah peduli pada apapun seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Tak heran jika ketiga teman satu kamarnya—terutama Jeno—selalu memandangnya aneh akhir-akhir ini. Semakin dipikir, semua itu malah semakin membuatnya pusing.

Helaan nafas terdengar. Ia butuh seseorang, yang tentunya bisa membantunya menjawab semua pertanyaan yang berputar-putar di otaknya kini, bukannya merecokinya dengan sejumlah pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Bisa-bisa ia gila jika terus seperti ini. Kenapa sosok Taeyong ini begitu sulit ia mengerti?

"Menyebalkan," desis Jaehyun sambil mengacak rambut hitamnya. Lagi dan lagi ia meninggalkan kelas begitu saja dan pergi ke belakang kastil. Tempat yang sama di mana ia menangkap tubuh Taeyong sebelum sempat menyentuh tanah semalam. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkan kelas, karena ia ingin lebih lama mengamati wajah Taeyong dan hal-hal konyol yang ia—

Hei, hei. Tunggu dulu! Apa katanya tadi?

Kenapa semuanya kembali pada sosok itu? Ia ingin merilekskan pikirannya dengan membolos, menjauhkan semua hal tentang murid baru yang baginya sangat misterius itu. Tapi yang terjadi pikirannya malah kembali pada sumber masalahnya. Jaehyun merasa kacau. Benar-benar kacau.

"Jaehyun." Pandangannya yang tadi tak fokus kini teralih pada satu objek yang baru saja menyuarakan namanya. Suara dari sosok yang ia kenali. Ia menatap sosok yang kini ada dalam jangkauan pandangannya, yang kembali membuka suara, "Kapan terakhir kali aku melihatmu? Sepertinya belum lama. Tapi kenapa sekarang kau terlihat kacau begitu?" lanjut sosok itu. Sosok dengan rambut yang dicat blonde.

Jaehyun membuang muka merasa tak suka, "Taeil-hyung," ucapnya dengan nada kesal yang kentara, "Hyung sudah kembali rupanya." Jaehyun membuang mukanya. Jujur, ia merasa terganggu dengan kedatangan orang yang tak diundang itu di saat begini.

Taeil tersenyum kecil mendapati sambutan seperti itu dari sosok Jaehyun. Taeil bergerak secepat kilat, tahu-tahu sudah berada di depan Jaehyun. "Kau tak senang aku kembali?" tanya Taeil. Pasti sesuatu telah terjadi, makanya Jaehyun dalam suasana hati seperti ini.

"Aku senang ingin sendiri," desis Jaehyun sebal.

"Maaf kalau aku mengganggu."

"Hm."

"Tapi aku harus memberimu kabar buruk ini secepatnya."

Jaehyun mengalihkan pandang, "Kabar buruk apa, hyung?"

Taeil memasang wajah serius tebaiknya saat ini, menujukkan bahwa ia sedang tidak bercanda sekarang. "Mereka kembali," ujarnya datar dengan wajah dingin, meski begitu dalam suara terselip rasa ngeri, "Mereka akan memburu kita lagi. Mereka telah kembali, Jaehyun."

Jaehyun terdiam, paham betul apa yang dimaksud Taeil. Ia tak bodoh. Meski Taeil tak mengatakannya secara terang-terangan. Ia tahu maksudnya. Siapa yang hyungnya maksud. Kelompok vampire hunter yang sudah lama mengancam bangsa mereka, bangsa vampire. Lawan tertangguh bangsa vampire. Kehebatan mereka sudah tak diragukan lagi. Percaya atau tidak, Jeno pernah terancam mati di tangan mereka.

"Bagaimana bisa, hyung? Bukankah mereka menghilang sejak dua tahun lalu?" Jaehyun bertanya serius, ini gawat. Kemunculan mereka akan sangat berbahaya.

Taeil mengangkat bahunya, ia sendiri tak mengerti. Memang sejak perang besar dua tahun lalu, di mana Jaehyun berhasil melumpuhkan sang leader, kabar mereka tak pernah terdengar lagi. Mereka bagai hilang di telan bumi. Dan sekarang tiba-tiba saja mereka datang lagi. "Salah satu anggota mereka yang mengatakannya sendiri," Taeil menarik lengan bajunya hingga atas, menampilkan sebuah bekas luka yang mengerikan yang berwarna ungu-kehitaman di bagian lengan atasnya, "Aku bertemu dengan salah satu dari mereka saat akan kembali ke mari." lanjutnya lagi. Ia mendesah dan kembali menutup lukanya yang sepertinya akan meninggalkan bekas permanen itu.

Senjata para vampire hunter itu memang dilumuri racun—semacam zat yang entah apa—yang takkan bisa disembuhkan dengan cepat oleh kekuatan regenerasi tubuh vampire. Mereka sepertinya sudah sangat mengetahui seluk beluk vampire itu sendiri dan mengembangkan senjata khusus.

Jaehyun terdiam. berfikir keras. Ia tak menyangka, di saat kalutnya ini masalah yang lebih rumit malah datang menambah pikirannya. Dan ini tidak main-main.

"Kita harus bicarakan ini dengan U-know. Kita adakan rapat secepatnya." Jaehyun bersuara dingin, nampak tak acuh meski dalam hatinya ia gelisah. "Jika mereka benar kembali seperti katamu, hyung," Jaehyun menatap Taeil lekat, tatapannya dingin dan menusuk, "Maka kita harus bersiap untuk kemungkinan paling buruk."

Dan Jaehyun beranjak dari sana. Meninggalkan Taeil yang tersenyum kecut dalam kesendiriannya bersama hembusan angin. "Perang lagi, ya?"

.


Taeyong tak bisa diam di tempat duduknya dengan tenang. Ia sama sekali tak bisa fokus pada pelajaran sedari tadi. Banyak hal yang memenuhi otaknya sekarang, banyak yang ia pikirkan dan rasa penasaran seakan membuncah dalam dirinya, seakan menjerit meminta penjelasan secepatnya. Ia butuh jawaban atas semua pertanyaan mengenai keanehan yang ia alami sejak masuk ke sini. Banyak. Banyak hal. Tak tahu apa-apa benar-benar sesuatu yang menyebalkan.

Belum lagi, di saat ia masih belum bisa menjawab pertanyaannya tentang kejadian semalam kini pertanyaannya kembali bertambah, mengenai suara yang bergaung di kepalanya beberapa belas menit yang lalu. Kenapa hal seperti ini terus menimpanya?

Jujur, Ia memang tak bisa dengan jelas mencerna kalimat yang bergaung di kepalanya itu, karena hanya sebuah gaungan memekakkan yang ia dengar. Tak jelas. Bagai suara gemuruh petir saat hari hujan. Ia berfikir dan terus berfikir, namun kesimpulan akhirnya selalu sama. Sepertinya tuduhannya akan mengarah pada satu orang yang sama.

Jaehyun.

Ia sendiri tak tahu apa alasan yang mendasarinya berfikiran seperti itu. Kata hatinya berkata begitu. Ia jadi terdengar seperti seorang fans yang terlalu mengobsesikan idolanya. Ia sendiri tak mengerti, kenapa sosok itu tak bisa pergi dari pikirannya. Benar-benar.

Kadang sebersit ide yang gila namun paling ingin ia lakukan berkelebat di benaknya. Haruskah… ia berbicara langsung pada Jaehyun? Mampukah dirinya? Mengingat rasa takut dan traumanya pada makhluk semacam Jaehyun? Pada vampire. Ah, pada dasarnya dirinya memang penakut. Banyak yang ia takuti. Dan ia harus mulai menghilangkan sifat buruknya itu. Bukankah ia seorang laki-laki?

Laki-laki sih laki-laki. Tapi kalau takut tetap saja takut.

Tuhkan. Bahkan sekarang sosok Jaehyun yang sedang menatapnya tajam kembali terbayang di benaknya.

"Eh?"

Taeyong tersentak saat ia menengok ke kanan, baru sadar jika kursi Jaehyun kosong. Kemana dia?

Taeyong mengedarkan pandangan mencari sosok itu. Tapi memang tak ada. Sepertinya memang benar jika Jaehyun bolos. Mungkin pergi saat dia sakit kepala tadi sehingga ia tak sadar.

"Siapa yang kau cari?" Yonooh membuka suaranya setelah sekian lama memperhatikan gerak-gerik teman sekelasnya yang kelewat aneh dan tak bisa diam. Meskipun tak memperhatikan secara terang-terangan tapi hanya melirik lewat ujung mata.

Taeyong terkejut dengan pertanyaan itu, tapi sedetik kemudian ia menggeleng pelan sambil menunduk. Ia tak mungkin mengatakannya pada Yonooh bahwa ia mencari Jaehyun, bukan? Apa yang akan dipikirkannya nanti.

Hening.

"Terimakasih untuk orange juicenya tadi." Taeyong berujar pelan, ia masih tahu berterimakasih. Memang tadi saat ia merasakan kepalanya berdengung sosok itu tiba-tiba datang dan membawa dua kotak orange juice yang katanya titipan dari seseorang. Agak aneh memang, melihat Yonooh peduli pada orang lain seperti itu mengingat dirinya yang dingin dan cenderung tanpa ekspresi. Doyoung pun sampai keheranan. Seorang Yonooh peduli pada seseorang?

Yonooh mengangguk kecil sebagai balasan, perlahan pandangannya yang tadinya lurus ke depan berubah,memandang Taeyong lekat, masih dengan tatapannya yang sama tajamnya dengan milik Jaehyun.

Jaehyun lagi… Jaehyun lagi…

Ingin sekali ia memukul kepalanya sekarang agar kewarasannya kembali. Setidaknya untuk membuat sosok itu keluar dari kepalanya. Tapi itu akan aneh sekali. "A-apa?" tanyanya.

"Kau sudah tak apa-apa?" tanyanya dengan nada dinginnya yang biasa.

Taeyong mengangguk kecil, meski sedikit bingung, "Ya, kepalaku sudah tak sesakit tadi." katanya. Tesenyum kecil mencoba menutupi kegugupannya yang entah disebabkan apa, ia tak tahu.

"Kau mendengar suara di kepalamu tadi?"

Satu kedip.

Dua kedip.

Tiga kedip.

Taeyong terlonjak kaget dan seluruh tubuhnya kini menghadap Yonooh. Terkaget. "Bagaimana kau tahu?!" tanyanya setengah berteriak, meski mungkin belum cukup keras untuk membuatnya mendapatkan teguran dari guru di depan.

Yonooh menyeringai, menatap ke depan lagi, "Jadi benar, ya?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya.

Taeyong mengangguk kaku, entah Yonooh melihatnya atau tidak. "Apa kau—"

"Taeyong-sshi! Bisa tolong tidak usah mengobrol dan simak pelajarannya?" seruan dari depan mau tak mau membuat Taeyong urung menanyakan pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya. Ia melihat gurunya terlihat kesal menatap ke arahnya.

"Maaf," ucapnya sambil menunduk dalam, malu. "Takkan kuulangi lagi."

Dua kali. Dua kali di hari ini dia mendapat teguran. Bagus sekali.

Dan pelajaran kembali di mulai. Taeyong memandang ke depan, meski pikirannya terpusat pada satu hal. Ia melirik sosok di sampingnya itu dengan ujung matanya secara sembunyi-sembunyi. Rasa penasarannya benar-benar meluap.

Apa Yonooh tahu sesuatu?

.


Ruangan itu terdapat tepat di ruang bawah tanah sebuah gereja di pusatkota. Terlihat seperti sebuah laboratorium mini dengan semua peralatan canggih milik mereka. Berpuluh-puluh tabung reaksi dan zat-zat yang entah apa memenuhi ruangan itu, sebuah layar besar terpampang di tengah ruangan, tersambung dengan komputer pengendali yang kini tengah di otak-atik oleh satu sosok dengan jas labnya.

Di bagian lain ruangan, sebuah ranjang terpasang, agak pojok. Di atas ranjang itu, seseorang tertidur dengan beberapa kabel yang terpasang di tubuhnya yang tersambung dengan alat-alat medis, dibalut kain putih tanpa jaitan. Matanya terpejam dan kulitnya tampak begitu pucat. Sosok itu terlihat seperti mayat hidup.

Pintu otomatis ruangan itu bergeser, membuat sosok dengan jas lab mengalihkan pandangannya untuk melihat kiranya siapa yang datang. Dan ia kembali mengurus komputer pengendali saat sudah melihat sosok itu. "Bagaimana?" tanyanya tanpa memandang sosok itu, masih sibuk dengan benda elektronik di depannya.

Sosok yang baru datang itu menggeleng, "Nihil," ujarnya dingin. Matanya yang berlainan warna terlihat kecewa. Perlahan langkah kakinya membawa tubuhnya ke arah ranjang. Pandangannya berubah begitu sendu kala melihat sosok bak mayat itu terbaring diam di sana, tertidur dengan alat-alat medis yang membuatnya masih bertahan sampai sekarang. Menarik sebuah kursi, sosok itu duduk di tepi ranjang. Perlahan, tangannya terangkat untuk mengelus pipi tirus sosok di depannya. Dingin.

"Leader..." panggil sosok itu lirih.

Sosok dengan jas lab melirik mereka, rasa sedih terselip di hatinya melihat pemandangan itu, tapi ia coba abaikan. Ada hal penting yang harus dilakukannya sekarang, memata-matai penyebab semua ini. Ia bersumpah akan membalas semua ini. Setelah penelitian ini selesai.

"Dimana yang lain?" Sosok dengan jas lab bertanya, mencoba mengalihkan perhatian. Ia belum melihat teman-teman mereka yang lain sejak pagi-pagi buta saat ia datang ke lab ini. Dan tak bisa menemukan mereka di manapun. Tidak seperti biasanya.

"Entah," jawab sosok itu, masih sibuk memandangi sosok sang leader yang terbaring di ranjang sambil memegang sebelah tangannya, "Aku tidak tahu," lanjutnya lagi.

Sosok itu tak menjawab dan keheningan menyelimuti mereka. Lagi.

"AH!"

Pintu otomatis ruangan itu bergeser lagi, namun mengejutkan saat yang datang berada dalam keadaan terluka. Ia menopang tubuhnya dengan pedang miliknya, sebelah tangannya sibuk memegangi luka menganga di sekitar bahu dan lengan atasnya. Darah merembes keluar dari sana. Membuat pakaian yang ia kenakan menjadi berwarna kemerahan.

"Apa yang terjadi?" Sosok dengan jas lab berteriak panik, menghampiri sosok itu dengan khawatir. "Bagaimana bisa begini?" tanyanya sambil membantu memapah sosok itu menuju salah satu kursi di ruangan itu, tak mempedulikan jas putihnya kini ternoda merah darah.

Ringisan sakit keluar dari sosok yang terluka. Lukanya ini benar-benar menyiksanya. Rasanya—seperti terbakar.

Sraaaak

Dengan sekali sentak kain yang menutupi luka itu dirobek. "Biar aku yang tangani ini," sosok lain sudah siap dengan kotak P3K-nya. Sosok dengan warna bola mata berlainan mendekat.

Sosok dengan jas lab mulai menyingkir. Ia memandang luka di tubuh temannya dengan ngeri, beberapa luka cakaran yang perlahan menghitam dan mengeluarkan darah dan nanah. Astaga. Pasti ini ulah vampire.

Sementara sosok itu dengan cekatan membersihkan setiap luka dengan cairan antiseptik, menghindari kemungkinan terinfeksi. Sosok yang terluka meringis meski ia tak membuka suaranya, lukanya terasa sakit sekali. "Bawakan air dan handuk, kita harus membersihkan darahnya," ujarnya, sementara ia mulai mengoleskan cairan dalam tabung reaksi ke bagian yang penuh luka.

Sosok dengan jas lab mengangguk kaku dan segera beranjak mengambil apa yang diminta.

"Apa yang terjadi?"

Sosok yang terluka meringis sakit sebelum menjawab, "Aku bertemu satu vampire. Kukira akan mudah membunuhnya, nyatanya ia kuat. Aku sampai kewalahan dan terluka begini." Ia mengangkat pedangnya dan menaruhnya di meja. Pedang yang biasanya mengkilap itu kini terlumuri darah. Darah vampire itu, "Tapi aku juga berhasil melukainya dengan pedangku ini." lanjutnya lagi. Terkekeh.

Tak ada sahutan.

Sosok yang tadi sempat menghilang masuk, kembali dengan sebaskom air dan handuk. Di tangannya yang lain ia membawa segelas air yang langsung ia sodorkan padanya, yang menerimanya dengan senang hati. "Terimakasih," ujarnya sambil tersenyum. Yang dibalas anggukan singkat.

"Buka bajumu, lukamu akan aku perban."

Ia mengikuti perintah tanpa protes. "Emm," Ia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya.

Sosok itu menatapnya dengan kedua irisnya yang berlainan warna, dingin, "Kenapa?"

Ia terdiam, memandang sekelilingnya, apa saja asal bukan sepasang mata itu. "Sebenarnya..."

Dua sosok lain menatapnya lekat. Menunggunya melanjutkan ucapannya. "Ada apa?"

"…Aku berkata pada vampire itu bahwa kita telah kembali," ujarnya pelan sambil menunduk dalam.

.


Jeno keluar dari kelasnya. Tepat pukul dua lebih lima belas. Kegiatan belajar memang telah berakhir dan sekarang ia punya satu tujuan. Ia berniat menemui Jaemin setelah ini, maka setelah membereskan buku pelajarannya ke laci meja ia bergesa menghampiri kelas sang kekasih yang berada dua kelas dari kelasnya. Ia merindukan sosok itu.

Dengan langkah santai ia berjalan meski ia sudah sangat tak sabar. Beberapa langkah lagi ia sampai di pintu kelas Jaemin

Tapi sebuah tarikan pada tangannya membuatnya harus berhenti. Ia menoleh dan terkejut saat mendapati Jaehyun di sana. Berdiri dengan ekspresi dinginnya. "Ada hal penting." Jaehyun berujar dingin, tatapannya memandang sekeliling mereka, "Rapat mendadak."

Jeno sudah hendak protes, ia ingin menemui kekasihnya dulu sekarang baru setelah itu melakukan apapun yang ia minta.

Jaehyun yang tahu isi pikirannya langsung berkata, "Sekarang, Jeno." Dengan nada memerintahnya yang entah kenapa terdengar berkali-kali lipat lebih menyebalkan.

Dengan wajah tanpa ekspresi Jeno menurut, meski dalam hati ia merutuk.

Berjalan berdampingan mereka menuruni tangga, melewati beberapa koridor panjang dan belokan hingga sampai di halaman luar kastil. Mereka terus berjalan dalam hening melewati jalan setapak yang membawa mereka menuju gerbang kastil. Semakin mereka mendekat, gerbang itu semakin terbuka dengan suara decitan keras dengan sendirinya.

Satu langkah mereka meninggalkan kastil sekolah itu dengan ajaib pakaian mereka berubah,, bukan lagi seragam hitam yang tadi mereka kenakan. Keduanya sama-sama memakai kemeja dan celana jeans yang dipadukan dengan sepatu kets, dibalut sebuah mantel hitam.

"Bagaimana yang lain, hyung?" Jeno bertanya dengan nada tenang sambil terus berjalan. Sebenarnya ada apa? Tidak biasanya rapat mendadak diadakan. Terkecuali memang sesuatu yang benar-benar gawat telah terjadi.

Jaehyun tak menoleh, tapi menjawab, "Aku sudah memberitahu mereka lewat telepati." Ia terlihat berusaha mempercepat langkahnya agar sampai di tujuan lebih cepat.

Jalan ini begitu sepi, sama sekali tak ada kendaraan lewat ataupun orang berjalan, angin malam berhembus menerbangkan beberapa daun kering yang berguguran di jalan. Suara burung hantu dan lolongan serigala terdengar dari kejauhan. Mereka terus berjalan, melewati gedung-gedung bercat kusam yang berderet rapat dan banyak gang kecil. Mereka berbelok beberapa kali, terus menuju tempat yang terlihat lebih kumuh.

Lalu mereka menyadari sesuatu.

"Ada yang mengikuti kita, hyung." Jeno berkata setelah lama membisu. Ya, dia sudah curiga sedari tadi tapi baru berani menyuarakannya. Di belakang mereka, ada seseorang yang entah siapa mengikuti mereka.

Jaehyun diam saja, terus berjalan. Ia juga sebenarnya sudah mengetahui hal itu sedari tadi. Ia bisa merasakannya dan memilih diam mengabaikannya.

Jeno, yang melihat respon Jaehyun yang statis kembali diam. Dia hanya terus berjalan.

Mereka berhenti di sebuah gedung tanpa pintu dengan papan bertuliskan 'Paradise', ada bangunan lain di samping gedung itu, dan jika diamati ada sebuah gang kecil yang begitu gelap diatara keduanya. Jeno dan Jaehyun berjalan masuk ke sana. Langsung disambut pemandangan kumuh dan tikus-tikus hitam yang lewat. Gang kecil ini buntu dan ada sebuah pintu kayu dengan papan bertuliskan 'Paradise', rupanya ini jalan masuknya.

"Jeno kau masuk duluan." Jaehyun berbicara saat mereka hendak masuk, membuat Jeno menyerhit. Jaehyun menatapnya tajam kemudian berkata lagi, "Aku ada urusan sebentar."

Oh.

Jeno langsung mengangguk paham, urusan yang dimaksudnya pasti tentang si penguntit itu. Tanpa banyak bicara, Jeno masuk ke sana. Dari celah pintu yang dibukanya, terlihat di dalam banyak orang sedang menari di bawah kerlap-kerlip lampu dan musik yang mendentum-dentum keras.

Sebuah bar.

Jaehyun menyeringai dalam kesendiriannya. Ia senang bisa memberi pelajaran pada penguntit yang telah berani mengikuti mereka. "Lihat apa yang akan aku lakukan padamu," gumamnya dengan seringai aneh. Melihat sosok hitam penguntit itu mendekat, Jaehyun pun meloncat.

Hap!

Ia sampai di atas atap dengan satu kali loncatan. Duduk tenang di sana. Ia akan mengamati terlebih dahulu.

.


Doyoung mendesah sambil menyimpan tumpukan berkas yang harus ia koreksi dan beberapa proposal yang minta dipelajari. Tugasnya sebagai anggota pengurus sekolah benar-benar melelahkan. "Hhhh," sambil menghela napas berat ia mulai mengambil satu lembar dan mulai membacanya dengan teliti dan menambahkan beberapa tanda untuk dikoreksi atau masukan dengan penanya.

Ia terus mengulangi hal itu hingga tak sadar seseorang sudah berada di ambang pintu. Tersenyum memandangnya yang terlihat begitu sibuk.

Wuuuussssh

Angin berhembus kencang lewat jendela, menerbangkan beberapa lembaran dalam tumpukan yang tadi ia taruh di meja. Dengan bersungut ia bangkit dari kursinya dan mengambil beberapa lembaran yang tercecer. Ia membungkuk untuk memunguti kertasnya. Sebuah lembaran terbang hingga ke dekat pintu, dengan jalan gontai Doyoung berjalan sambil menunduk, ia membungkuk untuk mengambilnya dan saat itulah ia melihat sepasang kaki.

Wajahnya mendongak dan ia melotot melihat sosok itu.

"Hai, Doyoungie." sapa sosok itu sambil tersenyum manis.

Doyoung menegakkan tubuhnya dan lembaran di tangannya jatuh begitu saja. Matanya terasa membola dan tanpa menunggu lama ia memeluk erat sosok itu dengan begitu erat. "Kenapa tidak bilang jika sudah kembali!" Doyoung memukul-mukul dada sosok itu dengan sebelah tangannya, sementara air matanya turun begitu saja.

Dengan pelan sosok itu melepas pelukan mereka, menangkup wajah Doyoung yang kini berurai air mata. "Jangan menangis…"

"Kau tak tahu betapa aku merindukanmu, huh?"

Sosok itu tertawa, pasti sama besarnya dengan rasa rindu yang ia rasakan selama ini. Bahkan mungkin lebih besar. "Aku kembali,"

Doyoung mengangguk, sambil mengusap air matanya. "Kau tidak boleh pergi lagi."

"Tidak akan."

"Taeil-hyung."

"Hum?"

Doyoung merajuk, "Cium aku."

Taeil tertawa. Ia akan melakukannya dengan senang hati.

.


Yonooh menghilang lagi.

"Aish." Taeyong berungut ria sambil memasukkan bukunya ke dalam laci meja. Kelas berakhir tepat pukul dua lebih lima belas dan sekarang Taeyong tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Tadi ia mengantuk lagi saat pelajaran terakhir, pelajaran ia menyesal kenapa ia harus memiliki kebiasaan buruk seperti itu. Ia tersadar saat mendengar suara Yonooh berpamitan, ia berkata 'Aku duluan,' dengan nada datarnya yang seperti biasa. Sedetik kemudian ia refleks bangun dan menengok ke arah kiri secepat yang ia bisa. Ia masih punya pertanyaan yang belum ditanyakan pada Yonooh. Tapi ia harus kecewa karena sosok itu sudah menghilang, seperti kebiasaanya (padahal ia baru melihatnya tiga kali).

Kadang Taeyong heran. Apa mungkin sosok itu punya kekuatan super? Aneh sekali bisa menghilang cepat sekali seperti itu.

"Hhhh."

Taeyong mendesah berat saat tahu kesempatannya untuk mendapatkan jawaban kembali terlewat begitu saja. Dengan kesal ia mengacak rambut coklatnya sambil mengembungkan pipi. Kesal. Beberapa orang di dalam kelas yang melihat itu tertawa. Tapi seperti biasa, Taeyong tak menyadarinya. Sungguh tak peka.

Puk.

Puk. Puk.

"Hei!" Taeyong berteriak sebal saat merasa jari telunjuk seseorang menusuk-nusuk pipinya yang mengembung. Ia menoleh dan mendapati Ten di sana.

"Berhenti berlaku aegyo," ujar Ten sambil duduk di kursi Yonooh, di samping kirinya, menghadap tepat ke arahnya. "Kau sengaja mau menggoda murid di sini, he?" lanjutnya lagi.

Sementara Taeyong semakin mengembungkan pipinya. Ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang Ten bilang. Bagimana caranya ia menggoda mereka hanya dengan berlaku aegyo? Mengangkat bahunya, Taeyong menidurkan kepalanya di atas meja, terlihat begitu lesu.

Ten yang melihat itu langsung menyerhit, "Kenapa?" tanyanya.

"Aku sedang kesal," Taeyong memulai ceritanya sambil mempoutkan bibirnya, masih setia di posisinya yang tiduran di meja.

"Kenapa?"

"Karena Yonooh menghilang."

Ah. Dan seketika sebuah senyum nakal tersungging di wajah Ten, ia menatap Taeyong tak percaya sambil berkata, "Aku tidak menyangka kau akan tertarik pada pria dingin dan misterius macam Yonooh." Ten terkekeh.

"Y-ya! Bukan seperti itu!"

"Lalu?"

Taeyong diam. Tak menjawab, tak bisa menjawab. Ia tak mungkin menceritakannya semua pada Ten. Makanya dia hanya diam.

"Ya sudah," Ten bangkit dari duduknya, berdiri dan sepertinya hendak pergi, "Aku ada urusan dengan klub setelah ini."

Taeyong mengangguk malas. Ia masih belum mau beranjak.

"Doyoung dan Kun juga ada urusan. Kau bisa kembali ke kamar sendiri kan, Taeyong?" Ten bertanya lagi sebelum benar-benar pergi. Taeyong mengangguk lagi.

Dan Ten benar-benar pergi setelahnya. Hanya bersisa beberapa siswa di kelas ini. Taeyong kembali menidurkan kepalanya di atas meja, kali ini ke arah kanan. Dan saat itulah ia melihat sosok Jaehyun dan Jeno lewat melalui jendela kelas. Mereka terlihat berjalan dengan tergesa meski dengan wajah dingin.

Entah apa yang merasuki Taeyong ia tiba-tiba bangkit dengan semangat, padahal sedari tadi ia lesu. Ia berjalan di belakang mengikuti mereka. Rasa penasaran menguasi dirinya. Jaehyun dan Jeno berjalan dengan langkah yang lebar-lebar, membuat Taeyong harus sedikit berlari agar tak kehilangan jejek.

Mereka akan kemana?

Pertanyaan itu memenuhi kepalanya sambil terus berjalan. Tak lama ia sampai di halaman kastil dan melihat kedua sosok itu mengarungi jalan setapak menuju gerbang.

Apa mereka akan pergi keluar? Kemana?

Taeyong semakin penasaran, ia terus mengikuti mereka, meski tertinggal jauh di belakang karena tak ingin ketahuan. Ia menatap gerbang tinggi bercat kusam itu terbuka perlahan dan kedua sosok itu mulai berjalan meninggalkan kastil.

"Ahhh. Sakit…" Taeyong mengeluh saat merasakan kakinya mulai sakit. Dengan keadaan seperti itu ia masih mencoba berlari mengejar dua sosok misterius yang kini jauh di depannya.

"Apa?" Taeyong melongo melihat pakaiannya yang tiba-tiba saja berubah saat satu langkah melewati kastil sekolah itu. Kini ia mengenakan kemeja biru, celana jeans dan sepatu kets. Dan dia kembali melongo saat melihat langit hitam bertabur bintang ditemani cahaya bulan menjadi pemandangan di atas sana. Bagaimana mungkin?

"B-bukankah tadi masih siang?" gumamnya dengan tak percaya. Rasa sakit di kakinya seakan menghilang karena kaget. Menggelengkan kepalanya, kewarasan Taeyong mulai kembali. Ia melihat dua sosok itu sudah tak terlihat, maka dari itu ia berlari begitu cepat, berharap masih bisa mengejar mereka.

Ah, dia melihatnya. Mereka mengambil belokan kanan di ujung jalan raya ini.

Dengan hati-hati ia terus menguntit seperti itu sampai mereka berhenti di sebuah gedung bertuliskan 'Paradise'. Alisnya sedikit menyerhit saat mendapati gedung itu hanya dipenuhi jendela. Sama sekali tak ada pintu atau sesuatu yang menjadi bisa dijadikan pintu masuk.

Ia berdiam diri di tempatnya, di belakang tiang listrik dan mengamati mereka mulai masuk ke gang di samping gedung itu. Tak ingin diketahui, ia menunggu beberapa menit sebelum berjalan mendekat.

Ia mengintip gang itu, terlihat sedikit kumuh dan banyak tikus.

Dengan perlahan ia berjan masuk, bau alkohol dan bau aneh lainnya bisa dirasakan indera penciumannya saat melangkah masuk lebih dalam. Taeyong melangkah hati-hati, memperhatikan dengan benar-benar apa yang ia injak sampai ia menemukan sebuah pintu kayu bertuliskan 'Paradise'. Sebuah pemahaman merasukinya, rupanya inilah jalan masuk ke gedung ini. Taeyong berdiri mematung di depan pintu itu bingung harus masuk atau bagaimana.

Brak!

Pintu kayu coklat itu terbuka tiba-tiba membuat Taeyong terlonjak dan melangkah mundur. Seorang wanita berpakaian minim berjalan terhuyung-huyung keluar dari tempat itu dengan sebuah botol di tangannya. Ia meracau, memaki, bernyanyi bahkan menangis seperti orang gila sambil beranjak pergi ke jalan raya di depan sana.

"Apa… itu tadi?"

Jantung Taeyong berpacu karena kaget. Ia baru sadar dengan apa yang ia lakukan sedari tadi. Dan ia juga baru sadar di mana dirinya berada sekarang. Dia memperhatikan sekelilingnya. Sebuah gang sempit, gelap dan menakutkan. Sebuah bar?

Astaga.

Taeyong mulai mengutuk sifatnya yang selalu terlalu penasaran, sampai-sampai bisa menghilangkan ke warasannya seperti ini. Jika ia sudah penasaran maka rasa takutnya seakan pergi, begitu juga dengan kewarasannya. Lagian untuk apa Jaehyun dan Jeno datang ke tempat seperti ini? Mereka masih di bawah umur sama seperti dirinya!

Wuuussssh

Taeyong merasakan tubuhnya merinding. ia memandang pintu kayu itu dan sekelilingnya dan rasa takutnya yang selalu berlebihan itu kembali muncul. Ia melirik sekitarnya takut. gelap, sempit, pengap. Dan jika ia tak salah ia mendengar suara lolongan serigala dan burung hantu dari kejauhan.

Perlahan dia melangkah mundur, selangkah demi selangkah, tanpa melihat jalannya. Hingga tanpa ia sadari ada sebuah botol bir di belakangnya, membuatnya terpeleset, jatuh dan mengaduh.

Pintu kayu terbuka dari dalam dan bersamaan dengan itu, seorang pria muncul dari sana dan kini menatap Taeyong. Sebuah seringai terpampang di wajahnya saat ia bisa dengan jelas melihat wajah pemuda di depannya. Pria itu mendekati Taeyong, ia membantunya berdiri, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya ramah.

Taeyong, tanpa curiga sedikitpun mengangguk, menerima tawaran bantuan itu begitu saja. Sepertinya kaki kanannya terkilir, karena rasanya sakit sekali setiap kali ia melangkahkannya.

Pria itu memapah Taeyong masuk ke gang yang gelap hingga sampai di ujungnya. Ia membiarkan Taeyong menyender ke dinding, sementara kedua tangannya berada di kedua sisi tubuh pemuda itu, seakan memenjarakannya, mengekangnya. Senyuman mencurigakan terpasang di wajahnya.

"Emm, tuan... aku rasa kau terlalu dekat. Bisa mendur sedikit?" Taeyong yang merasa risih dengan posisi mereka akhirnya membuka suara. Tapi bukannya menjauh pria itu malah semakin mendekatkan dirinya. Membuat Taeyong tersentak.

"T-tuan..." Taeyong mulai ketakutan. Ia mendongakkan wajahnya dan ia bisa dengan jelas melihat seringai di wajah pria itu. Seketika Taeyong sadar apa yang terjadi. Pria ini pasti orang jahat!

"M-mau apa kau? Pergi!"

Taeyong meronta meminta lepas, ia menggunakan tangannya untuk memukul sosok di depannya tapi sama sekali tak berpengaruh. Taeyong mencoba mendorong pria itu dari tubuhnya, tapi tenaga itu jauh lebih kuat darinya, membuat itu sia-sia, terlebih dengan sait di kakinya. Taeyong mulai merasakan tubuhnya bergetar karena takut. Dan gemetaran itu semakin bertambah saat pria itu mulai menggerayangi tubuhnya dengan tangannya.

"Lepas!" Sekali lagi Taeyong meronta, mencoba membebaskan tubuhnya dari pria itu.

"Kenapa manis?" tanyanya sambil menciumi pipi dan wajah Taeyong. Taeyong kembali meronta, menggelengkan wajahnya ke kanan dan ke kiri. Tapi tangan kekar pria itu memang dagunya, begitu kuat. Membuatnya tak bisa menggerakkan wajahnya.

"Hm. tenang saja manis. Aku takkan bermain kasar." ujar pria itu sambil mulai mencium sudut bibir Taeyong, menghisapnya pelan.

Slap!

Taeyong menampar wajah pria itu menggunakan tangannya dengan keras, hingga tangannya teras begitu sakit. Ia bisa melihat pipi itu memerah. Pria itu menjauhkan wajahnya, memegang bekas tamparan di pipinya dan mengelusnya perlahan sebelum menatap kembali Taeyong dengan ekspresi marah yang mengerikan.

"Brengsek."

Bugh.

Dan sebuah pukulan mengenai perut Taeyong.

"Berani sekali kau melakukan itu padaku, ha?" Pria itu nampak begitu marah, ia memencengkram dagu Taeyong begitu keras hingga membuatnya meringis sakit. Ia mendekatkan wajahnya sekali lagi dengan wajah pemuda manis itu. Hembusan nafasnya terasa di wajah Taeyong yang kini semakin ketakutan. Tubuhnya bergetar, ia bisa mencium bau alkohol.

"Dengar manis," pria itu menyeringai mengerikan, sambil menepuk-nepukpipi Taeyong, "Jangan paksa aku melakukan ini dengan kekerasan. Kau dengar?" ancamnya. Hidung pria itu semakin dekat, ia menelusuri pipi Taeyong dengan hidungnya. Sebelah tangannya yang lain terus bergerak di sisi badannya, terus turun ke bawah.

"Kumohon... lepaskan aku..." Taeyong menutup kelopak matanya, air matanya mengalir begitu saja di pipinya. Tubuhnya semakin gemetaran saat wajah pria itu mulai turun ke perpotongan lehernya. Takut. Kenapa ia selemah ini? Ia laki-laki tapi kenapa bisa selemah ini?

Dengan satu tarikan pria itu seluruh kancing kemejanya terlepas, membuat bahu dan dadanya terlihat.

Air matanya kembali turun. "H-hentikan." Taeyong mencoba mendorong dada pria itu dengan tangannya. Ia menggeliat, masih merasakan rasa sakit di perutnya. Mencoba menghentikan pria itu yang kini mulai menciumi, menghisap dan memberi tanda di lehernya. "L-lepas—" Taeyong melenguh, tangan pria itu bermain dengan dadanya. Ini menjijikkan.

"Tolong!" Taeyong menjerit sekeras yang ia bisa,entah mendapat kekuatan dari mana saat pria itu dengan lancang akan membuka celananya.

Slap!

"Diam!" Pria itu membentaknya.

Tapi Taeyong sungguh tak peduli, "Tolong! Siapapun tolong aku!"

Slap!

"Kubilang diam!"

Taeyong merasakan sudut bibirnya terluka, sobek dan berdarah karena tamparan itu. Ia bahkan bisa merasakan rasa dari darahnya sendiri sekarang. Tapi Taeyong belum mau menyerah, ia tak mau. Ia menjerit dan kembali meronta. "Tolong aku―!"

Sebuah hantaman keras sekali mengenai perut Taeyong. Menambah rasa sakitnya, membuatnya terbatuk. "Sudah kubilang diam, brengsek!" pria itu nampak sudah kehilangan kesabarannya. Dengan kasar ia menarik lepas kemeja Taeyong dan merobeknya, menjejelakannya ke mulut pemuda itu agar berhenti bicara. Selain itu ia juga menggunakan sobekan kemeja itu untuk mengikat kedua tangannya.

Ia melempar sosok kurus itu ke tanah dengan kasar, menimbukan rintihan kesakitan yang teredam. Taeyong sesegukkan, seluruh tubuhnya terasa sakit dan ia merasakan punggungnya dingin. Belum lagi rasa sakit di perutnya. Sekitarnya yang kotor sama sekali tak ia pedulikan, ia menyeret tubuhnya semakin jauh.

"Ayo kita bersenang-senang manis." Pria itu menyeringai mengerikan, ia menatap penuh nafsu tubuh putih mulus Taeyong yang kini terekspos begitu saja di depannya, terbaring tak berdaya. Seringainya semakin lebar saat melihat sosok itu bergetar ketakutan dan beringsut mundur hingga terhalang tembok di belakangnya.

Pria itu melepas kaos hitamnya dan mulai membuka sabuknya, membuka kancing celananya.

"Kau mau kemana? Kau baru bisa pergi setelah aku selesai denganmu," ujar pria itu sambil merangkak mendekat dan menindih tubuh itu. Menahan tangannya yang kini terikat ke atas. Dia mulai mencium dan menghisap leher Taeyong dengan begitu ganas, meninggalkan bekas kemerahan kecil.

Taeyong masih berusaha meronta namun yang terjadi bulir-bulir air matanya malah turun semakin deras. Ia berusaha berteriak, tapi bibirnya tersumpal. Ciuman pria itu terus menjelajah turun ke bagian dada dan perutnya. Menandai semua tempat yang di lalui. Taeyong menutup matanya rapat-rapat. Merasa jijik dengan tubuh dan dirinya sendiri yang kini diperlakukan seperti ini. Ia laki-laki, tapi dirinya begitu lemah.

Sumpalan di mulutnya terlepas, pria itu yang melakukannya. Dan Taeyong kembali memandang pria itu dengan mengiba, berkata jangan dengan lirih, tapi pria itu malah tertawa dan melumat kasar bibirnya, menghisap dan menggigitnya dengan liar. Menciumnya dengan brutal.

Pria itu terus melakukan apapun yang ia inginkan.

Bugh!

Sampai tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam wajahnya membuatnya terpental dan menghantam dinding dengan telak.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADANYA, BRENGSEK?!"

BUGH

BUGH

Suara itu

Pukulan tak henti-hentinya melayang pada wajah pria itu. Berkali-kali.

Jaehyun?

BUGH

BUGH

BRUGH

Tubuh tinggi pria itu yang kini babak belur dihempaskan ke tanah dengan begitu keras, membuatnya tersungkur hingga tak sadarkan diri. Terlihat hampir sekarat, mungkin pingsan. Wajahnya begitu mengerikan, penuh luka lebam dan darah. Beberapa giginya lepas dan tulang hidungnya patah. Sebelah matanya membiru.

Sementara Jaehyun seakan belum puas dengan semua itu, ia berdiri di depan sosok itu dengan begitu angkuh, matanya menyiratkan kemarahan yang teramat sangat. Ia menendangnya tubuh itu tanpa henti. Berkali-kali. Dengan kekuatan yang semakin bertambah setiap kalinya.

Dan Taeyong melihat itu. Ia melihat semua dengan pandangannya yang agak kabur dari tempatnya terbaring. Taeyong meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri sedemikian rupa. Takut.

Jaehyun menatapnya, membuat pandangan mereka bertemu. Taeyong memandang sayu mata hitam kelam itu. Ia tahu dirinya terlihat begitu menyedihkan sekarang.

Jaehyun menggeram. Dengan perlahan mata hitamnya mulai berubah warna ke warna yang sewarna dengan warna darah, merah pekat. Sepasang taring muncul di sudut bibirnya. Ia berubah dalam sosoknya yang sebenarnya. Vampire.

Takut…

Takut…

Takut…

Taeyong merasakan seluruh tulangnya lemas melihat itu. Jaehyun dalam sosok vampire menerjang dan mengangkat tubuh pria yang tergolek tak berdaya itu, dan tanpa segan membenturkannya dengan keras ke dinding. Menekan tubuhnya dengan cengkraman di leher. Lalu tak menunggu lama, sepasang taring langsung menancap di leher sang pria malang yang setengah sadar.

"AAAAAAAAA."

Teriakan kesakitan terdengar memilukan.

Taeyong memandang itu dengan ngeri dan penuh teror. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat tubuh pria perlahan melemas, teriakannya memelan, lalu benar-benar hilang. Sosok itu sudah mati. Tapi Jaehyun tak berhenti hingga tubuhnya perlahan menyusut, berubah menjadi kurus kerontang sebelum, plas!—menjadi abu.

Jaehyun menggeram lagi, menampilkan taringnya yag kini berlumur darah. Dia menginjak butiran abu itu. Dan sekali lagi ia memandang Taeyong yang terbaring menyedihkan di tanah. Jaehyun berjalan mendekat dan ia tahu tubuh itu gemetaran, menahan takut. Sosok itu takut padanya. Ia berhenti, niatnya untuk menghampiri sosok itu seakan terhalang oleh sesuatu dalam pikirannya.

Perlahan Jaehyun mulai kembali mendapatkan kontrol tubuhnya. Ia berubah. Matanya yang kini kembali hitam kelam memandang mata Taeyong dan tubuhnya yang terbaring di tanah yang kotor. Jaehyun berbalik, hendak pergi. Rasa kecewa menyelip di hatinya saat tahu bahwa Taeyong sebegitu takut padanya. Apalagi setelah tadi, setelah ia dengan begitu kejamnya menghabisi satu nyawa manusia.

Satu langkah.

"J-jangan pergi!"

Dua langkah.

"Kumohon jangan pergi..."

Tiga langkah.

"Jaehyun..."

Itu adalah kali pertama ia mendengar sosok itu memanggil namanya. Sebuah perasaan aneh hinggap dalam benaknya saat namanya diucapkan oleh pemuda itu. Membuat Jaehyun seketika menghentikan langkahnya. Jaehyun berbalik, menatap dingin sosok itu. Ia ingin, begitu ingin memeluk sosok itu lagi, menghampirinya yang kini terlihat sangat rapuh di matanya. Tapi sesuatu kembali menahannya.

"Kau takut padaku."

Jaehyun melihat sosok lemah itu menggeleng pelan dengan susah payah. Meski begitu Taeyong merasakan tubuhnya masih gemetaran, tapi ia tak mau sosok itu pergi. Hatinya melarangnya. Ia tak mau ditinggalkan sendirian di tempat ini. "A-aku tidak takut padamu," lirihnya.

Jaehyun menatap mata itu lekat, seakan tak percaya. Akan lebih mudah jika ia bisa membaca pikiran pemuda itu. Ia tahu pemuda itu berbohong saat mengatakan sudah tak takut lagi padanya, tapi keinginannya untuk menyentuh sosok itu lagi lebih besar sekarang.

Zlaaaap.

Tiba-tiba saja sosok itu sudah ada di depan Taeyong. Berlutut di samping sosoknya yang terbaring. Jaehyun membuka ikatan di tangan Taeyong. Perlahan mengusap air mata yang ada dipipinya dengan perlahan menggunakan tangannya dengan lembut. "Jika kau tak takut padaku. Kenapa kau menangis?"

Taeyong menutup matanya, air matanya seakan tak bisa berhenti mengalir, ia sendiri tak tahu mengapa.

Melihat itu, Jaehyun tak tahan untuk tak mendekatkan wajahnya ke wajah Taeyong yang masih dalam posisi terbaring. Dengan begitu saja Ia mengecup sudut bibir Taeyong, menjilat darah di sana, menghisapnya pelan meski Taeyong sedikit meringis saat ia melakukannya. Manis, rasanya sangat memabukkan hingga membuat Jaehyun bisa lupa diri.

Setelahnya ia beralih mengecup setiap air mata yang turun di pipi Taeyong hingga tak tersisa.

Taeyong merasakan jantungnya berdetak tak menentu. Ia juga merasakan suatu sengatan aneh dalam tubuhnya saat Jaehyun melakukannya. Taeyong membuka matanya kemudian. Mata sayunya bertemu dengan mata hitam Jaehyun lagi, yang kini begitu dekat dengan wajahnya.

"Jangan menangis…"

Ada perasaan ganjil dalam diri Taeyong saat mendengar Jaehyun mengatakan hal itu. Taeyong mengangguk pelan, masih bisa merasakan kecupan di ujung bibirnya sedetik lalu.

Jaehyun menatapnya lagi sebelum membuka mantelnya. Ia menyelimuti itu ke tubuh Taeyong yang sebelum mengendong sosok itu dalam dekapannya. Taeyong sendiri tak menolak, ia bisa merasakan tangan dingin Jaehyun mengangkat tubuhnya. Meski begitu ia merasa nyaman, perlahan ia menyenderkan kepalanya ke dada Jaehyun.

Meski tak ada detak jantung di sana, meski sebenarnya pelukan itu sedingin es, Taeyong tetap merasa hagat, nyaman, dan aman.

Jaehyun berdiri, dengan Taeyong di gendongannya menyembunyikan wajahnya di dada Jaehyun dengan tangan mengalung di lehernya. Taeyong mendongak, Jaehyun menunduk menatapnya. Pandangan keduanya kembali bertemu.

"Jaehyun..."

Meski jantungnya sudah tak berdetak, Jaehyun merasa seakan itu terpompa lebih cepat saat mendengar namanya kembali disebut oleh suara lirih yang terdengar pelan itu. Orang yang kemarin berusaha membunuhnya, hari ini telah menjadi orang yang menyelamatkannya. Takdir sungguh ingin mempermainkannya. Kali ini Taeyong begitu yakin, sebelum matanya terpejam dan tak sadarkan diri. "Aku tak takut padamu."

Jaehyun mendongak menatap langit malan dengan pikiran kalut, bertanya-tanya;

Perasaan apa ini?

.


To be Continued

.


A/N:

Jaeyong rasa GGS is baaaack. Jangan tampar saya, please T^T. Maaf karena ini lama sekali sejak terakhir update. Maaf juga jika ini terlalu aneh dan jauh dari ekspektasi

Seperti biasa juga, terima kasih untuk yang sudah fav, follow, review di chapter sebelumnya juga cerita yang lain. Kalian terbaaaaaik. Maaf reviewnya tidak dibalas satu persatu. He he he.

REVIEW JUSEYONG?