In neverland, we have immortal life. But they said neverland is only nonsense. No one belives. But what if neverland is really exist? I mean, what if in this real world, there is some of us that live eternally? They're not vampire. They consider as human. But they indeed have supernatural power. The power that makes them live an immortal life.

They usually called themelves as Immortel

.

.

.

Immortel

NCT

Author : kjsykjkhkdgjjc07

NCT belongs to SM, God, and their family

This story belongs to me

Fantasy, romance, angst

Rated T (Some chapter will be rated as M and I will give the warning before)

.

.

.

"Kupikir deity menugaskanmu untuk menemani Mark latihan?"

Hansol memutar kursi yang ia duduki sehingga ia bisa melihat sosok Ten dan Doyoung yang entah sejak kapan sudah berada di laboratoriumnya.

"Kadang kemampuanmu bisa datang tanpa bimbingan. Apalagi untuk immortel seperti Mark, yang berpartner dengan immortel terkuat."

Hansol hanya tersenyum kecil melihat alis Doyoung yang bertautan. Sementara Ten buka suara. "Kalau kau sedang sibuk kan bisa minta tolong aku atau Doyoung. Lagipula kan aku yang membawa Mark kemari."

Hansol menggelengkan kepalanya pelan sebelum beranjak dari tempatnya duduk. "Ternyata kalian belum paham tentang apa itu Adoptive Memory."

"Bagaimana mau paham. Hanya ada satu Adoptive Memory dari sekian ratus immortel."

"Kau kan bisa membacanya di perpustakaan. Ada buku tenta-"

"Ji, ayolah. Langsung katakan saja kenapa kita membiarkan Donghyuck mengajak Mark untuk membolos dari latihannya." Meski Doyoung kesal dengan adiknya yang seenaknya mengajak anak orang membolos, tapi ia lebih kesal dengan Hansol yang terlalu bertele-tele.

"Oke. Adoptive Memory adalah salah satu kekuatan terkuat untuk saat ini karena immortel yang memiliki kekuatan terkuat belum bergabung bersama kita. Immortel yang memiliki kekuatan ini hanya satu, dan seperti yang kubilang. Tak seperti aku yang harus berlatih untuk fokus agar bisa berteleportasi, atau Ten yang harus berlatih untuk mengontrol pikirannya di dua tubuh yang berbada, atau Doyoung yang harus berkonsentrasi penuh agar bisa mengendalikan waktu. Kita semua setidaknya ingat berapa lama waktu yang kita gunakan untuk latihan. Tapi untuk kekuatan yang satu ini, tanpa latihan pun kau bisa menggunakannya. Mark bisa menggunakan memorinya untuk menyimpan gerakan-gerakan, dimana memorinya itu akan menggunakannya secara otomatis jika Mark membutuhkannya. Kau tahu, saat Ten sering melakukan gerakan beladiri di depan Mark, tanpa Mark sadar memorinya menyimpan semua gerakan itu. Dan dengan sendirinya Mark bisa menirukan gerakan yang sama persis dengan yang Ten lakukan tanpa mempelajari sebelumnya."

Penjelasan panjang Hansol membuat kedua sahabatnya terdiam, mencerna.

"Kau bilang ia hanya bisa menggunakannya jika ia membutuhkannya?"

"Untuk saat ini seperti itu. Deity mengunci sebagian kemampuan Adoptive Memory milik Mark karena mengingat umurnya yang masih sangat muda. Kekuatan itu hanya bisa terlihat ketika Mark sedang merasa terpojok. Jadi jika kalian ingin menguji seperti apa kekuatan Mark-"

"Sial, harusnya aku tak menunjukkan semua gerakan beladiri yang kupelajari selama ratusan tahun! percuma saja kalau begitu ia bisa hanya karena melihatku."

Hansol tersenyum tipis sebelum menepuk pundak Ten. "Bukan hanya beladiri darimu, Ten. Jangan lupakan kalau Mark hidup di dunia manusia. Dimana lebih banyak teknik-teknik gerakan yang tak kau duga ada disana."

Mungkin ini pertama kalinya bagi Hansol selama hidupnya melihat Doyoung membuka mulutnya selebar ini, tak bisa berkata apa-apa. Ini bukan seperti Doyoung yang selalu bisa menutupi perasaannya dan memasang topeng datar.

"Jadi benar kata deity, dua manusia yang kita bawa benar-benar tidak main-main?"

Hansol mengangguk singkat. "Kita harus berterima kasih pada keduanya ketika Taeyong sudah bergabung dengan kita nantinya. Karena bagaimana pun, bukan hanya nasib kaum immortel, tapi bumi ini juga berada di tangan keduanya."

.

.

.

Mark tidak bisa mencerna apa yang terjadi di hadapannya dengan cepat. Kedua matanya membulat sempurna ketika pemuda bersurai merah mengeluarkan api dari tangannya. Mark tak tahu ada immortel pengendali api disini. Semakin meyakinkan Mark bahwa keduanya bukan berasal dari dunia immortel.

Memikirkan keduanya berasal darimana tak penting sekarang. Karena api yang sosok itu keluarkan sudah bergerak dengan cepat ke arah mereka.

Bukan, tapi ke arah Donghyuck. Karena Donghyuck masih enggan untuk menyingkir dari hadapannya.

Sial.

Dengan cepat Mark merengkuh tubuh Donghyuck dan menggulingkan tubuhnya ke samping dengan Donghyuck berada dalam pelukannya. Hampir saja. Hanya beberapa senti lagi hingga api itu mengenai Donghyuck.

"Wow, reaksimu cepat juga, bocah baru. Kupikir keturunan manusia lambat-lambat."

Mark tak suka dengan si rambut merah yang banyak bicara. Tapi matanya sedari tadi tak berpindah dari sosok lainnya yang hanya menatap Mark dengan tatapan tajam. Tak bersuara sekali pun.

"Jadi Bin, daripada diam saja, kenapa tak kau coba lampiaskan amarahmu pada dua bocah ingusan ini?"

Tangan Mark mengepal mendengar ucapan si rambut merah. Terlalu kuat mengepal hingga buku-buku jemarinya terlihat jelas.

"Mark, aku tak bisa menghubungi Doyoung hyung.."

Suara lemah yang terdengar di dekatnya membuat Mark menoleh ke arah Donghyuck. Terkejut saat menemukan Donghyuck yang terlihat hampir menangis, ketakutan mungkin.

"Donghyuck, siapa mereka?"

Donghyuck menggigit bibir bawahnya. Tangan Mark mengusap pelan lengan kiri Donghyuck, mencoba menenangkannya. "Daemon. Musuh bebuyutan immortel. Mereka berbahaya, Mark, sangat. A-aku tak pernah melawan mereka. Tapi ingatanku tentang Doyoung hyung yang luka parah dan sekarat karena salah satu dari kaum mereka membuatku tak ingin ikut campur dengan kaum mereka."

Mark mendesah pelan. Ia pikir hanya satu makhluk supranatural seperti immortel. Ia tak tahu ada makhluk lain yang tampaknya ada di sisi yang jahat dan nyata.

"Sudah puas mengobrolnya? Salam perpisahan, mungkin? Akan kuberikan waktu sepuluh detik. Sepuluh.. Sembilan.. delapan.."

Rahang Mark mengeras. Ia benar-benar ingin meninju si rambut merah sekarang juga.

"Mark.."

"Tujuh.. enam.."

"Jangan hiraukan Junhoe. Maksudku, yang rambut merah itu. Daemon yang mengincarmu adalah yang sedari tadi tak melakukan apapun."

Junhoe ya..

"Lima.. empat.."

"Mark, maaf.."

"Tiga.. dua.."

Mark menggerakkan tangannya untuk merengkuh Donghyuck. "Ini bukan salahmu. Bisa kau membantuku untuk memberitahu apa yang akan daemon itu lakukan?"

"Satu. Waktumu habis, bocah. Binnie, apa yang kau tunggu lagi?"

"Hanbin akan menyerangmu dari dekat. Dia akan muncul tiba-tiba di belakangmu, dan menyerangmu."

Mark tanpa sadar mengangkat sudut bibirnya. "Donghyuck, berlari lah. Menjauh dari sini. Aku akan mengurus daemon bernama Hanbin itu."

Entah mendapat kepercayaan diri darimana, yang pasti sekarang ia sudah mendorong tubuh Donghyuck agar segera berlari menjauh.

"Mau kabur kemana, bocah Kim? Mau mengadu pada kakakmu yang lemah itu? Ck, padahal tampaknya temanku yang lain sudah mewakiliku untuk membuat kakakmu itu merasakan apa yang ia rasakan beberapa tahun lalu. Atau lebih buruk, mungkin?"

"Apa yang kau lakukan pada Doyoung hyung?!"

Fokus, Mark..

"Kau ingin tahu? Jangan salahkan aku kalau kau merasakan hal yang sama seperti yang kakak tercintamu itu rasakan."

Sial. Tetap fokus atau menolong Donghyuck?!

"Perlu kubantu agar kau bisa lebih fokus?"

Mark tersentak saat mendengar sebuah suara yang terdengar begitu dekat dari belakangnya. Matanya mencari sosok daemon berambut hitam yang harusnya berdiri di sebelah si rambut merah. Nihil.

Mark hampir memutar tubuhnya untuk melihat ke belakangnya, sebelum sebuah tendangan menyambutnya dan membuatnya tersungkur ke tanah.

"Mark!"

"Urusi urusanmu denganku dulu, bocah! Biarkan ini menjadi duel satu lawan satu."

Mark terbatuk. Ia merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Demi apapun, tendangan itu hampir saja mematahkan tulangnya. Ia tak pernah menerima tendangan sekuat itu. Oke, ia memang tak pernah menerima tendangan sebelumnya.

"Mark, hati-hati! Ia akan menyerangmu dengan api!"

"Berisik bocah!"

Mark tak peduli dengan sosok daemon di hadapannya. Ketika ia menangkap Junhoe, si rambut merah mengeluarkan api dari tangannya lagi, dengan cepat ia berlari menghampiri Donghyuck dan menerjang tubuhnya hingga keduanya sama-sama terjatuh ke tanah. Berhasil menghindari serangan api Junhoe.

"Donghyuck, maafkan aku. Jangan berpencar, dan tetap di belakangku." Mark memegang pundak Donghyuck erat-erat. Membantu pemuda itu untuk berdiri.

"Mark, hidungmu.."

"Tetap di belakangku."

Mark tak membiarkan Donghyuck berkata apapun lagi. Ia mendorong tubuh Donghyuck ke belakangnya.

"Woah.. kau ingin dua lawan satu rupanya? Sayang sekali.. Binnie hanya mau berurusan denganmu, bocah sok pahlawan. Biarkan aku melawan bocah Kim itu. Keturunan Kim harus diberi pelajaran, karena hanya menjadi immortel yang lemah tak bisa melindungi bumi ini selamanya."

"Mark, jangan terpancing emosi oleh ucapan Junhoe. Hanbin akan menyerangmu lagi."

Betul saja, ketika Mark menoleh ke sampingnya, Hanbin tiba-tiba mengeluarkan pusaran angin. Angin itu terlalu kencang, dan terlalu banyak debu-debu yang berterbangan sehingga Mark harus menyipitkan matanya.

Dan membuatnya kehilangan Hanbin.

"Mark, angin ini hanya untuk mengecohmu. Lima puluh meter dari arah kirimu, disana Hanbin berada."

Lima puluh meter dari kirimu..

Entah apa yang menggerakan tubuhnya, sekedar mempercayai ucapan Donghyuck, Mark berlari ke arah kirinya, mencoba mengira-ngira sejauh mana lima puluh meter.

Meskipun samar, tapi Mark bisa melihat Hanbin berdiri diantara pusaran angin yang ia buat.

Setelah itu yang Mark tahu tubuhnya bergerak dengan sendirinya.

.

.

.

Ten bersyukur ia dibekali kemampuan beladiri oleh deity. Karena jujur saja, dengan hanya memiliki kemampuan bilocation, Ten tak bisa berbuat apa-apa selain membagi tubuhnya menjadi dua ketika berhadapan dengan daemon.

Dua lawan satu berubah menjadi dua lawan dua ketika Ten membagi tubuhnya. Melawan Yunhyeong dan Chanwoo, si daemon kembar yang selalu berhadapan dengannya jika pertarungan antara immortel dan daemon terjadi. Biasanya hanya salah satu dari si kembar yang berhadapan dengannya. Entah itu Yunhyeong, ataupun Chanwoo. Tapi sekarang mereka berdua ada disini. Dan Ten bisa meminta 'kembaran'nya untuk membantu mengurusi dua daemon ini.

Simple. Para daemon hanya menyerang dengan api, atau serangan tiba-tiba. Terkadang mengeluarkan pusaran angin yang jelas tak berguna dalam pertarungan kecuali untuk mengecoh. Dan selalu berhadapan dengan si kembar di setiap pertarungan membuatnya sangat hapal tipe-tipe serangan mereka.

Jika Chanwoo, ia akan memulainya dengan serangan tiba-tiba. Mengejutkanmu dan membuatmu lengah dengan menendang bagian perutmu. Karena kekuatan yang Chanwoo miliki sedikit lebih rendah daripada kakak kembarnya, Ten membiarkan 'kembaran'nya yang mengurusnya.

Yunhyeong adalah tipe yang menunggu diserang sebelum menyerang. Ten tahu itu. Yang Ten lakukan hanya lah memancing Yunhyeong untuk mulai menyerangnya lebih dulu. Karena dengan begitu, ia bisa membaca serangan Yunhyeong dan membalasnya.

Yang ada di pikiran Ten sekarang adalah, bagaimana mengalahkan Yunhyeong dan Chanwoo secepat mungkin sebelum menolong Doyoung diatas sana. karena yang Ten tahu, salah satu daemon yang berhadapan dengan Doyoung memiliki kemampuan diatas ketiga daemon lainnya. Menyiksamu dengan menguasai pikiranmu. Memasuki pikiranmu dan membuatmu mengalami mimpi buruk yang akan menyiksa alam bawah sadarmu.

Doyoung bertahanlah sebentar.. aku berjanji tak akan lama..

Braaaakkk!

Ten baru saja menendang Yunhyeong hingga daemon itu terpental dan menubruk lemari di belakangnya. Tendangan yang cukup kencang, karena lemari sebesar itu jatuh ke belakang dengan bunyi yang sangat keras.

Hanya karena ia membaca kelengahan Yunhyeong, ia sudah bisa membuat daemon itu tak bisa bangun paling tidak selama beberapa menit. Dan Ten memanfaatkan kesempatannya untuk berlari ke atas, tempat dimana Doyoung dan dua daemon lainnya berada.

"Fufufu, kenapa terburu-buru, Chittaphon-ssi?"

Langkah kaki Ten terhenti ketika dua sosok daemon yang harusnya Doyoung hadapi berdiri di hadapannya.

"Khawatir dengan temanmu yang lemah itu? Sayangnya ia sedang menikmati mimpi indahnya di atas sana. sebaiknya kau tak mengganggunya sekarang."

Sialan.

"Dua lawan satu?"

"Tunggu! Akan lebih seru kalau tiga lawan satu."

Tak jauh dari belakangnya, Ten bisa mendengar suara langkah kaki yang ikut menaiki satu persatu anak tangga. Dan suara yang sangat tak asing untuknya. Yunhyeong.

"Mau menunggu sampai deity-mu itu terkejut menemukan istananya hancur hanya karena empat daemon, atau membuat ia terkejut karena melihat dua dari anak emasnya sekarat di depan matanya langsung?"

Bodoh jika Ten membiarkan deity mengalami pilihan yang kedua.

.

.

.

"Mark!"

"Donghyuck!"

Rasanya Yuta dan Hansol sudah sama-sama frustasi karena tak menemukan dua anak itu sedari tadi. Bahkan mereka begitu bodoh untuk mengabaikan kekuatan Hansol yang bisa berteleportasi dengan menyusuri setiap sudut dunia immortel dengan kaki mereka.

"Ji! Lihat pusaran angin itu!"

Dari kejauhan, Yuta bisa melihat sebuah pusaran angin yang cukup besar. Termasuk benda-benda yang berterbangan ke segala arah. Dan tampaknya bukan hanya Yuta yang melihatnya, tapi Hansol juga.

"Jangan sampai-" Hansol tak menyelesaikan ucapannya karena Yuta sudah menariknya dan segera berlari ke arah pusaran angin itu.

"Yuta!"

Hansol harus berteriak karena mereka yang semakin dekat dengan pusaran angin yang membuat suara bising terdengar memenuhi gendang telinga keduanya. Tangannya bergerak untuk menahan tubuh Yuta yang hampir mencoba masuk ke dalam pusaran angin itu.

"Apa, Ji?! Di dalam sana pasti ada para daemon bersama Donghyuck dan Mark!" Yuta juga harus berteriak, tapi dengan nada frustasi. Ia tak tahu bagaimana jadinya kalau membawa pulang Donghyuck dengan keadaan tubuh lecet pada Doyoung.

"Kita tak akan pernah bisa menembus pusaran angin yang dibuat daemon yang sedang bertarung! Kau tahu persis untuk apa para daemon itu membuat pusaran angin!"

"Lalu apa yang harus kita lakukan?! Membiarkan daemon itu menghabisi Donghyuck dan Mark?!"

Hansol mendesah pelan. Otaknya sedari tadi berpikir keras, memikirkan jalan agar mereka bisa menyelamatkan Donghyuck dan Mark. ia tak bisa sembarangan berteleportasi ke dalam pusaran angin, karena setiap daemon yang membuat pusaran angin akan membuat penangkal bagi siapa pun yang ingin masuk ke dalamnya. Pusaran angin ini biasanya hanya akan daemon keluarkan untuk duel satu lawan satu dan dalam pertarungan sengit yang biasanya membawa hasil seri sebelum pusaran angin ini dibuat. Dengan artian, siapa pun tak bisa keluar dari pusaran angin ini sebelum ada salah satu yang memenangkan pertandingan. Jika daemon yang menang, mereka akan meninggalkan immortel yang sekarat dalam pusaran angin itu beberapa saat sebelum pusaran angin itu menghilang. Tapi jika immortel yang menang, daemon akan membakar tubuh mereka sendiri dan menghilang dari sana dan hanya menyisakan abu hitam. Pusaran angin itu juga akan menghilang bersamaan dengan lenyapnya daemon itu.

Selain Ten, Yuta dan Hansol, Hansol tak pernah mengingat siapa immortel lain yang menang melawan daemon dalam pusaran angin itu. Bahkan beberapa tahun lalu, Doyoung kalah telak dengan daemon bernama Junhoe yang benar-benar menghabisi Doyoung dalam sebuah pertarungan di dalam pusaran angin dan membuat Hansol kewalahan harus mengobati luka-luka di sekujur tubuh Doyoung.

"Kenapa melamun, Ji?! Kita harus cepat melakukan sesuatu!"

Hansol tak pernah berpikir para daemon itu akan mengajak Donghyuck dan Mark berduel dalam pusaran angin. Hal itu tentu membuar para daemon itu terlihat seperti pengecut, karena, tak pernah ada daemon yang pernah mengajak immortel di bawah umur untuk berduel dalam pusaran angin seperti ini.

"Biarkan mereka, Yuta."

"Apa?!"

Ingin rasanya Yuta meninju wajah Hansol sekarang juga. Apa yang dikatakan sosok yang selama ini ia anggap sebagai leader diantara dirinya, Ten dan Doyoung? Diam saja sementara Donghyuck dan Mark bisa dengan mudah dihabisi oleh para daemon itu?

"Kau bilang yang masuk ke dalam markas utama adalah si daemon kembar, Jinhwan dan Donghyuk kan?! Itu artinya yang ada di dalam sana adalah Junhoe dan Hanbin, Ji! Kau tahu mereka siapa? Kaki tangan Johnny! Kau tak pernah melihat si putra kerajaan ikut campur dalam pertempuran antara immortel dan daemon kan? Itu karena kehadiran Junhoe dan Hanbin saja bisa menghabisi beberapa immortel sekaligus tanpa perlu si putra kerajaan turun tangan!"

Hansol tahu pasti hal itu. Ia tak pernah bisa meremehkan kemampuan Junhoe dan Hanbin. Selama ini memang ia dan Yuta yang selalu berhadapan dengan Junhoe dan Hanbin, karena keduanya adalah yang terkuat diantara kelompok kecil yang dibuat deity. Diantara mereka berempat, meski Ten sempat tak terima, tapi kenyataannya ia dan Yuta lebih kuat dibanding Ten dan Doyoung. Sama seperti Yuta dan Hansol, Junhoe dan Hanbin juga daemon terkuat dan berada di tingkat sedikit di bawah si putra kerajaan, Johnny. Jika satu daemon lagi yang jarang terlihat dalam pertarungan antara immortel dan daemon muncul, itu artinya lengkap sudah devil trinity. Kelompok kecil dalam komunitas daemon yang besar dan kombinasi Yuta dan Hansol belum bisa mengalahkan mereka.

Bukan Hansol takut kalau tiba-tiba ada tiga daemon di dalam sana dan bukan dua. Bukannya Hansol menghindari devil trinity yang kemungkinan besar ada di dalam sana. Hansol hanya percaya, hanya ada satu orang yang bisa mengalahkan devil trinity untuk saat ini.

"Kau harus percaya pada Mark. Aku yakin ia akan melindungi Donghyuck di dalam sana."

Tubuh Hansol terhuyung ke depan saat Yuta mencengkram kuat kerah bajunya. "Mark dan Donghyuck sama-sama immortel di bawah umur, Ji! Dan bukankah Mark belum bisa menggunakan kekuatannya sama sekali?!"

Itu yang Hansol khawatirkan saat ia memutuskan untuk menarik Yuta dan mencari Mark dan Donghyuck. Tapi rasanya Hansol ingin mempercayai ucapan deity yang mengajaknya berbicara empat mata semalam dengannya.

"Ji,"

Hansol terkejut ketika melihat deity muncul di perpustakaan tengah malam seperti ini.

"Deity? Apa kau membutuhkan sesuatu?" Hansol segera menaruh buku di tangannya sebelum berjalan mendekati deity dan membungkuk 90 derajat. Memberi hormat. Yang dibalas dengan gerakan yang sama oleh deity.

"Apa kau sibuk untuk sekedar berbincang sambil meminum secangkir teh di ruanganku?"

Hansol menggelengkan kepalanya. Deity tersenyum sebelum membuat gesture untuk Hansol mengikutinya di belakang. Yang tentunya Hansol lakukan, mengikuti deity untuk masuk ke ruangannya.

Hansol menatap bagaimana tangan deity yang terlihat bercahaya itu menuangkan teh di cangkirnya. Sebelum mempersilahkan Hansol untuk mengambil cangkir itu dan menyeruputnya sedikit.

"Soal Lee Minhyung,"

Deity selama ini memanggil Mark dengan nama kelahirannya, yang tak lain adalah nama Koreanya. Lee Minhyung.

"Kau percaya kalau Minhyung adalah immortel terkuat kedua setelah Taeyong kan?"

Tentu Hansol percaya. Adoptive Memory, kekuatan itu ada di bab 2 dalam buku kumpulan kekuatan immortel. Karena buku itu disusun sesuai dengan tingkat kekuatannya, maka kekuatan yang ada pada tubuh Mark otomatis menduduki kedudukan kekuatan yang terkuat untuk saat ini. Hanya karena Taeyong belum bergabung bersama mereka.

"Hanya ada satu immortel yang akan memiliki kekuatan Adoptive Memory. Dan aku yakin, siapapun yang berpartner dengan immortel terkuat adalah immortel terkuat lainnya."

Deity memasang senyuman hangat, ciri khas pemimpin immortel itu. "Apa yang kau ketahui tentang Adoptive Memory selain itu?"

Hansol tentu mengingat dengan baik setiap baris yang ada di bab 2. Yang menjelaskan secara rinci tentang Adoptive Memory.

"Mark memiliki kekuatan untuk menyimpan setiap gerakan yang ia lihat di dalam memorinya. Tanpa perlu mencobanya pun, Mark akan bisa meniru gerakan-gerakan yang ia lihat sebelumnya. Sedikit berbeda dengan Taeyong, mungkin. Tak heran mereka adalah partner."

Deity menepuk pundak Hansol pelan sebelum beranjak dari tempatnya duduk dan berdiri di teras balkon. Dengan tangan yang berpegangan pada pagar balkon. Membuat Hansol ikut berdiri dan menempatkan dirinya di samping pemimpin mereka itu.

"Mungkin itu secara singkatnya. Tapi ada banyak hal yang tak akan kau duga-duga yang akan dilakukan Minhyung ke depannya. Jadi Hansol,"

Deity mengalihkan padangannya yang sebelumnya menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.

"Biarkan Minhyung untuk memiliki waktu bebasnya. Ia masih di bawah umur, lagipula. Aku tahu kemarin aku baru saja memberitahu kalian untuk berhati-hati pada para daemon karena mereka bisa kapan saja merusak penangkal yang kau buat. Akan ada tugas yang berat yang akan ia tanggung dalam umur semuda itu jika Taeyong sudah bergabung dengan kita nantinya. Jadi, biarkan lah Minhyung menikmati masa mudanya sedikit lebih lama."

"Tapi jika sesuatu yang tak terduga itu terjadi begitu cepat? Maksudku, mungkin bisa saja besok daemon berhasil merusak penangkal yang kubuat dan masuk ke dunia kita."

"Jangan pernah meragukan kekuatan Lee siblings, Ji."

Lee siblings. Sebutan untuk dua immortel terkuat. Dalam buku yang deity berikan beberapa waktu yang lalu, untuk pertama kalinya Hansol menemukan informasi tentang Lee siblings. Kenyataan yang diluar dugaan.

"Jadi Lee Taeyong dan Lee Minhyung benar-benar.."

"Saudara kandung."

"Mark bisa menggunakan kekuatannya bahkan tanpa berlatih?" Yuta akhirnya bersuara setelah Hansol menjelaskan alasan kenapa ia ingin Yuta tetap disini bersamanya. Tak mencoba hal bodoh untuk menerobos masuk pusaran angin itu.

"Kalau ia terdesak. Aku yakin keadaannya berada dalam pusaran angin seperti ini sudah cukup untuk mendesaknya menggunakan kekuatan itu."

Yuta menghela nafasnya panjang sebelum memijat keningnya. Mencoba mencerna ulang ucapan Hansol tentang kekuatan Mark tadi.

"Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang?"

"Menunggu, mungkin? Tak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu, Yuta."

Yuta mengerang. "Tak ada hal lain yang bisa kita lakukan?"

Gelengan kepala Hansol membuat Yuta memutar bola matanya. Ya, mau tak mau mereka harus menunggu. Yuta tak tahu ia pernah meragukan Hansol sebesar ini. Seumur hidupnya ia mengenal Hansol, ia tak pernah meragukan pemuda itu. Tapi mengingat apa saja bisa terjadi di dalam pusaran angin itu, Yuta tak bisa mengelak untuk meragukan pemuda yang sudah ia anggap sebagai leader mereka itu.

"Yuta.."

Suara yang terdengar begitu jelas di telinganya itu membuat Yuta menoleh ke arah Hansol seketika. "Ji, apa kau mendengarnya?"

Hansol membalas Yuta dengan tatapan bingung. "Mendengar apa? Suara dari pusaran angin? Atau suara Mark dan Donghyuck?"

"Yuta.."

Bukan. Suara yang ia dengar bukan suara Mark ataupun Donghyuck. Apalagi suara dari pusaran angin.

"Ji, kau bilang tak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu, kan?"

Hansol mengangguk.

"Kalau begitu tak masalah jika kau menunggu sendirian disini kan?"

"Maksudmu?"

"Ada yang membutuhkanku. Sekarang. Maaf, Ji! Aku percaya padamu dan deity kalau Mark bisa mengurus semuanya!"

Hansol tak mencegah Yuta yang tiba-tiba berlari dengan cepat ke arah lain. Teralu cepat hingga dalam hitungan detik saja Hansol sudah tak melihat sosok Yuta.

"Aku tak tahu kau selambat itu, Nakamoto." Hansol hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum kembali menatap pusaran angin di hadapannya.

Tiba-tiba, pusaran angin di hadapan Hansol membelah menjadi dua. Hansol yang menyaksikan bagaimana pusaran angin itu membelah tak bisa menutupi keterkejutannya. Apalagi saat ia melihat diantara pusaran angin yang membelah itu, sosok Hanbin tergeletak di tanah tak berdaya sementara Junhoe tampak kewalahan untuk membiarkan pusaran angin itu terus terbelah dengan kekuatannya.

Hanya satu kesimpulannya. Hansol tak seharusnya meragukan ucapan deity.

Tampak jelas Junhoe tak bisa untuk menahan pusaran angin itu untuk lebih lama terbelah seperti itu. Maka dengan gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Hanbin dan menghilang dalam sekejap. Membiarkan secara perlahan pusaran angin itu kembali menyatu. Hansol tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk masuk ke dalam pusaran itu.

Hansol pikir pusaran itu akan menghilang ketika Hanbin dan Junhoe sudah menghilang dari sana. bahkan Hansol sempat berpikir bahwa masih ada satu daemon di dalam sana yang menandakan duel belum benar-benar selesai. Tapi tak menemukan siapapun kecuali Mark yang tampak memeluk tubuh Donghyuck dengan erat membuat Hansol segera mengambil kesimpulan akhir.

Ini hanya pusaran angin bohongan. Bungan pusaran angin yang biasa digunakan para daemon. Itu artinya sedari tadi Hansol dan Yuta bisa menembus masuk pusaran angin itu.

"Mark! Donghyuck!"

Meski Hansol tahu siapa yang menang dalam duel kali ini, tapi Hansol tetap tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya saat melihat Mark yang menutupi tubuh Donghyuck dari penglihatannya karena tengah memeluknya.

"Hyung!"

Hansol bisa bernafas lega saat Donghyuck, tiba-tiba melepaskan pelukan Mark dan berlari untuk menubruk tubuhnya. Bocah itu menangis sekencang-kencangnya di dalam pelukannya. Hansol berusaha menenangkannya sekaligus mengecek apakah ada tubuh Donghyuck yang terluka.

Lagi, Hansol bernafas lega saat ia tak menemukan luka yang berarti selain goresan tipis di permukaan kulit bagian tangan Donghyuck. Hansol dengan cepat memeluk tubuh Donghyuck lagi sebelum melemparkan pandangannya pada Mark.

Mark terlihat sedikit lebih parah dari Donghyuck. Ada darah kering di bawah hidungnya. Dan beberapa bagian pakaiannya robek dan menyisakan bekas terbakar. Rambutnya juga terlihat begitu acak-acakan. Tapi tak ada luka yang parah yang tampak dan Mark bisa berjalan tanpa hambatan untuk menghampirinya dan Donghyuck.

"Hyung, sebenarnya apa yang baru saja terjadi?"

Hansol tersenyum kecil sebelum menggerakkan tangannya untuk mengacak-ngacak surai hitam Mark. Semakin membuat berantakan surai itu.

"Apa lagi, Mark? Yang baru saja terjadi adalah kau yang mengalahkan salah satu daemon terkuat, iya kan?"

"Ta-tapi, aku tak tahu bagaimana aku bisa melakukan semua itu. Ma-maksudku-"

"Kau yang terhebat, Mark."

Hansol memotong ucapan Mark sebelum membawa pemuda itu ke dalam pelukannya juga. Ia tak berhenti mengucapkan rasa syukur karena masih bisa menemukan keduanya dalam keadaan utuh.

.

.

.

Taeil berlari sekuat kakinya bisa membawanya semakin masuk ke dalam hutan. Satu-satunya tempat yang ia temukan untuk mengobati Doyoung yang tak berhenti mengerang kesakitan meski dirinya tak sadarkan diri.

Nightmare. Pasti Jinhwan baru saja memberikan nightmare pada Doyoung. Memanipulasi pikirannya sekarang dan tengah menikmatinya dari kejauhan karena ia memegang control atas pikiran Doyoung.

Taeil tahu ia telat untuk datang menyelamatkan kekasihnya itu. Harusnya ia membawa Doyoung pergi dari markas begitu ia mendengar perbincangan Junhoe dan Hanbin tentang balas dendam yang akan mereka lampiaskan pada salah satu anggota immortel baru yang berasal dari dunia manusia. Harusnya Taeil tak membiarkan hal yang sama terjadi seperti beberapa tahun yang lalu. Saat Junhoe menyiksa Doyoung lebih parah daripada Jinhwan menyiksanya sekarang.

Meskipun tak separah yang Junhoe lakukan, tetap saja penyiksaan yang dilakukan kaum daemon tetap akan menyiksa kaum immortel paling tidak sampai ia merasa seperti apa saat malaikat pencabut nyawa mencabut nyawamu. Meski itu tak benar-benar dicabut nyawanya.

Taeil tak bisa kembali ke dunia daemon sekarang. Tidak jika ia tengah membawa Doyoung sekarang. Apalagi tetap di dunia immortel dan membiarkan sahabat-sahabat Doyoung yang merawat pemuda itu. Tidak, karena Taeil tak bisa hanya menatap Doyoung dari kejauhan saat pemuda itu merasakan sakit yang luar biasa. Taeil ingin ia menjadi satu-satunya orang yang melihat penderitaan Doyoung, dan merawat Doyoung sampai masa healing-nya selesai.

Ia tak peduli dengan Johnny yang akan mencarinya karena ia yang hilang tiba-tiba. Atau para immortel yang akan panik seratus persen ketika tahu Doyoung menghilang dari markas. Setidaknya ia telah memberitahu orang yang paling ia percaya bahwa ia yang akan merawat Doyoung.

Satu-satunya orang yang mengetahui hubungan antara dirinya dan Doyoung.

.

.

.

"Bangun dari tidur cantikmu, sleeping beauty?"

Tubuh Taeyong tersentak saat mendengar suara lain di kamarnya. Matanya segera terarah ke sumber suara.

Bola mata Taeyong membulat sempurna. Ia bahkan hampir berteriak, tapi tak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya.

Taeyong penakut, ingat itu. Ia sangat benci film horror karena itu artinya ia harus melihat berbagai penampakan hantu yang menyeramkan. Tapi melihatnya di kehidupan nyata seperti ini.. Taeyong benar-benar ingin pingsan saja saat ini.

"Hei, aku bukan hantu. Setampan diriku kau bilang hantu?"

Taeyong tak memperdulikan ucapan sosok yang entah bagaimana caranya muncul di kamarnya itu dan mengambil bantal terdekat dengannya untuk menyembunyikan wajahnya di sana. Ah, ia kan hantu. Bisa menampakkan wujudnya kapan saja.

"Sudah kubilang aku bukan hantu!"

Taeyong terkejut saat bantal yang seharusnya menghalangi matanya untuk bertemu pandang dengan sosok asing di kamarnya itu terlepas begitu saja dari genggamannya. Ia bahkan hampir menjerit tertahan begitu sadar bantal itu bergerak sendiri disaat ia mengira sosok itu yang mengambilnya.

Ternyata benar, sosok yang berdiri di dekat jendela kamarnya itu adalah hantu.

"Kau tak pernah menyebut pemuda Nakamoto itu hantu tapi kau sudah tiga kali menyebutku hantu. Tak adil."

BAHKAN IA BISA MEMBACA PIKIRANKU! Taeyong benar-benar ketakutan sekarang. Ia tak akan pernah menyangka bisa melihat hantu di siang bolong seperti ini.

"Hei, aku berwujud sepertimu, kau tahu? Bahkan kakiku menapak tanah!"

"Jangan mendekat!"

Taeyong dengan cepat mengambil boneka spongebob miliknya dan bersiap melemparnya ke arah sosok itu. karena sosok itu baru saja berjalan mendekati tempat tidurnya.

"Boneka yang lucu." Sosok itu berujar dengan seringaian di wajahnya. Tapi kakinya tak berhenti untuk memperpendek jaraknya dengan Taeyong.

Tanpa berpikir panjang Taeyong melempar boneka kuning di tangannya. Hanya untuk melihat boneka kesayangannya terbakar sebelum sedikitpun mengenai tubuh sosok itu.

"Kau membakar boneka kesayanganku!"

Sosok itu memutar bola matanya. Taeyong sendiri tak tahu kenapa ia bisa terlihat seperti anak-anak begini. Mungkin efek demam yang tak turun turun dan ia yang ketakutan karena mendapati hantu di kamarnya.

Taeyong terlalu takut untuk membiarkan matanya terus terbuka saat sosok itu semakin mendekat ke arah tempat tidurnya. Siapapun sosok ini, meski ia sempat menyebut nama Yuta tadi, ia tak yakin bahwa sosok ini berniat baik padanya. Siapa yang terlihat berniat baik jika kau dengan lancangnya membakar boneka sponge kuning milik Taeyong?

Ting tong!

"Taeyong hyung~"

Bukan hanya tubuh Taeyong yang terlonjak mendengar suara Jaehyun yang terdengar melalui intercom setelah sebelumnya suara bel yang menggema di dalam apartemennya. Tapi sosok yang tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat tidur Taeyong juga menghentikan langkahnya.

"Taeyong hyung~ Aku membawakan eskrim kesukaanmu! Ayolah~ bukakan pintunya aku kepanasan nih! Udara di luar panas sekali!"

Bagaimana ia bisa membukakan pintu untuk Jaehyun jika bergerak sedikit saja dari posisinya sekarang ia tak berani? Dengan pengawasan hantu di dekatnya itu?

"Hyung! Cepat sedikit~ Aku lapar nih!"

Jika sedang tak berada dalam situasi seperti ini –berada satu ruangan dengan hantu, mungkin Taeyong sudah menyiapkan sapu untuk memukul Jaehyun ketika membuka pintu apartemennya nanti.

Oh Tuhan, kembalikan Jaehyun yang dulu!

Angin yang tiba-tiba bertiup kencang di dalam kamarnya membuat Taeyong mau tak mau membuka kedua kelopak matanya. Meski takut, tapi ia penasaran apa yang hantu itu lakukan selanjutnya setelah dengan seenaknya membakar boneka kesayangannya.

Lagi, matanya membulat sempurna ketika ia tak menemukan siapa-siapa di kamarnya selain jendela kamarnya yang terbuka lebar dan tirainya yang berterbangan karena angin.

"Hyung! Aku akan pulang kalau kau tak membukakan pintunya dalam hitungan sepuluh.. Sembilan.. delapan.."

"A-aku datang!"

Taeyong mencoba menyahuti Jaehyun, berharap bocah itu berhenti mengoceh dan membuat kepalanya tambah sakit. Setengah berteriak, meski ragu Jaehyun bisa mendengarnya.

Taeyong buru-buru turun dari tempat tidurnya dan dengan susah payah keluar dari kamarnya.

Mungkin penampakan hantu tadi hanya halusinasinya. Tapi sumpah, ia yakin teman Yuta tak memiliki wajah putih pucat dan eyeliner hitam di bawah matanya. Jika memang ia immortel seperti itu, Taeyong benar-benar tak pernah berpikir untuk mempertimbangkan tawaran Yuta untuk masuk ke dalam komunitas immortel.

.

.

.

Yuta berlari sekuat kakinya bisa. Tangannya mengepal kuat ketika tempat tujuannya sudah terlihat dari jarak penglihatannya. Rahangnya juga sudah mengatup kuat seiring dengan suara yang ia dengar berasal tak jauh dari depannya.

Sial.

"Ten!"

.

.

.

TBC

I must rewatch Heroes again to write the duel part next time. Seriously, I'm really suck at this -_- BTW, setiap chapter selalu berakhir dengan teka-teki. Siapa yang dimaksud Taeil hayoooo. Terus siapa yang dibilang penampakan sama TY? Terus itu Ten kenapa? Dan Jaeyong yang Cuma muncul seupil disini~ Chapter depan mereka main -nya kok!

Ohya, sori banget gabisa balesin tiap review yang masuk! *bow* Disini sinyalnya emang ngajak ribut. kalo pake kampus aku gabisa buka lama-ama karena masih sibuk ngurusin ospek. Thanksbanget yang udah ngeluangin waktunya buat ngereview cerita ini *peluk atu-atu*

Udah ah, mau kabur dulu karena besok hari terakhir aku ngemos anak-anak maba kampusku. Byeeee~