STAR CRAVING BAEK (Remake)

Chapter 4

Cast :

Baekhyun, Chanyeol, Sehun, Luhan, EXO

Genre :

Romance!

Rate :

M/ Gender Switch (GS)

.

.

FF ini bukan karya BaekQiu

Ini merupakan hasil remake dari novel berjudul Star Craving Mad karya Elise Abrams Miller

BaekQiu hanya mengganti nama, tempat, dan setting yang disesuaikan dengan cast.

.

.

Happy reading!

.

.

.

.


Aku mengempaskan tubuh ke tengah sofa Jennifer Convertibles kami yang berwarna hijau zaitun dan menghubungi Sehun, sementara hatiku berdebar kencang. "Halo, bisa bicara dengan Mr. Oh?" tanyaku.

"Dari siapa?" tanya suara wanita di seberang sana, lalu membiarkanku menunggu lama sekali sampai degup jantungku melambat menjadi irama tango.

"Oh Sehun di sini," kata suara di seberang, dengan nada tegas yang terdengar sangat penting dan sangat sukses. Dan sangat seksi.

"Halo, ini Byun Baekhyun," kataku, berharap terdengar seperti normalnya guru kelas satu yang berbicara pada orangtua murid yang cedera.

"Guru Byun!" sapa Sehun ramah, dan mendadak dia terdengar biasa, seperti pria biasa yang senang mendapat telepon dariku. Sehun memberitahuku para dokter telah merawat gadis kecilnya, bahwa keberanian Ziyu membuat semua orang terkesan, dan dia akan sembuh dalam dua bulan. "Jadi bagaimaan kalau kau mampir besok membawakan PR-nya? Aku tahu Ziyu akan senang bertemu denganmu."

"Well, tidak banyak PR hari ini, tapi aku ingin bertemu anak malang itu." Jelas Sehun tidak perlu memaksaku. Aku ingin tahu kehidupan orang terkenal, dan aku bersumpah aku benar-benar khawatir soal Ziyu.

"Ah, dia baik-baik saja sekarang. Senang dengan gipsnya. Kau harus menandatanganinya. Bagaimana kalau kau mampir malam ini? Kau sudah makan? Kau bisa makan di sini."

"Oke," kataku, lebih bersemangat daripada seharusnya. Sehun pria yang sudah menikah, dengan anak perempuan dan karir yang sibuk.

"Kau tinggal di mana?" tanyaku.

"Kau tinggal di mana?" balas Sehun. "Akan kukirim sopir untuk menjemputmu."

Yang kurang hanya sepatu kaca, pikirku. "Baiklah."

Sambil menutup telepon, aku berpikir apakah Sehun sadar betapa tak biasanya situasi ini. Aku, Byun Baekhyun yang biasa-biasa saja, dijemput sopir pribadi Oh Sehun, dibawa ke rumah pribadi Sehun yang pasti mengagumkan. Kalau aku meras perlu mencubit diri sendiri, sekarang waktunya.

Mendadak, semua baju yang kumiliki terlihat seperti barang loakan Salvation Army, yang memang begitu kenyataannya. Aku hanya bisa membayangkan betapa Luhan dengan mudah tampil keren, mungkin berselonjor di atas sofa yang luar biasa mahal, sambil membaca naskah. Tak diragukan lagi bra Luhan lebih mahal daripada mantel musim dinginku yang terbaik.

Dengan tubuh gemetar gugup, aku mengenakan jins Levi's pudar, kaus hitam ketat, dan sepatu bot. Jins dan kaus mengatakan, Aku santai dan menyenangkan! Kuharap aku seperti Kyungsoo saat ini, tak peduli dengan penampilan tertentu untuk orang tertentu, tapi nyatanya aku peduli. Sangat. Tentu saja, Sehun mungkin menyadari bahwa gajiku setahun belum bisa menandingi penghasilannya begitu dia menjejakkan kaki di set film selama semenit.

Sambil menatap kaca kamar mandi yang buram untuk keseribu kalinya aku mencoba menata rambutku menjadi ekor kuda yang memuaskan. Percobaan 999 kali sebelumnya membuat rambutku lepek, dan aku sudah nyaris melempar sisir ke rak obat. Aku menunduk untuk menggeraikan rambutku yang tak mau diajak kompromi, mencoba sekali lagi sebelum aku menangis frustasi, dan ajaibnya kali ini berhasil.

Aku menatap penampilanku untuk terakhir kali di kaca dan merasa puas. Seperti kata Yixing, aku bisa disangka adik Jun Ji Hyun, walau dia lebih tinggi dan lebih kaya. Dan Kyungsoo selalu berkata aku tampak hebat, apa pun yang kukenakan. Kuharap calon suamiku nanti juga akan berkata begitu. Aku berpaling dari kaca sebelum menemukan sejuta cacat dalam penampilanku dan harus mulai dari awal lagi.

Akhirnya, setelah menciptakan alur mondar-mandir di ruang duduk, bel berdering. Aku menyambar jaket kulit bekas yang sudah berusia tiga tahun, dan lari, hampir membuat tulangku patah. Saat mencapai puncak tangga lantai satu, aku mulai menguliahi diriku sendiri tentang sikap anggun, elegan, dan tak acuh.

Di sudut jalan, mobil Lincoln Town Car hitam mengilap sudah menunggu, dan di samping pintu belakang berdirilah sopir pribadi Sehun. Saat kami saling menyapa, aku meraih gagang pintu, tapi sopir itu membukakannya untukku. Dia menyegelku di dalam ruang berlapis kulit mewah, jendela gelap untuk melindungiku dari kaum jelata, dan kami pun berangkat.

Kami berhenti di salah satu gedung dengan tanaman merambat dari atap dan sang sopir keluar untuk membukakan pintu untukku. Lobi besar bergaya pabrik dengan lantai beton mulus dan pipa-pipa tembaga yang dibiarkan telanjang, penjaga pintu berseragam, dan lift berlapis baja raksasa tidak membuatku siap melihat tempat tinggal keluarga Oh.

Pelayan membuka pintu dan memintaku menunggu sebentar, sementara dia memanggil salah satu anggota keluarga Oh. Aku lega punya waktu untuk menyerap semua ini tanpa harus mengatupkan rahangku yang menganga. Raksasa bukan istilah yang tepat untuk penthouse ini. Ungkapan 'bergelimang uang' tak cukup untuk menggambarkan perabotnya, apalagi desain arsitektur ruangan ini.

"Guru Byun," katanya sambil menutup ponsel. "Perjalananmu oke?"

"Ya, menyenangkan!" kataku, tersenyum seperti orang bodoh.

"Bagus, bagus. Masuklah, kalau begitu. Kau lapar? Kau tidak alergi ikan?" tanyanya, mengajakku masuk ke apartemen.

"Aku tidak punya alergi. Tapi aku tidak makan ayam atau babi atau sapi..." Aku menghentikan ocehanmu yang tolol, tapi Sehun sudah ada di dapur, membongkar-bongkar isi kulkas stainless steel raksasa. Aku berdiri di sisi konter besar besar di tengah ruangan dan berpikir, walau dikelilingi kemewahan, Sehun terlihat sangat normal. Sangat... manusiawi. Kuputuskan pasti ada sepasukan asisten pribadi, pengasuh anak seusia anak kuliahan, guru yoga, ahli gizi, dan kumas bersembunyi di dalam apartemen, tak terlihat olehku.

"Nyonya Oh di mana?" tanyaku, menatap ambang pintu melengkung di bawah tangga yang pegangannya seperti terbuat dari bahan yang sama dengan pipa yang melintang di langit-langit lobi.

"Uh...di lokasi," kata Sehun sambil memasukkan wadah putih ke microwave keperakan. Aku tak tahu apakah harus mendesak dan bertanya film apa yang sedang dibintanginya, atau apakah itu tak pantas. Mungkin ada peraturan bahwa orang sepertiku tidak seharusnya tahu info orang dalam. Jadi aku berkata, "Pasti sulit, sering berpisah begitu." Sehun mengangkat bahu.

"Yah, kami sudah memilih kehidupan kami," kata Sehun berfalsafah dan aku menahan gemetar. Okelah, kalau Sehun memilih untuk menjadi bintang terkenal, tapi apakah itu berarti aku memilih menjadi pemimpi miskin yang berharap mengetahui panggilan hidup sesungguhnya? Kalau aku memilih menjadi bintang terkenal, apakah aku akan menjelma saat ini juga?

"Kurasa begitu," sahutku.

Sehun memindahkan isi wadah itu ke piring dan meletakkannya di depanku, sementara aku duduk di bangku tinggi. Di samping hidangan ikan, terdapat kentang rebus mungil dan dua kotak dadu keju.

"Ini—?"

"Diet Bonz? Ya," katanya hampir dengan nada meminta maaf.

Sekarang aku merasa dihargai. "Terima kasih," kataku, seakan dia baru memberikan sepiring sushi Nobu, yang pasti enak walau pun aku belum pernah mencobanya. "Kau tidak mau makan?"

"Oh, aku sudah makan." Dia tersenyum. "Aku mau melihat apakah Zizi sudah bangun. Sebentar, ya." Lalu dia menghilang di pintu lain. Sambil mengunyah makanan Bonz-ku, aku masih belum sepenuhnya mencerna bahwa aku ada di sini, di dalam rumah Sehun dan Luhan.

Ikannya terlalu asin, kentangnya terasa seperti tanang, dan kejunya mengingatkanku pada keju proses Velveeta. Jelas saja berat badan orang turun banyak dengan menu ini. Makanannya sama sekali tak enak.

Ada koleksi tempat garam dan merica antik di rak sebelah kanan, imut-imut sekali sehingga aku harus melihatnya dari dekat. Salah satunya berbentuk pudel ungu dengan kepala dari kaleng yang bisa bergoyang-goyanga. Saat kuangkat, kepalanya lepas dan merica bertebaran ke mana-mana.

Jantungku mulai berdebar dan aku membungkuk, dengan panik menyapukan lada ke tanganku saat sepasang kaki mungil beringsut masuk ke dapur. Aku menengadah dengan pandangan sedih dan melihat Ziyu dalam baju tidurnya : kaus kelabu longgar seukuran ayahnya. Kakinya telanjang dan gayanya yang berantakan tampak menggemaskan.

"Hei," sapaku, menelan ludah, berusaha tampak tenang seperti guru. "Gipsmu keren!" Gips Ziyu menutupi hampir seluruh lengannya dan berwarna ungu tua. Ziyu mengangkatnya seperti piala, yang kurasa memang benar.

"Maukah kau menandatanganinya, Guru Byun?" Dia sama sekali tak heran melihatku di lantai dapurnya dengan barang koleksi rusak yang mungkin berharga ratusan ribu won. Saat itu, Sehun muncul di ambang pintu dengan spidol perak, dan aku meringis malu.

"Maafkan aku. Aku baru melihat-lihat koleksi ini dan pudel ini sungguh imut, jadi aku—"

"Tak apa-apa," kata Sehun, lalu meraih tisu dapur dan membasahinya dengan air keran. Dia bahkan tidak memanggil pelayannya. Sehun mendekatiku dan membungkuk dengan segumpal tisu, kepala kami hampir bersentuhan. Aku dapat mencium aftershave-nya. "Dapat terjadi pada siapa saja," katanya penuh maaf, lalu tersenyum, tak sampai setengah meter di depan mukaku.

Kurasa aku akan mati karena terlalu girang atau terlalu malu. Aku belum tahu. Sehun menunduk, menangani tugasnya dan aku tak dapat menahan diri untuk menatapnya sedetik saja, melihat rambut gondrongnya yang indah, lengan kuatnya, tubuhnya yang seksi berdedikasi membersihkan merica yang kutumpahkan. Merica yang...

Aku bersin dan melompat berdiri, yakin bahwa merica itu sudah setengah jalan di dalam lubang hidungku. Cepat-cepat aku menyambar tisu dapur dan mengusap ingus sialan itu, barangkali sampai hidungku merah. Lalu aku bersin lagi, dan lagi, tak dapat berhenti—dan tak akan berhenti—dan Ziyu mulai cekikikan histeris. Baginya, aku lucu sekali. Seperti badut. Tokoh kartun. Bagiku, aku memalukan. Tentu saja ayahnya, selebriti sempurna, kebal merica.

Sehun berdiri, mungkin menatapku seakan kepalaku ada lima puluh (aku tak berani menatapnya), dan Sehun menyodorkan sekotak tisu, entah dari mana.

"Terima kasih!" kataku, teredam gumpalan tisu, menatap lantai, mengata-ngatai diri sendiri karena bangkit dari bangku tadi. Pudel ungu dan kepala kaleng terkutuk!

Saat kelihatannya aku sudah mencapai akhir dari kelucuanku, kulempar tisu ke tempat sampah dan tersenyum malu.

"Ta da!" kataku seakan tak peduli aku baru saja menyemprotkan ingus ke Oh Sehun dan ke separuh permukaan dapur profesional seharga ratusan juta won. Lalu aku berkonsentrasi pada spidol perak itu. Aku mengocoknya, membuka tutupnya, dan menuliskan nama serta tanggal : "Byun Baekhyun, September 2016. (HAT-CHI!)"

"Daddy, lihat!" kata Ziyu gembira saat aku selesai, dan Sehun dan aku bertukar senyum, yang membuat perutku bergejolak. Senyumnya sungguh menawan, terlebih karena ditujukan padaku.

Sesaat aku kehilangan kemampuan bicara. Saat pulih, aku langsung bersikap profesional dan sangat malu. "Apakah dokter memberitahu kapan Ziyu bisa kembali ke sekolah? Kurasa aku bisa membawakan PR Lola Jumaat nanti. Tidak banyak memang, tapi konsistensi akan baik untuk semua pihak."

"Ziyu akan kembali bersekolah hari Senin depan, dan Jumat kedengarannya oke," kata Sehun, tersenyum penuh arti. Ya Tuhan, aku minder sekali dengan pria ini, aku bisa tenggelam ke lantai. Aku hampir berharap dia berhenti menatapku.

"Terima kasih banyak untuk makanannya," aku melanjutkan, "Dan aku sungguh menyesal tentang..." Aku terdiam, menuding pudel itu. Lalu aku menoleh ke Ziyu. "Aku senang melihatmu sudah lebih baik." Nah. Aku bisa melakukannya. Aku bisa bersikap profesional dan dewasa.

"Tidak seburuk itu kok. Kurasa aku lebih takut waktu mengalaminya." Aku menatap Sehun dan kami mengangkat bahu melihat kebijaksanaan Zitu yang belum saatnya. Sungguh sayang Luhan tidak ada di sini untuk mengurus Ziyu, mengantarkannya ke rumah sakit, dan memegang tangannya menghadapi semua ini. Dan agak mengherankan juga Ziyu tidak kelihatan sedih sedikit pun ibunya tak ada di sini, tapi aku mengingatkan diri bahwa ini gaya hidup yang tak kukenal sama sekali. Aku bersiap menghapus seluruh bayangan tentang Sehun dari pikiranku.

"Jadi, mm, film apa yang kauperani?"

"Film indie. Sutradara baru. Ini...film kecil tentang eks agen CIA yang terlibat masalah dengan teroris Cekoslowakia di Tokyo."

"Dan kau memerankan agen CIA itu?"

"Eks agen CIA," katanya, mengoreksi sambil tersenyum.

"Kau pasti menyukai pekerjaanmu."

"Ya." Dia mengangkat bahu. "Aku sangat menyukainya. Kurasa aku beruntung."

"Memang!" cetusku seperti remaja labil, bukan seperti guru anaknya.

"Well, bagaimana denganmu?"

"Apa?"

"Kau pasti menyukai pekerjaanmu juga."

Oh, sialan. Sekarang aku tertangkap dalam kebohonganku sendiri. Aku tidak menyukai pekerjaanku. Aku menoleransi pekerjaanku karena tak tahu apa yang sebenarnya ingin kulakukan. Saat kusadari aku tidak akan menjadi penyair, pekerjaan mengajar itu datang begitu saja. Semua orang mengatakan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mulia, tetapi mengajar anak-anak yang memiliki latar belakang luar biasa tidaklah mulia. Semua anak ini tetap akan masuk SNU atau Harvard, atau Oxford, meskipun bukan aku yang mengklak-klik tombol lampu.

Kebetulan sekali kami tadi berbicara tentang pilihan hidup. Namun, kalau aku memberikan kesan bahwa mengajar murid kelas satu bukanlah pilihan hidupku, mungkin Sehun akan mengeluarkan Ziyu dari kelasku. Atau setidaknya, dia akan kecewa.

"Oh ya. Aku senang sekali mengajar. Ini...hidup yang kupilih," kataku, dan berharap kata-kataku terdengar positif.

Saat aku mulai dilanda kepanikan karena bertamu terlalu lama, aku menoleh pada Ziyu yang sedang memain-mainkan gipsnya di permukaan meja granit. Dengan nada profesional aku berkata, "Well, Ziyu kurasa kita akan bertemu lagi hari Jumat, dengan PR matematika dan membaca." Kukatakan pada Sehun bahwa aku harus pergi. Bukannya aku harus pergi ke mana-mana. Aku bisa saja di sini semalaman, menatap Sehun dan bertanya-tanya tentang hidupnya, tapi aku tak mau kelihatan seperti penguntit gila, aku seharusnya membuat Sehun terkesan karena aku guru yang profesional terhormat dan hebat. Di pintu dia tersenyum hangat dan aku tersenyum kikuk. Setelah pintu tertutup di belakangnya, aku bersumpah semua itu hanyalah mimpi.

.

.

.

"Benar-benar gila, guys," kataku saat aku memasuki pintu. "Tebak aku baru dari mana." Kyungsoo dan Jongin duduk terbenam di sofa, menyesap anggur merah dan makan semangkuk besar pasta, yang sering kumakan kalau sedang tidak berdiet Bonz. Walau begitu, setelah mencicipi makanan menu Bonz asli perutku malah keroncongan ingin makan sungguhan, jadi aku mengais-ngais makanan apa saja yang ada di dapur.

TV menyala seperti biasa. Kyungsoo meraih remote saat Jongin menebak. "Kencan buta?"

"Ha, tidak," kataku. "Lucu. Tebak siapa yang pergelangan tangannya patah hari ini?" Aku mengangkat tangan dan memutar-mutarnya supaya mereka tahu itu bukan aku.

"Zitao?" tebak Jongin, karena tentu saja, mereka sudah mendengar tentang Zitao.

"Enggg. Salah lagi," kataku, meniru dengung tanda salah di acara kuis. "Kuberi petunjuk. Dia salah satu muridku."

Setelah jeda sejenak, Kyungsoo mengerti maksudku. "Kau baru ke rumah Sehun dan Luhan?"

Aku mengangguk-ngangguk penuh kemenangan seakan baru mendapat potongan harga luar biasa dari Barneys.

"Uh, kaum itu." Kyungsoo mendesah. "Apa sebutan seribu selebriti di dasar laut?"

"Makan malam?" sahut Jongin pura-pura bego.

"Tapi tetap saja. Gila, apartemen mereka benar-benar tidak adil. Aku bisa buta melihatnya saja. Tapi Sehun baik sekaliiiii." Aku mendesah dan tersenyum mengingatnya, sambil duduk di tepi sofa dengan semangkuk makanan 'buruk'.

"Bagaimana dengan Luhan?" tanya Kyungsoo.

"Sedang di lokasi," kataku, menyendokkan makanan ke mulutku.

"Beruntung benar kau," kata Jongin dan mengangkat alis.

"Oh, memang. Sehun tergila-gila padaku," kataku sarkastis.

"Baekhyun, Oh Sehun itu Frankenstein Korea. Mereka semua begitu," kata Kyungsoo, tak menyadari sindiranku. "Kau bisa mendapat yang lebih baik, lagi pula—hello—dia kan sudah menikah." Lalu Kyungsoo menambah cepat-cepat. "Walau menurut standar selebriti itu tak ada artinya." Aku memutar bola mataku, yang malah membuat Kyungsoo terus berceloteh, meski aku tak ingin mendengarnya.

"Baekhyun, satu-satunya alasan kau tidak memiliki pacar sungguhan, yang normal dan lajang di kakimu adalah karena kau tak pernah memberi mereka kesempatan."

"Itu tidak benar. Minho, guru Fisika itu, melarikan diri ke Tibet karena ingin menjauhiku."

"Persetan dengannya!" kata Jongin. "Bangsat itu!" Aku suka kalau Jongin bersikap seperti teman perempuan. Dia pintar melakukannya, apalagi kalau Kyungsoo tidak mau ikut-ikutan.

"Baekhyun," kata Kyungsoo serius. "Sehun itu robot selebriti yang sudah menikah. Dia bukan manusia. Tapi ada banyak pria sungguhan yang lajang, tampan, dan pekerja keras di luar sana, menantikan gadis seperti dirimu."

"Oke, oke," aku menyerah. "Aku ini bidadari." Sambil begitu aku menyuap makanan lagi. "Tapi Oh Sehun tampak sungguhan di mataku," kataku sambil menguyah.

"Perusak rumah tangga orang!" tegur Jongin main-main, dan aku pasang tampang tak berdosa, karena aku tahu mustahil pria seperti Oh Sehun akan menyukai gadis seperti diriku, dan aku juga tahu tak mungkin aku akan menghancurkan rumah tangga siapa pun, apalagi Sehun.

Aku memutuskan akan bermurah hati malam ini dan membiarkan Kyungsoo dan Jongin memonopoli ruang duduk, sebagian karena Kyungsoo sedang sok suci dan tanpa humor. Aku menuangkan segelas Pinot Grigio dari kulkas dan masuk ke kamar untuk mencoba menulis puisi. "Masuk dulu, ya. Aku ada pekerjaan," kataku, lalu menutup pintu kamar.

Saat menyalakan laptop, aku memikirkan kata-kata Kyungsoo tadi. Walau aku ingin memercayainya, kalau berurusan dengan pria, rasa percaya diriku sudah rusak permanen akibat Daehyun dan semua ikan lain yang kini telah berenang menjauh. Maksudku, lihat saja kenyataannya. Aku tipe gadis yang memuja tapi tak pernah memiliki. Aku mendambakan pria seperti Oh Sehun justru karena aku tahu aku tak bisa memilikinya.

Aku tak tahu gadis seperti apa yang pantas dipacari lebih lama dari satu musim Sex and The City. Pasti ada hubungannya dengan memulai hubungan dengan berteman, bukannya seks oral—dan saling menyukai saat tidak mabuk—tapi selain itu, aku tidak tahu. Aku melihat Kyungsoo dan Jongin sebagai spesies yang berbeda. Masalahnya, Kyungsoo pasti tahu apa yang sedang dia bicarakan. Nasihat itu kan bukan keluar dari mulut Yixing yang sama lajangnya seperti aku.

Sebagai permulaan, melupakan Sehun adalah ide bagus. Hanya Tuhan yang tahu bahwa hati nuraniku butuh istirahat. Di antara nafsu dan rasa bersalah, aku hampir meledak. Tapi apa yang bisa mengambil alih tempat Sehun dalam imajinasiku?

Aku menetapkan peraturan ketat untuk fantasiku, dan yang paling penting, fantasiku masih mungkin terjadi. Karena aku benar-benar mengenal Sehun, hal itu jadi lebih mudah, tapi aku masih sibuk karena ada begitu banyak detail yang harus digarap.

Dengan kata lain, aku tak bisa sekadar menutup mata dan membayangkan kami bercinta seperti maniak. Pertama, aku harus meyakinkan Luhan dienyahkan, dengan cara yang manusiawi, sesuatu yang tak kan membuat Ziyu trauma lebih dari seharusnya. Jadi Luhan harus mati mendadak karena suatu jenis kanker langka. Lalu Ziyu butuh waktu untuk berduka dan membiasakan diri denganku yang menggantikan ibunya.

Sehun butuh bersandar padaku karena kehilangan istrinya, dan perlahan menyadari bahwa dia sudah mencintaiku sejak pertama kali melihatku. Dan lebih dari segalanya, aku harus mengenakan pakaian yang sempurna, semua yang kumiliki harus kubuang, jadi aku harus memikirkan cara yang masuk akal untuk mendapatkan uang untuk membeli pakaian. Begitu banyak yang harus dibereskan... Apa yang mungkin mengambil alih obsesi ini?

Aku menatap layar komputer yang berpendar, dan tiba-tiba mengerti.

.

.

.

Menuruti nasihat Chanyeol bukanlah kebiasaan yang kubanggakan. Tapi bukan puisi yang bisa membuatku berhenti memikirkan Sehun. Bukan bait bersajak tentang kelopak mawar yang bertebaran dan kecupan diam-diam di malam hari. Sebaliknya, aku menulis tentang Mimi—tokoh fiksi yang sering kuceritakan pada anak-anak di jam mendongeng. Kutulis semua yang telah kuceritakan—tentang Mimi yang bermain-main di sungai jernih sementara ayahnya mendulang emas, tentang betapa cepatnya dia tumbuh besar dan tentang keisengan yang dilakukannya bersama anak-anak pendulang lain, tentang kota yang dibangun para pendulang, dan telegram dari nenek Mimi dari pihak ibunya, yang dia terima setelah ayah Mimi ditangkap karena mencuri emas. Tak butuh waktu lama untuk menyadari ini lebih dari sekedar buku bergambar, bahwa ini mungkin akan menjadi novel. Saat mencapai akhir halaman dua puluh, aku bersandar di ranjang dan tersenyum. Setelah bertahun-tahu, gelar menulis kreatifku akhirnya berguna juga.

Aku menghabiskan hari Kamis tenggelam dalam pekerjaan. Bahkan Huang Zitao tak dapat mengganggu konsentrasiku. Fakta bahwa dia menyuruh dua bocah naka di kelasnya menulis surat permintaan maaf memang telah membantu banyak. Aku menyimpan surat itu dalam map yang kusisihkan untuk Ziyu, hampir tak memikirkan ke mana map itu akan membawaku besok.

Hari Kamis malam aku langsung menghampiri komputer, dan pada waktu istirahat hari Jumat dengan ragu-ragu kukeluarkan setumpuk kertas dari tasku, dan untuk pertama kalinya aku membacakan kisah Mimi kepada anak-anak.

"Kau menulisnya!" pekik Krystal sambil menunjuk. Chanyeol yang sedang menuju pintu keluar, berbalik dan kembali.

"Hidup, Guru Byun!" serunya, dan dia bertengger di tepi meja untuk mendengarkan cerita.

Ketika Mimi sudah cukup besar untuk mengerti, para pendulang memberitahunya saatnya sudah tiba. Nenek Mimi terlalu tua untuk menempuh perjalanan ke barat, jadi anak perempuan itu, yang berusia sebelas tahun, akan menempuh perjalanan ke timur, bertemu dengan nenek dari pihak ibunya untuk pertama kali. Mimi menangis dan menangis terus. Dia sudah terlanjur menyayangi para pendulang emas kumal itu. Mereka sudah seperti keluarganya sendiri, seperti ayahnya, dan Mimi akan sangat merindukan mereka. Karena dia meanngis begitu keras, tak seorang pun dari para pendulang itu tega memberitahu Mimi bahwa dia akan meninggalkan Busan untuk selamanya, jauh dari ayahnya yang tukang tipu.

Saat Taeoh menawarkan untuk membuat ilustrasi cerita bab demi bab, para murid lain bersemangat ingin menyumbangkan karya. Aku tak dapat berbuat lain kecuali setuju, walau sebetulnya mereka seharusnya beristirahat.

Nina mengangkat tangannya dan aku berjalan ke arahnya untuk membantunya membuat judul gambar. Bersama-sama kami menyuarakan kata-kata itu, Golden Ghost, dan bulu kudukku merinding.

"Nina, apakah kau memikirkan hal yang sama?" Nina menengadah dari gambarnya, ekspresi bingung membuat mulutnya membentuk garis merah muda melengkung.

Aku berjongkok supaya wajah kami sejajar. "Bagaimana kalau ini kita jadikan judul cerita?" kataku, menyentuh kata-kata dalam gambarnya.

"Untuk seluruh cerita?" tanyanya, dan aku menjawabnya dengan senyuman. Mata Nina berbinar. "Sungguh?" tanyanya, seakan aku baru saja memberitahunya kami akan berjalan-jalan ke luar planet.

"Aku tidak bercanda," kataku, dan Nina mengangguk.

Kami berjabat tangan, mengikat perjanjian.

.

.

.

Hari Jumat aku bekerja keras menulis, menyiapkan, dan mengajar sampai rasanya hampir tak dapat berdiri, apalagi berpikir tentang Sehun. Sebagai sentuhan terakhir, aku memaksakan diri memakai sweater tebal, celana terusan, dan sepatu kets. Aku bahkan tidak membedaki hidungku, begitu keras upayaku untuk menghentikan kegilaan selebritiku. Tapi aku masih menyikat gigi—untuk kebersihan.

Ziyu kelihatan lebih lesu hari ini, mungkin karena tidak ada teman. Dia duduk di lantai ruang duduk besar itu, dengan malas membalik-balik majalah Vogue terbaru. Kuharap aku bisa merampas majalah itu dari tangannya untuk menyelamatkan Ziyu dari penghancuran rasa percaya diri yang dikobarkan majalah mode, tapi kemudian kusadari, mungkin bagi Ziyu, Vogue mirip album foto keluarga.

Tetap saja, ketika melihatku, dia meloncat dan berlari memelukku dengan tangannya yang tidak cedera. Saat dia mencium perutku, Sehun berjalan masuk, dan kendati segala persiapan yang hati-hati, strategi pengalihan perhatian dan pakaianku yang jelek, aku meleleh di tempat. Bagus.

"Hei!" sapa Sehun riang, dan aku berpaling membuka tas supaya tidak perlu menatapnya. Aku menemukan map itu dan mengeluarkannya.

"Coba kulihat. Ini ada, mm, pelajaran membaca. Kau ingat peraturannya, kan? Kalau dua huruf hidup berjalan bersama, yang terakhir yang berbicara dan menyebutkan namanya."

Ziyu mengangguk. "Seperti hurup o dalam kata jeongmal berkata, 'Aku huruf o!'"

"Persis," kataku, tersenyum. "Nah, kau tinggal menggarisbawahinya...dan ini pelajaran matematika. Lingkarilah angka puluhan. Oh ya, ini surat permintaan maaf dari Jinwoo dan Hyukjin." Aku menoleh pada Sehun, tapi hanya sekilas. "Mereka anak-anak yang, uh, well, yang..." Sehun tersenyum penuh arti lagi. Ya Tuhan, kenapa sih dia harus kelihatan tertarik padaku? Aku bahkan belum membuat dapurnya berantakan. "Apakah kau punya waktu membaca dengannya?" tanyaku, berusaha tetap pada pokok pembicaraan.

"Kurasa bisa kuatur," kata Sehun, menyelipkan tangan ke saku belakang celananya.

"Oh, aku hampir lupa!" kataku, lalu meraih ke dalam tas, berterima kasih pada bintang keberuntunganku karena menyediakan pengalih perhatian dari senyum indah Sehun yang menakutkan. Aku menarik tumpukan kertas lain dan menyerahkan pada Ziyu. "Dari teman-teman sekelasmu."

Ziyu mengambil tumpukan kertas dari tanganku dan dengan bersemangat menyelidikinya di lantai, menggunakan tangan kiri dan siku kanannya untuk memisahkan tumpukan. Saat aku memberitahu kelas bahwa aku akan mengunjungi Ziyu di rumahnya, kami memutuskan untuk membuat kartu semoga cepat sembuh. Aku menatapnya, tak berpaling sedetikpun. Dia cukup mahir menggunakan tangan kiri, tapi kuharap kemampuannya menulis dan motoriknya tidak akan terpengaruh serius akibat peristiwa ini.

Aku teringat kata Chanyeol, bahwa banyak anak mengalami patah tulang dan bisa pulih kembali. Tentu saja aku akan melakukan apa yang dapat kulakukan untuk membantu Ziyu mengejar ketinggalannya saat gipsnya dilepas nanti, tapi kuharap itu tidak berarti aku harus menghabiskan waktu dengan Sehun. Aku gagal total dalam usahaku berhenti menyukainya.

"Mereka menyayangi Ziyu," kataku, berusaha tetap fokus.

"Dia anak yang mudah disayang," kata Sehun. "Ya, kan, Zizi?" Ziyu menengadah pada Sehun dan mengangguk cepat, tersenyum dan terenga, yang memengaruhi kami semua, dan walau aku berusaha menahannya, kami pun tertawa bersama. Demi Tuhan, senyumnya itu! Kenapa aku harus melihatnya?

"Jadi, film apa yang sedang dikerjakan Luhan-ssi?" tanyaku, menatap pintu kaca di depanku untuk menumpas rasa malu ini sejak awal. Dan di sana, di pintu penthouse pribadi Oh Sehun, terpantul bayangan guru sekolah dasar yang berantakan, tak percaya diri, tak berdaya tergila-gila pada pria beristri yang terkenal di seluruh negeri—bahkan Asia. Aku menatap lantai, menyerah kalah.

Sehun berkata, 'Uh, film, eh—film studio besar. Kau tahu..." kata-katanya menghilang, tapi aku harus mendengar tentang Luhan. Kuputuskan bahwa dialah kuci untuk membebaskan pikiranku yang terpaku pada Sehun.

"Filmnya tentang apa?" aku terus mendesak.

"Ah, filmnya yang itu-itu juga. Kau tahu, film studio besar."

Apakah itu film epik yang masih dirahasiakan? Atau film yang konon pemainnya tidak mendapatkan naskah utuh? Apakah Sehun berusaha menghindari pertanyaanku? Apakah dia jengkel? Mendadak aku malu karena mendesaknya. Aku hanya mengumbar keserakahanku sendiri.

"Maaf," kataku, masih menatap lantai. "Aku hanya—oh, entahlah—hanya saja itu menarik bagiku."

"Tak apa-apa, sungguh." Kami saling pandang dan aku tak tahu apakah hanya aku yang merasakannya, tapi sepertinya pandangan kami terpaku sedikit lebih lama daripada yang seharusnya.

"Oke, kurasa aku akan bertemu denganmu hari Senin," ujarku pada Ziyu, merasakan sensasi panas merebak di wajahku. "Anak-anak tak sabar ingin bertemu denganmu lagi." Aku menoleh pada Sehun dan mengucapkan selamat tinggal, mencoba menatap ke mana saja kecuali matanya.

Aku berjalan ke pintu dengan penuh tekad, tapi Ziyu meluncur melintasi lantai kayu dan menarik lengan bajuku.

"Guru Byun! Ayo lihat kamarku!" pintanya. Aku menatap Sehun.

"Ide bagus, kiddo," katanya, dan aku digandeng melewati ruang duduk, melewati lukisan raksasa, lalu aku berada di lorong yang tak kuduga keberadaannya, menyambung ke sayap bangunan, dan di ujung lorong terdapat kamar mandi, dengan mosaik warna pelangi dengan keramik seukuran permen. Boneka binatang karet dan busa bertebaran di lantai. Ziyu menendangnya ke samping saat kami melintasi pintu masuk kamarnya, kamar yang hanya bisa kugambarkan sebagai impian setiap anak. Ziyu mengenalkanku pada semua bonekanya. Aku menyalami tangan, cakar, sirip, tentakel, dan saat aku selesai, aku mendengar tawa kecil di belakangku, dan itu bukan suara Ziyu.

"Ah, kau sudah bertemu seluruh anggota keluarga," kata Sehun, dan saat berbalik aku bisa merasakan rona merah merayap naik ke leher, menuju wajahku, sama menyalanya dengan karpet yang kuinjak.

"Ya, Ziyu sedang memperkenalkan kami. Eh, keledai itu khususnya..."

"Bawel!" teriak Ziyu, dan terguling cekikikan di ranjangnya.

"Ya," kataku. "Sangat bawel. Kami tidak berhasil menyuruhnya diam, bukan?"

Ziyu menggeleng-geleng, tapi tampaknya tak sanggup berkata sepatah kata pun karena terlalu sibuk tertawa.

"Kau wanita yang lucu," kata Sehun, memiringkan kepala, seakan baru melihatku untuk pertama kalinya. "Guru Byun," kata Sehun. "Terima kasih lagi karena telah melakukan semua ini. Ini sangat berarti bagi kami."

"Sangat berarti bagi kami!" tiru Ziyu sebelum kehilangan kendali lagi.

"Well, aku senang bisa membantu," kataku, hampir tak memercayai kemungkinan bahwa aku baru saja membuat salah satu bintang paling terkenal di planet ini terkesan dengan kecerdasanku.

Sehun mengantarkanku ke pintu. Aku layang ke pintu, sebetulnya. Aku hampir sampai, hampir terbebas dari cengkraman maut nafsu.

"Ziyu menyayangimu, Guru Byun."

Aku membeku. "Terima kasih," gumamku, berbalik. "Sungguh, itu bukan masalah besar—"

"Tidak, kurasa kau tak menyadari bertapa berartinya dirimu bagi Ziyu." Sehun berdiri sangat dekat, aku dapat menciumnya, aftershave mahal bercampur bau tubuhnya. Mencium bau ini pada orang lain mungkin akan membuatku menghindar, tapi ini Oh Sehun; rasanya sungguh manusiawi dan primitif sampai aku dapat merasakan kelembapan menembus celana dalamku.

'Well, perasaanku juga sama, Mr. Oh," kataku hati-hati.

"Panggil aku Sehun."

"Oke, Sehun." Aku mencoba mengucapkan nama depannya bergulir di lidah seperti cokelat bulat beku. Kami bersalaman. Tidak ada yang aneh. Lalu dia meletakkan tangan kirinya di atas tanganku, dan mendadak aku memiliki tangan paling beruntung di dunia, melayang di awal Oh Sehun yang memukau. Apakah dia merasakan badai berkumpul di perutnya seperti yang kurasakan? Apakah dia menyadari betapa berkuasanya dia atas diriku?

Saat akhirnya dia melepaskan tangaku, aku berdiri terpaku. Aku bahkan tidak menurunkan tanganku ke sisi tubuh. Dia melihat betapa mabuk cintanya diriku, dan kurasa dia kehilangan rasa hormatnya padaku. Kusentakkan tanganku ke dalam saku dan meringis. Sehun tersenyum dan meremas bahuku. "Apakah kecantikan merupakan syarat bekerja di City Select?"

Aku tidak bicara apa pun. Semua fungsi tubuhku macet. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku. "Uh..." Hanya itu yang berhasil keluar. Mendadak aku seperti berusia tiga belas tahun lagi.

"Oke, kiddo. Sampai bertemu lagi," katanya santai, seakan tak menyadari dia baru saja memutarbalikkan jagat semestaku.

Aku menyemburkan "Terima kasih!" dan hampir menghantamkan mukaku ke pintu depan saat melarikan diri.

.

.

.


TBC


.

.

.

Guys, chapter 4 is up!

Aku tahu di chapter ini chanbaek momentnya gak ada. Tapi next chapter bakal aku usahain ada...tergantung cerita sih sebenarnya. Hehehe...

By the way...

Siapa di antara kalian yang punya demam seleb kayak Baek di FF ini? Hayoh ngaku! Hihihi... (padahal gue bhakks)

Pokoknya, tetap nantikan kelanjutan chapternya, oke?!

Silahkan tinggalkan REVIEW, dan jangan lupa juga untuk nge-FAV dan FOLLOW.

Luph you guys *muachhhh*

See you next chapter!