BRAKKK..!
Pintu kamar ditutup dengan brutal. Gadis itu menghempaskan diri ke ranjang. Menutup wajahnya menggunakan bantal—berusaha meredam isak tangis.
"Benar-benar keterlaluan!" Umpatnya di sela tangis yang tersedu-sedu. Ia memegangi pipinya yang baru saja menerima tamparan keras dari Sang Ayah.
Ayah?
YA, ayahnya tega melalukan hal itu hanya karena sebuah alasan yang 'terlalu biasa'.Gadis itu sangat membenci kehidupanya yang selalu di atur-atur.
"Aku muak dengan semua ini!" Ia menggeram penuh amarah. Melempar bantal kesembarang arah lalu menyambar sebuah kunci mobil yang tergeletak di atas nakas.
.
.
.
Aimi Dragneel & synstropezia
Present :
NOTRE AMOUR
Fairy Tail © Hiro Mashima
Rate : T, semi M
Genre : Drama, Romance.
Warning : AU-life, Gaje, Abal, Typos, OOC, dan segala keburukan lainya.
.
.
.
DLDR~
Enjoy your reading :)
.
.
.
Gemerlap lampu warna-warni berpadu padan menyilaukan mata. Beberapa orang tampak berjoget ria mengikuti irama lagu disko.
Entah sudah keberapa kalinya gadis cantik itu bersendawa, seraya meletakkan sebuah gelas kosong ke atas meja kaca di hadapannya, dimana terdapat beberapa botol minuman beralkohol dengan merk 'Black jack' yang seluruh isinya telah kandas. Sebelah tangan memegangi kepala, pening, ditambah alunan musik yang terdengar tidak jelas. Belum lagi kelap-kelip lampu membuatnya semakin frustasi.
"Yo…. Bagi para lajang patah hati…. Mari kita berpestaaaaaaa!" Terdengar teriakan nyaring dari sound system di ruangan yang berisik tersebut.
Gadis itu, Lucy Heartifilia. Seorang keturunan bangsawan tengah duduk sendiri di atas kursi tinggi milik sebuah klub malam. Tak ketinggalan jejeran botol wine yang menemani. Entah angin apa yang membawanya berakhir di tempat hina seperti ini. Selintas ia ingat, pergi karena pipinya merah akibat ditampar.
"Heh, terdengar konyol…. Hik!" Ia mendengus. Sesekali memberontak tidak apa-apa, kan? Belajar menjadi wanita nakal daripada hidup dalam belenggu peraturan.
Lucy menuangkan kembali minuman itu ke dalam gelas kecil ditanganya, lalu menghabiskan dengan sekali teguk. Menuang lagi dan meminumnya lagi. Kemudian menuangkanya lagi, lalu meminum lagi. Begitulah seterusnya—hingga tiba-tiba sebuah tangan kekar menghentikanya.
"Nona, Anda minum terlalu banyak" Suara baritone mengusik indra pendengaranya. Lucymendongak malas. Mengalihkan perhatiannya ke wajah orang itu.
Are? Pandangannya tidak jelas.
Detik kemudian ia menggembungkan pipi jenaka,"Fttt…. Hahahahahahaha…. Lihatlah wajahmu, hahahahaha… ada sepuluh—dan tunggu!" Kedua manik madu Lucy menyipit. Menatap lekat-lekat wajah pria dihadapannya. "Ngomong-ngomong kau seperti Renzo Shima, ya? Ffttt..hahahahhahahahaha…." Dan ia kembali tertawa lepas sembari menepuk-nepuk bahu pria itu. Mengabaikan tatapan aneh dari sang empu.
Orang mabuk dapat kehilangan akal. Lucy tak kunjung berhenti membuat pria itu hanya memasang ekspresi facepalm. 'Dia benar-benar gila!' Batinnya menepuk jidat.
.
"Sudah puas tertawanya?" Tanya pria itu. Menghela napas berat.
"Yah, perutku sampai mulas…. Aduh…." Wajah Lucy berkeringat. Ia mengurut perutnya yang terasa sakit akibat terus-menerus tertawa.
Setelah benar-benar berhenti,Lucy berniat menuangkan kembali cairan laknat itu ke dalam gelas. Namun dengan sigap, si pria merebut botol itu dan menyembunyikanya di balik punggung.
Lucy menggeram, "Ngh…. Apa-apaan orang ini? Hik! Cepat kembalikan!" Ia menjulurkan tangan mencoba meraih wine-nya kembali, walau kepala itu sudah membentuk seribu bayang tidak jelas.
"Nona menghabiskan terlalu banyak alkohol. Kusarankan Anda segera berhenti," ujar pria itu menasihati gadis pirang di hadapannya.
Lucy mendengus,"Heh, hik!... Siapa kamu? Siapa aku? Hik! Berani-beraninya kau menasihatiku?! Seperti ayahku saja…hik!" Lucy tak mampu menopang berat kepalanya, ia pun hanya bisa terkulai lemas di atas lipatan tanganya di meja.
"Bukan begitu, Nona. Jika Anda minum terlalu banyak akan berbahaya" Ah, dasar bodoh. Kenapa aku bersikukuh begini? Lagi pula dia sekadar orang asing.
Lucy mendongak, caramel redup yang sayu menatap pria di depannya,"Hik! Memangnya apa pedulimu, huh? Mau bahaya atau tidak itu bukan urusanmu. Lebih baik, pedulikan saja masalahmu! Hik.."
Pria itu tertegun sejenak. Namun tak lama ia menghela napas pelan. Meletakkan kembali botol wine di meja.
"Hanya saja, Nona. Sangat disayangkan untuk gadis secantik dan sekaya Anda menghambur-hamburkan uang di tempat seperti ini, dan lagi karena sebuah masalah? Lihatlah mereka!" Ia mengarahkan jari telunjuknya ke salah satu sudut remang-remang klub. Lucy memutar kepala mengikuti arah yang di matanya yang kabur, beberapa pria hidung belang asyik bergumul mesra dengan wanita-wanita jalang disana. Saling mengecup bibir. Bertukar saliva diakhiri memesan ranjang kosong. Cih, menjijikan! Pemandangan tersebut tak lebih dari pertunjukan para binatang, busuk, bejat, tidak bermoral!
"Jika seperti ini, Anda hanya akan menjadi pesanan 'teman tidur' mereka. Paham?" Pria itu kembali berujar. Kini nada bicaranya melembut, tidak setajam tadi.
Lucy kembali mendengus,"Cih…lelucon yang menggelikan. Aku diceramahi oleh penjaga bar sepertimu?" Ia menunjuk-nunjuk ke arah si pria seraya tersenyum sinis. "Haha… benar-benar menggelikan!"
Pria itu merespon dengan menggelengkan kepala sabar.Toh, wanita ini mabuk, seakan pula,ia mendapat panggilan untuk memberi "penerangan" kepada pelanggan di depannya. Boleh dibilang, dia miring dalam artian berbeda.
Gadis pirang itu meringis,"Ne, ne. Seharusnya kau senang…. hik!Ada pelanggan yang mau memborong semua minuman di klub ini. Bos-mu pasti bahagia. Gajimu akan dinaikkan, diberi bonus akhir bulan. Oh! Atau kau ingin kubayar langsung? Bilang saja. Tidak perlu sungkan! Berapa yang kau inginkan?" Lucy menyambar tas di sampingnya. Mengambil dompet kulit seharga ratusan juta yang terlihat gemuk dan sehat.
Pria itu buru-buru menyangkal, "Maaf, Nona. Saya tidak seperti yang Anda pikirkan. Simpan uang itu. Gunakanlah dengan bijak."
Plik…
Lucy menjentikkan jarinya "Oho~ aku suka gayamu."
Pria bartender itu merespon dengan senyum simpul. Bergerak membereskan meja dari botol dan gelas bekas yang berserakan. "Nah. Sebaiknya Anda segera pulang sebelum larut malam. Nanti orangtua Nona khawatir." Pria itu berucap sembari mengelap meja dari noda bening yang berceceran.
Kedua alis Lucy menukik "Apa kau menyindir?" Ia mengibaskan tangan di depan muka,"Ibu tidak akan peduli. Dia ada di Surga," jawabnya dengan nada enteng. Namun sekejap ekspresinya berubah menjadi dingin, "Dan Ayah? Heh! Dia lebih pantas disebut 'kepala diktator' dibandingkan seorang Ayah," dengusnya.
Pria itu tersentak sesaat. Terdiam dengan perasaan bersalah mencuat. Dia mana tahu kalau gadis pirang itu menyimpan berjuta kesedihan. Ia malah berkata seenak jidat.Maa. Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing, bukan?
"Anda tidak boleh berkata seperti itu. Jika Ayah-Mu mendengar dia akan—"
"—Hoaaammm…. Baiklah. Aku akan pulang. Terima kasih basa-basinya. Cukup bermanfaat." Perkataan Lucy memotong ucapan si pria. Ia membuka seleting tas, mengeluarkan segepok uang dengan nominal tidak sedikit. Si Pria hanya membalas dengan terimakasih singkat.
"Hati-hati, Nona," ucap pria itu sebelum kembali berkutat dengan pekerjaannya.
"Laki-laki yang baik," batin Lucy tersenyum. Hatinya berkata atas alam bawah sadar. Secara tidak langsung, tindakannya memberi secercah cahaya.
Tertatih-tatih Lucy berdiri. Berusaha berjalan walaupun sempoyongan.
.
Hak sepatu yang terlalu tinggi membuat dia sulit menjaga keseimbangan. Tubuhnya limbung ke samping, pasrah saja jika ia harus berakhir mencium dinginnya lantai bar. Dan jatuh tepat di—
"Kubilang hati-hati, Nona"
—Dekapan?
Pria?
Hangat….
Bukan tubuhnya saja yang terasa hangat—melainkan relung hati juga ikut mengecap rasa serupa.
"Perasaan apa ini?" batin seorang malaikat merengkuhnya. Datang membawa harapan baru entah darimana berasal. Andaikata waktu membeku. Andaipun takdir memperbolehkan ia melihat wajah bersahabat itu.
"Apa ini efek alkohol? Halusinasi, kah?" Tidak. Dia lelah terus dikecewakan. Lari dari masalah tanpa tahu, harus pulang kemana.
Jantungnya berpacu lebih cepat. Setitik perasaan aneh hinggap dalam dada kala mendengar bariton pria itu berucap dengan nada lembut. Ibarat alunan piano di konser musik, menggetarkan sekaligus menenangkan. Ia mencoba memfokuskan pandangannya ke wajah sang pria. Merekam kontur itu dalam ruang memori. Tetapi yang ia lihat dengan jelas, hanyalah…. Rambut pria itu berwarna sakura, selebihnya buram.
Lama kelamaan sepasang karamelnya kian memberat. Lucy tak mampu mempertahankan kesadarannya. Ia pun jatuh pingsan dalam pelukan pria itu.
"Sakura yang indah."
###
Sinar mentari pagi menelusup melalui celah-celah tirai jendela. Suara kicauan burung terdengar saling menyahut diluar. Melantukan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Ngh…." Lucy melenguh pelan. Matanya mengerjap-ngerjap. Menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke netra. Kemudian bangkit duduk. Menguap lebar sembari mengucek mata beberapa kali.
Lucy memegangi kepalanya yang masih pening. Usai seluruh nyawanya terkumpul, ia mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Are? Dimana ini?" Gumamnya.
Sebuah ruangan yang cukup sempit,agak berantakan,dengan ranjang berukuran mungil,dan entah kenapa terasa…. Asing?
"ASTAGA!" Ia terperanjat. Buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya lalu berdiri.
Krieeett…
Terdengar derit pintu terbuka dari arah samping. Lucy bergegas menengok, panik.
Kini tampak di matanya, sesosok pria asing bertubuh atletis yang hanya memakai handuk sebatas pinggang sampai setengah paha berdiri di depan pintu.
Mata Lucy sukses membelalak.
.
.
.
Detik berikutnya "KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…!" Lucy berteriak, bergegas menutup matanya dengan kedua tangan.
"Kenapa kau berteriak?" Tanya pria itu, polos.
"KENAPA KAU TIDAK PAKAI BAJU?!"Lucy berucap dengan nada membentak. Sebenarnya bukan menutupi mata saja, melainkan menyembunyikan wajahnya yang berwarna seperti daun maple kala musim gugur, merah sempurna.
"Hm? Ah! Wari…wari.. aku lupa ada perempuan disini. Kalau begitu tunggu sebentar, aku pakai baju dulu." Pria itu menggaruk belakang kepalanya sembari nyengir watados dan berlalu kearah almari.
"Ish! Alasan apa itu?"batin Lucy speechless.
Beberapa saat kemudian.
"Nah,sudah selesai. Kau boleh mambuka matamu," ucap pria itu.
Lucy menyingkirkan tangannya dari wajah. Mendongak ke arah pria yang ternyata sudah ada di depannya itu—
Tunggu—rambut pink?
"Kyaaaa….! Kawaiii…."Sisi lain dalam diri Lucy berteriak setelah melihat jelas pertama dapat ia akui, pria itu… tampan dan manis. Namun seketika dia langsung tersadar.
Lucy berdehem, "Ekhem! Coba jelaskan kenapa aku bisa berakhir disini?" Tanyanya dengan nada pura-pura kesal—mencoba menetralkan gejala absurd yang mulai menjangkitinya.
"Apa kau lupa, Nona? Semalam kau pingsan karena kebanyakan minum. Karena aku bingung mau membawamu kemana … Jadi kesini saja menggunakan mobilmu. Aku hanya berniat menolong," ungkap pria itu.
"Jadi pria ini menolongku?" Kalau begitu Lucy berhutang budi padanya.
"Oh…. Kalau begitu, terimakasih," ucap Lucy dengan suara pelan.
"Sama-sama," jawab si pria disertai cengiran khasnya. Menampakkan deretan gigi seputih salju yang membuat Lucy terpana sesaat. "Eng…. Ngomong-ngomong. Siapa nama Nona?" Tanya pria itu.
"Lucy. Jangan panggil aku Nona."
"Luigi? Baiklah, salam kenal. Namaku Natsu, Natsu Dragneel" pria yang memperkenalkan diri sebagai Natsu mengulurkan tangannya ke arah Lucy.
Kening Lucy mengernyit 'Apa dia tuli?', batinnya, "Namaku LU-CY!, bukan Luigi!" Ucapnya penuh penekanan pada kata 'Lucy'. Ia pun menyambut uluran tangan Natsu dengan sedikit ragu-ragu.
"Ah! Maaf, Lucy," ucap Natsu mempertahankan cengiran lugunya.
Lucy membalas permintaan maaf Natsu dengan mengangguk kaku. Setelah itu, suasana menjadi canggung.
Kruyuukkk….
Tiba-tiba suara gemuruh aneh menginterupsi di tengah keheningan mereka. Termometer wajah Lucy langsung mencuat ke atas, memerah sampai ujung telinga hingga menyembulkan asap imajin yang keluar dari pucuk kepala. Ia sungguh malu.
Natsu tak dapat menahan tawanya, "Hahaha… sepertinya ada yang kelaparan. Baiklah, kau tunggu di sofa, aku akan menyiapkan sarapan"Ia berlalu menuju dapur. Meninggalkan Lucy yang memutih di tempat karena berhasil membuat orang yang baru dikenal melihat sisi memalukanya.
.
"Makanan sudah siap."Tak memakan lebih dari lima belas menit, Natsu sudah muncul dari arah dapur membawa dua piring berisi gundukan berwarna cokelat dengan asap tipis yang mengepul. Ia meletakkannya di meja depan sofa. Wangi gurih dari nasi goreng langsung merasuki indra penciuman Lucy. Membuat perutnya tak sabar untuk segera diisi.
"Nah, makanlah. Jangan sungkan. Tapi maaf, hanya ini yang bisa aku hidangkan. Err…. Mungkin rasanya tidak terlalu enak dan agak pedas, jika kau kurang suka biar kubuatkan yang baru," ucap Natsu seraya mendudukkan diri di samping Lucy.
Perkataan lelaki di sampingnya membuat Lucy tercengang, "Ti-tidak perlu. Aku suka, kok. Dan aku minta maaf sudah merepotkanmu."
Natsu mulai menyuapkan nasi kemulutnya. "Aku tidak merasa direpotkan,"ujarnya santai.
Lagi-lagi ia tercengang. Tanpa sadar Lucy mematri seulas senyum lembut. Sayang Natsu tak melihatnya, karena lelaki berambut salmon itu terlalu fokus pada makanan.
"Jaa, ittadakimasu," gumam Lucy—hampir tak terdengar. 'Enak', pujinya dalam hati setelah sesendok nasi goreng memasuki kerongkongan.
Natsu berhenti mengunyah sesaat. Ia pun menoleh kearah Lucy "Ngomong-ngomong, Luce. Rumahmu dimana?" Tanyanya.
"Luce?" lagi-lagi kening Lucy mengkerut, "Ah, aku tinggal di suatu daerah di kota ini," jawab Lucy segera, tersenyum.
"Oh.." komentar Natsu—singkat. Ia kembali melanjutkan acara makannya.
Kini giliran Lucy yang menghentikan kunyahan, "Ng… Natsu, kau tinggal sendiri?" Ragu-ragu ia bertanya.
"Iya."
"Dimana orangtuamu?"
"Di surga."
Bungkam. Lucy sontak terdiam mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Natsu.
Natsu terkekeh kecil, "Tidak perlu memasang wajah seperti itu. Kemarin aku juga bertanya hal yang sama padamu. Jadi kita impas," ujar Natsu. Tak menoleh pun ia tahu, Lucy tengah memasang raut muka prihatin.
"Aa… umh.." Lucy merespon dengan gumaman tidak jelas. "Ne, Natsu?" Panggil Lucy kembali. Meski terdengar seperti bertanya.
"Hm?"
"Kenapa kau kerja di bar?"
"Kenapa? Tentu saja untuk bertahan hidup. Orang yang hanya lulusan SMA sepertiku tak punya banyak pilihan. Pagi sampai sore aku bekerja di bengkel dan malamnya di bar, seperti itulah setiap harinya."
Mendengar jawaban Natsu membuat Lucy terdiam lagi. Mereka pun melanjutkan kembali acara sarapan dalam keadaan hening, terkecuali suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu.
.
Selesai sarapan, Natsu mengantar Lucy menuju pintu. Tangan mereka melambai singkat. Melempar senyum sebelum salah satunya keluar.
"Terimakasih untuk segalanya, Natsu." Bagaimanalah cara membalas kebaikan itu? Milyaran uang pun tak cukup jika dibandingkan perhatian tertulus.
"Sama-sama. Hati-hati di jalan, Luce"
"Tapi kita masih bisa berteman, kan?" Terhenti sejenak. Lucy membiarkan pintu dalam keadaan setengah terbuka. Memandang sepasang onyx Natsu dengan lirik permohonan.
"Tentu saja. Kita teman sekarang. Kau boleh mengunjungiku kapanpun kau mau." Sebagai balasannya ia tersenyum kecil. Sekali lagi melambaikan tangan sebelum bayangan sang wanita benar-benar menghilang.
"Kalau begitu aku pulang sekarang. Sampai jumpa lain waktu."
Senyum di balas senyum. Kisah mereka baru dimulai. 'Matahari dan kabut' yang bertemu atas kehendak takdir?
Bersambung…
A/ N : Hm, haloha minna… Aimi datang lagi dengan sebuah fic baru untuk nyampah di fandom yeaayyyy…. (*reader melempar tisu). Kali ini Aimi meminta bantuan kepada seorang author senior yang karya-karyanya bejibun dan tak perlu diragukan lagi, synstropezia… (*horaaayyyy).
Hoaamm…baiklah tak perlu lama-lama.
Yang penasaran dengan kelanjutanya, Review Please?