Sore itu, saat matahari di langit Konoha nampak semakin enggan memperlihatkan wujudnya, Sasuke berdiri bersedekap di halaman rumah dan menatap gerbang rumahnya dengan sedikit gelisah. Seharusnya, istrinya sudah berada di rumah sejak empat jam yang lalu, sama seperti halnya empat hari terakhir sejak wanita itu ditugaskan untuk memeriksa kesehatan anak-anak panti asuhan di perbatasan desa.

Namun tidak untuk hari ini, hingga matahari tenggelam, Sakura belum pulang. Dan Sasuke, sudah membulatkan tekad untuk mencari wanita itu jika bulan sudah menggantikan posisi matahari di langit malam.

.

.

Penantian Sakura akan cinta suaminya kini terjawab sudah. Namun… bisakah cinta tersebut selalu tumbuh dan berkembang untuk selamanya?

.

.

FOREVER

Sasuke-Sakura's fic by Mrs. Bastian

Naruto © Kishimoto Mashashi

.

.

"Tadaima."

Suara feminim itu mengalun begitu jelas hingga di kamar Sasuke, dan menghentikan pergerakan tangan pria itu yang baru saja akan mengambil mantel. Meninggalkan lemari pakaian yang terbuka, Sasuke memilih untuk turun dan bersiap memberondong pertanyaan untuk keterlambatan kepulangan istrinya.

Saat Sasuke menuruni tangga, ia melihat siluet wanita yang berjalan memasuki dapur. Tanpa bersuara, Sasuke turut berjalan ke arah dapur, dan memperhatikan punggung Sakura yang bergerak ke sana ke mari mengambil wadah makanan.

Sakura menoleh saat merasa diawasi. Nampak di sana Sasuke menatapnya datar seraya meletakkan kedua lengannya di atas dada. "Kau belum makan, kan?" tanya Sakura mencoba untuk mencairkan suasana. Ia tahu bahwa pria di depannya ini menginginkan penjelasan darinya.

Sasuke tak menjawab, dan Sakura meletakkan plastik yang ia bawa sebelum mendekati suaminya. "Kujelaskan setelah makan malam. Tak apa, kan?"

Hanya helaan nafas yang Sasuke keluarkan sebagai jawaban. Pria itu memejamkan mata sedetik, sebelum membukanya dan berjalan menuju plastik yang ditinggalkan istrinya. "Mandilah."

Baiklah, Sakura tak akan membantah karena ia paham posisinya.

.

.

Makan malam sepasang suami istri itu dilalui dengan keheningan yang menengangkan. Walaupun ketegangan kecil sempat terjadi sesaat sebelum mereka duduk berdua seperti ini, hal itu tak berlanjut saat Sakura kembali melakukan tugasnya sebagai istri dan melayani Sasuke di meja makan.

"Kau suka menu malam ini?"

Sasuke menyelesaikan suapan terakhirnya sebelum menatap Sakura. "Karena semua masakan ini kau terlambat pulang?"

Sakura memamerkan senyum malu-malunya. Sesuai perjanjian, ia tak akan membahasnya saat ini. Setelah membersihkan sisa makan malam, Sakura segera mengikuti Sasuke yang sudah terlihat duduk bersantai di beranda belakang rumah.

"Apa aku sudah boleh menjelaskan semuanya?" tanya Sakura setelah mendudukkan diri di samping suaminya.

Sasuke tak menjawab, melainkan mengubah posisi duduknya. Bersiap mendengarkan semua hal yang akan diucapkan istrinya.

"Tebakanmu benar. aku terlambat pulang karena keasyikan memasak dengan Megumi-san dan Mitsuha-san."

Alis Sasuke sedikit berkerut. "Siapa Mitsuha-san?"

"Adik Megumi-san. Dia baru datang Saka-gakure tadi siang dan membawa bahan makanan." Sakura memandang bayangan ujung jari kakinya yang terpancar di atas kolam ikan. "Aku tertarik untuk mengikuti mereka memasak, dan akhirnya lupa waktu."

Mulut Sasuke tak mengatakan apa-apa saat Sakura menunggunya. Sedikit takut, Sakura melirik suaminya yang nampak menerawang langit malam. "Gomen, ne? Apa kau marah Sasuke-kun?"

Sasuke menatapnya, lalu menghela nafas. "Kau membuatku khawatir."

Sakura menggeser duduknya mendekat. Kedua tangannya melingkari pinggang suaminya, dan meletakkan dagunya di pundak pria tersebut. "Gomen," ulangnya lirih.

"Perhatikan kesehatanmu, Sakura."

Pelukan Sakura mengerat. "Iya."

Sebelah tangan Sasuke terangkat membelai lembut kepala istrinya. Sakura tahu, suasana hati pria itu sudah membaik. Ah, betapa Sakura sangat mencintai pria ini.

"Besok aku ada misi," ucap Sasuke.

"Berapa hari?"

"Lima."

Sakura mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Hati-hati ya?"

Sasuke menatap lurus ke arah manik hijau Sakura, tak bersuara dan tak berekspresi apapun. Ia hanya menikmati moment ini. Moment tiap kali ia merasa istrinya begitu cantik karena menatapnya penuh kasih seperti ini.

.

.

"Kau yakin ingin mengantarku?"

Sasuke menegakkan tubuhnya setelah memasang alas kaki, dan menatap Sakura. "Memangnya kenapa?" tanyanya seraya mengaitkan resleting jaket jounin-nya.

Sakura bergerak gelisah. "Aku tak mau memperlambatmu dalam misi."

"Tim ku berkumpul tengah hari di gerbang desa. Masih banyak waktu."

Selanjutnya, tak ada alasan lain bagi Sakura untuk menolak permintaan suaminya.

Pasangan suami istri itu berjalan beriringan menyusuri desa. Bagi beberapa orang, pemandangan tersebut tentu sangat menenteramkan hati mereka. Keturunan terakhir Uchiha yang terkenal hebat dan tampan, memiliki seorang pendamping wanita anggun yang merupakan salah satu tenaga medis andalah Konoha. Tak pelak, berbagai tanggapan pun keluar dari mulut mereka, mulai dari mendo'akan keturunan yang sama hebatnya bagi kelanjutan klan Uchiha, hingga desas-desus yang mempertanyakan kenapa pasangan suami istri itu tak kunjung mendapatkan keturunan.

Sakura mendengar dan mengetahuinya, namun ia bisa apa?

.

.

Megumi memandang siapa yang berjalan di halaman panti asuhan miliknya dengan tatapan bertanya-tanya. Sakura terlihat berjalan dengan seorang pria berseragam jounin, apakah itu pria keturunan terakhir Uchiha?

"Ohayou, Megumi-san."

Sepasang mata Megumi mengerjap. "O-ohayou, Sakura-san."

Sakura tersenyum, lalu mengerling Sasuke di sebelahnya. "Ini suamiku. Kita berangkat bersama pagi ini."

Megumi menyunggikan senyum tulusnya seraya mengulurkan tangan. "Namaku Hikari Megumi. Maaf jika beberapa hari ke depan panti asuhanku masih merepotkan istrimu, Uchiha-san."

Sudut bibir Sasuke terangkat. Ia menyambut tangan Megumi. "Jangan berkata seperti itu, Hikari-san. Itu memang sudah tugasnya."

"Nee-chan, apa itu Sakura-san?"

Ketiga orang yang masih berdiri di depan pintu rumah itu menoleh ke belakang pintu karena teriakan itu. Sesaat kemudian, wanita berambut cokelat panjang dengan sepasang mata berwarna abu-abu gelap nampak tergesa untuk berjalan keluar. Senyum girang di wajahnya lenyap begitu saja saat menyadari ada satu orang lain yang tidak ia kenal.

"Ohayou, Mitsuha-san."

Raut wajah Mistusa kini nampak seperti bagaimana Megumi menyambut Sasuke dan Sakura tadi. "O-ohayou."

"Mitsuha, ini adalah Uchiha Sasuke-san, suami dari Sakura-san," jelas Megumi.

Sasuke mengulurkan tangannya, dan Mitsuha sempat sedkit kikuk untuk menyambutnya.

"Senang bertemu denganmu, Uchiha-san." Mitsuha kini mulai nampak bisa mengontrol ekspresinya.

"Aku juga, Hikari-san." Sasuke menoleh Sakura sedikit. "Terimakasih sudah membagi resep masakan dengan Sakura."

Sakura menoleh suaminya cepat, lalu menunduk karena sedikit merasa malu.

"Ahahahahaha, kebetulan kami bertiga memang hobi memasak, Uchiha-san," sahut Megumi.

Sasuke turut tersenyum simpul. Di sampingnya, Sakura merasa bahwa suaminya nampak luar biasa tampan karena banyak menyunggikan senyum pagi ini.

Ah, apakah ia akan merindukan suaminya nanti?

.

.

.

Di hari ke delapan Sakura melayani panti asuhan itu, ia ingin mengetahui kekuatan fisik para anak-anak panti tersebut dengan melakukan tes fisik seperti berlari, melompat dan merangkak. Walaupun usia maksimal para anak panti tersebut rata-rata berusia sembilan tahun, Sakura ingin mengetahui apakah para anak panti tersebut memiliki fisik yang cukup kuat untuk bersekolah di akademi ninja.

Awalnya Megumi terlihat ragu saat Sakura menawarkan tes tersebut, karena bagi Megumi yang bukan dari kalangan shinobi, dunia seperti itu terlalu riskan dan dapat merenggut nyawa kapan saja.

"Mereka nanti tidak semuanya akan menjadi shinobi, Megumi-san. Mereka bisa menjadi tim medis sepertiku, tenaga pendidik di akademi, atau staff pengurus desa yang lain," jelas Sakura secara hati-hati.

Kini Megumi san Sakura duduk bersisihan di teras depan panti asuhan itu. Di depan mereka, beberapa anak laki-laki terlihat bermain kejar-kejaran, sedangkan anak perempuan bermain lompat tali dan mainan yang tersedia lainnya.

Megumi menarik nafas dalam-dalam. "Aku hanya takut mereka bernasib sama seperti suamiku. Dia…" Megumi menundukkan kepalanya. "… dia gugur saat misi."

Sakura terdiam. Topik ini memang menjadi salah satu topik yang menyesakkan hatinya. Penerimaan setiap orang terhadap resiko menjadi seorang shinobi memang tidak semuanya bisa disamakan.

"Nee-chan, kau harus bisa menerima takdir seseorang."

Mitsuha tiba-tiba duduk di samping Megumi. Tangannya merangkul bahu kakak perempuannya itu dengan hangat. "Kau juga tidak boleh untuk selalu menyamaratakan semuanya. Takdir setiap orang itu berbeda," imbuh Mitsuha.

"Susah sekali, Mitsuha."

"Aku tahu. Tapi tidak semua orang meninggal saat menjadi shinobi, kan?" Mitsuha tersenyum menatap kakaknya. "Suamiku bukan shinobi, tapi dia meninggal karena sakit. Bagaimana dengan hal itu?"

Sakura mengerutkan alisnya. Ia baru tahu jika Mitsuha memiliki masa lalu yang seperti itu.

"Tapi… jika mereka semua bersekolah di akademi ninja, bagaimana pembiayaan yang harus kutanggung, Sakura-san?" tanya Megumi.

"Semua bisa kubicarakan dengan Hokage dulu, Megumi-san. Aku percaya jika demi kemajuan desa, Hokage mungkin bisa membantu."

"Sungguh? Bagaimana caranya? Kau menemui Hokage langsung?"

Berondongan pertanyaan dari Megumi itu Karina jawab dengan anggukkan.

"Bagaimana bisa? Bukankah menemui Hokage itu sangat sulit? Kudengar bahkan harus membuat janji sebulan dahulu untuk menemuinya, itu pun tidak semua janji bisa dikabulkan."

"Sakura-san kan petugas medis di rumah sakit Konoha, Nee-chan. Mungkin karena hal itu." Kali ini Mitsuha lah yang menyahut.

"Benarkah itu? Menjadi petugas medis saja bisa bertemu dengan Hokage?"

Sakura menatap Mitsuha yang menyuruhnya untuk menganggukkan kepala. Tak pelak, Sakura pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Apa yang dikatakan Mitsuha-san benar," jawab Sakura, walaupun di dalam hatinya ia mengatakan alasan lain bahwa Hokage Konoha sekarang aalah teman baiknya.

"Sudahlah, Nee-chan. Tak ada salahnya untuk menerima tawaran Sakura-san, lagipula ini kan masih dalam tahap tes fisik."

Megumi nampak berpikir, tak lama kemudian tatapannya menerawang ke depan. "Yang terpenting, mereka semua memiliki masa depan yang cerah."

Sakura terdiam, begitu pula dengan Mitsuha.

"Baiklah." Megumi berdiri dan membenahi yukata-nya. "Biar kupanggil mereka semua terlebih dahulu."

Megumi berjalan ke tengah halaman rumah yang luas itu. Wanita itu memanggil semua anak, dan mengajak mereka semua untuk duduk hingga membentuk lingkaran di tengah halaman.

"Maafkan kekakuan Kakakku, Sakura-san."

Sakura menoleh Mitsuha.

"Dia… sampai saat ini masih terpukul dengan kematian suaminya."

"Tak apa, Mitsuha-san. Aku mengerti." Sakura menjeda ucapannya. "Aku, turut berduka cita untuk suamimu, Mitsuha-san. Aku baru tahu jika suamimu meninggal karena sakit."

Mitsuha tersenyum. "Andai di desa tempatku tinggal ada seseorang sepertimu, Sakura-san. Dia pasti sudah tertolong dan masih hidup."

Sakura menyunggingkan senyum getirnya. "Apa selama ini kau tinggal sendiri?"

"Tidak. Sama seperti di sini, aku pun memiliki panti asuhan di sana."

"Benarkah?"

Mitsuha mengangguk. "Hanya saja, aku masih memiliki tujuh anak asuh, dan mereka sudah cukup besar untuk kutinggal ke sini."

"Waaah… kalian keturunan Hikari memang memiliki bakat untuk mengelola panti asuhan rupanya." Sakura tertawa kecil di akhir kalimatnya.

"Sepertinya begitu." Mitsuha turut tertawa. "Keturunan Hikari juga sepertinya berbakat untuk menjadi janda."

Sakura tertawa lagi. Ia rasa, Mitsuha memiliki sedikit kemiripan dengan Ino dari segi gurauannya. Cukup menarik, dan Sakura senang ia memiliki teman dekat lagi.

.

.

.

Sasuke menapakkan kakinya di setiap dahan pohon yang ia pijaki dengan ringan, sebelum kembali melompat ke dahan yang lain. Kepalanya menoleh ke arah barat, untuk memastikan bahwa matahari masih ada. Di sela cahaya senja yang menembus kanopi dedaunan pohon tersebut, Sasuke membawa kakinya untuk ke tempat terakhir kali ia bertemu istrinya.

Kaki Sasuke menapak di tanah, tepat di depan halaman panti asuhan tempat Sakura bertugas. Ia memandang sekeliling, sepi dan tak terlihat beberapa anak seperti yang ia lihat lima hari yang lalu. Dengan langkah tegap, Sasuke berjalan mendekati pintu rumah. Namun belum sampai Sasuke berhenti di depan pintu tersebut, seorang wanita nampak membukanya dengan kesusahan karena kantung hitam besar yang ia bawa. Setelah berhasil mengeluarkannya, wanita itu terpaku dengan siapa yang ia lihat di halaman rumahnya.

"Oh, hai Uchiha-san."

Sasuke yang awalnya berhenti, kembali melanjutkan langkahnya. "Apa kabar, Hikari-san?"

"Baik." Mitsuha kembali mengangkat kantung besar yang ia bawa untuk mendekati Sasuke. "Ada yang bisa kubantu?"

"Apa istriku masih di sini?"

Mitsuha tertawa. "Hari ini kami tidak ada agenda memasak, Uchiha-san. Sakura-san sudah pulang sekitar dua jam yang lalu."

Untuk sesaat, Sasuke tidak tahu harus berbicara apa.

"Mungkin sekarang…" Mitsuha mengangkat kantung berat itu di dadanya. "Sakura-san sedang memasak makan malam di dapur rumah kalian."

Mitsuha mencoba untuk berjalan pelan, namun belum jauh ia berjalan, langkahnya goyah dan membuat tubuhnya limbung. Sasuke dengan sigap menangkap kantung yang ada di dalam gendongan Mitsuha, sehingga baik Mitsuha maupun kantung hitam besar itu tak ada satupun yang jatuh menyentuh tanah.

"Oh, gomennasi, Uchiha-san. Ternyata aku tidak sekuat yang kukira."

"Mau diletakkan dimana?"

"Di tempat sampah. Rencananya akan kubakar malam nanti."

Sasuke melangkah menuju pembuangan sampah dan meletakkan kantung tersebut di sana.

"Sekali lagi aku minta maaf, dan terimakasih sudah membantuku membawakannya."

"Tak masalah, Hikari-san. Kalau begitu aku pamit terlebih dahulu."

Mitsuha mengangguk. "Hati-hati."

Setelah sedikit membungkuk, Sasuke berjalan keluar halaman panti asuhan tersebut sebelum melompat ke dahan pohon yang terdekat.

.

.

Sakura menuang kare yang baru saja matang ke mangkuk besar berwarna merah. Setelah mencuci tangan di wastafel, wanita itu berjalan menuju ruang tengah untuk menyalakan lampu. Asyik memasak, membuatnya lupa jika rumahnya kini mirip dengan rumah hantu di saat seperti ini.

"Tadaima."

Kepala Sakura menoleh ke arah pintu. Baru saja ia akan ke lantai atas untuk menyalakan lampu, namun suara berat khas pria yang ia rindukan itu lebih mengusik seluruh perhatiannya.

"Oakeri," sahut Sakura seraya mendekat. Di tatapnya wajah tampan Sasuke lamat-lamat.

Setelah melepas alas kakinya, Sasuke mendekat. "Aku mencarimu di panti asuhan."

"Mencariku? Untuk apa?"

"Kukira kau akan pulang malam lagi."

Sakura menipiskan bibirnya menahan senyum. Dibelainya rahang kokoh yang lebih tinggi dari kepalanya itu dengan lembut dan tanpa suara. Ah, ia sungguh merindukan pria ini.

.

Dari sofa besar kamarnya, Sakura menatap seksama bagaimana Sasuke membuka pintu kamar mandi seraya menggosok rambutnya yang masih terlihat basah. Butiran air yang menetes dari rambut pria itu membuat bahu serta dada bidangnya yang tadinya kering, kembali dihiasi tetesan air.

Demi Kami-sama, Sakura mulai berpikiran yang tidak-tidak sekarang.

Sakura memilih untuk memutar kepalanya memperhatikan langit malam yang nampak cerah dengan hiasan awan putih yang juga cerah. Lampu kamar yang sengaja ia matikan, membuat sinar rembulan bebas menerangi apapun yang bisa ia terangi di kamar tersbeut.

Sisi yang tersisa di sofa itu bergerak, dan Sakura mendapati suaminya yang masih bertelanjang dada duduk di sana.

"Mana bajumu?"

Sasuke menoleh, namun tak menjawab. Pria itu menyerahkan handuk yang ia bawa kepada Sakura. Sebuah perintah tak terucap untuk membantunya mengeringkan rambut.

Dengan penuh pengertian, Sakura menyambut uluran handuk tersebut dan mengeringkan rambut kelam milik suaminya. "Kau lelah?"

"Sedikit."

"Segeralah beristirahat kalau begitu." Sakura kini mengeringkan sisi belakang rambut Sasuke. "Mau kualiri chakra?"

Sasuke kembali menolehnya cepat. "Apa kau masih menggunakan chakra-mu?"

Tangan Sakura terhenti, rupanya ia salah berucap. "Um, hanya jika aku harus menggunakannya pada anak panti asuhan."

Tatapan mata Sasuke belum melunak, dan Sakura pun memeluk punggung telanjang suaminya yang masih terasa dingin itu. "Tak apa, Sasuke-kun. Aku hanya menggunakan sedikit chakra-ku. Menggunakannya sedikit tak akan membuatku lemah, percayalah."

Sasuke tak menjawab. Beberapa saat kemudian, pria itu menundukkan sedikit kepalanya. Sebuah pertanda bahwa Sasuke tak mempermasalahkannya lagi. Sakura hafal hal tersebut di luar kepalanya.

"Kau mengantuk?" Sasuke berucap seraya mengusap lembut kedua tangan Sakura yang melingkari pingganya.

Sakura menggumam tidak jelas. "Entah mengapa aku sangat merindukanmu."

Sasuke menoleh, tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk menemukan bibir istrinya untuk ia kecup. Sakura menyambutnya, dengan pagutan lebih sebagai isyarat ia menginginkan suaminya. Wanita itu sedang dirundung rindu yang menggebu, dan baginya sekarang lumatan bibir suaminya adalah candu.

Bibir Sasuke menemukan titik lain yang ingin ia kecup setelah lumatan penuh hasrat itu menyita banyak nafasnya. Leher jenjang Sakura. Kercapan kecupan itu kini mulai mendominasi keheningan kamar yang remang tersebut. Hingga satu desahan kecil, lolos dari bibir Sakura saat Sasuke turut menggunakan kedua tangannya untuk meraba bagian depan dan belakang tubuh Sakura.

"Sasuke…" Panggilan lirih itu senada dengan sepasang mata Sakura yang nampak berkabut. Tak ada hal lain yang ia inginkan sekarang selain suaminya. Nafasnya memburu, kali ini Sasuke melakukan semua dalam waktu yang begitu lambat.

"Hn?"

Sakura tak tahu kapan bajunya mulai diloloskan dari tubuhnya seperti saat ini. Dingin yang ia rasakan membuatnya secara tidak sadar merapatkan tubuhnya lebih dekat dengan tubuh hangat yang lebih besar di depannya. Dengan pelukan pasrah, Sakura turut mengecup leher keras milik suaminya berkali-kali tanpa jeda.

"Aku merindukanmu…"

Dan tak butuh waktu lama lagi bagi Sasuke untuk menuntaskan rindu yang turut ia rasakan juga.

.

.

.

Bersambung…

.

.

.

Mitsuha. Cantik, pinter masak, bahenol, dan… janda. Plis jangan keburu suujon sama dia.

Chapter ini garing ya? Hm… saya juga ngerasa gitu. Kelamaan dibiarin deh keknya. Tapi…. tetep dong, segaring-garingnya chapter ini saya boleh minta kritik dan saran?

Oh iya, mau promosi lapak juga sekalian, hehehe. Btw teman-teman, saya punya lapak di watty dengan nama amellidong, saya juga baru bikin akun Instagram dengan nama yang sama. Kali aja buat yang minat bisa baca juga coretan saya di watty, hehehehe.

See u next chap *kiss