"Terjadi sebuah kecelakaan di dekat stasiun Kunugigaoka pada pukul 7 pagi tadi. Sebuah truk pengangkut barang kehilangan kendali dan menabrak trotoar. Terdapat satu korban jiwa. Menurut kartu identitas yang ditemukan oleh polisi, korban merupakan salah satu murid SMA Kunugigaoka yang bernama– piiiiiip."


Assassination Classroom – Yuusei Matsui

.

WARNING : OOC, typo(s), bahasa suka-suka, alur menstrim, dan lain sebagainya.

.

Mohon maaf bila ada kesamaan cerita. Cerita ini murni imajinasi saya, tidak ada niatan untuk meniru ataupun menjiplak.

.

Enjoy!

.


Semua murid kelas satu SMA Kunugigaoka fokus pada soal ujian di hadapan masing-masing. Otak berpikir keras untuk memecahkan soal-soal ujian.

Matematika adalah mata ujian hari ini, pelajaran yang paling dikuasai oleh Akabane Karma. Namun, entah mengapa, ia sama sekali tidak berminat untuk mengerjakan soal dengan kemampuan terbaiknya.

Dulu, saat ia berada di kelas E, dimana ada sesosok gurita yang mengajarnya, ujian akan terasa lebih menyenangkan dan menantang. Tidak seperti sekarang, ini hanyalah ujian biasa untuk mendapat nilai sempurna dan merebutkan peringkat pertama. Tidak ada tantangan yang menegangkan. Tidak ada tentakel yang didapatkan bila mendapat nilai tertinggi. Hanya ujian biasa yang membosankan.

Semenjak masuk SMA Kunugigaoka, ia kehilangan semangat belajarnya. Apa karena ia kehilangan sosok guru terbaiknya? Ia tidak tahu jawabannya.

Satu-satunya tantangan yang masih dirasakan oleh Karma hingga SMA hanyalah–

Karma kemudian mengalihkan pandangannya ke depan, ke arah bangku kosong yang ditinggal pemiliknya entah kemana.

–tantangan dari Asano Gakushuu.

Dan anehnya, lelaki tersebut tidak masuk hari ini. Tidak masuk saat ada ujian di sekolah.

Sang surai merah menghela nafas. Ia mulai mengerjakan soalnya dengan tidak semangat, karena ujian saat ini benar-benar membosankan.

.

"Kenapa harus kumpul di aula setelah makan siang, sih?"

"Iya. Pak kepala sekolah kejam banget, deh."

"Yah.. pasti ada yang mau dibicarakan. Palingan event OSIS lagi."

Sekelompok murid perempuan yang tidak diketahui namanya dan kelasnya, berjalan menuju aula seraya menggerutu. Karma, yang kebetulan berada di samping mereka, hanya berusaha menutup telinga, tidak mendengarkan pembicaraan mereka.

Setelah berhasil memasuki ruang aula, lelaki tersebut segera menuju barisan kelasnya. Tak lama kemudian, kepala sekolah segera menaiki panggung, hendak membicarakan alasan dipanggilnya murid-murid ke aula.

"Ehem.." sang kepala sekolah berdeham pelan, membuat semua pasang mata terfokus padanya. "Ada kabar duka yang baru saja diterima oleh pihak sekolah."

Semua murid kembali gaduh. Mereka berbisik-bisik kepada teman di sampingnya.

"Eh? Ada yang meninggal? Murid kelas berapa? Atau mungkin guru?"

"Eh.. Meninggal? Siapa? Murid atau guru?"

Sekiranya seperti itulah percakapan yang sampai ke indra pendengar Karma. Tidak seperti teman-temannya yang menjadi gaduh, ia masih bersikap santai. Ekspresi yang dirunjukkannya masih seperti biasa– datar. Tak lupa, tangan dimasukkan kedalam saku celana.

Sejak dulu, Karma memang tidak pernah tertarik dengan topik orang yang sudah meninggal. Bukan karena ia tidak peduli, hanya saja ia merasa bahwa orang meninggal yang biasanya dibicarakan tidak ada hubungannya dengan darinya.

He.. ada yang meninggal? Mungkin hanyalah kakak kelas yang tidak kukenal. Atau mungkin teman seangkatan yang belum berkenalan denganku. Mungin hanyalah orang yang sama sekali–

"Kabar duka ini berasal dari putra Ketua dewan–"

Manik merkuri tersebut membola setelah mendengarnya. Lelaki tersebut semakin mempertajam pendengarannya.

Tu-tunggu, pu-putra kepala dewan? Tidak mungkin..

"–Asano Gakushuu, telah meninggal karena kecelakaan tadi pagi," jelas Kepala sekolah kemudian.

Setelah itu, waktu serasa terhenti. Suara kegaduhan yang berada di aula terengar sayup-sayup, serasa begitu jauh.

Tubuh Karma menbatu di tempat. Ia masih tidak mempercayai pendengarannya.

Asano? Meninggal? Ini benar-benar lelucon yang tidak lucu, batinnya dalam hati.

Jika nama 'Asano Gakushuu' dikaitkan dengan kata 'meninggal' adalah hal yang tidak cocok. Tapi, semua manusia akan bertemu dengan ajalnya, bukan? Meski begitu, entah mengapa, Karma masih tidak mempercayai perkataan Kepala sekolahnya.

Waktu serasa kembali berjalan. Suara kegaduhan yang sebelumnya terdengar sayuo-sayup dan jauh, kembali terdengar dengan jelas di pendengaran lelaki bersurai merah tersebut.

Hari itu, lembaga pendidikan Kunugigaoka kehilangan salah satu murid terhebatnya, Asano Gakushuu.

.

Setelah disampaikannya berita duka di aula tadi, seluruh murid SMA Kunugigaoka pergi melayat ke kuburan Asano Gakushuu. Tidak semuanya sebenarnya, karena saat ini Karma sedang berada di atap sekolah, bukannya ikut pergi ke makam bersama teman satu sekolahnya.

Bukannya ia tidak peduli dengan kematian rivalnya tersebut, ia hanya tidak menyukai suasana makam. Kelam, penuh dengan tangisan dan menyedihkan. Karma tidak menyukai semua suasana itu.

Karena, hal tersebut mengingatkan Karma pada kejadian saat ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP lalu. Saat guru terbaiknya, Koro-sensei, dieksekusi di depan matanya. Saat sahabatnya, Shiota Nagisa, menusukkan pisau anti-sensei tepat ke jantung gurunya tersebut. Saat tubuh gurunya mulai menghilang dari pandangan.

Saat semua teman-temannya beserta dirinya sendiri menangisi kejadian di hadapannya. Saat merasakan sakitnya kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya.

Saat itulah, suasana kelam dan penuh kesedihan dirasakan oleh Karma.

Lelaki tersebut memajamkan matanya, membiarkan memori penuh kesedian tersebut terputar dalam otak jeniusnya. Membiarkan dirinya merasakan kesedihan untuk kesekian kalinya.

"Hei, Koro-sensei.. Apa kau tenang di alam sana?" tanyanya seraya menengadahkan kepala ke arah langit sore di atasnya.

"Ajal pasti akan menjemput manusia, he? Manusia tidak bisa menolak ajalnya, kan? Bahkan orang seperti Asano juga dipanggil ke sana. Dipanggil oleh ajalnya."

"Ahaha.. benar-benar lucu. Jika manusia sudah mencapai ajalnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.." Karma kemudian tertawa hambar.

Kepalanya kembali tertunduk, menatap kakinya.

Entah apa yang dirasakan oleh Karma saat ini. Apakah ia harus merasa sedih karena kehilangan saingannya? Atau justru merasa senang karena ia sudah tidak memiliki saingan? Ia tidak tahu. Karma benar-benar tidak mengerti dengan perasaan yang dirasakannya saat ini. Ia merasa hatinya sedikit–

hampa.

Tiba-tiba saja ponsel di saku celana Karma berbunyi.

Nagisa-kun? Mengapa ia menelponku saat ini? Karma terheran-heran saat melihat nama penelpon. Tak ingin membuang waktu, ia segera mengangkat telpon tersebut.

"Halo, Nagisa-kun? Ada apa menelponku?" tanya Karma kepada Nagisa di seberang sana.

"Eum.. bagaimana kabarmu?"

"Baik. Nagisa-kun sendiri?"

"Ah, aku juga baik-baik saja, kok. Sama seperti dirimu."

"Oh."

Kemudian hening. Tidak ada satupun yang berbicara. Karma memutuskan untuk diam. Ia tahu bahwa Nagisa punya alasan lain menelponnya selain untuk sekedar menanyakan kabar.

"Eum.. Karma-kun.. Kudengar Asano-kun meninggal, ya?"

Lelaki bersurai merah tersebut terdiam sesaat. Kemudian ia menjawab, "Ya."

"Aku turut berduka cita, ya, Karma-kun.." suara Nagisa di telpon terlihat begitu menyesal. Karma jadi ingin tertawa.

"Ahahaha.. ya ampun, Nagisa-kun, mengapa kau mengatakannya kepadaku? Bukankah seharusnya kau mengatakan itu ke ketua dewan?"

"Jangan berkata seperti itu, Karma-kun! Dia, kan, juga temanmu."

"E-eh, iya."

"Kalau begitu, aku tutup teleponnya, ya. Aku masih ada urusan. Kapan-kapan kita ketemuan, ya!"

Karma tersenyum kecil. "Tentu, Nagisa-kun."

Kemudian, sambungan telepon diputus oleh sahabat birunya tersebut. Karma pun menatap layar ponsel dengan tatapan kosong.

Teman, ya..?

Pandangannya beralih menuju langit di atasnya. Hari sudah semakin sore. Ia memutuskan untuk segera pulang.

Karma keluar dari kawasan atap sekolah. Kemudian ia berjalan menuruni tangga, menuju lantai satu. Kepala terus ditundukkan, membiarkan matanya terus menatap lantai yang dijejakinya. Tiba-tiba saja–

Bruk!

Seseorang menyenggol bahu Karma hingga yang disenggol hampir saja terjatuh. Membuat Karma– yang juga dikenal sebagai berandalan sekolah– hampir terjatuh sama saja mencari mati. Ia terheran-heran dengan orang yang berani menyenggolnya.

"Hati-hati, dong, kalau jalan! Kamu ngajak–" Karma tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat orang yang baru saja menyenggol bahunya.

Rambut jingga, iris violet. Tidak salah lagi, dia–

"A-Asano?!"

"Hah? Akabane?!"

.

.

To be continued..


A/N:

Ini sebenarnya ide buat lomba cerpen di majalah sekolah. Tapi, gara-gara panitia gak boleh ikut, gak jadi buat, deh. :p

Karena kebetulan (?) peran utama diceritanya itu mirip banget sama Asano, jadinya buat beginian XD

Judulnya gak kreatif. Nanti bakal diganti (mungkin). Aku juga buta genre, ada saran genre? ('-' )/

.

.

Mind to Review?