WORK!

Masashi Kishimoto

.

WARNING : TYPO(S), MATURE CONTENT, OOC, AU, ETC

.

.

.

Hinata bangun dengan tubuh bermandikan peluh. Sinar matahari menyorot tubuhnya yang lengket, dan berkeringat melalui jendela. Ia mengucek matanya sambil menggeliat pelan. Meraba ke kasur bagian sampingnya dan tak menemukan seseorang pun di sisinya. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya, duduk di tepi ranjang dan kini mendengar suara gemercik air dari kamar mandi, yang tak beberapa lama kemudian dimatikan. Menontonkan bayangan seorang pria yang sedang mengeringkan tubuhnya dari pintu berkaca buram. Yang diakhiri dengan suara gesek dari pintu yang terbuka.

"Oh? Kau sudah bangun,"suara baritone milik sang pria menyambut kebangunan Hinata saat kakinya yang berbulu melangkah keluar kamar mandi. Hinata menatap pria bersurai kuning jabrik itu sekilas, lalu mengeratkan lilitan selimut di tubuhnya agar tak terjatuh. Ia berjalan mendekati sang pria, yang notabenenya adalah suaminya sendiri.

"Kau tak membangunkanku,"keluh Hinata sambil memasuki kamar mandi tanpa menutup pintunya. Ia membuka keran dan mengusap wajahnya sekilas, berdiri di depan cermin sambil menatap penampilannya yang begitu semrawut.

"Ku pikir kau terlalu capai. Semalam kau begitu bersemangat dan bergairah,"kekeh Naruto sambil berjalan menuju lemari bajunya. Ia memilih setelan yang cocok untuk digunakan kerja hari ini.

"Hari ini kau pulang jam berapa?"Hinata tak mengindahkan candaan kecil Naruto. Ia mengambil sikat giginya dan melumurinya dengan pasta gigi, menggosok giginya yang ia yakini begitu lengket karena terbalur cairan sperma milik sang suami.

"Aku lembur lagi hari ini, mungkin― tengah malam?"jawab Naruto setelah mengancingkan kemeja putihnya dan mengenakan celana.

"Lembur? Lagi?!"Hinata keluar dengan tatapan tak percaya. Naruto menatapnya kaget. Pasalnya, Hinata keluar dengan busa pasta gigi yang masih memenuhi rongga mulutnya dan dengan tangan kanan yang menggenggam erat sikat gigi ungu miliknya.

"Gosoklah gigimu dulu. Jorok sekali kau, Hinata-chan,"tegur Naruto sambil memakai jas abu-abu miiknya. Dengan cepat, Hinata memasuki kamar mandi dan menuntaskan menggosok giginya.

"Hari ini, ada klien dari Jerman. Mungkin kami akan secara langsung mensurvei tempat yang cocok untuk di jadikan tanah proyek,"jelasnya singkat. "Mungkin akan sampai sore, dan malamnya harus segera meeting mengenai proyek itu dan mengerjakan tugas lain,"sambungnya.

"Tidak bisakah meeting itu besok saja?"Hinata menggerutu pelan sambil memungut dress tidurnya yang tergeletak di lantai, dan segera memakainya dengan sekali sorong.

"Tidak bisa, Hinata-chan. Lagipula, bukan hanya aku yang lembur. Klien itu juga akan lembur, karena targetnya, proyek ini selesai dalam waktu empat bulan. Waktunya mepet sekali, makanya kami harus segera bergegas menyiapkan semua keperluan. Ini proyek yang cukup besar, walaupun tidak sebesar proyek kerjasama dengan Inuzuka Corp kemarin."

"Tapi kau lembur hampir tiap hari!"Erang Hinata. Ia menatap sang suami yang sedang memasang dasinya dengan sedikit kesulitan. "Kau bilang ingin mengajakku kencan!"sambungnya.

"Iya, tapi tidak malam ini, kan?"Naruto menatap Hinata selembut mungkin, "lagipula berdua di tempat tidur, itu sudah bisa dikatakan kencan."

"Kau sinting!"Hinata melemparkan sebuah bantal yang tepat mengarah ke rambut kuning pria itu.

"Hinata!"Tegur Naruto kali ini sedikit keras, karena bantal yang Hinata lemparkan tadi mengacaukan tatanan rambutnya.

Hinata menatap Naruto dengan tatapan tajam. Ia tak percaya, dalam seminggu, suaminya bekerja hingga hari sabtu, padahal sebenarnya sabtu itu akhir pekan. Dari enam harinya bekerja, mungkin sekitar empat atau lima hari pria itu mengambil lembur. Pria itu memang workaholic, dan Hinata paham akan itu. Tapi apakah benar workaholic harus seperti ini? Dengan mengambil langkah besar, Hinata menarik koper mungilnya. Membuka lemari bajunya dan memasukkan sembarang baju ke dalam koper.

Naruto tetap diam di posisinya sambil terus merapikan dasinya.

"Kau mau apakan lagi baju-baju itu? Sumbangkan ke panti sosial?"

"Ya! Kalau perlu aku juga ikut disumbangkan!"

"Hinata.."

Dengan rengkuhan pelan, Naruto memeluk pinggang ramping Hinata dari belakang. Ia paham jika wanitanya ini sedang merajuk dan butuh ditenangkan. Memang berat sebenarnya, namun ia tetap harus melakukannya. Demi masa depan rumah tangganya. Demi masa depan anak-anaknya kelak.

Hinata berhenti mengamuk, tubuhnya merosot pelan, jatuh tepat ke dalam pelukan Naruto. Naruto membalikkan tubuh mungil itu dan memeluknya erat. Mengelus rambut indigo sebahu itu. mencoba menenangkan Hinata yang sedikit terisak kecil di dadanya.

Hinata membalas pelukan Naruto tak kalah eratnya. Ia seakan tak rela melepaskan Naruto untuk pergi bekerja selama beberapa jam kedepan. Inilah situasi yang sering terjadi antara keduanya, jika Hinata mulai merajuk. Pelukan hangat Naruto-lah yang mampu menenangkan amukan wanita mungil ini.

Dengan kecupan kecil di puncak kepalannya, Naruto melepaskan pelukan itu dan menatap manik lavender yang berkaca-kaca itu.

"Aku janji. Hari sabtu ini tidak bekerja,"Ucap Naruto penuh keseriusan.

Hinata menilik mata sapphire itu, mencari-cari kebohongan yang ada di sana. Namun, tak ditemukannya. Dengan anggukan pelan, ia kembali memeluk tubuh kekar sang suami. Memejamkan matanya untuk merasakan kehangatan tersebut agar lebih rela membiarkan Naruto mencari nafkah.

"Akan kutulis janjimu di buku catatanku,"Ucapnya sambil melepaskan pelukan.

"Siap, nyonya."

.

.

Part I Buckshot Relationship

.

.

Naruto memijit pelipisnya kuat-kuat. Ia berharap rasa pening ini akan segera hilang. Ia merasa kepalanya akan pecah jika dibiarkan saja. Matanya menatap malas tumpukkan dokumen-dokumen yang harus segera ia tanda tangani.

"Ino, klien dari Jerman itu belum datang juga?"Naruto menatap sekretaris wanita yang duduk di depannya itu dengan tatapan dingin yang membunuh. Wanita yang cantik dengan rambut pirang panjangnya, menarik dengan tubuhnya yang seksi. Hanya saja, pekerjaan wanita itu kurang memuaskan untuknya. Bagaimana bisa, janji bertemu yang Naruto buat sekitar jam sembilan malah berakhir dengan jam setelah makan siang? Apa saja yang wanita ini lakukan?

"Maafkan saya, Naruto-sama. Saya pikir anda akan melaksanakan meeting dahulu, sebelum survei,"jawab sang sekretaris yang berbalut pakaian kerja ketat yang menampilkan kemolekan tubuhnya. Seakan berkata; tubuhku bisa memuaskanmu!

"Bagaimana bisa saya melakukan meeting dahulu sebelum survei?!"Erang Naruto. "Seharusnya kau bisa memikirkannya! Apa yang akan saya meetingkan jika belum ada bahan, hah?!"

Ino menundukkan kepalanya. Takut menatap bossnya yang jelas-jelas sangat marah pada dirinya. Ia merutukki dirinya sendiri yang melakukan kesalahan bodohnya itu.

"Tatap mataku,"Naruto berbicara dengan nada final yang tak ingin dibantah. Membuat Ino takut-takut menatap mata birunya yang berkilat amarah.

"Lakukan apapun. Aku ingin proyek ini dibatalkan,"Suruh Naruto dengan nada tegas. Membuat mata Ino melebar karena terkejut. Proyek ini, dibatalkan?

"Aku tak suka bekerja sama dengan orang yang suka seenaknya sendiri. Banyak klien lain yang lebih enak diajak kerja sama, walaupun untungnya tak cukup besar,"jelas Naruto sambil melonggarkan dasinya, melepaskan tautan atas kancingnya dan melepaskan jas kerjanya. Ino menatap suguhan pemandangan langka itu dengan seksama. Melihat bossnya bersikap seperti ini benar-benar membuatnya terlihat semakin seksi.

Sadar dengan tatapan tak biasa dari Ino, Naruto kembali menatapnya dingin.

"Mengapa menatapku seperti itu?"Selidiknya.

"Ti-tidak apa-apa, Naruto-sama,"segera, Ino mengalihkan pandangannya dari Naruto.

"Aku ini pria beristri. Dan aku tahu mana mana saja tatapan yang menatapku dengan terpesona. Salah satunya dengan tatapanmu,"Ucapnya. "Aku tidak tertarik denganmu. Istriku lebih menarik. Keluarlah."

Ino merasakan semburat merah merona muncul di kedua sisi pipinya akibat topik yang diangkat oleh bossnya sendiri. Ia mendorong kursi yang ia duduki dan keluar dari ruangan itu tanpa berkata-kata setelah membungkuk hormat pada sang boss.

"Percaya diri sekali,"lirih Ino sebelum membuka pintu.

"Aku bisa mendengarmu."

.

.

Hinata sedang asik tertawa karena acara talkshow yang ditontonnya sebelum bel rumahnya berdenting nyaring. Dengan langkah malas, ia membuka pintu dan mendapatkan sosok wanita cantik di hadapannya. Yang tak ia kenali.

"Apa ini rumah, Naru-kun?"Tanyanya yang membuat Hinata mengernyitkan dahinya. Naru-kun?! Siapa wanita ini yang berani sekali memanggil suaminya dengan panggilan kecil sang suami?

Hinata menatap lekat-lekat wanita cantik itu, seakan ingin mengingat-ingat kalau saja ia pernah dikenalkan pada wanita ini dengan Naruto. Dan ia merasa tak pernah mengenalnya sama sekali. Mengingat teman-teman yang Naruto kenalkan padanya itu kebanyakan seorang laki-laki.

"Shion,"Ucapnya memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya, seakan tahu apa yang Hinata pikirkan terhadapnya.

Hinata mengacuhkannya, dan menatap wanita pirang itu dengan tatapan sinis. "Ada perlu apa?"Tanyanya ketus.

"Aku ingin bertemu Naru-kun. Apa ia ada di rumah?"

"Tidak."

Shion menatap Hinata dengan tatapan kecewa. "Bagaimana, yah? Aku ada urusan dengannya. Jika ia tak di rumah apa sebaiknya aku tunggu saja di sini?"Gumamnya pelan, namun masih dapat Hinata dengar.

"Harapanmu saja!"Dengan segera Hinata menutup pintu rumahnya, seakan menyuruh Shion pergi jauh-jauh dari kawasan rumahnya. Namun, Shion dengan cepat menahannya.

"Eits.. tunggu dulu!"Ia menahan pintu dengan mendorongnya. "Aku ini tamu tuanmu! Kenapa kau kasar sekali, sih?"Gerutunya memaki Hinata.

Tuanmu? Alis Hinata kian mengernyit tak mengerti dengan ucapan wanita di depannya ini.

"Apa maksudmu?"

"Kau asisten rumah tangga di rumah ini kan? Aku tamu tuanmu. Aku ada urusan penting dengannya,"jelas Shion singkat yang membuat mata besar Hinata kian membesar.

Asisten rumah tangga? Benarkah penampilannya mencerminkan seorang asisten rumah tangga? Hinata menatap perempuan ini dengan tatapan tak suka. Sebenarnya siapa dia? Apa dia tidak tahu kalau ia sedang berhadapan dengan nyonya Uzumaki? Apa Naruto tak bercerita padanya jika ia sudah beristri? Atau wanita ini...

"Aku sedang berbahagia kali ini,"Ceritanya. "Aku rasa, Naru-kun adalah salah satu orang penting yang harus mengetahuinya! Oh, sungguh! Aku tak sabar memberitahunya!"Shion berjingkrak sumringah sambil mengelus perut datarnya.

Hinata kembali membulatkan matanya dengan sempurna. Ia seakan memahami gerakan tubuh Shion yang mengelus perut datarnya. Wanita ini tengah hamil! Tengah berbadan dua!

Apa jangan-jangan dugaannya benar?

Wanita ini apakah kekasih gelap Naruto? Dan kini sedang mengandung anak dari Naruto? Hinata benar-benar rasanya sulit percaya pada persepsinya sendiri. Sekali lagi ia menatap lekat-lekat wanita ini. Memang cantik dan cukup menarik. Tak kalah menarik dibandingkan dirinya. Memang bisa saja jika Naruto tertarik padanya. Hinata menggigit bibirnya kuat-kuat. Menahan isakan tangisnya yang hampir keluar.

Dengan sekali dentuman kuat, Hinata menutup pintu dan berlari terisak menuju kamarnya. Meninggalkan Shion yang mematung terkejut di sana.

"Apa aku salah bicara?"Ucapnya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dengan sedikit gemetar, ia meraih ponselnya yang berada di tas kecilnya dan menekan layarnya untuk menelpon seseorang.

"Halo, sayang? Kau dimana?"

.

.

Sesuai dengan ucapannya, Naruto kembali tengah malam saat sampai di kediamannya. Ia menekan tombol lampu kamar untuk menghidupkannya. Dan Naruto kaget saat menemukan tak ada tanda-tanda Hinata berada disana.

"Hinata?"Panggil Naruto.

Namun tak ada sahutan yang terdengar. Naruto dapat merasakan jantungnya berdentum lebih cepat dari yang biasanya. Ia mengecek ke seluruh penjuru ruangan di rumahnya. Mulai dari kamar mandi kamar, dapur, ruang makan, ruang tengah, taman belakang, kolam renang, dan ruangan lainnya. Tak satupun ia lewatkan.

Namun, benar-benar tak ada tanda-tanda Hinata berada di rumah. Membuat Naruto sedikit risau, takut-takut terjadi sesuatu pada istri tercintanya itu.

Naruto merogoh sakunya, dan mengambil ponselnya. Dengan segera, ia menelpon kontak Hinata yang berada di list contact paling atas.

"Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."

Naruto menggeram saat mendapati nomor Hinata tidak aktif. Ia mencoba menghubungi Hinata melalui media sosialnya yang sekiranya aktif. Naruto ingat, Hinata suka sekali bermain akun sosial di tablet miliknya. Naruto sesegera mungkin menelponnya melalui messenger, berharap Hinata membawa tabletnya dan mengangkat telepon messengernya yang tak pernah ia log-outkan. Dalih-dalih berharap Hinata membawanya, ia malah mendengarkan suara sesuatu yang berdering di atas nakas. Naruto mendekatinya.

Sial! Itu tabletnya!

.

.

.

Hinata menyeret koper mini miliknya menuju kamar hotel yang sudah ia pesan. Keputusannya bulat. Ia akan kabur sementara dari rumah. Ia ingin menenangkan pikirannya dengan menghabiskan waktu sendiri. Konyol memang, jika ia merajuk hanya karena hal sepele yang bahkan belum ia ketahui kebenarannya.

Tidak! Itu bukan masalah sepele! Jika memang benar adanya, Naruto berselingkuh diam-diam di belakangnya dan menghamili wanita lain. Tentu itu bukan masalah sepele lagi! Hinata benar-benar gusar dengan pemikiran-pemikiran negatif yang ia tujukan pada suaminya sendiri. Benarkah Naruto melakukannya?

Jika Hinata mengingat Naruto adalah sosok yang workaholic, ia merasa mustahil jika Naruto memiliki waktu untuk berselingkuh darinya. Tapi, jika ia mengingat Naruto terlalu sering melemburkan diri, bahkan ketika akhir pekan, membuatnya tak mungkin jika lembur itu hanyalah alasan untuk menutupi kedoknya selama ini. Benarkah begitu? Kalau benar, pria itu pasti benar-benar sinting!

Hinata masih asik dengan pikirannya mengenai sang suami. Sebelum ia bertubrukkan dengan seorang wanita. Hinata menatap jengkel wanita itu. Namun, wanita yang menabraknya malah gelagapan.

"Ma-maafkan saya, Hinata-sama!"Mohonnya sambil membungkukkan badannya. Hinata mengamati wanita ini lekat-lekat sambil menyipitkan matanya. Ia merasa pernah melihat wanita bersurai pirang panjang ini. Tapi ia lupa. Hinata tetap terdiam sampai sang wanita menegakkan kembali tubuhnya.

"Hinata-sama tak mengenali saya? Saya, Yamanaka Ino. Sekretaris pribadi Naruto-sama,"terang Ino saat melihat sikap diam Hinata dan memahami jika istri dari bossnya itu lupa akan dirinya. Karena pasalnya, mereka memang jarang sekali bertemu.

"Oh? Begitu,"jawab Hinata pendek. Pantas saja ia merasa pernah melihatnya, ini sekretaris pribadi suaminya.

Hinata menatap penampilan Ino dari atas hingga bawah. Cukup cantik dan menarik. Inikah sekretaris Naruto yang ia ceritakan? Sekretaris yang tak pernah memuaskan Naruto dalam bekerja? Benarkah begitu? Memuaskan diri dalam bekerja kantor atau urusan ranjang?

Hinata menggeleng cepat-cepat saat kembali menemukan pikiran negatif terhadap suaminya sendiri. Hari ini ada apa, sih? Mengapa ia merasa sangat sensitif ketika berhadapan dengan orang-orang yang menyangkut Naruto?

"Hinata-sama? Anda baik-baik saja?"

Ino membuyarkan Hinata dari lamunannya sendiri. Membuat Hinata sedikit tersadar. "Ah? Em.. y-ya,"Jawabnya kikuk.

"Anda sendiri? Atau bersama Na―"

"Sendiri!"seru Hinata cepat. Seakan tidak ingin nama suaminya itu tersebutkan.

"Oh begitu.."Ino manggut-manggut. "Kalau begitu, saya pamit dulu,"Ino membungkukkan badannya sebentar, lalu berjalan meninggalkan Hinata yang masih memfavoritkan posisi berdiam diri.

"Tunggu!"Hinata bersorak menghentikan langkah Ino. Buru-buru ia mendekati Ino dan menarik pergelangan tangannya. "Kurasa, kita perlu berbicara, Yamanaka-san."

.

"Jadi..."Ino berbicara pelan saat Hinata menarik lengannya menuju kamarnya dan memaksakan dirinya duduk di atas sofa empuk yang ada di sana. "Ada apa, Hinata-sama?"

"Kau benar-benar sekretaris pribadi suamiku, kan?"tanya Hinata tanpa basa-basi.

"Ya, Hinata-sama, ada apa?"

"Apa malam ini kau lembur?"

Ino menyipitkan matanya saat mendapat tatapan selidik dari Hinata. "Tentu saja, saya juga baru pulang dari kantor,"jawabnya jujur.

"Ternyata aku benar!"Sorak Hinata tak suka.

"A-apanya?"

"Kau berhubungan diam-diamkan dengan suamiku?!"

"Apa?"

Ino sontak berdiri terkejut. Ia tentu saja terkejut! Wajah putihnya merona marah. Jelas saja ia marah. Atas tuduhan apa istri bossnya ini menuduh dirinya menjalani hubungan gelap dengan suaminya sendiri? Benar-benar memalukan!

Sejenak, tak ada suara di antara kedua wanita berparas ayu itu. Hingga Hinata membuka suara.

"Benarkan, dugaanku.."Lirihnya.

"Maaf sebelumnya, Uzumaki-san,"Ino akhirnya membuka suara. "Saya tak mengerti apa yang membuat anda berpikir seperti itu terhadap saya. Tapi, jika anda berpikir dengan landasan karena penampilan saya, saya memakluminya. Tapi, saya harap anda tidak kecewa, karena semua itu salah. Saya tidak tertarik dengan pria beristri. Walaupun ia kaya, setidaknya saya tidak cukup jalang untuk menggoda suami orang. Permisi,"Jelasnya cukup panjang. Dan tanpa izin dari Hinata, Ino mengambil jalan keluar dari kamarnya. Menyisakan Hinata yang duduk termangu di sana. Tanpa suara, ia meraih sekaleng bir berkadar rendah yang tersedia di depannya. Dan lalu meneguknya hingga habis. Lalu mengambil kaleng yang lainnya.

Ia benar-benar kacau sekarang.

.

.

"Darimana saja kau, hah?!"

Naruto tak dapat menahan emosinya saat mendapati Hinata yang pulang ke rumah ketika fajar baru menyingsing. Bagaimana tidak? Pergi tanpa bilang. Nomor ponsel yang tidak aktif, dan tidak dapat dihubungi. Tidak berada di rumah ayahnya, atau kedua orang tuanya. Tidak jua ada di rumah para sahabatnya. Tentu membuat Naruto makin pening. Ia benar-benar tidak tidur semalaman karena memikirkan Hinata. Hinata. Dan hanya Hinata.

Hinata berhenti di depan pintu kamar saat mencium bau tembakau yang begitu menyengat. Ia menutup hidungnya. Tak menghiraukan pertanyaan Naruto sama sekali.

"Kau merokok,"Bukan tuduhan ataupun pertanyaan. Namun itu adalah pernyataan.

"Dan, kau.. habis minum,"Balas Naruto saat mencium bau alkohol di tubuh Hinata.

Hinata hanya terkekeh pelan. Ia melempar kopernya begitu saja ke sembarang arah. "Kadar rendah."

"Tapi berkaleng-kaleng!"

Hinata tergelak.

"Kau belum menjawabku. Darimana?"Naruto bertanya dengan intonasi yang cukup melembut dibandingkan tadi.

"Melacur?"Jawab Hinata asal. Ia membuka sweater tipisnya dan melemparkannya ke sembarang arah.

"Kau mabuk,"tuduh Naruto.

"Aku sadar."

Hinata membanting tubuh mungilnya ke atas kasur empuknya yang besar. Lebih nyaman dibandingkan dengan tempat tidur hotel tempatnya menginap.

"Tak bekerja?"Tanyanya malas.

"Aku berangkat siang."

"Dan lembur,"sambung Hinata. Naruto tak menghiraukannya.

Hinata menatap suaminya yang telah ia cap sebagai pria brengsek. Lalu mengalihkan pandangannya saat matanya bertubrukkan dengan mata biru laut suaminya.

Mata itu seharusnya dapat menenangkannya disaat seperti ini. Namun, kini mata itu membuatnya takut. Takut jika suatu saat nanti ia takkan dapat menatap mata itu lebih lama lagi. Ia menggigit bibir bawahnya saat merasakan tubuhnya sedikit bergetar karena menahan tangis.

"Happy Anniversarry... yang kedua,"Naruto berucap secara lirih, namun dapat terdengar oleh Hinata. Isakannya mulai terdengar saat Hinata merasa dadanya bergemuruh.

"Ya,"jawab Hinata singkat di sela tangisannya.

Tahun ini, perayaaan hari jadi pernikahan mereka yang kedua begitu buruk. Tak seperti tahun sebelumnya yang dirayakan secara kecil-kecilan. Ada kue tart yang Hinata buat. Ada kado dari mereka masing-masing untuk ditukarkan. Ada sebuah candaan, keceriaan, dan kebahagiaan yang tersirat disana. Akankah ini menjadi perayaan hari jadi mereka yang terakhir sekaligus yang terburuk?

"Apa ada sesuatu yang menganggumu?"

Akhirnya pertanyaan Naruto meluncur. Hinata agaknya sudah menunggunya sedari tadi. Menunggu Naruto menanyakan keadaannya. Ia benar-benar kacau.

"Banyak,"jawabnya disertai isakan. "Bisakah kau menemaniku hari ini? Tidak usah bekerja.."Pintanya. Hinata menatap Naruto dengan tatapan penuh memohon. Naruto mendekat kepadanya dan merengkuh tubuh mungil wanita itu.

Hinata yakin. Naruto akan memberikan penolakkan. Seperti biasanya. Seperti hari-hari kemarin. Seperti yang sudah sudah. Banyak pekerjaannya yang harus diurus. Banyak sekali. Namun, jawaban tak terduga malah meluncur mulus dari bibir pria itu. Disertai senyumnya yang tipis.

"Tentu,"jawab Naruto.

Hinata memeluk tubuh kekar suaminya dengan begitu erat. Erat sekali. Sesuatu membuatnya sadar. Selama ini ia hanya terjebak dalam persepsinya sendiri. Persepsi konyol mengenai suaminya sendiri.

Di dalam pelukan pilu itu ia menangis sesenggukan. Ia menyadari satu hal penting yang bahkan baru ia sadari ketika pernikahan mereka beranjak pada tahun kedua.

Ia belum sepenuhnya memahami sosok Naruto. Dan, sebenarnya, siapa yang pantas disebut brengsek di sini?

.

"Sudah baikkan?"

Hinata hanya mengangguk pelan saat Naruto melepaskan dekapannya setelah beberapa saat. Hinata bisa merasakan hatinya jauh lebih tenang dibanding semalam. Walaupun masih dengan banyak pertanyaan yang mengusik hatinya. Setidaknya Hinata harus menyimpannya sendiri hingga ia merasa menemukan waktu yang pas untuk mengungkapkannya. Boleh kapan saja, asalkan tidak sekarang.

"Naruto..."Hinata melirih manja sambil mengalungkan kedua lengannya di leher Naruto. ia duduk tepat di pangkuan Naruto. Mengerling sedikit nakal pada Naruto. "Aku rindu.."

"Kau mabuk."

"Aku sadar!"Hinata mengerucutkan bibirnya saat Naruto menuduhnya mabuk. Apakah perilakunya benar-benar menampilkan seseorang yang tengah mabuk? Mabuk cinta, mungkin.

"Keh.."Naruto tergelak. "Mari lihat apa yang sebenarnya istriku ini rindukan,"godanya.

Hinata tersenyum tipis. Ia tanggap dengan kode yang Naruto berikan. Naruto memberikannya kebebasan penuh pagi ini. Ia pun menarik tengkuk Naruto dan menciumi bibirnya lembut.

Ternyata dugaannya meleset. Itu bukan kode untuk sebuah kebebasan untuk Hinata. Malah sebaliknya, Naruto mengusap punggung sang istri dan tangan lainnya mendorong tengkuk Hinata agar lebih memperdalami ciuman mereka.

Dengan ganas, Naruto menghempaskan tubuh Hinata. Mengurungnya di dalam kekuasaannya tanpa melepaskan ciumannya. Tangan Hinata bergerak membuka kaos milik Naruto, sehingga ciuman mereka terlepas sekilas.

"Kau benar-benar sudah tidak sabar, ya,"kekeh Naruto sambil melepaskan kaosnya. Dan kembali menciumi bibir Hinata lebih ganas. Tangannya tak tinggal diam. Ia merengkuh dua bukit kembar yang besar dan menantangnya. Ia meremasnya dengan kemeja tipis Hinata masih membungkusnya.

"Akh.."Desah Hinata seduktif yang membuat Naruto kian bergairah.

"Maafkan aku istriku. Tapi sepertinya aku yang tidak sabar disini."

Mengakhiri ucapannya, Naruto membuka kancing kemeja Hinata dengan cekatan. Sehingga menampilkan bra berenda yang membungkusnya. Naruto menaikkan bra tersebut, hingga pemandangan indah yang sesungguhnya terpampang di depannya. Tanpa izin, Naruto menciumi salah satu di antara keduanya, dengan yang satu diremasnya perlahan.

"Ahnn~"Hinata tak dapat menahan desahannya lagi. Ia juga tidak sabar lagi.

.

Keduanya sudah bermandikan peluh. Dengan dorongan maju mundur yang beraturan dipandu oleh Naruto. Keduanya tak lagi memikirkan masalah yang sama-sama membebani keduanya. Yang mereka inginkan hanyalah menuntaskan gairah seksual yang berada di diri masing-masing.

Sambil terus bergumul, dan mendesah, mengeluarkan suara seksi masing-masing. Saling memuja satu sama lain, saling berteriak mengerang kenikmatan. Sambil terus mengatur posisi untuk keduanya agar bisa merasakan nikmat yang lebih. Mereka tak menyadari adanya getaran dering dari sebuah ponsel berwarna merah. Menampilkan sebuah kontak yang terus memanggil.

Shion is calling.

.

.

Part I Buckshot Relationship

END

.

.

[A/N]

Haloooo, saya kembalii (^o^)/ tapi dengan fanfic yang berbeda. Laknat sekali author ini, mentelantarkan dua ficnya, namun membuat fanfic yang baru. Tidak. Bukan seperti itu.

Sedikit ingin saya jelaskan, dua ff saya yang lain, Who Is She dan Overdose belum bisa lanjut, dikarenakan suatu masalah yang menimpa keduanya. Apa? Saya menyimpan data kedua ff itu di flashdisk, dan karena lama tidak mengeceknya, saat ingin mengupdate, taraaaa! Flashdisknya rusak T^T

Jadi mohon maaf sekali dua ff abal-abal itu belum bisa lanjut, karena jujur, saya sendiri lupa bagaimana alurnya sehingga harus benar-benar berpikir keras. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menulis sedikit ff ringan untuk pemanasan. Mengapa ringan? Karena ff ini akan tamat hanya dengan dua atau tiga chapter saja.

Saya harap kalian semua terhibur walaupun sedikit saja ^0^)9 maafkan OOC Hinata yang keterlaluan. Sebenarnya tidak tega juga sih menghilangkan sikap manis Hinata yang kawaii-desu. Tapi sepertinya tuntutan otak harus saya penuhi(?)

Ada yang minat membubuhkan jejak review disini? Tidak ada? oh begitu T.T kalau begitu see you soon!

Riyui