Pria itu bukannya tidak tahu bagaimana caranya tersenyum. Hanya saja, ia bukanlah orang yang terbiasa melakukannya setiap saat. Hal tersebut hanya terkadang, dan biasanya pun juga secara spontan. Namun… entah mengapa malam ini hal tersebut menjadi pengecualian. Sejak ia mendengar kabar yang lebih dari cukup untuk bisa menyejukkan hatinya beberapa saat yang lalu, senyuman itu tak pernah terlepas walaupun tipis.

"Kenapa tidak ikut makan?"

Suara wanita di depannya terdengar begitu merdu dan indah malam ini. Entahlah… ia benar-benar dibutakan oleh perasaan bahagia.

Setelah menghela nafas seraya terus menyunggingkan senyumnya, pria itu mengambil sumpit yang sedari tadi ia acuhkan. "Ittadaikimasu."

"Sasuke-kun?"

"Hn?"

Wanita bermata hutan itu mengerutkan alisnya. "Ada apa?"

"Apanya?"

Bibir wanita itu menipis. Ia sadar ia salah bicara. "Kau… dari tadi diam dan hanya tersenyum." Ia kembali diam dan menggelengkan kepalanya pelan seraya memejamkan mata. "Atau… atau itu hanya perasaanku saja?"

Perlahan, Sasuke tak lagi menahan senyumnya. "Hanya perasaanmu saja, Sakura."

Sakura semakin heran sekarang. Suaminya mengelak jika tersenyum, namun pria itu berkata seraya tersenyum? Walaupun dengan senyuman 'khas' suaminya yang mungkin hanya bisa Sakura rasakan sendiri, setidaknya wanita itu tahu jika suaminya sedikit berbeda malam ini.

"Cepat habiskan makananmu! Bukannya tadi kau bilang ingin takoyaki?"

Senyum lepas Sakura terukir. Secepat itu ia melupakan keheranannya. "Hai.".

.

.

.

.

Penantian Sakura akan cinta suaminya kini terjawab sudah. Namun… bisakah cinta tersebut selalu tumbuh dan berkembang untuk selamanya?

.

.

FOREVER

Sasuke-Sakura's fic by Mrs. Bastian

Naruto © Kishimoto Mashashi

.

.

Sudut ini adalah salah satu sudut favorit Sakura. Selain teras rumah belakang, dapur, serta sofa kamarnya, balkon kamar ini terasa spesial karena suguhan pemandangannya kala sore hingga malam hari. Indah, sangat indah. Apalagi jika langit malam begitu cerah, dan taburan bintang di atasnya seolah-olah menggoda tangan Sakura untuk terangkat dan meraihnya.

Mata Sakura terpejam saat hembusan angin menerpa lembut rambut serta lehernya. Nyaman sekali. Sejak menjadi nyonya di rumah ini lebih dari satu tahun yang lalu, ia tak pernah bosan untuk berada di sini tiap malamnya. Apalagi jika ditambah dengan perbincangan santai dengan suaminya.

Sakura membuka mata. Bibirnya menyunggingkan senyum bahagia, dan kedua tangannya memeluk perutnya sendiri. Ia sungguh berterimakasih pada sang-Kami. Pada akhirnya, penantiannya selama enam bulan pasca masa-masa tersulit baginya telah membuahkan hasil yang sama sekali tak mengecewakan. Di rahimnya, kini telah bersemayam jantung keduanya, kebahagiannya, dan segalanya bagi Sakura. Calon buah hatinya yang kedua, siap untuk hadir dan kelak akan menemani hari-harinya.

Sakura tentu juga ingat bagaimana Sasuke yang selalu berada di sampingnya. Pria itu, pria yang kini sudah Sakura sudah ketahui isi hatinya, selalu mengusap kepala dan pundaknya saat Sakura merasa resah. Sasuke bahkan senantiasa menyerahkan dadanya tiap malam, saat Sakura sering merasa ketakutan karena tak kunjung hamil setelah tiga bulan pasca kegugurannya. Pria itu tak memberikan gombalan atau bahkan kata-kata penyemangat kala memeluk erat tubuhnya. Hanya permintaan kepada Sakura untuk segera berhenti mengeluarkan air mata, dan menutupnya.

Oh, Kami…

Rasa syukur karena memiliki Sasuke juga tak pernah luput Sakura lantunkan tiap waktunya. Pria yang sempat mengombang-ambingkan seluruh hati dan hidupnya, kini menggenggam penuh dirinya secara sempurna.

Pintu kamar terdengar terbuka, dan Sakura memilih untuk kembali memejamkan matanya meresapi segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya.

"Kenapa belum tidur?"

Mau tak mau Sakura membuka mata, dan menemukan dirinya yang terkungkung di antara pagar balkon dan kedua lengan suaminya. Sakura menoleh ke samping dan menunjukkan cengirannya. "Aku kekenyangan takoyaki."

Sasuke menghela nafas dan membuang muka ke arah lain.

Selama beberapa saat, suami istri itu terdiam karena terbuai dengan semua yang alam suguhkan sebagai pemandangan. Namun Sakura memilih lebih dulu mengakhirinya, dan membalikkan tubuh menghadap suaminya. Manik hijaunya memperhatikan lekat-lekat mata hitam suaminya yang memilih terus memandang langit malam.

"Sasuke-kun?" Salah satu tangan Sakura terangkat untuk merapikan rambut hitam suaminya yang belum sepenuhnya kering.

"Hn?" sahut Sasuke tanpa melepas pandangannya ke atas.

"Aku… berjanji akan lebih berhati-hati."

Mutiara hitam itu kini beralih menembus batu jamrud yang ada di depannya.

"Aku juga… akan menuruti semua perintahmu mulai saat ini." Binar bahagia kini nampak di wajah Sakura. "Bahkan kalau kau menyuruhku untuk banyak memakan ikan pun, pasti akan kuturuti."

Sasuke masih bergeming, ketajaman matanya tak terurai sedikit pun. Namun Sakura menangkap emosi lain dari sana. Sebuah emosi yang mungkin hanya dapat Sakura pahami seorang.

Mengangkat tangannya, Sasuke lebih memilih membelai kepala Sakura daripada menyahuti perkataan wanita itu. Sebuah kebiasaan yang kini mulai dinikmati oleh keduanya.

Sedangkan Sakura, wanita itu menghambur ke pundak suaminya setelah beberapa saat menikmati usapan yang menenangkan itu. Kedua lengannya yang merengkuh kedua pundak Sasuke kian mengerat kala Sasuke turut merangkum tubuhnya dalam sebuah pelukan yang hangat.

"Terimakasih."

Lebih dari cukup. Bagi Sakura ini saja sudah lebih dari cukp cukup. Usapan hingga bisikan lirih Sasuke di lehernya kali ini sudah cukup baginya untuk membuatnya tidur nyenyak nanti.

.

.

.

.

Langkah Sakura menggema di tangga rumah sakit saat dirinya memutuskan untuk mengakhiri kegiatan medisnya hari ini. Sebenarnya, ini cukup singkat jika dibandingkan jam kerjanya yang biasa. Namun pesan yang disampaikan Kumori langsung di ruangannya beberapa menit yang lalu memaksanya untuk mengemas segala alat kerjanya dan berakhir berjalan sendiri di tangga seperti ini.

Sakura berbelok di koridor. Wanita itu berhenti di salah satu pintu dan mengetuknya perlahan sebelum sebelum suara dari dalam sana menyuruhnya untuk masuk.

"Kumori-san bilang kau mencariku, senpai?"

Shizune tersenyum dan beranjak dari kursi kebesarannya sebagai kepala rumah sakit.

"Ada apa?" tanya Sakura lagi.

"Apa benar kabar yang kudengar kalau kau hamil lagi?"

Sakura terdiam. Kedua pipinya yang menghangat membuatnya tak tahu harus menjawab seperti apa selain anggukkan.

Shizune mendekat dan memeluk Sakura dengan penuh kehangatan. "Selamat."

"Arigatou." Kedua tangan Sakura turut membalas pelukan seniornya. "Kenapa kau menyuruhku untuk cepat pulang?" tanyanya saat Shizune melepaskan pelukannya.

"Karena memang sudah tidak ada yang perlu kau kerjakan."

Alis Sakura menaut. "Apa itu juga berdampak pada gajiku?"

Tawa Shizune mengalun lepas. "Gaji medic-nin tingkatmu adalah tertinggi kedua setelah aku di sini. Terpotong dua jam kerja tak akan berdampak apa-apa, percayalah."

Sakura menghela nafas, memasang wajah lesu-nya. "Padahal gajiku selama dua jam itu bisa kubelikan banyak takoyaki."

Shizune kembali tertawa. "Sudah-sudah, sana pulang dan beristirahatlah!"

Senyum Sakura turut mengembang. Sepasang mata hijau itu nampak bersinar teduh. "Baiklah, aku pulang dulu, senpai."

"Hm… hati-hati."

Shizune menatap punggung Sakura yang berjalan menjauhinya. Saat punggung itu benar-benar menghilang di pintu, senyum Shizune perlahan memudar.

Kami-sama, lindungilah dia.

.

.

.

"Sakura?"

Senyum Sakura semakin mengembang saat melihat wanita yang baru saja membukakan pintu untuknya. "Hai," ucapnya seraya melambai kecil.

"Masuklah-masuklah! Aku baru saja selesai menyuapi Sano."

Sakura menurut dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah minimalis tersebut. Setelah berada di dalam, matanya menyapu seluruh bagian ruang tamu yang langsung terhubung dengan dapur, dan menemukan seorang bayi bermata biru tengah tengkurap yang turut menatapnya.

"Sano-kuuuuun," panggil Sakura gemas seraya berlari kecil ke arah Sano.

Seakan mengerti bahwa dirinya tengah dipanggil, Sano pun tertawa melihat Sakura.

"Kau sudah bisa tengkurap ternyata." Sakura mengangkat tubuh Sano dan mencium pipi bayi itu. "Hebat sekali."

Ino yang baru duduk bergabung tak dapat menyembunyikan tawa kecilnya. "Malah terkadang dia tak mau melepas jari Ayahnya."

"Oh… lucu sekali," ucap Sakura seraya mencium pipi Sano lagi.

"Apa kabarmu, Sakura? Tiga bulan lebih kau tak ke sini.."

Sakura menyerahkan Sano ke Ino. "Kabarku baik. Maaf baru bisa mengunjngi kalian sekarang. Hari ini Shizune-senpai menyuruhku pulang lebih cepat, maka dari itu kuputuskan untuk datang kemari."

"Syukurlah kau baik-baik saja."

"Kabarmu sendiri?"

Ino kini memangku anaknya. "Jika keluargaku baik-baik saja, aku pasti juga akan baik-baik saja."

Sakura tersenyum. "Kau bisa saja."

"Aku baru selesai memasak makan malam, dan Sai sedang ada misi. Makanlah dulu di sini."

"Ah tidak, terimakasih," sanggah Sakura seraya melambaikan tangannya. "Aku berencana memasak di rumah karena hari ini Sasuke pulang setelah lima hari melakukan misi."

Senyum jahil Ino terukir. "Ah… kusarankan kau juga 'memasaknya' untuk menyenangkannya."

Kerutan waspada Sakura terukir jelas di wajahnya. "Maksudmu?"

"Memasak Sasuke di ranjang."

"Dasar!" desis Sakura seraya melempar bola kecil mainan Sano ke arah Ino. "Kalau kau tidak sedang menggendong anakmu mungkin sudah kulempar dengan meja."

Tawa Ino menggelegar di penjuru rumahnya hingga membuat Sano mendongak heran ke arahnya. "Hei, aku kan memberikan saran! Siapa tahu setelah 'memasak' suamimu kali ini kau bisa hamil, benar kan?"

Tatapan bengis Sakura perlahan terganti dengan senyuman yang kini membuat Ino heran.

"Apa-apaan senyummu itu?"

Sakura tak menjawab, melainkan hanya menatap sahabatnya tanpa sedikit pun mengurai senyumnya.

Dan Ino tetaplah Ino yang tanggap dengan semua hal tentang sahabatnya. Mulut Ino terbuka, ragu-ragu ia menanyakannya. "Apa… kau hamil?"

Senyum Sakura kian melebar dan menampakkan deretan giginya.

"Kami-sama…" Ino menutup mulutnya. "Kami… aku senang mendengarnya, Sakura. Berapa usianya?"

"Enam minggu." Sakura membalas remasan Ino di tangannya. "Aku juga sangat bahagia saat mengetahuinya, Ino."

Ino tersenyum maklum. "Setelah ini kau harus lebih bisa menjaganya. Dan jangan lupa jaga dirimu sendiri! Kau ini terkadang sembrono dan keras kepala."

"Iya…" Sakura mendekat dan memeluk sahabatnya dari samping. "Terimakasih. Aku tahu kau selalu mendo'akan aku supaya cepat hamil ketika kau berkunjung di kuil."

Sebelah tangan Ino yang bebas membelai lembut kepala Sakura. "Sok tahu!"

Sakura semakin mengeratkan pelukannya untuk sahabatnya. Ya, pelukan persahabatan ini hanya untuk Ino seorang.

.

.

Malam ini Sakura memutuskan untuk membuat Sukiyaki sebagai menu makan malamnya. Selain karena bergizi, Sakura memilih memasak makanan tersebut karena pembuatannya yang tidak begit rumit. Sakura sadar, di kehamilan ini ia benar-benar harus memperhatikan setiap hal yang ia lakukan. Jika ia bisa memasak makanan yang sehat dan tak mudah membuatnya lelah, apa alasannya untuk menyusahkan diri lebih dari ini?

"Tadaima."

Suara Sasuke terdengar hingga ke dapur saat Sakura mengiris wortel. Dengan segera, Sakura menunda kegiatannya dan berjalan keluar dapur.

"Okaeri," sahut Sakura saat melihat Sasuke membungkukkan badan.

Sasuke menoleh sesaat, lalu melanjutkan melepas alas kakinya.

"Kau belum makan, kan?"

Setelah menempatkan alas kaki miliknya pada tempatnya, Sasuke menghampiri Sakura seraya menggelengkan kepala pelan.

"Ya ampun, lihatlah tubuhmu." Tangan Sakura terulur untuk mengusap lengan suaminya yang lengket karena keringat dan butiran pasir halus di sana. "Cepatlah mandi! Makan malam sudah hampir siap."

Sasuke menyerahkan sebuah kantong kertas kepada Sakura.

"Oh, apa ini?" Sakura tak sadar jika sedari tadi suaminya membawa benda tersebut.

"Kedelai untukmu."

"Untukku?" tanya Sakura seraya membuka kantong kertas tersebut. "Kira-kira kuapakan kedelai ini?"

"Salah satu bawahanku bilang itu bagus untuk wanita hamil."

Alis Sakura yang sebelumnya menaut heran perlahan mengendur karena wanita kini sedang tersenyum simpul. Kedua pipinya terasa hangat kali ini. Tidak, dadanya pun juga menghangat karena ucapan suaminya.

Sasuke memalingkan badan. Kakinya melangkah menuju ke arah tangga rumahnya. "Kau bisa menambahkannya ke dalam setiap masakanmu, atau bisa juga kau olah menjadi camilanmu," ucapnya seraya masih terus berjalan menaiki tangga.

Sakura tak memiliki niatan sedikit pun untuk pergi dari sana. Wanita itu menghela nafas seraya tak melepas senyumnya. Sungguh, untuk saat ini, punggung kotor suaminya merupakan pemandangan paling indah baginya.

.

Sedari tadi mata Sakura selalu mengawasi tiap gerak-gerik tangan Sasuke yang selalu menyumpitkan sayuran ke piringnya. Setiap kali dirinya hampir selesai mengunyah daging, pria itu secara tidak langsung memerintahkannya untuk juga memakan sayur yang tersedia di sana. Bukannya ia ingin protes, hanya saja ia juga ingin sesekali Sasuke menyumpitkan daging di piringnya. Tak tahu kah pria itu bahwa selama istrinya memasak tadi, istrinya sudah menelan ludah berkali karena membayangkan bagaimana rasanya daging yang ia irisi?

"Sasuke-kun?"

"Hn?"

"Sano sudah bisa tengkurap," ucap Sakura membuka pembicaraan. Nada cerianya tak sanggup ia tutupi. "Pipinya juga tambah gendut."

"Kau mengunjunginya?"

Sakura mengangguk. "Sepulang kerja tadi. Karena tidak ada kerjaan, Shizune-senpai menyuruhku untuk segera pulang."

Nafas Sakura sedikit tertahan saat ia melihat lagi-lagi Sasuke menyumpitkan sayuran. Kali ini sawi.

"Sasuke-kun?"

Sasuke memilih tak menjawab dan menyumpit seiris daging ke mulutnya.

"Kira-kira… apa kau bisa mengambil libur selama beberapa hari?"

Manik hitam Sasuke kini terarah ke istrinya, tanda ia mendengarkan. "Kenapa?"

"Um…" Sakura meletakkan sumpitnya dan meletakkan jemarinya di bawah dagu. "Aku pikir… jika kau bisa mengambil libur selama dua minggu, kita bisa pergi bersama ke tempat-tempat yang menyenangkan."

"Kau ingin kemana?"

"Tidak tahu, aku belum memikirkannya." Sakura kini tertawa lirih. "Yang pasti, tempat itu harus indah dan menyenangkan."

Sasuke tak menyahut, namun matanya tak sedikit pun melepas tatapan dari istrinya. Saat merasakan sapuan emosi yang melintas sekejap di mata hitam itu, Sakura kian melebarkan senyumnya.

"Tapi tak apa jika memang kau tidak bisa. Aku sangat tahu kesibukanmu," ucap Sakura. "Bagiku, Konoha tetaplah tempat yang paling indah dan menyenangkan di dunia."

Raut wajah Sasuke nampak sedikit melunak. Pria itu menghela nafas dan meraih gelas minumnya. Sedangkan Sakura? Wanita itu hanya tersenyum dan kembali fokus pada sayur-sayur di piringnya. Ia sama sekali tidak berniat membuat Sasuke berpikiran ia bosan dengan desa ini atau apa. Hanya saja, itu sudah menjadi impian Sakura sejak hubungannya dengan Sasuke menemukan titik terang. Berdua saja dengan suaminya di tempat indah selama berhari-hari tanpa harus menjadi shinobi pasti akan terasa sangat menarik.

Sakura baru saja menyumpit wortel sebelum dua iris daging mendarat di piringnya. Wanita itu mendongak dan menemukan suaminya yang terus makan dengan tenang. Senyumnya lagi-lagi terukir.

Dasar Uchiha!

.

.

"Mau kubuatkan minuman?"

Sasuke mendongak, sejenak perhatiannya teralih dari lembaran kertas di depannya. "Tidak, terimakasih."

Sakura semakin mendekat, lalu duduk tepat di depan pria itu. Wanita itu menurunkan kakinya, dan duduk di lantai kayu menghadap ke taman belakang. Tangannya meletakkan sebuah mangkuk di atas meja rendah yang Sasuke gunakan untuk menulis laporan misinya.

"Kau mau?"

Mata hitam Sasuke memperhatikan isi mangkuk tersebut sebelum beralih ke Sakura. "Itu untukmu."

Sakura sedikit memajukan bibirnya seraya menarik lagi mangkuk tersebut. "Aku kan hanya menawari."

Selama beberapa saat, sepasang suami istri tersebut sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Sasuke kembali berkonsentrasi terhadap tiap huruf yang ia tulis di atas lembaran laporannya, sedangkan Sakura hanya memakan kedelai rebusnya seraya diam meresapi ketenangan taman belakang.

"Naruto menitip pesan, besok siang Hinata akan menemuimu di rumah sakit."

Sakura menoleh suaminya yang kini merapikan alat tulisnya. "Hinata? Untuk apa?"

Sasuke menggeleng pelan. "Naruto tak menjelaskannya lagi."

Kepala Sakura mengangguk paham. Wanita itu kembali memasukkan beberapa butir kedelai di dalam mulutnya. "Apa ada hubungannya dengan kesehatan Minato ya?" gumam Sakura lirih, lebih bertanya kepada dirinya sendiri.

"Bulan depan, rencananya Konoha akan menggelar pesta rakyat besar-besaran untuk beberapa hari, saat-saat itu mungkin seluruh pasukan anbu akan disibukkan untuk urusan keamanan." Sasuke nampak ingin mengubah topik pembicaraan.

"Oh ya? Kapan?"

"Kepastian tanggalnya masih belum pasti."

"Hm…" Sakura mengangguk perlahan. "Kau pasti jarang pulang walaupun kau berada di Konoha."

Sasuke hanya menatapnya diam.

"Tapi tak apa," sambung Sakura setelah memakan lagi kedelainya. Nada bicara wanita itu kini terdengar lebih ceria. "Aku akan belanja sebanyak mungkin selagi kau tidak rumah. Pesta rakyat ini tidak setiap tahun diadakan, sayang sekali jika dilewatkan begitu saja."

Dengusan Sasuke lolos begitu saja saat pria itu lanjut membereskan meja kerjanya.

"Oh atau… bagaimana kalau aku membuka stand? Ino pasti tertarik ju- Uhuk… uhuk."

Sepasang mata Sasuke mendadak tajam menatap istrinya. "Habiskan makananmu dulu sebelum bicara."

Sakura terus terbatuk. "Aku butuh minum," ucapnya disela batuk seraya berdiri dan meninggalkan Sasuke.

Sasuke hanya memastikan Sakura pergi ke dapur lewat punggung wanita itu yang menghilang di antara dinding penghubung dapur dan ruang tengah. Ceroboh, batinnya dalam hati. Tangannya baru saja akan melipat meja rendah yang sedari tadi ia gunakan sebelum matanya menangkap sesuatu di tempat istrinya tadi duduk.

Tangan Sasuke segera menyingkirkan meja di hadapannya, lalu mendekati cairan merah yang berkumpul di sana. Matanya kemudian memperhatikan sekitar, dan menemukan bercak yang sama dengan jumlah lebih sedikit tercecer dan mengarah ke dapur.

Seketika dada Sasuke bergetar. Seluruh tubuhnya mendadak kaku. Sebisa mungkin ia mengumpulkan suara memanggil istrinya.

"Sakura?"

.

.

.

Bersambung

.

.

.

Hai teman-teman…

Jujur saya kikuk harus menyapa kalian bagaimana. Tapi ketahuilah, ada rasa bahagia yang saya rasakan karena bisa membat sequel yang sejak lama kalian tagih dan pertanyakan keberadaannya. Pesan saya… jangan terlalu berekspektasi tinggi terhadap sequel ini ya… Saya tentu tidak ingin mengecewakan kalian yang memiliki ekpektasi lain.

Bagi yang baru membaca cerita ini dan merasa bingung, silahkan baca "Love Me". Siapa tahu kebingungan kalian segera terjawab.

Terimakasih… sampai jumpa di chap selanjutnya.