License to Drive a Sandwich
Karya : Nakashima Aya


Summary : Pada suatu zaman, hiduplah seorang putri dan seorang pangeran. Mereka hidup bahagia di bawah perlindungan kerajaan dan dengan cinta yang tertanam pada masing – masing individu. Namun, semua itu berubah saat sang penyihir menyerang kebahagia–Dan sepertinya narasinya ketuker deh. Ehem… Ehem…

Kisah ini dimulai dari sebuah kotak kado berwarna merah dan sebuah kartu penuh tanda tanya yang saling berpindah tangan.

Disclaimer : OC dan storyline ber-hak cipta Nakashima Aya.

Genre : Romance, Friendship, Humor.

Warning : OC, OOC!, OOT!, Typo(s), UniversityAU!, Takao Kazunari X OC (Naoko Ruri).

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

5 of 10

Takao itu bukan sembarang pemuda tampan yang sempat jago basket dan mendadak khilaf lalu menjadi seorang anak fakultas hukum yang rajin dan disayangi guru. Takao itu unik. Ia memiliki rambut dengan poni belah tengah yang disisir rapi hingga kedua belahannya terlihat sama yang satu dengan lainnya, ia juga penyuka musik metal dikala kini musik semacam itu sudah mulai surut peminatnya. Namun yang paling unik dari Takao adalah bagaimana pemuda itu masih bisa selamat setelah memakan sebuah coklat berisi bubuk cabai dan ia merasa bahwa coklat itu sangatlah lezat.

Di sisi sebelah kiri Takao, seorang pemuda jangkung mengenakan kacamata berjalan bersisian dengan sang hero dalam shoujo-fanfiction ini. Mereka berdua sudah terkenal sebagai sahabat sehati-sejiwa-sependeritaan, walaupun tidak pernah memiliki julukan semacam cahaya-bayangan, Takao dan Midorima tentunya memilki teamwork yang juga sangat hebat. Seperti hari ini, keduanya saling bahu-membahu dalam memberikan saran dan kritik untuk mencarikan hadiah white day. Ohohoho jadi hari ini white day toh, pantas saja Takao dari tadi nyengir-nyengir gak jelas.

"Ne ne, Shin-chan, bagaimana kalau bunga?" Takao mengacungkan jari telunjuknya, menunjukkan sisi antusiasme dalam diri sang poni belah tengah.

"Tidak. Sudah kubilang, belikan saja lucky-item untuknya."

"Tapi aku tidak tahu tanggal lahirnya, Shiin-chaaaan~" Takao hanya memberengut, kesal dengan jawaban kawannya itu yang terkesan monoton. Kok si Midorima ini gaada ide lain sih untuk memberi balasan valentine? Kalo gak lucky-item ya benda keberuntungan. Apa bedanya coba? Kan Takao ingin memberikan balasan white day yang berbeda dan sangaat spesial untuk belahan jiwanya. Iih… Takao sebel deh! Sebel! Sebel!

Sekali lagi Takao melirik sinis pemuda berpredikat 'mahasiswa terbaik kedokteran' tersebut dengan tatapan kesal. Midorima ini entah bagaimana tidak berminat membalas gadis-gadis yang memberinya coklat, maklum sih memang yang memberinya coklat banyak, setidaknya ia bisa memberi balasan permen atau apa yang murah 'kan? Dan disini ia malah meminta bantuan Midorima untuk memilihkan hadiah white day yang cocok untuk Naoko-chan tercinta. Seharusnya ia mengajak Akashi saja tadi.

"Ne, Shin-chan, boneka bagaimana? Bagus 'kan?" Sebuah ide klasik memang, menghadiahkan bunga dan boneka untuk seorang gadis. Namun lebih baik jika Takao memberikan kado klasik seperti ini, sebelum ide gila muncul dalam otaknya seperti memberi seperangkat alat pembersih toilet untuk tetangga baru. JENIUS!

Tenang saja, author tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Takao tidak boleh membawakan hadiah receh seperti itu pada Ruri-chan tersayang.

Pemuda itu melayangkan tatapan matanya mengelilingi distrik perbelanjaan dengan iris terpicing, namun matanya langsung berkilat tatkala mendapati sebuah benda asing yang mampu menarik perhatiannya.

"Itu dia! Aku akan memberikan itu pada Naoko-chan!"

.

.

.

Namanya Naoko Ruri. Gadis berumur 19 yang kini tengah dibombardir hadiah hanya karena ia membagikan coklat pertemanan di hari valentine. Padahal yang ia berikan pada mereka bukanlah honmei chocolate.

Dan di sinilah dia, dengan tumpukan hadiah yang ia letakkan secara kasar di sebuah kardus yang diberikan Hana padanya. Di depan apartemennya yang bernomor 017, ia letakkan tumpukan hadiah yang sempat menutupi jarak pandangnya itu di sisi kanan kaki jenjang miliknya yang terbungkus stocking berwarna kulit. Dirabanya saku dress peach miliknya untuk mencari kartu kunci pembuka pintu elektrik berpassword di apartemen setengah berkelas miliknya, seketika ia memasukkan password singkatnya, pintu elektrik itupun terbuka secara ajaib.

Mengambil kembali kardus berhadiah miliknya, Ruri menitikan jalannya kedua kaki memasuki apartemen. Ia bahkan tidak sempat menutup pintu apartemennya, dan hanya menendang pintu tersebut yang tentunya tidak menutup secara penuh–menimbulkan celah sedikit antara pintu dengan dinding sebelahnya.

"Aah… Lelahnyaa…" Setelah menaruh tumpukan hadiahnya di dekat lemari sepatunya, ia melempar diri pada sofa beludru biru favoritnya dan menatap langit-langit. Namun bukannya kembali memikirkan ulang pemikiran mengenai warna langit-langit yang abstrak, ia lebih memilih memikirkan apakah Takao Kazunari sang tetangga sebelah itu akan memberinya hadiah white day yang spesial atau tidak? Awas saja jika hadiah darinya tidak lebih baik dari hadiah-hadiah yang ia tumpuk di atas kardus tersebut.

Menggosok-gosokkan pipi pada beludru lembut favoritnya, rasa nyaman menyeruak bersamaan dengan tangan kanan yang berhasil menggapai remote AC. Ruri menekan tombol ON pada remote kecil berwarna putih tersebut dan mengeluarkan gumaman kenyamanan sekali lagi.

Merebah diri sambil menikmati dinginnya udara AC memang yang terbaik.

Namun, zona kenyamanan itu mendadak berakhir tatkala otak Naoko Ruri yang terbilang cukupan itu membesitkan sebuah pemikiran mengenai kala tetangga sebelah mungkin akan datang ke rumahnya dan memberikan hadiah white day. Dan jika hal itu benar-benar akan terjadi, maka saat ini Naoko Ruri berada dalam keadaan paling tidak prima untuk bertemu bachelor tetangga sebelah yang masuk dalam list calon-suami-yang-mungkin-diperhitungkan untuk-kedepannya.

"Aku harus mandi!" Memantabkan diri untuk beranjak dari sofa beludru nyaman, Ruri langsung mengambil kuncir abu-abu yang biasa ia letakkan di meja kopi dan langsung menjalankan kaki-kakinya yang terbiasa mengenakan high heels itu menuju kamar mandi di dalam ruang tidurnya.

Tidak perlu waktu yang lama bagi Ruri untuk bebersih diri, toh ia sudah mempelajari seni mandi kilat, sesaat sebelum ia tinggal sendiri–demi jaminan agar tidak terlambat masuk kelas pagi.

Sehingga kini gadis itu sudah kembali duduk manis di sofa beludru sambil menggosokkan pipinya pada bantal berbahan sama dengan senyum kenyamanan terpatri manis pada bibirnya yang dilapisi lip-gloss. Maklum, Ruri sudah siap bertemu Takao sekarang juga, walau yang dinanti-nanti kini masih sibuk kencan bersama Shin-chan demi mencarikan kado untuknya.

Haaahh… Tiduran di sofa memang yang paling nyamaan…

.

.

.

Dengan hati penuh bunga, Takao Kazunari berjalan sambil melompat-lompat dari stasiun kereta bawah tanah menuju apartemennya–perlu diketahui bahwa ia menyeret Midorima turun di stasiun yang sama dengannya karena ia masih belum menggenggam kartu kereta sekarang–dimana sang jodoh hidup menunggu. Senyum cerah ceria terpatri indah di bibirnya sepanjang perjalanan hingga membuatnya terlihat seperti sosok idiot fakultas sebelah. Bahkan Midorima malu berjalan bersebelahan dengannya pasca keluar dari stasiun tadi, itulah mengapa sang megane-ganteng memilih cepat-cepat hengkang dari sisi Takao sebelum ia sendiri dicap menjadi orang kurang waras.

Raga telah mencapai gerbang depan apartemen walau jiwa masih melalang buana jauh entah dimana. Sebuah kotak kado–yang sekali lagi–berwarna merah dengan pita polkadot menghias bagian atasnya sehingga terlihat rapih. Masih dengan senyum setengah menyeringai indah terlukis di bibir, Takao menaiki elevator menuju lantai dimana apartemennya berada, lantai yang sama dengan apartemen pujaan hatinya. Berjalan di lorong yang sama dengan yang biasa ia lewati jika ia akan pulang ke apartemen selepas menimba ilmu di fakultas hukum walau kini tempat yang dituju sama sekali berbeda.

Papan nomor 017 sudah berada di depan mata, menarik nafas dalam-dalam sembari mencoba agar detak jantung lebih stabil dan tidak menggebu-gebu seperti saat ini.

"Yosh, mari kita lakukan!"

TOK–

Baru ketukan pertama, pintu elektrik tersebut sudah menimbulkan bunyi khas pintu terbuka–lebih tepatnya pintu itu terbuka dengan sendirinya. Mata dipicingkan dan wajah terlihat keheranan, Takao meraih handel pintu dan membukanya agar lebih lebar, saat itulah ia menyadari kartu kunci pembuka elektrik milik kamar nomor 017 masih tertancap di sana. Tidak terlalu memperdulikan hal tersebut, dengan seenaknya pemuda surai kehitaman itu masuk ke dalam kediaman Naoko Ruri masih dengan siulan aneh bernada lagu metalik lolos dari bibirnya. Dan seperti seorang anak lelaki yang diajarkan tata karma dengan baik dan benar, Takao Kazunari tidak lupa menutup pintu apartemen Ruri.

Setelah membisikkan kata permisi, Takao melepas kedua sepatunya dan melangkahkan kaki-kakinya yang kekar memasuki apartemen Ruri–yang tentunya memiliki aura dan desain yang sama dengan apartemennya–siulan masih terdengar di sekitar Takao seketika ia mulai memasuki ruang tengah. Ruang tengah didominasi oleh benda-benda yang asing di mata Takao. Tidak seperti di apartemen sebelah, disini terdapat sebuah sofa besar dan meja kopi berbahan kayu sedangkan di ruang tengah apartemen Takao hanya terdapat sebuah meja kopi standart dan tidak ada sofa satupun–intinya level dua apartemen ini berbeda.

Hampir saja Takao meneriakkan nama Ruri jika saja ia tidak melihat helaian gelap tergeletak lunglai dari sudut sofa beludur di tengah ruangan. Takao menghampiri sosok ayu yang kini tertidur pulas di sofa, mau tak mau senyum merayap pada bibir dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengelus surai Ruri yang begitu lembut.

Sungguh, Takao baru sadar kali ini betapa cantiknya Naoko Ruri dengan wajah naturalnya–walaupun sebenarnya Ruri memoles lip-gloss di bibir–toh selama ini ia selalu melihat Ruri versi gadis idola kampus, pemuda itu tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya wajah orisinil gadis ini sendiri sudah terbilang cukup menawan. Tangan kanan Takao yang ia letakkan pada perempatan surai sang gadis, mengelusnya perlahan seakan ia bisa merusak gadis itu jika ia melakukannya dengan agak kasar.

Kenapa gadis ini bisa begitu menawan saat tertidur dan ganas ketika ia dalam posisi terjaga?

Merasa tidak tega untuk membangunkan Ruri yang tertidur dengan begitu pulas, sebuah ide cemerlang muncul di otak Takao yang merupakan anak jurusan hukum. Ia mengambil secarik kertas dan sebuah bolpoin dari dalam tasnya dan menuliskan sesuatu, dengan hati-hati ia sematkan kertas tersebut ke pita hadiah white day yang berencana ia berikan pada Naoko Ruri.

"Jaa, Naoko-chan, aku pulang dulu yaa. Kau jangan kangen padaku nanti, bye bye!"

Setelah mengelus surai caramel Ruri beberapa kali dan memberikan kiss bye dengan mesra, Takao beranjak dari ruangan itu menuju koridor depan.

CKLEK–CKLEKK–

'Ah, sial. Aku lupa mekanisme keamanan di apartemen ini.'

.

.

.

Naoko Ruri bangun dari tidurnya yang pulas. Mengedipkan matanya beberapa kali sebagai bentuk pembiasaan diri akan banyaknya intensitas cahaya yang masuk melalui ruang retina. Ia memegangi kepalanya dengan tangan kanan, merasa agak linglung–mungkin karena posisi tidurnya yang tidak begitu baik–dan menguap sekali. Merasakan dorongan untuk mencuci muka, ia akhirnya beranjak dari ruang tengah apartemennya dan menuju kamar mandi kecil yang berada di sanding kamar tidurnya.

CRRSS–CRRSSS–

'Eh? Suara itu…'

Ruri merasakan dadanya berdegup kencang, adrenalin terpacu hebat di sekujur tubuh tatkala ia menyadari bunyi shower kamar mandinya yang kini terdengar hingga koridor kamar tidur. Sungguh, Naoko Ruri yakin dengan sangat bahwa ia sudah mematikan showernya tadi ketika ia selesai mandi–sebagai bentuk penghematan, toh Ruri 'kan wanita ekonomis. Jadi bagaimana bisa kini ia mendengar suara shower menyala?

Itu bukan…hantu 'kan?

Tidak, tidak, tidak. Ruri tidak percaya hal-hal ghaib semacam hantu, tidak ada hantu di rumah ini dan Ruri percaya itu.

Lalu permainan indera macam apakah yang kini berusaha membuat Ruri ketakutan?

CRRSS…

KLIK–

"Yeah yeah, now I'm gonna show you my lav babe."

'T-Tunggu… suara ini…'

Segera ia berjalan cepat dan berbelok dari koridor tengah menuju kamar mandi, tepat bersamaan dengan suara pintu kamar mandi yang terbuka–menampilkan sosok pemuda tampan berponi belah tengah–yang sungguh membuat Naoko Ruri siap mati saat itu juga. Sungguh, sejak kapan tetangga ributnya itu menjadi setampan ini?

Ruri salah fokus, seharusnya ia memikirkan apa yang dilakukan tetangganya itu di rumahnya, apalagi di kamar mandinya yang minimalis dan ekonomis.

"T-Takao? A-Apa yang kaulakukan di sini? Apalagi di kamar mandiku yang minimalis dan ekonomis!" Ruri mengulang narasi di atas secara gamblang dan tepat sambil menunjuk kasar Takao dengan jari telunjuknya. Sang pemuda yang kini baru saja bebersih diri hanya melengos dan mengibas-kibaskan rambutnya yang fabulous karena basah. Oh tuhan, bisakah Takao diam barang sejenak dan tidak mengumbar hal-hal yang bisa membuat Ruri salah fokus lagi?

"Hoo, Naoko-chan sudah bangun rupanya. Ohayou, Naoko-chan!"

"Apanya yang ohayou? Ini bahkan sudah sore! A-Ah mou, apa sih yang kau lakukan disini?" Ruri mendengus kesal, setengah memang benar-benar kesal dan setengah menyembunyikan rasa dag-dig-dug di hatinya yang begitu luar biasa mengganggu ini.

"Aku terkunci, Naoko-chan."

"T-Terkunci?"

"Iya terkunci, aku tidak bisa keluar, dan aku kedinginan Naoko-chan. Aku tidak berhanduk sehabis mandi tadi." Oh sungguh Ruri ingin berteriak di hadapan Takao sekarang juga, siapa manusia yang sebegitu bodohnya tidak berhanduk setelah mandi di bulan-bulan seperti ini? Hanya Takao yang bisa berlaku sebodoh itu.

Naoko menghela nafas sejenak, lalu berpikir, mungkin ada baiknya sesekali memperlakukan Takao sebagai tamu dengan sopan. Tidak ada salahnya Ruri bersikap baik padanya 'kan?

"Duduklah di ruang tengah, akan kubuatkan sesuatu yang hangat."

Takao langsung sumringah dan berjalan dengan begitu riang menuju sofa beludru kesayangan Ruri di ruang tengah.

.

.

.

"Douzo," Ruri menaruh dua cangkir kosong di atas meja dan mengisinya dengan coklat panas dari sebuah teko berbentuk kucing. Melihat minuman hangat tersaji di depan mata, Takao langsung meletakkan kedua tangannya pada sisi-sisi cangkir yang hangat.

"Ah, hangatnya…" Wajah Takao langsung sumringah tidak karuan, dan tumben-tumbennya hari ini Ruri tidak terlalu mood berkomentar tentang segala macam ekspresi Takao yang begitu beragam dan memilih duduk diam menikmati coklat panasnya.

"Ne, Bakao, apa yang kaulakukan disini? Sampai kau terkunci seperti itu." Takao mengambil cangkirnya dan menenggak minuman berwarna coklat itu sambil menunjuk sebuah kotak kado berwarna merah dan sepucuk surat yang terlilit pada pita pembungkusnya. Takao tidak perlu repot-repot mengatakan apa itu, toh Ruri sudah pasti tahu itu apa–terlihat dari wajahnya yang kini berbinar–Takao yakin Ruri sudah menunggu hadiah white daynya begitu lama.

Ah, Takao suka suasana seperti ini. Sudah seakan-akan mereka adalah pasutri baru yang sudah selesai menata interior rumah baru dan kini tengah bersantai.

"Naoko-chan, kau ini istriable sekali ya." Takao bersabda, dengan frontalnya.

"A-AP–UHUK UHUK." Ruri tersedak. Sungguh, pernyataan macam apa yang mendadak keluar dari bibir sok polos Takao itu? Mendadak mengatakan istri-istri padahal tadi suasananya sedang sangat bagus. Apakah dia salah satu contoh pria tidak peka masa kini?

Ruri hanya menatap tajam Takao dengan tatapan mata yang menyiratkan sebuah pertanyaan klise 'apa maksudmu?'. Dan Takao hanya nyengir sembari menggaruk tengkuknya yang bisa dipastikan tidak apa-apa, tanpa berusaha memperjelas maksud dari kalimat rumpangnya beberapa waktu yang lalu.

Setelah menghabiskan coklat panas untuk yan ketiga kalinya, akhirnya Takao memutuskan sudah saatnya ia undur diri lebih dahulu. Toh, ia tidak enak hati kalau terus menerus membebani Naoko-chan tercinta dengan presensinya yang terasa un-useable di sini.

"Ja, Naoko-chan aku pulang dulu ya. Jangan lupa dibuka hadiahnya! Aku yakin itu pasti berguna untukmu!" Takao melambai pada Ruri yang masih memikirkan perkataan Takao tentang istri tadi. Ruri tidak terlalu fokus, jadi ia hanya melambai asal dengan tangannya yang tidak memegang cangkir, membiarkan Takao dan segala keanehannya pergi dari apartemen ini.

"Ano, Naoko-chan, aku terkunci."

"AAAH, MENDOKUSAI!" Ruri berujar seraya menarik diri menuju lorong depan untuk membukakan pintu si Bakao itu. Dengan wajah tertekuk ia menekan satu persatu panel password pada pintu elektrik di hadapannya, sambil sesekali melirik Takao agar tidak melihat passwordnya.

Cklek–

"Jaa, aku pulang ya Naoko-chan!" Takao melambai, Ruri juga melambai walaupun terlihat sekali ia tengah malas gerak.

"Jangan lupa dibuka ya, Naoko-chan!"

"Hmm…"

"Jangan sampai lupa."

"Hai."

"Jangan lupa."

"Hmz."

"Jangan lup–"

"Ah mou, mau sampai kapan kau di sini? Cepat pulang sana!" Ruri membanting pintu elektrik itu tepat di depan wajah tampan Takao yang habis dibersihkan menggunakan sabun wajah khusus wanita, biarlah yang penting ia membersihkannya dengan baik.

Ruri masih mendengar teriakan samar-samar ketika ia masuk kembali ke dalam apartemennya dan menemukan sebuah kotak merah dari sudut matanya. Tanpa perlu dipandu, kedua kakinya sudah melangkah mendekati bingkisan mewah tersebut dan mau tidak mau senyum terpoles di wajah manisnya yang kini sudah kehilangan polesan make-up. Ruri mengangkat kotak tersebut dan menimbang-nimbang beratnya, ringan, bahkan sangat ringan. Sungguh Ruri penasaran apa yang kali ini diberikan Takao padanya.

Ruri menarik pita berenda yang membingkai indah kotak tersebut dan mengambil sepucuk surat yang tersemat pada pita tersebut.

'Naoko-chan, di saat kau membaca ini mungkin aku sudah tidak ada di sisimu lagi. Tapi kuharap kau mau menerima hadiah ini dengan lapang dada, pasti berguna untukmu. Mungkin bisa mengurangi stress berlebihan yang menumpuk pada diri Naoko-chan, dan Naoko-chan tidak harus marah-marah setiap bertemu denganku. With love, Takao K.'

Apa-apaan surat itu? Dia pikir ini surat wasiat bunuh diri?

Ruri hanya mendengus setelah membaca tulisan aneh Takao, walaupun sebenarnya dalam hati ia dag-dig-dug-serr pada bagian with love itu. Maklum, Ruri termasuk cewek masa kini yang mudah termakan rasa baper ria hanya karena quotes-quotes di instagram. Sedikit demi sedikit Ruri membuka kotak kado berwarna merah itu dengan perasaan tidak terduga, rasa penasaran senang kesal dan segalanya bercampur menjadi satu. Hingga akhirnya, kota tersebut terbuka sepenuhnya, menampilkan figur benda yang membalas coklat valentinenya.

"AH MOU, DASAR TETANGGA BODOH! MANA ADA LELAKI YANG MEMBERIKAN ALAT PIJAT KEPALA UNTUK HADIAH WHITE DAY!"

Dengan ini, Ruri belajar bahwa hukum karma memang ada di dunia. Ruri tidak akan pernah lagi, tidak akan pernah memasukkan hal-hal aneh apapun ke dalam coklat valentine.

.

.

.

Yeyy, selesai lagi reader sekalian!

Akhirnya sudah mencapai pertengahan cerita, dan Aya sangat berterima kasih pada semuanya yang sudah berkontribusi dalam membantu Aya membuat karya abal ini. Sungguh, Aya berterimakasih.

Sepertinya cukup sekian dari Aya, karena Aya lagi males berbacot ria hehe. Akhir kata, salam manis, dan review yaa! Ehehehe,

Salam Hangat,

Nakashima Aya