Terlihat sebuah mobil hitam melaju lambat keluar dari area sekolah. Lalulintas cukup padat lantaran jam pulang kerja sudah dimulai setengah jam lalu.
Dalam mobil keluaran negeri paman Sam tampak Shion dan Neji. Hanya terdiam memandang jalanan dengan telinga cukup asyik mendengarkan radio.
"Neji, kau masih bersaudara dengan Hinata-sensei dan Hanabi?" Shion bertanya di saat mobil berhenti karena lampu lalulintas menunjukkan warna merah.
"Aku, Hinata Nee-sama, dan Hanabi-sama adalah saudara sepupu." Jawab Neji seiring netranya memandang lampu lalulintas.
"Kenapa kau memanggilnya dengan embel-embel 'sama'?" Shion kembali bertanya. Adalah hal aneh bila saudara memanggil dengan suffix seperti itu.
"Ada banyak hal dalam keluarga Hyuga yang tak pernah kau dengar, kecuali Hyuga adalah keluarga bangsawan."
"Kalau begitu kenapa tak kau ceritakan padaku?" Dengan ketus Shion berujar.
"Kenapa sikapmu selalu ketus seperti itu?" Ucap Neji. Ia heran apakah ia berbuat salah sehingga diberi intonasi tidak enak seperti itu? Benaknya bertanya-tanya.
"Memang seperti ini dari tokonya." Jawab Shion asal tak ada niat menjelaskan sikapnya toh memang seperti ini dia adanya.
"Toko mana kau berasal?" Ujar Neji seiring sudut bibirnya tak kuasa menahan senyum.
"Toko Miroku! Sudah cepat beritahu aku!" Shion berkata dengan lebih ketus.
Neji bersusah payah menahan senyum mendapati sikap kekanakan Shion. Lalu menjalankan mobilnya seusai lampu lalulintas berubah hijau.
"Baiklah. Kau ingin tahu di bagian mana?" Neji mengalah.
Shion tampak menekan dagunya dengan telunjuk dan ibu jarinya, menunjukkan pose berpikir.
"Aku tidak tahu. Jelaskan saja tentang keluarga Hyuga." Ujar Shion menuntut apa saja untuk dijelaskan Neji tentang keluarganya.
"Banyak hal. Semalaman tidak akan cukup untuk menjelaskannya. Intinya keluarga Hyuga terbagi menjadi dua golongan. Keluarga inti dan keluarga sekunder. Shouke dan Bunke ..."
"Keluarga Hyuga Shouke adalah keluarga inti harus menjalankan bisnis keluarga Hyuga yang dilakukan turun-temurun. Sedangkan untuk Bunke harus membantu keluarga inti untuk menjalankannya. ..."
"Seperti itulah. Lalu untuk peraturan ada sangat banyak. Tidak boleh mempermalukan keluarga karena nama keluarga dijunjung melebihi nyawa. Tidak boleh melakukan pernikahan satu marga meski dalam susunan keluarga sudah berjarak. Masih ada banyak lainnya yang pastinya kau akan pusing bilang menjalaninya." Neji merasa sebagian kecil itu cukup untuk menjelaskan pada Shion yang sedari tadi mendengarkan.
Gadis pirang itu merengut kesal lantaran Neji menjelaskan sambil mengejek bahwa ia tidak akan bisa menjalani seluruh peraturan.
"Ya. Ya. Ya. Terserah padamu. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Sakura-sensei? Aku baru tahu kau memiliki ketertarikan pada seseorang yang lebih tua. Pantas saja kau tidak pernah menerima ajakan kencan dari siswi di sekolah." Shion kembali berceloteh apa yang ada di pikirannya.
"Seperti kau tidak saja. Sebelum terbangun dari pingsanmu kau menyebut 'Naruto-sensei' beberapa kali. Bagaimana kau menjelaskannya?" Sekakmat! Itu adalah serangan balik untuk memojokkan Shion yang sebelumnya memberi pertanyaan tentang Sakura.
"Ba-baka! Setelah lampu merah itu belok ke kanan." Shion sempat dibuat salah tingkah namun dengan cepat mengalihkannya dengan mengarahkan arah ke mana ia akan pulang.
"Bukankah rumahmu masih lurus?" Neji dibuat heran dengan ke mana Shion ingin pulang namun gadis itu tak kunjung menjawab.
Beberapa saat tak ada obrolan di antara keduanya. Hingga mobil Ford Focus hitam Neji berhenti tepat di depan apartemen sederhana.
"Aku tinggal di apartemen itu untuk sementara. Kumohon jangan bertanya kenapa dan jangan beritahu siapa pun." Gadis itu menjelaskan lalu meminta untuk tak bertanya mengapa padanya.
"Terima kasih untuk tumpangannya." Ucap kembali Shion lalu turun dari mobil.
Neji membuka kaca mobilnya. "Aku tidak akan bertanya mengapa, tetapi bila kau butuh bantuan aku bersedia menolong sebisaku." Neji berkata seiring senyum pertemanan ia berikan pada Shion.
"Sekali lagi terima kasih, Neji. Aku sangat menghargainya." Jawab Shion dengan senyum di wajah cantiknya.
Neji melajukan mobilnya meninggalkan Shion yang memandang perginya mobil hitam hingga menghilang di persimpangan.
Gadis pirang itu berjalan masuk ke dalam gedung apartemen seraya mengeluarkan ponselnya dari tas yang ia kenakan.
.
..
Love and Lust
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Story: Baka DimDim
Warning: AU, OOC, No-EYD, Crack-pair-inside, bahasa-kasar, Typo(maybe), Lime-inside(maybe), many-more.
..
.
Suasana tegang menyelimuti sebuah ruangan yang dipenuhi dengan beberapa set alat musik. Sepasang netra ametis itu memantulkan dua sosok muda-mudi di sana. Pandangan tak percaya terpancar tegas dari maniknya.
Gadis berambut coklat panjang itu memandang sosok pemuda pirang dan perempuan pemilik netra yang sama persis dengan miliknya sendu.
"Nee-sama? ... , Naruto Nii-san? ..." Ucap gadis berseragam sekolah itu mencoba mengungkiri apa yang ia lihat sebelumnya.
"Hanabi ... kena–" Hinata segera berdiri lalu mendekati Hanabi.
"Nee-sama, ingat bagaimana wajah Otou-sama saat bercerita tentang Kushina kaa-san? ..." Hanabi berujar cepat memotong ucapan sang kakak dan seketika Hinata menghentikan langkahnya.
Mendengar ucapan Hanabi membawa juga perasaan menyakitkan dalam benak Naruto. Bayang-bayang ia melihat ibunya menangis kala sendirian sambil memandang foto pria dewasa berambut pirang.
"... Aku tidak pernah melihat ekspresi Otou-sama secerah itu. Apa lagi setelah otou-sama menikah kembali. Aku ... aku tak ingin melihat Otou-sama merenung di saat sendiri dengan album foto di pangkuannya. ..." Hanabi berbalik lalu sebelah tangannya terangkat mengusap sesuatu di wajahnya.
"... Otou-sama atau perasaan Nee-sama? Pikirkan itu." Ujar Hanabi kemudian berlalu meninggalkan Naruto dan Hinata di sana.
Rasa bersalah, sedih, dan gundah merasuk relung hati keduanya. Tak ada yang bersuara di antara keduanya.
Naruto mendekati Hinata lalu segera membalik tubuh mungil gadis itu dan menenggelamkannya dalam peluknya.
"Aku tidak tahu kenapa harus seperti ini? Kenapa kita terbelenggu kenyataan seperti ini?" Ucap Hinata tertahan dengan bahunya bergetar. Pilihan yang sulit ia terima. Kebahagiaannya atau kebahagiaan ayahnya?
Sang pemilik netra biru mengeratkan rengkuhannya. Ia tidak ingin drama kehidupan ini mempermainkannya, namun apa daya, ia hanya entitas tak berkuasa untuk mengubah takdir yang ada.
Isak tertahan gadis berambut indigo itu mewarnai belenggu keheningan yang kini memenjara dua insan terlanda dilema keluarga.
.
Kini malam pun tiba. Terlihat jelas suasana di meja makan terasa sepi dengan lima entitas di sana.
Seorang pria paruh baya tampak memerhatikan dua gadis pemilik netra persis sama dengannya. Terlihat seperti ada sekat antara Hyuga bersaudara itu.
Bila bersama Hinata, Hanabi akan cerewet menceritakan harinya, dan sebaliknya, Hinata akan dengan senang hati menanggapi tiap celoteh yang diujarkan Hanabi.
"Aku sudah selesai. Terima kasih makan malamnya." Pemuda berambut pirang begitu saja berujar memecah keheningan.
"Kaa-san, aku akan pergi keluar sebentar." Lanjutnya lalu segera beranjak pergi dengan beberapa pasang mata menatapnya.
"Hati-hati saat mengemudi." Ucap sang ibu yang dibalas sebuah gumaman oleh Naruto.
.
Tok ... tok... tok...
Naruto mengetuk beberapa kali pintu apartemen lamanya yang kini ditinggali oleh seorang gadis yang pernah menjadi manajer klub basket yang ia latih.
Pintu terbuka lalu terlihat Shion dengan sedikit canggung menatap Naruto.
"Sensei?"
"Apakah aku harus meminta izin untuk masuk ke dalam apartemenku sendiri?" Naruto berujar dengan sedikit canda.
Gadis itu tersentak lalu segera membuka lebar pintu dan membiarkan sang pemilik apartemen untuk masuk.
Kini keduanya terlihat duduk berhadapan.
"Sensei sudah bertemu dengan orang tuamu."
Shion hanya mengangguk. Sesungguhnya ia sedikit tidak nyaman dengan perasaannya lantaran hanya berdua dengan laki-laki pirang tersebut. Ingatan kejadian kemarin malam pun terlintas kembali dalam benak Shion yang seketika membuat jantung semakin berdegup kencang.
Naruto mulai menceritakan apa yang telah ia bicarakan dengan kedua orang tua Shion. Ia juga tak luput untuk menceritakan apa yang sempat dialami muridnya kala kedua orang tua Shion bertanya tentang beberapa bekas luka di wajah Naruto.
Ya. Mengambil langkah bijak sangat perlu ia berikan untuk muridnya. Serta bersikap dewasa memanglah sangat penting dalam kehidupan.
Adakah parameter untuk menunjukkan seberapa dewasa dirimu? Tentu jawabannya adalah tidak. Tolak ukur itu ada pada tiap keputusan yang diambil agar yang terbaik tergapai untuk semua pihak.
Hal dewasa telah ditunjukkan putra pewaris Namikaze itu dengan memberi pertanggungjawaban atas Shion yang kini berada di apartemen lamanya.
Berhadapan langsung dengan kedua orang tua muridnya merupakan kewajiban seorang guru, meski sekalipun pemuda tersebut bukanlah guru akademik.
.
"Kau sudah mengerti? Tak selamanya kau bisa lari seperti ini. Jangan terlalu lama menghindar kau akan menemukan pendewasaanmu ketika kau menghadapi masalah." Naruto mengakhiri kalimatnya lalu mulai bangkit dari duduknya.
"S-Sensei ..."
"Hm?" Naruto berbalik dan memandang Shion terlihat ragu untuk berbicara.
"... terima kasih." Shion berujar namun tampak seperti ada yang masih ingin diucapkan.
Naruto pun hanya mengangguk dan tersenyum kemudian berlalu.
"... apa yang kemarin malam Sensei lakukan padaku karena parasku yang mirip dengannya?" Shion berujar pelan ketika orang yang tertuju menghilang di balik pintu.
.
.
Suasana terlihat ramai oleh orang-orang berlalu lalang dengan koper atau troli ataupun tas besar.
Di kursi tunggu bertuliskan Konoha Airport tampak seorang gadis pirang dengan balutan blazer hitam berpadu kemeja putih dan rok pendek tampak kesal sembari memandangi ponsel pintarnya.
Menunggu memang tidaklah menyenangkan. Terlebih suara-suara pemberitahuan terngiang.
"Kau di mana, Naruto Baka?" Ia mendesis kesal.
Namun secara tiba-tiba senyumnya merekah kala melihat lelaki tegap berjalan dengan tas koper kecil beroda yang ia tarik.
Senyum di wajah gadis itu luntur dan rasa kesal kembali hinggap ketika melihat luka berbalut perban di wajah pemuda yang tengah ia pandang.
"Dari mana saja kau?!" Dengan kesal perempuan bernama lengkap Sabaku Temari itu berujar ketus.
"Melakukan wajib lapor di kantor polisi. Ayo, kita sudah pesawatnya sebentar lagi take-off." Naruto tak merasa bersalah sekalipun. Bila sudah ketinggalan pesawat barulah ia akan merasa bersalah. Ya. Sikap yang mengesalkan.
"Kau kira tempat ini milik keluargamu?!" Ujar Temari gemas.
"Keluargaku bisa membeli tempat ini kalau mereka mau." Naruto menjawab asal. Terlalu malas bila terus berdebat.
"Keluargaku juga bisa kalau mereka mau."
Dan obrolan kecil tak berfaedah terjadi sembari mereka berjalan masuk untuk melakukan prosedur yang harus di lakukan penumpang pesawat.
.
"Jadi, bisa jelaskan kenapa kau harus melakukan wajib lapor dan wajahmu penuh luka seperti itu?" Temari bertanya sesaat menyamankan dirinya di kursi kelas bisnis yang baru ia duduki.
"Maaf membuatmu kesal menunggu. Aku sengaja datang sedikit terlambat. Karena kau akan bertanya padaku soal luka ini, sebabnya, dan segala hal lain yang dilakukan oleh seorang wartawan." Naruto berujar sambil melihat keluar jendela.
Temari hanya masih memandang kesal. Bagaimanapun ia menyukai laki-laki tersebut jadi jelas saja ia khawatir saat mendapati pemuda itu berbalut perban.
Raut wajah perempuan Sabaku itu berubah cemas.
"Salahkah bila aku mengkhawatirkanmu?" Ia berujar pelan seraya mengalihkan pandangannya dari netra biru Naruto.
Dan kalimat itu sukses mengingatkan pemuda pirang tersebut akan perasaan sang perempuan padanya.
Ia mengembus napas berat kemudian mengangkat sebelah telapak tangannya pada puncak kepala Temari.
Jade indah itu bergulir dan berserobok dengan Sapphire Naruto.
"Aku berkelahi dengan beberapa orang untuk menolong muridku, lalu aku dilaporkan pada polisi. Seperti itulah ceritanya. Haruskah aku bercerita gerakan apa saja yang aku lakukan saat berkelahi?" Naruto sedikit bercanda di akhir penjelasannya, namun suasana di keduanya masih sama. Si laki-laki terasa ditekan dan si perempuan menguar rasa khawatir.
"Jangan bercanda. Aku tetap khawatir padamu, kau tahu?" Temari berucap pelan.
"Dalam perjalanan ini aku bosmu. Jangan mengomeli bosmu."
"Jangan sombong. Sabaku Inc masih setara dengan Namikaze Enterprise kalau soal saham bisnis."
"Jadi kau menjadi sekretaris di Namikaze Enterprise untuk memata-matai dapurnya?"
Perdebatan tak berfaedah kembali terulang.
.
.
"Kyaaa! Sudah lama aku tidak berbelanja dengan sesama perempuan." Wanita berambut merah itu berseru di tengah-tengah dua gadis yang mirip satu sama lain.
"Ayo kita belanja, Kaa-san." Gadis berambut coklat panjang berseru, lalu menarik lengan Kushina.
Di dekat mereka tampak jelas Hinata memerhatikan keduanya dengan senyum terpatri di wajah manisnya.
Ia teringat kembali bagaimana rasanya memiliki ibu. Kemudian berjalan pelan mengikuti langkah kedua perempuan di depannya.
Dirinya seperti merasakan bawah ibu tirinya mengetahui ada sesuatu antara ia dan adiknya, juga bisa saja sang ayah yang meminta agar mereka pergi bersama-sama. Benarkah begitu adanya? Sejelas itukah bila ia dan sang adik tengah mengalami sedikit singgungan tak langsung.
Berjalan dari toko ke toko. Memang dasarnya naluri perempuan, bila melihat sesuatu bertuliskan 'diskon' akan terpancing begitu saja.
Dan berakhirlah mereka di YakinikuQ. Sebuah restoran yang cukup terkenal dengan cita rasa daging panggang yang khas.
Mereka dengan asyik saling bercerita banyak hal, meski tetap terasa dinding pembatas antara Hinata pun Hanabi.
"Hinata, Hanabi. Apa kalian sudah memiliki kekasih?" Sontak pertanyaan itu menjadi pukulan untuk kembali mengingat detik-detik ketegangan mereka kemarin.
"Tidak mau menjawab ya? Ternyata anak laki-laki jauh lebih terbuka ya." Kushina berujar sendiri.
"Memang Naruto Nii-san suka bercerita tentang hal seperti itu?" Hanabi menanggapi ujaran Kushina.
"Tidak sering, tetapi ia pernah bercerita akan menunggu perempuan yang tengah menuntut ilmu di luar negeri. Kalau dihitung sampai sekarang Naru menunggu sudah sembilan tahun kurang lebihnya, tetapi sampai sekarang kaa-san belum tahu nama dari gadis itu." Kushina menjelaskan perihal asmara anaknya. Kalau boleh jujur. Sebenarnya ia sangat ingin melihat putranya menggandeng seorang gadis yang diinginkan, tetapi haruskan sang putra harus menunggu hingga bertahun-tahun lamanya?
Baik Hinata dan Hanabi terdiam seusai mendengar sedikit penjelasan Kushina tentang Naruto.
Hinata merasa bersalah karena telah terlalu lama membuat laki-laki yang telah mengacaukan pikirannya menunggu. Sedangkan ia saat itu telah melupakan janji yang telah mereka buat.
Berbeda dengan Hanabi. Ia tidak sedikit pun memikirkan apa atau bagaimana jalan keluar untuk masalah yang dihadapi sang kakak. Dan jujur saja ia merasa perhatian dengan kakak tirinya yang telah menunggu bertahun-tahun. Seserius itukah kakak tirinya? Namun tetap kebahagiaan sang ayah tetap menjadi nomor satu untuknya. Ia tidak ingin melihat ayahnya bersedih dengan album foto lama di pangkuan.
Keduanya terdiam. Tidak tahu harus seperti apa menanggapi ujaran Kushina.
Dan makan siang mereka berlanjut dengan sedikit kecanggungan.
.
.
Seoul, Korea Selatan. Baru beberapa saat lalu kedua muda-mudi pirang menginjakkan kaki di negeri ginseng.
Kini baik Naruto mau pun Temari tampak berjalan keluar gate untuk mencari seseorang yang akan mengurus keperluannya di sini.
Tak sampai lima menit berlalu. Naruto melihat seorang pria berbadan agak tambun memegang sebuah papan bertuliskan 'Namikaze Naruto' di antara kerumunan orang-orang yang tengah menunggu kedatangan orang yang mereka kenal.
"Sebelah sini." Naruto berujar lalu meraih telapak tangan Temari yang berjalan beberapa langlah di depannya.
Temari sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan Naruto, kemudian merasa sedikit kecewa kala pemuda itu melepas genggaman tangannya.
"Lama tidak bertemu, Chouji." Ujar Naruto lalu menjabat tangan laki-laki yang merupakan teman satu tempat kerja praktiknya.
"Baru satu tahun, Naruto. Kau bersama kekasihmu?" Balas Chouji kemudian menggoda teman yang cukup dekat selama kerja praktik.
Temari sedikit salah tingkah mendengar apa yang Chouji ucapkan lalu segera menepisnya. Bagaimana pun ia harus profesional dan bisa menempatkan diri sebagaimana seharusnya.
"Ngomong-ngomong. Ada apa dengan wajahmu?" Tanya Chouji melihat luka di wajah Naruto.
"Ah! Lusa kemarin aku mengalami kecelakaan. Sudah tidak apa." Laki-laki pirang itu pun menjawab dengan sedikit canggung.
"Aku lupa. Perkenalkan dia Sabaku Temari. Dia sekretarisku." Naruto berucap memperkenalkan Temari.
Chouji memandang Temari dengan senyuman formalnya.
"Akimichi Chouji. Senang berkenalan dengan Anda." Ujar Chouji bersikap formal.
Naruto sedikit menahan tawa melihat Chouji bersikap formal.
"Jangan terlalu formal. Bila kau mengenalnya, sikap formalmu bisa hilang selamanya." Naruto bersuara sambil sedikit melirik Temari yang seketika memberikan pandangan kesal padanya.
"Begitukah? Baiklah. Ayo, aku akan mengantar kalian ke hotel." Ujar Chouji lalu segera berbalik.
Naruto dan Temari pun mengangguk lalu berjalan di belakang Chouji yang sudah lebih dahulu melangkah.
"Jangan berpikiran aneh saat kau mendengar hotel." Bisik Naruto pada perempuan pirang di sebelahnya.
"Ittai!" Naruto meringis ketika Temari dengan senang hati memberikan cubitan di pinggangnya.
"Ada apa?" Chouji berhenti lalu menoleh ke arah Naruto dan Temari.
"Tidak ada apa-apa, Akimichi-san. Naruto-sama hanya merasa jet lag karena penerbangan singkatnya." Ucap Temari menjawab pertanyaan Chouji.
Laki-laki tambun itu hanya mengangguk kemudian melanjutkan jalannya menuju mobilnya.
.
Tak sampai satu jam perjalanan Chouji sudah mengantar Naruto dam Temari ke hotel tempat mereka bermalam.
Dalam perjalanan baik Chouji, Naruto, dan Temari sedikit membahas meeting yang mereka akan dilaksanakan esok sore.
Sesampainya di hotel. Naruto sempat protes mengetahui kamar yang di urus oleh pihak perusahaannya hanya satu, namun protes tersebut hilang begitu saja ketika mengetahui bahwa terdapat tiga ruangan di kamar hotel yang di pesankan.
"Ini kamar kalian. Bila ada sesuatu bisa menghubungiku. Selamat malam." Chouji berujar kemudian meninggalkan Naruto dan Temari di depan pintu kamar.
Tidak lama berdiam. Pemuda pirang itu segera membuka pintu dengan pass card yang ia genggam.
Begitu masuk ke dalam sudah terlihat dua pintu yang saling berhadapan dan sebuah ruangan berfasilitas televisi 40 inci serta fasilitas lain untuk bersantai mau pun untuk mereka berdiskusi nanti.
"Kau ingin kamar sebelah kiri atau kanan?" Naruto bertanya. Bodoh memang hal seperti itu masih saja di pertanyakan. Tentu fasilitas kedua kamar itu sama.
"Men to the left because women are always right." Temari berujar apa yang menjadi semboyan para wanita terhadap laki-laki.
"Hai. Hai. Terserah." Naruto berujar dengan malas. Lalu berjalan menuju kamar sebelah kiri.
"Temari, mau makan malam di sini atau kita keluar?" Naruto bertanya sebelum ia memasuki kamar. Ini sudah masuk jam makan malam. Tak lucu bila saat ia meeting esok justru harus sakit lantaran asupan gizi yang tak teratur.
"Kita keluar saja. Jarang-jarang bisa keluar negeri gratis seperti ini." Temari menjawab santai lalu segera masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Naruto yang menatapnya sedikit tersenyum.
"Walau sedikit menyebalkan tetapi tidak suka menghamburkan uang." Monolog si pirang kemudian memasuki kamarnya.
.
.
Makan malam terasa sangat khidmat dirasakan keempat entitas di sana. Menikmati makan malam dalam suasana keluarga yang diiringi obrolan ringan sesekali.
Dengan balutan kimono rumahan. Tampak Hinata sesekali memandang kursi kosong di sebelah Kushina.
Dalam pikirannya melambung pada sosok laki-laki pirang yang seharusnya menduduki kursi kosong di sana.
"Hinata, setelah ini ada sesuatu yang ingin Tou-sama bicarakan denganmu." Pria berambut coklat panjang itu berujar setelah beberapa kali melihat putri sulungnya memandang kursi kosong di meja makan beberapa kali.
Gadis yang disebut namanya hanya mengangguk usai mendengar ujaran sang ayah.
Sementara baik sang adik dan ibu hanya melihat hal tersebut dalam diam, tentu dengan pikiran yang berbeda.
.
Usai sudah acara makan malam mereka berakhir. Kini di ruang kerja pria bernama lengkap Hyuga Hiashi, tampak ia duduk di kursinya dalam diam. Entah apa yang ia pikirkan.
Tok ... tok ... tok ...
Suara pintu yang diketuk dari luar menjadi atensi penuh dari Hiashi.
Kemudian pintu terbuka menampilkan putri sulungnya yang telah ia minta untuk membicarakan satu hal yang tidak Hinata tahu.
"Duduklah." Perintah sang ayah.
Hinata segera duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Hiashi. Gadis itu sendiri tak mengerti apa yang akan dibicarakan sang ayah. Namun ini sepertinya memang bersangkut paut pada apa yang telah membuatnya gelisah.
"Otou-sama hanya akan bertanya sekali. ..." Hiashi berujar dengan nada tegasnya seperti biasa.
"... Apa yang terjadi antara kau dan Hanabi? Otou-sama tidak ingin ada perselisihan antara kalian. Bisa kau jelaskan?" Ucap Hiashi melanjutkan.
Sungguh saat ini dilema sangat Hinata rasakan. Apakah ia akan mengatakan kejujuran? Atau berdusta?
Pilihan yang gadis itu sendiri mengerti atas apa yang akan ia tuai. Kejujuran akan membawanya pada akhir dari perasaan dan egonya. Sebaliknya dengan dusta. Yang akan memberikan kebahagiaan semu dalam bayang-bayang perihnya hati.
Bagaimana pun ayahnya telah mendidiknya selama ini. Ia tak akan kuasa menyakiti sang ayah. Kasih sayang, pandangan hidup, dan makna kehidupan telah Hiashi ajarkan padanya.
Hinata memilih bungkam dari pertanyaan yang telah Hiashi ajukan. Ini bukan hal yang bisa ia tentukan dalam hitungan detik pun menit.
"Hinata, kau sudah dewasa. Tentu kau tahu mana yang baik dan mana yang benar. Kau adalah seorang Hyuga, dan seorang Hyuga tidak akan lari dari masalah yang ada." Hiashi berujar kembali.
Dia. Hinata. Tentu tahu maksud dari ayahnya. Ayahnya ingin ia mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Otou-sama, aku adalah seorang Hyuga. Aku tidak mungkin menghindar dari masalah. Soal aku dan Hanabi, biar aku bersama Hanabi sendiri yang menyelesaikannya." Hinata berujar dengan penuh keseriusan.
Hiashi menandang iris mata yang sama seperti miliknya. Ia menemukan keseriusan di sana, tapi tetap ada hal yang menjadi pertanyaan baginya.
Ia mengetahui bagaimana tatapan Hinata saat memandang laki-laki yang kini juga putranya. Serta ia mengerti dan mampu mengartikan pandangan Naruto pada putrinya. Namun ia memilih bungkam, membutakan apa yang telah ia lihat, dan menulikan apa yang akan ia dengar kelak bila pengartiannya memanglah benar.
Ia adalah kepala keluarga, tentu saja sudah menjadi kewajibannya untuk menjaga aturan keluarga.
"Apa ini berkaitan dengan Naruto?" Hiashi tiba-tiba saja berujar membawa nama laki-laki yang telah mengacaukan perasaan Hinata.
Gadis berambut indigo itu tentu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar dari sang ayah.
"Ada apa dengan Naruto-kun?" Hinata mencoba bersikap biasa. Namun tetap saja itu masih bisa dilihat Hiashi bahwa memang sepertinya Naruto juga ada dalam masalah ini.
Hiashi bergeming mendapat pertanyaan dari putri sulungnya. "Selesaikan masalahmu dengan Hanabi. Otou-sama tidak tahan melihat kalian saling berdiam. Kau boleh keluar."
Hinata bangkit dari duduknya tak lupa memberi salam kemudian keluar dari ruang kerja ayahnya.
.
.
"Ah! Kenyang sekali!" Temari bersuara senang seiring berjalan di trotoar menuju tempat bermalam. Di belakangnya terlihat Naruto memandangnya sedikit heran. Pasalnya ini adalah pertama kali ia melihat perempuan dengan nafsu makan yang besar apalagi di malam hari yang sangat riskan gemuk.
"Kau sangat berbeda ya?" Naruto bertanya menyuarakan apa yang ingin ia katakan.
"Maksudmu?" Temari balas bertanya seraya menoleh ke arah Naruto di belakangnya.
"Kau menghabiskan tiga porsi makanan untuk makan malam. Kau makan banyak saat malam sedangkan banyak perempuan berlomba untuk tidak makan saat malam." Laki-laki pirang itu menjelaskan, namun lawan bicaranya tak ingin menanggapi berlebih.
"Jadi kau mau bilang aku gemuk?" Nada bicaranya terdengar santai, namun masalah berat badan wanita adalah makhluk sensitif.
"Terserah. Aku malas berdebat masalah kecil."
"Bagus. Jadi diamlah. Kalau aku makan banyak itu berarti moodku kurang bagus." Temari berujar.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat mereka bermalam. Tak ada obrolan lain.
Sesampainya di hotel, mereka duduk di ruang tengah. Membahas semua berkas dan hasil dari grafik perusahaan yang analisa Temari semalaman.
Usai membahas dokumen untuk rapat besok, keduanya tampak duduk bersebelahan menonton televisi drama Korea tanpa terjemahan. Terlihat Naruto sudah mulai bosan dengan acara penuh air mata itu, namun apa daya, remot ada di tangan Temari.
Naruto tampaknya terkejut dengan kepala Temari yang jatuh pada bahunya. Gadis itu tertidur. Ia mengambil remot televisi, kemudian menekan tombol off dalam barisan tombol itu.
Ia mengangkat tubuh perempuan tersebut ke kamar.
Sesampainya di kamar ia menyelimuti Temari, mematikan lampu, dan kemudian berjalan menuju kamar seberang.
Ia mengeluarkan ponselnya, kemudian menghubungi nomor dengan nama Hinata pada layar.
"Halo."
"Bagaimana harimu? Maaf aku pergi saat kau ada masalah." Seulas senyum terpatri di wajah Naruto. Ia merindukan pemilik suara di seberang sana.
"Seperti yang kau dengar. Aku sehat-sehat saja. Belum dua belas jam kita bertemu di rumah."
"Tidurlah. Kita akan menyelesaikan masalah itu bersama-sama."
"Oyasumi."
Pemuda itu memutus panggilan. Ia memandang langit-langit ruangan. Mengubah pendirian Hyuga Hiashi adalah hal yang mendekati mustahil, pasti ada cara, bila tidak ada cara maka ... Ah, sifat egoisnya mulai merasuk pikirannya. Ia harus tenang, pasti ada cara.
.
.
Dalam kamar dengan ranjang yang cukup luas, terlihat Hinata memandangi layar ponselnya.
Kali ini, bolehkah ia egois? Selama ini dirinya selalu memenuhi apa yang keluarganya inginkan. Jadi bisakah keluarga memenuhi apa yang ia inginkan?
Sungguh ia tak bisa berpikir lebih jauh lagi. Takkan ada yang mendukung, hidupnya adalah pilihannya, tetapi jika ia mengkhianati keluarga? Tak bisa ia sangkal bahwa ia telah menggores dan menabur garam pada luka lama akan pedihnya rasa kehilangan ketika sang ibu berpulang.
.
.
TBC
yang mau review silakan review, maaf kalo sampe ini cerita lumutan gegara ga di-up :v
terima kasih sudah membaca.