Rating: M

Genre: drama, family, romance, hurt, angst

Pairing: Yunjae (genderswitch Jae)

Disclaimer:

Cerita ini hanya fiktif belaka. Saya hanya meminjam nama pemeran. Cerita dan kejadian hanya khayalan saya semata, tidak ada hubungannya dengan kejadian di dunia nyata. Cerita ini terinspirasi oleh drama Korea Yawang (Queen of Ambition) dan berita-berita mengenai selebritis Korea.

You Are My Shining Star

Lima tahun sudah Jaejoong menjadi trainee di sebuah agensi hiburan kecil di Korea Selatan. Tidak ada kepastian mengenai masa depannya. Kapan ia akan didebutkan sebagai seorang penyanyi? Tidak ada yang menjawabnya.

Menjadi seorang bintang adalah cita-citanya. Menyanyikan lagu ciptaannya sendiri di atas panggung adalah impiannya. Sorak-sorai penonton dan penggemar yang datang memadati tempat konsernya adalah hal yang ia rindukan. Kapan semua itu akan terwujud? Tidak ada yang tahu.

Cantik, bersuara merdu, berbakat memainkan piano dan menciptakan lagu, apa lagi yang kurang dari seorang Kim Jaejoong untuk meraih cita-citanya itu? Ia tidaklah sempurna. Ia tidak memiliki keberuntungan. Yang ia butuhkan saat ini adalah keberuntungan. Di luar sana banyak penyanyi dan idola yang tidak lebih berbakat darinya, tetapi mereka semua beruntung. Mereka bisa mempunyai banyak penggemar, dipuja, dan dipuji.

Belasan lagunya dipakai, dinyanyikan, dan diklaim oleh artis lain. Ia hanya mendapatkan sedikit imbalan berupa uang atas jerih payahnya itu. Pengakuan dan ketenaran yang seharusnya menjadi miliknya, tidak ia dapatkan.

Beberapa kali ia mencoba untuk menemui pimpinan perusahaan. Namun, yang ia temui hanyalah karyawan setingkat manajer. Ia menuntut kejelasan masa depannya di agensi hiburan tersebut.

Selama ini ia mencoba untuk bertahan dengan kondisi seperti itu, dengan harapan bahwa sebentar lagi ia akan debut. Ia menahan diri atas perlakuan yang kurang menyenangkan dari artis-artis seagensinya, yang memandang rendah dirinya, hanya karena ia masih berstatus sebagai trainee.

Lagu terakhir yang ia ciptakan meledak di pasaran. Hal ini membuat agensi tempatnya bernaung mulai dilirik oleh para penikmat musik. Namun, sayangnya bukan dirinya yang membawakan lagu tersebut, bahkan namanya sama sekali tidak tertulis sebagai pencipta lagu.

Jaejoong sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Untuk kesekian kalinya ia kembali mencoba untuk menemui pimpinan perusahaan. Kali ini pun hanya seorang manajer bernama Park Yoochun yang berhasil ia temui. "Aku ingin menemui CEO sekarang juga."

"Kau tidak bisa sembarangan menemuinya. Memangnya siapa kau? Kau hanya seorang trainee," ujar pria bernama Park Yoochun itu dengan santainya.

Darah Jaejoong mendidih. Sudah lelah ia dipandang seperti itu, hanya dipandang sebagai seorang trainee. "Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Kapan aku akan debut sebagai penyanyi?"

Yoochun memandang wanita berusia 25 tahun itu dengan serius. "Kau baru lima tahun menjadi trainee. Masih banyak yang perlu kau pelajari."

"Apa lagi yang harus kupelajari? Lagu-lagu ciptaanku sudah banyak dikenal orang. Suara dan teknik bernyanyiku juga jauh lebih baik daripada trainee yang lain, bahkan daripada penyanyi atau idola yang sudah debut sekali pun." Jaejoong tampak putus asa.

Yoochun menekan dahi Jaejoong dengan telunjuknya. "Kau perlu belajar untuk bersabar dan rendah hati, Nona. Sombong sekali kau. Pantas saja sampai sekarang kau belum diberi kesempatan untuk debut. Jika kau sudah terkenal, kau pasti akan besar kepala."

Jaejoong terdiam. Mungkin memang benar ia kurang bersabar dan terlalu sombong. Akan tetapi, ia tidak mau mengakui hal itu begitu saja. Untuk mengejar cita-citanya tersebut, sudah banyak yang ia korbankan. "Aku berhak mendapatkan keadilan. Seharusnya akulah yang membawakan laguku, bukan dia yang bahkan mengambil nada dasar pun masih salah."

Yoochun menghela nafas. Mengapa wanita muda di hadapannya ini sangat keras kepala? "Jadi, kau pikir kau lebih baik darinya?"

Jaejoong menatap Yoochun dengan berapi-api. "Ya, aku sangat yakin akan hal itu. Bakat, teknik? Aku jelas lebih baik darinya. Kecantikan? Aku juga tidak kalah cantik. Lalu mengapa ia bisa debut menjadi penyanyi, sedangkan aku tidak?"

"Orang yang benar-benar berbakat tidak akan mengatakan bahwa dirinya berbakat dan wanita yang benar-benar cantik tidak akan memuji-muji kecantikannya sendiri. Mereka akan merendah," ujar Yoochun.

Lagi-lagi ucapan Yoochun membuat Jaejoong tertohok. Ia tahu, ia sadar bahwa dirinya sombong dan tidak sabaran. Akan tetapi, mengapa hal itu bisa menjadi alasan dirinya tidak didebutkan juga?

"Apa kau benar-benar ingin menjadi penyanyi terkenal?" tanya Yoochun.

Jaejoong mengangguk. Ia tampak sangat bersungguh-sungguh. "Menjadi seorang penyanyi adalah impianku sejak kecil."

Yoochun kagum melihat semangat yang dimiliki oleh Jaejoong. Wanita muda itu memang sangat berbakat. Ia juga tidak terlalu mengerti mengapa seseorang yang sangat berbakat dan cantik tidak juga didebutkan. "Aku bisa menawarkan cara lain untukmu agar kau bisa cepat menjadi seorang artis terkenal. Namun, aku tidak menyarankan hal ini."

"Apa itu?" Jaejoong tampak sangat antusias.

Yoochun tampak berpikir kembali. Tidak seharusnya ia menawarkan hal itu kepada wanita muda sepolos Jaejoong. "Ah, tidak. Lupakan saja!" Ia berbalik, bermaksud pergi dari hadapan Jaejoong.

"Kau mau ke mana, Tn. Park?" Jaejoong menarik Yoochun kembali. "Katakan kepadaku apa itu! Aku akan melakukan apa pun demi menggapai cita-citaku."

"Lupakan saja! Aku menyesal telah memikirkan hal itu. Anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa." Yoochun berusaha menghindar.

"Kau memang belum mengatakan apa pun, Tn. Park. Jadi, katakan kepadaku! Jangan membuatku penasaran! Aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi, sebelum kau mengatakan hal yang kau maksud kepadaku," ancam Jaejoong.

Yoochun tidak habis pikir dengan kekeraskepalaan Jaejoong. Ia pun menyerah. "Baiklah! Aku menyerah. Aku akan mengatakannya kepadamu."

Jaejoong menyilangkan lengannya di dada. Ia menunggu kata-kata Yoochun. "Apa itu?"

"Kau akan cepat menjadi artis terkenal jika kau mempunyai sponsor." Yoochun tampak serius. "Jangankan hanya debut sebagai penyanyi, kontrak film, drama, dan iklan pun akan dengan mudah kau dapatkan jika sponsormu mempunyai jaringan yang luas."

Jaejoong tertegun. Ia memang pernah mendengar tentang hal ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa hal ini memang nyata terjadi.

"Kau sangat berbakat. Tidak akan sulit bagimu untuk menjadi terkenal dengan bakat dan kecantikan yang kau miliki. Yang kau perlukan adalah kesempatan. Sponsor bisa membantumu agar semua bakat yang kau miliki bisa diketahui oleh semua orang. Sukses atau tidaknya tetap bergantung kepadamu sendiri." Yoochun menjelaskan.

Rasanya Jaejoong ingin tertawa mendengar penjelasan Yoochun. Sponsor? Seorang Kim Jaejoong menggunakan sponsor? Lucu sekali. Selama ini ia mengagung-agungkan bakatnya, menyombongkannya. Dengan bakat yang ia miliki, apakah ia masih memerlukan sponsor?

"Kau pasti tidak mau kan?" Yoochun tersenyum lebar. Tidak mungkin orang seangkuh Jaejoong mau menggunakan sponsor. "Bantuan yang diberikan oleh sponsor tidak diberikan secara cuma-cuma. Kau mengerti kan yang kumaksud?"

Jaejoong tampak berpikir keras. Menempuh jalan pintas seperti itu sama saja dengan merendahkan dirinya. Itu artinya ia tidak yakin akan kemampuannya sendiri. Akan tetapi, bagaimana bisa orang-orang di luar sana bisa mengetahui kemampuannya jika ia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkannya? Ya, yang sangat ia butuhkan adalah kesempatan, walaupun hanya sekali. Mungkin sponsor bisa membantunya untuk mendapatkan kesempatan itu. Selebihnya ia bisa berjuang sendiri untuk meraih popularitas yang ia inginkan dengan kemampuannya sendiri. "Aku mau. Tolong bantu aku untuk mendapatkan sponsor!"

Yoochun terkejut mendengar jawaban Jaejoong. Hal itu di luar dugaannya. "Kau tidak serius kan, Jaejoong? Apa kau tidak memahami maksud dari 'sponsor' yang kukatakan?"

Jaejoong menatap Yoochun dengan serius. "Aku tahu. Aku mengerti maksudmu."

"Lalu mengapa kau menginginkan sponsor jika kau mengerti dengan apa yang kumaksud?" tanya Yoochun. Ia berharap Jaejoong berubah pikiran. Wanita muda itu hanya perlu sedikit lagi bersabar untuk meraih kesuksesan.

"Aku memerlukan bantuan sponsor untuk mempromosikanku. Seberbakat apa pun diriku, aku tidak akan pernah meraih kesuksesan jika orang-orang tidak mengetahuinya. Aku memerlukan sponsor agar masyarakat tahu bahwa aku bisa menjadi seorang penyanyi," ujar Jaejoong.

Yoochun terdiam sejenak. Begitu putus asanyakah Jaejoong, sehingga wanita itu memutuskan untuk memilih jalan itu? "Kuharap kau memikirkannya lagi. Saat ini pikiranmu sedang kalut." Ia pun pergi berlalu meninggalkan Jaejoong.

.

.

.

Semalaman Jaejoong memikirkan hal yang dikatakan oleh Yoochun. Ia merasa ragu dan bimbang. Semua pengorbanan telah ia lakukan untuk sampai di titik ini, tinggal selangkah lagi untuk mencapai gerbang kesuksesan. Namun, mengapa hal itu terasa sangat sulit? Mengapa pihak perusahaan mempersulit dirinya?

Jaejoong merasa iri kepada para idola yang populer saat ini. Sebagian dari mereka mulai menjadi trainee pada usia yang sangat belia, lebih beruntung lagi trainee yang bisa masuk ke agensi besar. Walaupun persaingannya sangat ketat, masa depan yang cerah menanti mereka. Debut mereka akan dipromosikan secara besar-besaran, bahkan promosi sudah berjalan saat pradebut.

Jaejoong meratapi nasibnya. Ia berasal dari keluarga miskin. Ayahnya adalah seorang musisi yang karir musiknya tidak berjalan dengan baik. Sepeninggal ayahnya, ia dan sang ibu hidup semakin menderita. Ia hampir saja putus sekolah karena tidak adanya biaya. Akan tetapi, sang ibu tidak ingin dirinya berhenti sekolah. Ibunya itu bekerja siang dan malam membanting tulang untuk menyambung hidup mereka dan membiayai sekolahnya. "Jika aku sudah menjadi seorang penyanyi terkenal, kita tidak akan hidup susah lagi, Bu."

Jaejoong menangis mengingat ibunya. Ia tidak bisa memenuhi janjinya itu, bahkan sampai ibunya meninggal dunia. Ibunya belum sempat melihat dirinya bernyanyi di atas panggung yang megah, disaksikan oleh ribuan penonton. Ia belum bisa membuat ibunya bangga saat ibunya meninggalkan dunia ini. "Maafkan ibu, Nak! Kau tidak bisa menjadi trainee di agensi hiburan karena ibu tidak sanggup untuk membayar biaya trainingmu di sana."

Jaejoong kehilangan arah dalam hidupnya saat ibunya dinyatakan menderita kanker. Penyakitnya sudah sangat parah dan sang ibu tidak pernah memberitahunya akan hal itu. Mimpi yang selama ini ia kejar harus ia lepaskan. Pendidikannya di sekolah berantakan karena ia harus bekerja paruh waktu untuk membayar biaya pengobatan ibunya. Ia masih beruntung karena ia masih bisa lulus SMA, walaupun dengan nilai pas-pasan.

Mimpi yang sempat ia kubur muncul kembali setelah ibunya meninggal. Segala cara sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ibunya. Akan tetapi, penyakit yang sudah sangat parah membuat ibunya tidak bisa lagi diselamatkan. Hari itu adalah hari tersedih dalam hidupnya. Ia kehilangan ibunya, orang yang paling ia sayangi. Ia pun berjanji bahwa ia akan meraih mimpinya demi sang ibu. Itulah janjinya.

.

.

.

Keesokan harinya Jaejoong kembali menemui Yoochun. Keputusannya sudah bulat. Ia sudah memikirkannya matang-matang.

Yoochun tidak berharap bahwa Jaejoong akan menemuinya lagi. Jika Jaejoong kembali menemuinya, itu berarti satu hal. Ini buruk. Ini benar-benar buruk. "Ada apa kau datang menemuiku?"

Jaejoong mencengkeram bagian depan bajunya. Ia merasa sangat gugup. "Aku sudah memikirkannya dengan matang."

"Apa?" Yoochun berpura-pura lupa akan pembicaraan mereka kemarin.

"Tolong kenalkan aku kepada sponsor!" Jaejoong tampak tidak rela, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain.

Raut wajah Yoochun menegang. "Apa kau pikir aku kenal dengan sponsor?"

Jaejoong merasa yakin bahwa Yoochun pasti mengenal seseorang yang bisa menjadi sponsornya. "Kau pasti mengenal seseorang. Kau bergaul dengan orang-orang dari kelas atas. Kau berteman dengan orang-orang kaya. Salah satu di antara mereka bisa menjadi sponsorku."

Yoochun merasa terintimidasi oleh tatapan Jaejoong. Wanita di hadapannya ini tidak sedang main-main. "Baiklah! Aku akan mencarikannya untukmu. Beri aku waktu beberapa minggu. Kau tahu? Ini tidak mudah. Aku harus berhati-hati untuk menanyakan hal ini kepada mereka."

"Tidak masalah, asalkan aku bisa debut." Jaejoong terlihat pasrah dengan keputusan yang telah ia ambil.

"Jaejoong..." Yoochun merasa perlu kembali bertanya kepada Jaejoong. "Kau tahu kan apa saja risikonya? Bukan hanya karirmu, hidupnya juga akan hancur jika publik sampai tahu bahwa kau menggunakan sponsor. Mungkin hidupmu akan berakhir di penjara."

Jaejoong merasa takut oleh perkataan Yoochun. Namun, ia sudah bertekad bahwa ia akan menghadapi apa pun demi menggapai impiannya. "Aku siap untuk menanggung semua risikonya."

.

.

.

Minggu demi minggu berlalu. Jaejoong merasa sangat cemas menunggu kabar dari Yoochun. Sudah lebih dari sebulan, tetapi pria berdahi lebar itu belum juga memberikan kabar apa pun. Ia pun memutuskan untuk menelepon pria itu. "Halo, Tn. Park! Aku Jaejoong."

"Oh, Jaejoong! Aku baru saja bermaksud untuk menghubungimu," balas Yoochun.

Jantung Jaejoong berdebar-debar. Apakah Yoochun sudah menemukan sponsor untuknya?

"Aku sudah menemukan seseorang yang mau menjadi sponsormu," lanjut Yoochun.

Jaejoong tiba-tiba merasa takut. Detak jantungnya semakin kencang. Apa yang akan terjadi kepadanya setelah ini? Ia tidak berani untuk memikirkannya. Ia harus fokus pada tujuannya.

"Besok malam aku akan membawamu untuk menemuinya. Belilah gaun yang pantas dan berdandanlah yang cantik dan anggun! Kita akan makan malam dengannya di restoran hotel berbintang lima." Yoochun memberi pengarahan kepada Jaejoong.

Jaejoong mulai panik dan stres. Gaun? Ia tidak punya gaun yang pantas. Ia juga tidak punya uang untuk membelinya. Apakah ia harus meminjam uang sekalian dari Yoochun? Ia tidak bisa menemui pria itu dengan segera. Ia akan mencoba untuk meminjam uang dari trainee lain atau seniornya di agensi tersebut.

.

.

.

Dengan susah payah Jaejoong mendapatkan pinjaman uang untuk membeli gaun. Para trainee lain menatapnya curiga saat ia mengatakan bahwa ia sedang membutuhkan uang. Ia mengatakan kepada mereka bahwa sepupu jauhnya sedang sakit dan memerlukan uang untuk biaya pengobatan. Tentu saja mereka tidak percaya kepadanya. Selama ini yang mereka tahu ia adalah seseorang yang sebatang kara, tidak punya siapa-siapa lagi.

Para trainee itu juga tidak punya uang sama seperti Jaejoong. Jikalau ada, mereka enggan untuk meminjamkannya kepada Jaejoong. Bagaimana Jaejoong bisa membayar utangnya? Mereka takut Jaejoong tidak akan bisa mengembalikannya.

Jaejoong masih memiliki sedikit keberuntungan. Saat ia memohon-mohon kepada trainee lain untuk dipinjamkan uang, lewatlah seniornya yang sudah menjadi seorang penyanyi. Seniornya itu berusia lebih muda darinya, tetapi telah debut terlebih dahulu sebagai anggota dari grup idola yang sedang populer. Seniornya itu memberikannya uang. "Ambilah! Gunakan uang itu untuk pengobatan sepupumu!"

"Terima kasih, Sunbae!" Jaejoong seperti menemukan setetes air di tengah padang pasir. "Aku pasti akan segera mengembalikannya."

"Tidak perlu." Senior itu tersenyum kaku. Ia memandang dengan kasihan ke arah Jaejoong. Ia tidak yakin Jaejoong akan bisa mengembalikan uang pinjaman darinya.

.

.

.

Dengan uang seadanya yang diberikan oleh seniornya, Jaejoong membeli sebuah gaun. Harganya tidak terlalu mahal, tetapi gaun tersebut terlihat mewah. Ia memang memiliki selera yang tinggi dan pandai memilih barang murah tetapi tampak mahal.

Pukul 18.30 Jaejoong sudah siap menunggu Yoochun yang akan menjemputnya di belakang gedung agensinya. Ia berdiri agak tersembunyi agar tidak ada orang lain yang melihatnya. Tidak boleh ada yang tahu bahwa ia akan bertemu dengan sponsornya malam ini.

Mobil Ferrari Yoochun berhenti di hadapan Jaejoong. Ia mempersilakan wanita itu untuk naik ke dalam mobilnya.

"Mobilmu sangat bagus, Tn. Park. Aku belum pernah melihatmu dengan mobil ini sebelumnya," komentar Jaejoong. Jok mobil mahal terasa sangat empuk.

Yoochun terkekeh. "Tidak mungkin aku membawa mobil ini untuk pergi bekerja. Aku mengendarainya hanya saat aku menemui teman-temanku." Dengan jabatannya sebagai manajer artis di sebuah agensi kecil, rasanya aneh ia bisa membeli mobil semahal itu. "Mobil ini adalah hadiah dari salah satu temanku."

"Ah..." Jaejoong merasa semakin yakin bahwa pria di sebelahnya itu bergaul di lingkungan kelas atas. Sponsor yang dicarikan oleh Yoochun untuknya juga pasti bukan orang sembarangan.

.

.

.

Dengan sangat gugup Jaejoong menggandeng lengan Yoochun yang membawanya memasuki lobi hotel. Detak jantungnya semakin kencang.

"Santai saja! Jangan terlihat gugup!" Yoochun dapat merasakan tangan Jaejoong yang bergetar. "Kau akan mengacaukannya jika kau menunjukkan kegugupanmu."

Jaejoong berusaha untuk menenangkan dirinya. Semuanya harus berjalan dengan lancar malam ini. Ini demi masa depannya.

Yoochun membawa Jaejoong memasuki restoran tempat mereka dan calon sponsor Jaejoong akan bertemu. Ia melihat pria itu sudah ada di salah satu meja di restoran tersebut. Ia pun segera berjalan ke arah pria tersebut. "Tn. Jung, maaf kami datang terlambat." Ia merasa tidak enak kepada pria yang ia panggil Tn. Jung tersebut.

Pria bernama Tn. Jung itu tersenyum kepada Yoochun. Sekilas ia melirik ke arah Jaejoong. "Tidak apa-apa. Bukan kalian yang datang terlambat, melainkan aku yang datang terlalu cepat. Silakan duduk!"

Jaejoong menatap pria yang akan menjadi sponsornya. Ia mengira bahwa calon sponsornya itu pasti berusia di atas empat puluh tahun, tetapi pria di hadapannya ini masih muda. Ia merasa takut. Rasanya ia ingin menangis dan melarikan diri dari sana.

"Tn. Jung, ini adalah Kim Jaejoong yang kuceritakan kepadamu." Yoochun memperkenalkan Jaejoong kepada Tn. Jung. Ia melihat Jaejoong yang terlihat sangat tegang.

Tn. Jung tersenyum kepada Jaejoong. "Selamat malam, Nn. Kim! Mungkin kau sudah tahu siapa aku, atau mungkin juga tidak. Hahaha!" Moodnya terlihat sangat cerah malam ini.

Jaejoong tersenyum kaku. Ia benar-benar ingin menangis. Ia ingin lari, tetapi ia tidak bisa.

"Jaejoong, Tn. Jung adalah seorang pengusaha yang cukup terkenal di negeri ini. Mungkin kau pernah membaca artikel mengenai dirinya di majalah." Yoochun memberi tahu siapa Tn. Jung itu sebenarnya kepada Jaejoong. Ia tidak yakin Jaejoong mengetahui pria itu.

Jaejoong tidak sanggup untuk berkata-kata. Ia memaksakan senyumannya kepada Yoochun.

"Nn. Kim terlihat tegang sekali. Sepertinya ia takut kepadaku." Tn. Jung masih menatap wajah cantik Jaejoong. Ia terpesona kepada wanita itu.

"Tidak, ia tidak takut kepadamu," sangkal Yoochun. "Ia hanya merasa gugup karena bisa bertemu dengan orang sehebat dirimu, yang sukses pada usia yang masih sangat muda."

"Ah, kuharap begitu. Aku akan merasa sedih jika Nn. Kim merasa takut kepadaku." Pandangan Tn. Jung masih lekat menatap Jaejoong.

"Kau tidak perlu khawatir, Tn. Jung," ujar Yoochun. "Ayo, Jae! Katakan sesuatu kepada Tn. Jung agar ia tidak mengira bahwa kau takut kepadanya."

"Selamat malam, Tn. Jung!" lirih Jaejoong. Ia menunduk, tidak berani menatap Tn. Jung.

"Suaramu terdengar sangat merdu, walaupun kau berbicara sangat pelan," komentar Tn. Jung.

"Ia bisa menyanyi dengan suara yang lantang. Jika kau mau, kau bisa menyuruhnya menyanyi untuk membuktikan hal tersebut." Yoochun memuji-muji kemampuan Jaejoong di hadapan Tn. Jung.

"Tidak perlu. Aku percaya. Aku bisa memintanya untuk menyanyi untukku nanti. Sekarang lebih baik kita makan terlebih dahulu. Aku sudah lapar," ujar Tn. Jung. "Kau juga pasti sudah merasa lapar kan, Nn. Kim?" Ia bertanya kepada Jaejoong sambil menyunggingkan senyuman khasnya.

"Ah... ya!" Jaejoong tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya melayang jauh.

.

.

.

Jaejoong melihat-lihat buku menu. Semua makanannya mewah dan mahal. Dengan kondisi ekonominya saat ini ia tidak akan bisa membelinya. Bisa makan sekali dalam sehari saja sudah beruntung. Ia tampak bingung memilih makanan yang akan ia makan malam ini.

Tn. Jung terus memperhatikan Jaejoong yang terlihat kebingungan. Sesekali wanita itu menggigit bibir bawahnya, menggemaskan sekali. "Apakah kau sedang menjalankan diet yang diwajibkan perusahaan untuk para trainee?"

"Perusahaan memang menyuruhnya untuk berdiet. Akan tetapi, untuk malam ini aku izinkan ia untuk melanggarnya. Aku yang akan mempertanggungjawabkannya kepada pimpinan." Yoochun berbicara mewakili Jaejoong. Ia harus menjaga mood Tn. Jung malam ini.

Tn. Jung merasa kasihan melihat Jaejoong yang terlalu kurus. Wanita itu mengenakan gaun dengan bahu terbuka, menampakkan cekungan pada bahunya. "Kau sudah terlalu kurus. Kau tidak perlu berdiet lagi mulai sekarang." Ingin rasanya ia memeluk wanita itu dan memberinya makan.

Jaejoong memilih daging sebagai menu makan malamnya. Sudah lama sekali ia tidak memakan daging. Selain karena ia harus berdiet, ia juga tidak sanggup untuk membeli daging.

Tn. Jung merasa sangat sedih melihat wanita di hadapannya itu. Wanita itu tampak bahagia karena bisa makan daging. Hidup wanita itu pasti sangat keras dan sulit, sampai-sampai wanita itu membutuhkan sponsor untuk membantunya.

Setelah makan malam, Tn. Jung kembali berbincang-bincang dengan Yoochun. Ia menanyakan semua hal yang ingin ia ketahui tentang Jaejoong kepada Yoochun. Sesekali ia melirik ke arah Jaejoong yang hanya terdiam membisu sambil menundukkan kepala. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh wanita itu.

Malam semakin larut. Yoochun berpamitan kepada Tn. Jung. Tak lupa ia juga 'menitipkan' Jaejoong kepada Tn. Jung.

Mimpi buruk Jaejoong akan segera dimulai. Kini ia hanya sendirian. Tidak ada yang bisa menolongnya malam ini.

Tn. Jung membawa Jaejoong ke kamarnya di hotel tersebut. Ia memesan kamar paling mewah di hotel tersebut.

Setibanya di dalam kamar, Tn. Jung langsung memeluk tubuh Jaejoong dari belakang. Ia mencium leher mulus Jaejoong. "Akhirnya aku bisa memelukmu." Ia terus menciumi leher Jaejoong sampai ke bahu Jaejoong yang terekspos.

Jaejoong mencoba untuk menahan tangisnya. Tubuhnya menegang. Hatinya terasa sangat sakit.

Tn. Jung tahu bahwa Jaejoong tidak ingin disentuh olehnya. Namun, wanita muda itu tidak berdaya untuk menolaknya. Wanita itu memerlukan bantuannya untuk menjadi seorang penyanyi terkenal. Ia pun mencoba untuk tidak menghiraukan rasa kasihannya kepada wanita itu. Ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Ia mengeratkan pelukannya pada pinggang Jaejoong.

Jaejoong tidak bisa lagi menahan tangisannya saat pria itu menelanjangi dirinya. Ia tidak peduli bahwa tangisannya itu akan mengacaukan segalanya. Yang ingin ia lakukan sekarang adalah menangis. Ia berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Esok pagi ia akan terbangun dari tidurnya dan semuanya akan baik-baik saja.

Tn. Jung merasa tidak tega, benar-benar tidak tega untuk menyakiti wanita itu, membuatnya menangis. Akan tetapi, ini adalah haknya. Wanita itu mempunyai kewajiban untuk melayaninya.

Tangis Jaejoong semakin keras. Rasanya ia ingin mati bunuh diri saja. Detik ini ia lupa akan impiannya untuk menjadi seorang bintang. Ia hanya ingin menangis, menangis, dan menangis.

Tn. Jung membungkam mulut Jaejoong dengan bibirnya. Ia mencium Jaejoong dengan paksa. Ia tidak menghiraukan penolakan Jaejoong.

Jaejoong tidak berdaya saat pria itu mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia pasrah. Tubuhnya lemas tak bertenaga. Ia hanya bisa pasrah, menyerah kepada pria itu.

Pikiran Jaejoong kosong. Ia merasa hancur. Ia tidak bisa menikmati apa pun yang pria itu lakukan kepadanya. Ia juga tidak melawan saat pria itu menggerayangi tubuhnya, menyentuh setiap inchi tubuhnya. Ia hanya bisa menangis, menangis sekeras mungkin.

Tn. Jung tidak bahagia melakukan hal ini. Malam ini ia berubah menjadi orang jahat. Hatinya juga merasa sakit melihat setiap butir air mata yang jatuh membasahi pipi Jaejoong.

"Ayah, apakah itu kau?" Seorang gadis kecil berusia lima tahun terbangun dari tidurnya karena mendengar tangisan. Ia turun dari atas sofa tempatnya berbaring sambil memeluk sebuah boneka beruang yang telah usang. Ia tertidur saat sedang menunggu ayahnya kembali.

Tn. Jung melemparkan selimut untuk menutupi tubuh telanjang Jaejoong. Ia kemudian menghampiri putrinya. "Ya, ini ayah, Sayang!" Ia memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Mengapa ayah meninggalkanku lama sekali?" Gadis kecil itu menggembungkan pipinya, marah. "Aku tidak suka makan sendirian."

Tn. Jung tersenyum. Ia membelai rambut putrinya. "Maafkan ayah! Ayah ada urusan penting, sehingga ayah terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini. Ayah berjanji bahwa ayah tidak akan pernah melakukannya lagi. Jiyoolie mau kan memaafkan ayah?"

Gadis kecil bernama Jung Jiyool itu tersenyum kepada ayahnya. Ia tidak bisa marah kepada sang ayah. Ia sangat menyayangi ayahnya itu. Ia hanya punya ayahnya di dunia ini. "Aku memaafkan ayah." Ia memeluk sang ayah.

Tn. Jung juga sangat menyayangi putri semata wayangnya itu. Gadis kecil itu sangat malang, tidak pernah mengenal siapa ibunya.

Jiyool menyadari kehadiran orang lain di sana. Ia tidak suka orang lain mengganggu kebersamaannya bersama sang ayah. Ayahnya adalah miliknya seorang. "Ayah, siapa wanita itu? Mengapa ayah membawanya ke kamar kita?"

Tn. Jung melihat ke arah Jaejoong. Wanita itu sudah memakai kembali pakaiannya. "Jika kau mau, kau bisa memanggilnya 'ibu'. Malam ini ia akan tidur bersama kita."

"Ibu?" Jiyool menatap sang ayah sambil mengerutkan keningnya. Semua anak di kelompok bermainnya mempunyai ibu, sedangkan dirinya tidak. Namun, ia tidak pernah bersedih hanya karena tidak mempunyai ibu sebab ia mempunyai seorang ayah yang lebih dari apa pun di dunia ini.

"Ya, ibu." Tn. Jung menuntun tangan putrinya untuk mendekat ke arah Jaejoong.

Jaejoong membeku melihat gadis kecil itu. Gadis kecil itu sangat mirip dengan sang ayah, terutama matanya yang sipit dan tajam. Tubuhnya bergetar. Belum cukup menyedihkan apa yang telah ia alami malam ini. Apa yang ia lihat kali ini membuat hatinya semakin hancur. Ia tidak sanggup untuk menatap gadis kecil itu.

Jaejoong menundukkan pandangannya. Ia melihat tangan mungil itu memeluk sebuah boneka beruang usang. Seketika ia teringat akan ibunya. Ibunya pernah membelikannya sebuah boneka beruang sebagai hadiah ulang tahun.

"Kau menginginkan hadiah apa sebagai hadiah ulang tahunmu?"

"Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya ingin ibu terus selamanya berada di sisiku."

"Tahun lalu ibu tidak bisa memberikan apa-apa di hari ulang tahunmu. Tahun ini ibu ingin membelikan sesuatu sebagai hadiah ulang tahunmu. Kebetulan ibu sedang mempunyai sedikit uang. Katakan hadiah apa yang kau inginkan!"

"Tidak usah, Bu. Lebih baik uangnya ibu simpan untuk membeli makanan."

"Nak, maafkan ibu karena ibu tidak bisa memberikanmu kehidupan yang layak! Jika kau tidak ingin mengatakan apa yang kau inginkan, biar ibu saja yang akan memilihkan hadiah ulang tahun untukmu."

"Terima kasih, Bu! Boneka beruangnya bagus sekali. Aku akan membawa boneka beruang ini ke mana pun aku pergi. Aku tidak akan pernah membuangnya, walaupun boneka ini sudah jelek dan aku tumbuh besar, karena boneka ini adalah pemberian ibu yang sangat berharga. Aku bahkan akan mewariskannya kepada anak perempuanku kelak."

Jaejoong tersadar dari lamunannya saat Jiyool berada tepat di hadapannya. Gadis kecil itu memandangnya dengan mata sipitnya.

"Jaejoong, apakah kau tidak ingin menyapa putriku?" tanya Tn. Jung. Raut wajahnya terlihat sangat emosional saat ini.

Jaejoong berjongkok agar setara dengan Jiyool. "Hai, Jiyoolie!"

Jiyool terus menatap Jaejoong. Ayahnya tidak pernah membawa orang asing pulang malam-malam. Wanita ini pasti sangat istimewa. "Ibu?"

Hati Jaejoong bagaikan tertusuk pisau saat Jiyool memanggilnya 'ibu'. Rasanya sakit, sakit sekali. Perlahan ia membawa gadis kecil itu ke dalam dekapannya. Ia memeluk Jiyool dengan erat. Malang sekali gadis kecil itu, ditinggalkan oleh ibunya sejak kecil. Setidaknya ia lebih beruntung karena ibunya pergi meninggalkan dirinya pada saat usianya sembilan belas tahun, setelah ia dewasa.

"Sekarang sudah malam. Ayo kita tidur!" Tn. Jung menginterupsi momen Jaejoong dan Jiyool.

Jaejoong berbaring di atas tempat tidur bersama Tn. Jung dan Jiyool. Ia ingin terus memeluk gadis kecil itu.

"Ayah, ceritakan dongeng pengantar tidur untukku!" pinta Jiyool.

"Kali ini ibu yang akan menceritakan dongeng untukmu," ujar Tn. Jung.

Jaejoong tidak pernah menceritakan dongeng sebelumnya. Ia juga tidak percaya akan dongeng mengenai putri yang akhirnya bertemu dan diselamatkan oleh pangeran berkuda putih. Dongeng-dongeng semacam itu terlalu mengada-ada bagi dirinya yang tidak pernah merasakan kebahagiaan. Dongeng-dongeng semacam itu hanya akan membuat anak-anak terus bermimpi bahwa kebahagiaan akan datang. Kebahagiaan akan datang jika kita berusaha untuk meraihnya.

"Alkisah, hiduplah seorang anak perempuan bernama J." Jaejoong mulai bercerita. "Setiap malam ia terus memandangi bintang di langit. Ia sangat mengagumi bintang yang bercahaya di langit. Suatu hari muncul keinginan untuk menyentuh bintang tersebut. Ia ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh bintang. Apakah bintang akan terasa hangat saat disentuh?"

Jiyool mendengarkan cerita Jaejoong dengan seksama. "Bintang sangat jauh di atas langit. Bagaimana anak itu akan menyentuhnya?"

Jaejoong tersenyum kepada Jiyool. "Ya, anak itu pun tidak tahu bagaimana caranya. Ia memikirkan berbagai cara untuk menggapai bintang. Ia naik ke atas atap rumahnya, tetapi ia tetap tidak bisa menjangkaunya. Bintang itu terlalu tinggi. Cara lainnya ia juga coba. Namun, tak satu pun membuatnya berhasil menggapai bintang. Ia terus berpikir mencari cara lain. Ia gagal, kemudian ia memikirkan cara lain. Tak kunjung berhasil, ia pun merasa lelah, bosan, dan putus asa. Namun, meskipun demikian, ia tetap percaya bahwa tidak mustahil baginya untuk menggapai bintang itu. Walaupun ia lelah, ia tetap harus berusaha dan mencari cara untuk menggapai bintang itu." Ia menoleh ke sampingnya. Gadis kecil itu sudah terlelap.

Jaejoong kemudian memandang ayah si anak. Pria itu sedang menatapnya dengan penuh kekaguman. Ia pun menjadi salah tingkah. Ia bangun dari posisi berbaringnya. "Apakah aku sudah boleh pergi?" Ia memalingkan wajahnya, tidak ingin memandang ke arah Tn. Jung.

"Sekarang sudah larut. Bagaimana kau akan pergi meninggalkan hotel ini?" Tn. Jung masih menatap Jaejoong dengan lemah.

"Aku bisa pulang naik taksi," jawab Jaejoong. Ia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membayar ongkos taksi. Uang yang ia miliki sudah ia habiskan untuk membeli gaun yang ia pakai malam ini. Uang yang diberikan oleh seniornya tidak cukup.

"Pergilah jika kau ingin pergi! Aku tidak akan mencegahmu," ujar Tn. Jung. "Namun, aku sangat berharap kau mau tinggal."

Jaejoong memejamkan matanya. Ini sangat berat baginya. Sebagian kecil hatinya menginginkan untuk tetap tinggal bersama pria itu dan anaknya, meskipun hanya semalam. Namun, sebagian hatinya memaksa dirinya untuk pergi. "Aku pergi."

.

.

.

Keluar dari hotel, Jaejoong berjalan kaki menyusuri jalan utama. Ia tidak mempunyai uang sepeser pun. Ia memeluk tubuhnya yang kedinginan karena tidak mengenakan jaket atau mantel. Hal ini sudah biasa baginya. Ia bahkan pernah merasakan hidup sebagai tunawisma.

Tanpa sepengetahuan Jaejoong, Tn. Jung memperhatikan Jaejoong dari jendela kamar hotelnya. Hatinya terasa tercabik-cabik melihat wanita itu berjalan di tengah gelapnya malam. "Mengapa kau menolak untuk tinggal?"

Tanpa kenal lelah Jaejoong terus berjalan. Tetes-tetes air mulai turun dari langit. "Sialan!" Sial sekali ia malam ini. Setelah malam ini berlalu, semoga nasib baik menghampirinya.

Tidak ada waktu untuk beristirahat atau hanya sekedar berteduh. Jaejoong harus sampai di asrama sebelum terang. Rekan-rekan sesama trainee akan bertanya-tanya ke mana ia pergi semalaman, apalagi ia mengenakan gaun.

Jaejoong mendengar klakson mobil dibunyikan di belakangnya. Hal itu membuatnya sangat kesal. Ingin sekali ia menghardik si pengendara mobil yang membunyikan klakson. Ia pun berbalik. Ia memicingkan matanya karena silau terkena sorotan lampu mobil.

"Masuklah! Aku akan mengantarmu ke asrama." Pria tampan bernama Tn. Jung Yunho itu keluar dari dalam mobilnya dengan membawa payung.

Jaejoong terdiam membeku. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia senang melihat pria itu datang menyelamatkannya. Di sisi lain ia merasa kesal karena kehadiran pria itu di dekatnya akan mendatangkan masalah baru baginya.

Tubuh Jaejoong sudah basah kuyup. Sepertinya ia tidak memiliki pilihan lain. Ia pun menerima ajakan pria itu. "Aku akan membuat jok mobilmu basah."

Yunho menghela nafas. "Kau tidak usah memikirkan jok mobilku. Pikirkan saja keadaanmu sekarang. Kau basah kuyup. Jika kau kehujanan lebih lama lagi, kau akan sakit."

Dengan ragu-ragu Jaejoong masuk ke dalam mobil pria itu. "Tidak seharusnya kau meninggalkan putrimu sendirian."

Yunho menoleh ke jok belakang mobilnya. "Aku tidak meninggalkannya. Ia tidur dengan damai di belakang. Aku tidak akan pernah meninggalkannya."

Jaejoong tersentak oleh kata-kata Yunho. Begitu besar kasih sayang Yunho kepada Jiyool. Hatinya berdenyut sakit.

"Sejak ibunya pergi meninggalkan kami, aku tidak pernah meninggalkannya. Aku selalu membawanya kemana pun aku pergi." Yunho tersenyum lemah.

Tubuh Jaejoong bergetar. Tangannya mencengkeram bagian depan gaunnya. Ia tertunduk.

"Ia hanya memiliki diriku seorang. Pada hari ibunya pergi meninggalkan kami, hatiku sangat hancur. Bintang yang selalu menerangi malam-malam gelapku menghilang." Yunho bercerita dengan suara yang parau. Ia tidak sanggup mengingat kembali kejadian itu. "Ingin rasanya aku mati bunuh diri. Aku merasa hidupku tak berarti lagi. Namun, tangis bayiku menyadarkanku. Aku masih punya dia, bintang kecilku." Ia sedikit menoleh ke belakang, tersenyum melihat putri kecilnya. "Hidupku tidak sepenuhnya gelap. Masih ada bintang kecil yang menerangi."

"Hentikan!" Jaejoong menggertakkan giginya, menggigil kedinginan. "Sudah sampai."

Yunho menghentikan mobilnya. Ia memandang wanita yang terburu-buru keluar dari mobilnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, wanita itu berlari menjauh.

.

.

.

Hari-hari Jaejoong tak lagi sama. Pertemuannya dengan Jung Yunho, sponsornya, telah mengubah hidupnya. Bukan pria itu yang mengganggu pikirannya, melainkan gadis kecil yang bernama Jung Jiyool.

Jaejoong tidak bisa berkonsentrasi saat berlatih vokal. Ia menjadi sasaran kemarahan pelatihnya.

"Jaejoong, bos memanggilmu!" Seorang pesuruh tiba-tiba masuk ke dalam ruang latihan dan memanggil Jaejoong.

"Tidak bisakah kau lihat bahwa Jaejoong sedang berlatih?" Sang pelatih memarahi pesuruh tersebut.

"Akan tetapi, ini perintah bos," ujar pesuruh itu.

"Baiklah." Pelatih tersebut tidak bisa mengabaikan perintah atasan. Ia pun mengizinkan Jaejoong untuk memenuhi CEO perusahaan mereka.

Jaejoong merasa sangat gugup. Ada apa gerangan pimpinan memanggilnya? Selama ini ia tidak pernah berhasil untuk menemui orang itu.

Di depan kantor CEO, Yoochun berdiri menyambut kedatangan Jaejoong. Ia berbisik saat Jaejoong lewat di depannya. "Selamat! Akhirnya kau mendapatkan apa yang kau inginkan."

Jaejoong menoleh ke arah pria berdahi lebar itu sambil mengerutkan keningnya. Mengapa Yoochun mengatakan hal itu?

"Silakan duduk, Kim Jaejoong!" CEO Toscana Entertainment, Kim Junsu, mempersilakan Jaejoong duduk di kantornya.

"Ada apa Tn. Kim memanggilku?" Jaejoong terlihat sangat tegang. Ini adalah pertama kalinya ia bertatap muka secara langsung dengan CEO agensinya.

"Kim Jaejoong, setelah aku memantau dan menilai perkembanganmu, kupikir sudah saatnya kau debut sebagai penyanyi solo," ujar CEO Kim.

Jaejoong sulit memercayai apa yang baru saja ia dengar dari bosnya. Jantungnya serasa melompat keluar. Impiannya untuk menjadi seorang penyanyi terkenal akan segera terwujud. "Benarkah?"

CEO Kim mengangguk. Ia duduk bersandar pada kursinya dengan tenang. "Selama dua bulan ke depan kau akan sangat sibuk mempersiapkan single untuk debutmu. Jangan lupa jaga kesehatanmu! Kau terlalu kurus, naikkan berat badanmu sedikit! Aku tidak ingin kau jatuh pingsan di atas panggung debutmu."

Betapa bahagianya Jaejoong. Semua penderitaannya selama ini seolah terbayar oleh kabar baik yang ia dengar dari CEO agensinya.

.

.

.

Jaejoong benar-benar sibuk. Namun, ia sama sekali tidak merasa lelah. Inilah yang ia inginkan. Sebentar lagi impiannya akan terwujud. Ia akan menyanyi di atas panggung, menunjukkan bakatnya kepada masyarakat Korea Selatan.

Kebahagiaan Jaejoong meluap-luap. Ia terlalu fokus dengan persiapan debutnya, sehingga ia lupa bahwa ia masih punya urusan dengan sponsornya. Menjelang akhir pekan ia dihubungi oleh nomor telepon yang tidak ia kenal. "Halo? Kim Jaejoong di sini."

"Jaejoong, ini Jung Yunho. Pukul berapa hari ini pekerjaanmu selesai?"

Jantung Jaejoong berdetak dengan sangat cepat saat ia mendengar suara berat pria yang mensponsorinya itu. Ia merasa sangat khawatir, sampai lidahnya tak kuasa untuk menjawab pertanyaan pria tersebut.

"Jaejoong, apakah kau mendengarkanku?"

Jaejoong tersentak. Ia tersadar dari lamunannya. "Ya, aku mendengarmu."

"Jadi, pukul berapa aku bisa menjemputmu?"

Jaejoong berubah panik. Ia tidak ingin pria tersebut menjemputnya di gedung agensinya. Ia tidak ingin orang-orang yang mengenalnya melihat dirinya bersama pria itu. Seorang Kim Jaejoong dijemput oleh seorang pria kaya? Itu terlalu mencurigakan. "Kau tidak perlu menjemputku. Katakan saja di mana aku harus menemuimu. Aku akan datang."

Terdengar tawa dari Tn. Jung. "Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah memikirkan semuanya. Nanti akan ada taksi yang menunggumu di belakang gedung agensimu."

Jaejoong bisa sedikit bernafas dengan lega. "Aku tidak tahu kapan pekerjaanku akan selesai. Masih banyak yang harus dikerjakan." Ia berharap pria itu membatalkan pertemuan mereka.

"Oh, baiklah." Terdengar nada kecewa dari perkataan Tn. Jung.

Jaejoong menutup teleponnya dengan perasaan lega. Ia bisa menghindar dari sponsornya itu. Lain kali ia harus memikirkan cara lain untuk menghindar. Ia pun kembali bersemangat untuk melanjutkan persiapan debutnya.

.

.

.

Pukul lima sore Jaejoong masih memperdengarkan lagu ciptaannya kepada produser. Namun, tiba-tiba saja produser menghentikannya. "Kita lanjutkan lain kali saja." Ia melirik jam tangannya.

"Akan tetapi, kau belum selesai mendengarkan laguku," ujar Jaejoong.

"Aku ada urusan lain. Kita lanjutkan saja hari Senin." Produser tersebut tampak sangat terburu-buru.

"Senin? Tidak bisa besok saja?" Jaejoong tampak sangat tidak sabaran.

Produser tersebut menghela nafas. "Aku harus mengerjakan hal lain sampai hari Senin. Aku juga memproduseri artis lain."

Jaejoong tampak kecewa. Namun, ia tidak bisa terlalu banyak berharap. Ia hanyalah seseorang yang baru akan debut. Ia tidak bisa memaksa produser untuk lebih memprioritaskannya.

Ponsel Jaejoong berdering. Tn. Jung meneleponnya lagi. "Halo?"

"Taksi sewaanku sudah sampai."

Jaejoong merasa kesal. Ia mengira bahwa pertemuan mereka dibatalkan.

"Agendamu hari ini sudah selesai, bukan?"

Jaejoong tidak bisa menghindar lagi. Bagaimana pria itu bisa tahu bahwa agendanya sudah selesai? Pria itu pasti mengetahui semua jadwal kegiatannya dari sang manajer.

.

.

.

Jaejoong pergi ke hotel yang sama seperti saat ia berjumpa dengan Tn. Jung minggu lalu. Ia langsung pergi menuju kamar pria itu.

"Selamat datang, Jaejoong!" Yunho membukakan pintu kamar hotelnya untuk Jaejoong. "Kami sudah lama menunggumu."

Kami? Jaejoong mengerutkan keningnya. Ia melihat putri Tn. Jung ada di sana.

"Aku sudah memesan makan malam untuk kita bertiga. Sebentar lagi makanannya akan sampai." Yunho berjalan menghampiri putrinya. "Jiyoolie, ayo ucapkan salam kepada ibu!"

Jiyool menuruti perintah ayahnya. Ia adalah anak yang penurut.

Pandangan Jaejoong tertuju pada boneka usang di tangan Jiyool. Ia tidak pernah melihat gadis kecil itu melepaskan bonekanya.

"Aku memesan daging sapi panggang dengan saus pedas. Apa kau menyukainya?" tanya Tn. Jung kepada Jaejoong.

"Bukankah ayah tidak suka makanan pedas? Nanti penyakit maag ayah kambuh," celetuk Jiyool. Ia sangat perhatian kepada sang ayah.

Yunho tersenyum kepada putrinya. Ia membelai kepala sang anak. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan ayah, Sayang. Itu untuk ibu. Tentu saja ayah memesan menu lain. Ibu sangat menyukai makanan pedas."

Jaejoong terdiam membeku. Pria itu bahkan sangat hapal makanan yang ia sukai.

.

.

.

Jaejoong merasa sangat lapar. Namun, ia tidak memiliki selera untuk makan. Perhatiannya tertuju kepada Jiyool.

"Ayah, aku kesulitan untuk memotong dagingnya." Setelah bersusah payah untuk memotong daging, Jiyool akhirnya menyerah.

"Sini biar ayah potong kecil-kecil daging panggang milikmu." Dengan penuh perhatian Yunho memotongkan daging panggang untuk putrinya.

"Terima kasih, Ayah!" Senyum Jiyool terkembang.

"Mengapa kau tidak memakan makananmu, Jae? Bukankah itu makanan kesukaanmu?" Sejak tadi Yunho memperhatikan Jaejoong.

"Ibu harus makan. Jika tidak, nanti ibu akan sakit maag seperti ayah." Jiyool menusuk sepotong daging panggang di atas piringnya dengan garpu dan membawanya ke depan mulut Jaejoong. "Sini aku suapi!"

Jaejoong tidak bisa menolak gadis kecil itu. Ia memakan daging dari garpu milik Jiyool. Ia merasa sangat terharu. Ini adalah makanan terenak yang ia makan selama lima tahun terakhir.

"Jika ayah sakit, aku juga selalu menyuapi ayah." Jiyool menusuk sepotong daging lagi untuk Jaejoong.

Mata Jaejoong mulai berkaca-kaca. Ia ingin menangis karena rasa haru yang membuncah.

"Apakah ibu menangis?" Jiyool melihat setitik air mata yang hampir jatuh dari mata Jaejoong. Ia adalah anak yang sangat cerdas.

Jaejoong segera mengusap matanya. "Aku teringat akan ibuku."

Jiyool tidak mengerti akan arti seorang ibu. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Yang ia tahu adalah ayahnya sangat berarti bagi dirinya.

.

.

.

Setelah makan, Jaejoong bermain dengan Jiyool. Lebih tepatnya anak itu yang mengajaknya bermain.

Pandangan Jaejoong tertuju pada boneka usang di tangan Jiyool. Tanpa sadar ia menyentuh boneka itu.

"Jangan sentuh bonekaku!" Jiyool menatap Jaejoong dengan marah. Ia menyembunyikan bonekanya di balik punggungnya.

Jaejoong terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Jiyool akan menjadi semarah itu saat ia menyentuh boneka milik anak itu.

Yunho, yang sejak tadi memperhatikan anaknya bermain bersama Jaejoong, langsung menghampiri anaknya. "Jiyoolie, kau tidak boleh bersikap seperti itu kepada ibu."

"Ia ingin mengambil bonekaku." Jiyool mengadukan Jaejoong kepada ayahnya.

Yunho menggendong Jiyool. Ia memeluk putrinya itu. "Tidak, ibu tidak bermaksud untuk mengambil bonekamu. Boneka itu milikmu. Tidak akan ada yang berani merebutnya darimu."

Jiyool menangis dalam gendongan ayahnya. Tangannya memeluk bonekanya dengan erat.

Yunho berusaha untuk menenangkan putrinya. Ia terlihat sangat sabar. Selama lima tahun ia membesarkan putrinya sendirian. Tentunya ia sudah sangat berpengalaman mengatasi kondisi seperti ini.

Jaejoong terus memperhatikan interaksi ayah dan anak itu. Ia melihat kasih sayang seorang ayah yang sangat besar pada diri Yunho. Bagaimana bisa seorang ayah menyayangi anaknya jauh melebihi kasih sayang ibu?

Tidak memerlukan waktu lama bagi Yunho untuk menenangkan dan menidurkan putrinya. Setelah Jiyool terlelap ia kembali menghampiri Jaejoong. "Maafkan putriku. Ia akan menjadi sangat marah jika orang lain menyentuh bonekanya. Hanya boneka itu satu-satunya peninggalan ibunya."

Jaejoong seakan terkena serangan jantung. Detak jantungnya kini tak karuan.

Terlihat raut lelah pada wajah Yunho. Ia tersenyum lemah kepada Jaejoong. "Tolong temani putriku tidur! Ia akan mencariku jika ia terbangun."

Jaejoong menatap pria di hadapannya itu. "Memangnya kau akan ke mana?"

Senyum Yunho semakin lebar. "Tenang saja, aku tidak akan kemana-mana. Aku hanya akan pergi ke balkon untuk merokok."

"Kau merokok?" Jaejoong tampak terkejut mendengar jawaban Yunho.

"Hanya jika aku tertekan. Kadang-kadang aku merokok untuk menenangkan diri." Yunho menjelaskan. "Sejak istriku pergi meninggalkanku. Aku sering merasa tertekan. Aku sangat merindukannya."

Nafas Jaejoong terasa berat. "Memangnya apa yang membuatmu tertekan saat ini? Rokok tidak baik bagi kesehatanmu, apalagi kau punya seorang anak. Kau tidak boleh merokok di dekatnya. Jangan sampai ia melihatmu merokok."

Yunho sedikit mengacak-acak rambutnya. "Baiklah, aku akan berhenti merokok mulai sekarang." Ia tidak mengatakan kepada Jaejoong hal yang membuatnya tertekan. "Aku hanya akan mencari udara segar di balkon." Ia pun berjalan menuju balkon.

"Bagaimana jika putrimu bangun dan yang ia temukan adalah aku, bukan kau? Ia masih marah kepadaku," ujar Jaejoong. Ia berbicara tanpa menoleh ke arah Yunho.

Yunho menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. "Jiyoolie bukanlah anak yang pendendam. Tadi aku sudah memberikan pengertian kepadanya. Ia tidak akan marah lagi kepadamu."

.

.

.

Jaejoong berbaring di atas tempat tidur bersama Jiyool. Ia memeluk tubuh mungil itu. Ia membelai dan mengecup kening anak itu. Emosinya meluap. Ia tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini. Rasanya ia tidak ingin melepaskan gadis kecil itu. Ia ingin terus memeluk Jiyool.

Yunho kembali dari balkon setelah merasa cukup untuk menenangkan diri. Ia melihat Jaejoong tidur bersama putrinya. Ia tersenyum melihat pemandangan tersebut.

Jaejoong terbangun oleh kedatangan Yunho. Ia menjadi salah tingkah. "Kau sudah kembali."

"Tinggalah di sini malam ini!" Yunho berjalan mendekat ke arah Jaejoong. Kini ia tepat berhadapan dengan wanita itu.

Jaejoong kembali berdebar-debar. Ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh pria itu kepadanya.

"Sebegitu takutnyakah dirimu kepadaku?" Terlihat raut sedih pada wajah Yunho.

Jaejoong menatap wajah tampan Yunho. "Tidak, sama sekali tidak."

"Aku tidak akan menyentuhmu jika kau tidak menginginkannya," ujar Yunho. Perasaannya benar-benar terluka.

Situasi ini membuat Jaejoong merasa tidak nyaman. "Apakah aku sudah boleh pergi?"

"Tinggalah di sini malam ini!" tegas Yunho. "Aku berjanji bahwa aku tidak akan menyentuhmu. Kumohon! Tinggalah!"

Jaejoong merasa sangat bingung. Apa yang harus ia lakukan? "Baiklah." Ia mencoba untuk memercayai Yunho bahwa pria itu tidak akan menyentuhnya, lagipula ia juga tidak ingin terlalu cepat berpisah dengan Jiyool.

.

.

.

Setiap akhir pekan Jaejoong menemui sponsornya. Tn. Jung membelikannya sebuah telepon pintar agar mereka bisa lebih mudah berkomunikasi. Itu artinya Jaejoong akan semakin sulit untuk menghindar.

Tn. Jung memenuhi janjinya untuk tidak menyentuh Jaejoong. Setiap mereka bertemu ia selalu membawa serta putri semata wayangnya, Jiyool. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga.

Perlahan Jaejoong tidak merasa takut lagi untuk bertemu Yunho. Ia mulai merasa nyaman bersama pria itu dan anaknya. Pria itu benar-benar memenuhi janji untuk tidak menyentuhnya. Hubungannya dengan Jiyool juga semakin dekat. Mereka menjadi semakin akrab.

.

.

.

Tanggal debut Jaejoong semakin dekat. Ia menjadi semakin sibuk. Ia tidak bisa lagi sering-sering menemui Jiyool. Ia merindukan anak itu.

Jaejoong membuka ponselnya dan memandang foto Jiyool. Hal itu sedikit mengobati rasa rindunya.

"Siapa anak itu?" Tiba-tiba Yoochun muncul di belakang Jaejoong.

Jaejoong segera menyembunyikan ponselnya. "Bukan siapa-siapa. Itu bukan urusanmu."

Yoochun memandang Jaejoong curiga. "Jaejoong, jika ternyata publik sampai mengetahui bahwa kau punya seorang anak, tamat sudah riwayatmu."

Jaejoong menatap tajam Yoochun. "Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku tahu hal itu. Memangnya siapa yang punya anak?"

Yoochun memicingkan matanya. "Kau tidak menyembunyikan anak kan?"

Jaejoong memaksakan tawanya. "Aku bergabung dengan agensi ini sudah lima tahun. Apa kau pernah melihatku bersama seorang anak?"

Yoochun tampak berpikir. "Hmm, sepertinya tidak pernah."

Senyum Jaejoong terkembang. "Tidak ada alasan bagimu untuk berpikir yang tidak-tidak, Manajer Park."

.

.

.

Hari yang ditunggu-tunggu oleh Jaejoong akhirnya datang juga. Ia akan debut di atas panggung. Untuk pertama kalinya ia akan menyanyikan lagu ciptaannya di atas panggung, disaksikan oleh puluhan orang. Debutnya ini juga diliput oleh stasiun televisi.

Jaejoong merasa sangat gugup saat berdiri di atas panggung. Ia melihat puluhan orang di hadapannya. Penontonnya memang sedikit jika dibandingkan dengan penonton untuk debut artis dari agensi besar atau grup idola. Masyarakat tidak terlalu tertarik kepada penyanyi solo yang belum dikenal, apalagi yang berasal dari agensi kecil, walaupun agensinya sudah melancarkan promosi besar-besaran untuk debutnya ini.

Jaejoong tidak berkecil hati melihat penonton yang sedikit. Baginya yang penting ia bisa menunjukkan kebolehannya. Jika ia tampil bagus, ia akan bisa menarik perhatian masyarakat. Penggemar akan datang dengan sendirinya.

Ini adalah impian Jaejoong. Ia menampilkan penampilannya yang terbaik. Para penonton terpana mendengar suaranya dan penghayatannya. Ia menyanyi dengan sepenuh hati. Penonton bersorak-sorai seusai ia menyanyi. Ia merasa sangat terharu melihat apresiasi para penonton. Ia merasa sangat bahagia. Tak henti-hentinya ia mengucapkan terima kasih. Ia sampai menitikkan air mata. Bu, akhirnya aku bisa bernyanyi di atas panggung. Tunggulah sebentar lagi! Aku akan memenuhi janjiku kepadamu.

.

.

.

Selesai dengan penampilannya di atas panggung, Jaejoong kemudian melakukan wawancara dengan stasiun televisi. Ia juga melakukan promosi di radio. Jadwalnya sangat padat. Ia baru kembali ke asrama pada dini hari.

Jaejoong disambut oleh trainee lain di asrama. Mereka semua mengucapkan selamat atas debut Jaejoong.

"Selamat ya! Ternyata kau lebih dahulu debut daripada kami."

"Penampilanmu tadi sangat mengagumkan, sempurna."

"Lihat! Hampir semua media memberitakan dirimu."

Jaejoong melihat beberapa halaman berita online yang ditunjukkan oleh temannya. Semuanya menulis berita yang positif mengenai dirinya. Ia merasa sangat bahagia karena karyanya diterima oleh masyarakat. Ia juga membaca komentar-komentar dari para pengguna internet mengenai dirinya.

"Hari ini aku datang menontonnya karena aku tertarik pada wajah cantiknya yang terpampang pada poster. Kupikir ia pasti tidak bisa menyanyi dan hanya akan mengandalkan wajah cantiknya. Setelah aku melihat penampilannya, semua pemikiranku tentangnya berubah. Ia bisa menyanyi. Tak hanya bisa menyanyi, suaranya sangat enak didengar."

"Aku masih tidak percaya bahwa ia hanya berasal dari agensi kecil."

"Wanita ini, Kim Jaejoong, pasti akan segera menjadi sangat terkenal. Aku berani bertaruh."

Jaejoong menangis membaca semua itu. Ia benar-benar bahagia. Ia ingin meluapkan segalanya.

"Mengapa kau menangis, Jae? Seharusnya kau bergembira. Ayo kita rayakan keberhasilanmu ini!"

.

.

.

Jaejoong hanya tidur selama satu jam. Pagi sekali ia harus pergi ke stasiun televisi untuk mempromosikan lagunya. Ia merasa lelah, tetapi ia senang menjalaninya.

Jaejoong memeriksa ponselnya saat ia berada di perjalanan menuju stasiun televisi. Kemarin ia sama sekali tidak sempat membuka ponselnya. Ia melihat ada pesan dari Yunho.

Jung:

Aku melihat ibu menyanyi di televisi. Penampilan ibu sangat mengagumkan.

Jaejoong tersenyum membaca pesan dari Jiyool. Anak usia lima tahun itu sudah bisa membaca dan mengetikkan huruf, benar-benar cerdas. Ia merasa kagum pada cara Yunho mendidik putrinya.

Jaejoong melirik jam tangannya. Mungkin saat ini Yunho sedang bekerja. Ia akan menunggu sampai jam istirahat tiba untuk menelepon pria itu. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar suara Jiyool.

.

.

.

Setelah promosi single-nyaberakhir, Jaejoong baru bisa menemui Yunho dan Jiyool. Ia sangat merindukan Jiyool.

Kali ini Yunho mengundang Jaejoong untuk datang ke rumahnya. Jaejoong bisa bermain sepuasnya dengan Jiyool di sana.

Jaejoong merasa sangat gugup sejak sopir suruhan Yunho mengatakan bahwa mereka akan pergi menuju rumah pengusaha muda itu. Perasaannya menjadi sangat tidak enak. Ia tidak ingin pergi ke sana.

Jaejoong menginjakkan kakinya di kediaman Jung Yunho. Rumah pria itu sangat besar dan memiliki taman yang sangat luas untuk tempat bermain putrinya.

Jiyool langsung berlari ke arah Jaejoong saat ia melihat wanita itu. Ia memeluk kaki Jaejoong. "Aku sangat merindukan ibu."

Jaejoong mengangkat tubuh Jiyool dan menggendong anak itu. Ia mencium pipi Jiyool. "Ibu juga sangat merindukanmu."

Yunho menyusul putrinya berjalan ke arah Jaejoong. "Selamat datang di rumah kami! Bagaimana kabarmu? Apa kau merasa senang karena debutmu sukses?"

Jaejoong menatap Yunho. Ia masih menggendong Jiyool. "Aku baik-baik saja. Terima kasih atas semua bantuanmu, sehingga debutku bisa sukses seperti ini."

Yunho tersenyum. "Kesuksesanmu itu bukan karena diriku, melainkan dirimu sendiri. Masyarakat menyukai lagu ciptaanmu dan suaramu yang merdu."

"Tetap saja semua ini karena kau. Tanpa bantuanmu, masyarakat tidak akan mengetahui bakatku. Aku bisa debut juga karenamu," ujar Jaejoong. Ia merasa berutang kepada Tn. Jung dan ia harus melunasi utang tersebut.

Yunho membawa Jaejoong masuk ke dalam rumahnya. Berbagai macam makanan sudah terhidang di meja makan.

Jaejoong melihat-lihat sekeliling rumah konglomerat muda itu. Sama sekali ia tidak menemukan foto istri Yunho terpasang di dinding. Ia bertanya-tanya mengapa pria itu melakukan hal tersebut. Apakah pria itu membenci istrinya yang telah meninggalkannya dan anak mereka? Apakah Yunho tidak ingin Jiyool mengenal siapa ibunya?

Jaejoong merasa canggung duduk di ruang makan bersama Yunho dan Jiyool. Ini terlalu mewah baginya. Para pelayan mulai melayaninya di meja makan. Mereka menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan? Kira-kira apa yang dipikirkan oleh para pelayan itu mengenai dirinya? Ia merasa sangat tidak nyaman.

"Tidak usah sungkan-sungkan. Kau bisa mengambil makanan apa pun yang kau mau." Yunho mempersilakan tamunya.

Dengan malu-malu Jaejoong mengambil beberapa makanan dan menaruhnya di atas piringnya. Ia bingung mengambil makanan yang mana. Semuanya adalah makanan kesukaannya.

Jaejoong tidak bisa makan dengan tenang. Ia melihat para pelayan di sudut ruangan berbisik-bisik. Apakah mereka sedang membicarakan dirinya? Para pelayan wanita itu berusia sangat muda, lebih muda darinya.

Yunho bisa melihat bahwa Jaejoong merasa tidak nyaman. Ia melihat Jaejoong melirik ke arah para pelayannya. "Apakah mereka membuatmu tidak nyaman?"

"Ah, tidak," bohong Jaejoong.

Yunho tersenyum. "Mungkin mereka adalah penggemarmu." Ia tertawa.

Wajah Jaejoong merona. "Aku baru debut sebulan yang lalu. Tidak mungkin aku langsung mendapatkan penggemar."

"Mohon maafkanlah mereka. Mereka belum lama bekerja di sini. Setelah istriku pergi, aku mengganti semua pelayan, sopir, penjaga keamanan, dan tukang kebunku," ujar Yunho.

Jaejoong terkejut mendengar penuturan Yunho. Ia semakin penasaran apa yang pria itu pikirkan mengenai istrinya. "Istrimu yang pergi meninggalkanmu, mengapa kau juga memecat mereka semua? Mereka tidak bersalah atas kepergian istrimu."

"Saat itu aku sedang depresi. Tanpa pikir panjang aku memecat mereka semua. Aku menyalahkan mereka karena mereka tidak bisa mencegah kepergian istriku. Istriku pergi pada malam hari. Tidak ada satu pun di rumah ini yang mengetahui kepergiannya. Apa saja yang dilakukan oleh para penjaga keamanan itu? Bukankah seharusnya mereka melihat siapa saja yang keluar masuk rumahku?" Yunho terlihat sangat emosi mengingat kejadian itu.

Jaejoong merasa ketakutan. Ia melihat kemarahan pada pancaran mata pria itu.

"Apakah istriku tidak hidup bahagia di rumah ini, sehingga ia pergi meninggalkanku dan anak kami?" Sekarang terpancar kesedihan pada raut wajah Yunho.

"Maafkan aku!" Suara Jaejoong bergetar. Ia mencengkeram kuat taplak meja di hadapannya.

Tatapan mata Yunho melembut. Ia tersenyum kepada Jaejoong. "Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah memberikan mereka modal untuk membuka usaha. Aku merasa bersalah karena memecat mereka. Aku merasa bertanggung jawab akan hal itu."

Jaejoong merasa sedikit lebih lega. Ia tidak menyangka bahwa Yunho mengalami hal itu karena ditinggal oleh istrinya. "Sudah lima tahun ia pergi. Mengapa kau tidak melupakannya dan menikah lagi dengan wanita lain?"

Yunho tersenyum tipis. "Tidak semudah itu. Ia pergi dengan meninggalkan luka yang dalam di hatiku. Mencari pengganti dirinya tidak akan begitu saja menyembuhkan lukaku."

"Bukankah kau sudah melupakannya? Kau bahkan sama sekali tidak memajang fotonya di rumahmu. Bukankah itu artinya kau tidak lagi ingin berurusan dengannya?" Jaejoong menatap Yunho dengan wajah sendu.

"Aku tidak ingin putriku merasa sedih karena ia tidak mempunyai ibu. Aku bingung menjawabnya jika ia bertanya mengenai ibunya. Tidak mungkin aku mengatakan kepadanya bahwa ibunya pergi meninggalkannya. Ia pasti akan merasa sedih dan merasa tidak dicintai. Aku juga tidak bisa mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal karena faktanya wanita itu masih hidup." Yunho bercerita.

"Lalu apa yang kau katakan kepadanya?" tanya Jaejoong.

"Aku selalu mengalihkan pembicaraan." Yunho tersenyum miris. "Aku mengatakan kepadanya bahwa yang terpenting ia masih punya ayah yang sangat menyayanginya. Ia tidak akan kekurangan kasih sayang. Ia pun tidak lagi menanyakan ibunya. Saat ini saja kita sedang membicarakan ibunya, tetapi ia tidak berkomentar apa pun. Ia tidak mengerti apa yang kita bicarakan."

"Akan tetapi, suatu saat nanti ia akan mengerti bahwa manusia terlahir dari seorang ibu. Ia akan menanyakan hal itu," balas Jaejoong. Ia berusaha menahan air matanya mendengar kisah sedih itu.

"Jika saatnya sudah tiba, ia akan mengetahui semuanya," jawab Yunho tenang.

Hati Jaejoong terasa bagaikan teriris pisau. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan Jiyool lakukan jika anak itu mengetahui bahwa ibu kandungnya telah meninggalkan dirinya. Dadanya terasa sesak.

Yunho menatap Jaejoong dengan dalam. "Aku berusaha untuk mendidik anakku dengan baik. Aku tidak ingin ia menjadi anak yang pendendam dan pembenci. Aku tidak ingin ia membenci ibunya karena aku pun tidak bisa membencinya, walaupun ia telah menorehkan luka yang sangat dalam. Tidak, aku tidak membencinya, sama sekali tidak membencinya. Sampai detik ini pun aku masih mencintainya."

Air mata Jaejoong sudah tak bisa ditahan lagi. Ia segera mengusap air matanya dengan sapu tangan sebelum Jiyool melihatnya. Anak itu sedang sibuk dengan makanannya. "Apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu kembali dengannya? Apakah kau masih mengharapkannya kembali?"

Yunho kembali tersenyum. "Aku hanya ingin ia tahu bahwa aku masih mencintainya. Cintaku kepadanya masih sangat besar. Pintu rumah ini masih sangat terbuka lebar jika ia ingin kembali. Aku juga ingin ia melihat putrinya yang sudah tumbuh besar. Apakah ia tidak merasa terenyuh melihat putri kami?"

"Mungkin ia sudah punya kehidupan sendiri. Kau tidak bisa memaksanya untuk kembali kepada kalian," balas Jaejoong.

"Aku tidak akan memaksanya untuk kembali. Melihat ia hidup bahagia saja sudah cukup bagiku. Ia pergi meninggalkanku. Itu artinya ia tidak bahagia hidup bersamaku. Aku ingin ia bahagia, walaupun ia tidak bersamaku lagi. Apa pun akan kulakukan asalkan ia bahagia." Mata Yunho mulai berair.

"Kau harus hidup bahagia, Tn. Jung. Wanita itu tak pantas untuk mendapatkan cintamu. Tidak ada gunanya kau memikirkan dirinya. Relakanlah ia pergi!" Suara Jaejoong terdengar parau.

"Aku akan bahagia jika ia bahagia. Yang bisa kulakukan sekarang adalah berusaha untuk membuatnya bahagia." Yunho membelai kepala putrinya, peninggalan istrinya yang paling berharga.

"Ia akan merasa sangat bersalah jika ia melihatmu seperti ini. Ia tidak akan bahagia," lanjut Jaejoong.

"Lalu menurutmu apa yang harus kulakukan?" Yunho menuntut sebuah jawaban dari Jaejoong.

"Biarkan ia mengejar kebahagiannya sendiri dan kau mengejar kebahagianmu sendiri juga. Kalian tidak berjodoh," jawab Jaejoong lemah.

"Aku sudah menghabiskan makananku, sedangkan dari tadi kalian hanya berbicara dan tidak makan." Jiyool menginterupsi pembicaraan ayahnya dengan Jaejoong.

"Ah, anak pintar!" Yunho mengacak-acak rambut putrinya. "Ibu akan menghabiskan makanannya dan setelah itu ia akan bermain bersamamu."

.

.

.

Jaejoong bermain bersama Jiyool sampai lupa waktu. Agensinya juga tidak bisa melarang dirinya untuk menghabiskan waktu bersama Yunho. Pria itulah yang telah mensponsori semua kegiatan Jaejoong.

Hari sudah mulai gelap. Hujan turun dengan derasnya. Jaejoong memandang ke luar jendela. "Hujannya besar sekali. Hujannya juga disertai petir."

"Sepertinya akan ada badai malam ini. Sebaiknya malam ini kau menginap saja di sini. Jalanan pasti macet karena banjir, lebih parah lagi jika ada pohon tumbang," ujar Yunho.

Jaejoong terdiam sejenak. Apakah ia akan bisa pulang dengan selamat jika ia menembus badai? Akan tetapi, ia harus kembali ke asrama. Besok pagi ia sudah memulai kembali aktivitasnya.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan jadwalmu besok pagi. Aku akan mengaturnya," tambah Yunho. Ia bisa membaca pikiran Jaejoong. "Jika kau tidak keberatan, kau bisa tidur dengan Jiyool. Ia pasti akan senang sekali. Akan tetapi, jika kau keberatan, aku akan meminta asisten rumah tanggaku untuk menyiapkan kamar tamu untukmu."

.

.

.

Jiyool merasa sangat gembira karena Jaejoong menginap di rumahnya, terlebih lagi di kamarnya. "Ibu sering-seringlah menginap di sini. Aku senang sekali ibu menginap."

Jaejoong hanya tersenyum. Ia membelai kepala Jiyool dengan sayang. Sudah tumbuh rasa sayangnya kepada Jiyool.

Jaejoong membacakan dongeng untuk Jiyool. Ia juga menyanyikan lagu nina bobo untuk anak itu dengan suaranya yang merdu, sampai anak itu terlelap dalam pelukannya.

Jaejoong mengecup puncak kepala Jiyool. Ia berbaring di samping Jiyool sambil memeluk anak itu. Ia terlonjak kaget saat ia melihat Yunho berdiri bersandar di dekat pintu. "Sejak kapan kau berada di sana?"

Yunho tersenyum. Ia terlihat bahagia. "Sejak tadi. Aku terus memperhatikan kalian berdua." Ia berjalan mendekat ke arah Jaejoong.

Jaejoong tersipu malu. Ia menundukkan kepalanya. Jantungnya berdegup kencang.

Yunho berhenti tepat di hadapan Jaejoong. Ia menatap mata Jaejoong dalam-dalam. "Kau bisa menjadi ibu yang baik untuk Jiyool. Ia sangat menyukaimu. Ah tidak, ia menyayangimu."

Jaejoong berusaha untuk menghindari tatapan Yunho. Ia memalingkan wajahnya. Namun, Yunho menahannya. Pria itu memaksa dirinya untuk balas menatap pria itu. Degup jantungnya semakin kencang. Ia mulai gemetaran dan tubuhnya melemas. Pria itu terlihat sangat tampan dan memesona. Apa yang terjadi kepada dirinya? Apakah ia telah jatuh cinta kepada pria di hadapannya itu? Tidak, tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh jatuh cinta kepada pria itu, bahkan kepada pria mana pun. Ia harus fokus pada tujuannya. Ia bersama pria itu dan anaknya demi menggapai tujuannya, membayar jasa yang telah pria itu lakukan agar ia bisa debut.

Yunho merapatkan tubuhnya pada tubuh Jaejoong. Ia mencium wanita cantik itu dengan ragu. Ia tidak ingin membuat Jaejoong ketakutan. Ia masih ingat bagaimana wanita itu menangis saat ia sentuh.

Pikiran Jaejoong serasa kosong. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan Yunho. Ia tidak menolak atau pun melawan saat pria itu menciumnya, melumat bibirnya. Sebaliknya, ia sangat menyukai cara pria itu memperlakukannya dengan lembut. Ia merasa terbuai.

Yunho semakin memperdalam ciumannya. Ia kehilangan akal sehatnya. Ia mulai meraba-raba tubuh Jaejoong.

Tanpa sadar Jaejoong membalas ciuman Yunho. Ia menginginkan pria itu. Ia tidak bisa berpikir. Logikanya menghilang entah kemana. Ia mulai mendesah di sela ciuman mereka.

Desahan merdu dari bibir Jaejoong membuat Yunho semakin bergairah. Ia mengangkat tubuh Jaejoong, menggendong wanita itu ke kamarnya di sebelah kamar Jiyool. Mereka masih berciuman.

Jaejoong melingkarkan lengannya pada leher Yunho. Ia membiarkan pria itu membawanya.

Yunho membaringkan Jaejoong dengan lembut di atas tempat tidurnya. Ia memperlakukan wanita itu dengan sangat hati-hati.

Jaejoong tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Untuk pertama kalinya ia menginginkan seorang pria. Apakah ini cinta? Ataukah nafsu belaka? Ini adalah pertama kalinya ia bercinta dengan seorang pria tanpa rasa terpaksa. Berpura-pura untuk menikmati sebuah hubungan seksual yang terjadi sangatlah tidak menyenangkan. Ia selalu berpura-pura di masa lalu.

Jaejoong masih ingat bagaimana ia kehilangan keperawanannya kepada seorang pria yang tidak ia cintai. Hal itu ia lakukan agar ibunya bisa menjalani pengobatan. Ia berpura-pura menikmati hal itu, membuat pria itu senang dengan mendesah, menggumamkan nama pria itu. Setelah pria itu tidur, ia pergi ke kamar mandi dan menangis tanpa suara. Hal ini berkali-kali ia lakukan, sampai ia terbiasa melakukan kepura-puraan itu. Tidak, sekali pun ia tidak pernah menikmatinya. Batinnya tersiksa.

Jaejoong merasa bahwa malam ini berbeda. Hal ini terasa indah. Ia tidak keberatan saat Yunho perlahan melucuti pakaiannya.

"Apa kau tidak keberatan?" Yunho bertindak dengan sangat hati-hati. Ia masih ragu untuk melanjutkannya. Ia harus memastikan bahwa Jaejoong juga menginginkannya.

Mata Jaejoong terlihat sayu. Ia dikuasai oleh gairah yang membuncah. Ia tidak menjawab.

Yunho memandang wajah wanita itu cukup lama, cantik sekali. Sepertinya tidak apa-apa ia melakukannya. Wanita itu tidak menolak atau memberontak. Ia kemudian mencium wanita itu lagi.

Tidak, aku tidak akan menyesal. Sekali saja aku ingin melakukannya tanpa rasa terpaksa, tanpa penyesalan. Jaejoong memejamkan matanya. Ia mulai mendesah, menikmati setiap sentuhan Yunho.

Aku tidak percaya akan cinta. Yang aku tahu hanyalah cinta ibuku kepadaku. Dunia ini penuh kepalsuan. Orang-orang akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Begitu pula dengan diriku. Aku membiarkannya menyentuhku demi menggapai tujuanku. Jaejoong tidak ingin mengakui bahwa Yunho telah berhasil menyentuh hatinya.

Yunho benar-benar memperlakukan Jaejoong dengan lembut. Ia sangat berhati-hati. Ia harus membuat wanita itu merasa nyaman.

Keyakinan Jaejoong mulai goyah. Benarkah ia melakukan hal ini hanya demi menggapai tujuannya? Ia merasa nyaman bersama pria itu. Pria itu bisa membuatnya lupa akan tujuannya yang sebenarnya. Ada apa dengan dirinya? Apakah ia menyerah kepada pria itu? Mengapa ia merasa bahagia malam ini? Ini adalah malam yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Ia tidak ingin malam ini berakhir dan berganti siang. Besok pagi ia sudah harus memulai rutinitasnya kembali.

"Yunho!" Berkali-kali Jaejoong meneriakkan nama pria itu.

"Aku mencintaimu, Jae!" bisik Yunho.

Jaejoong merasakan pedih pada hatinya. Ia menangis. "Yunho, maafkan aku! Aku tidak layak untuk kau cintai."

"Sshh! Jangan menangis, Sayang! Kumohon jangan rusak kebahagiaanku malam ini, malam ini saja." Yunho menciumi wajah Jaejoong yang basah oleh air mata. "Setelah malam ini berlalu, kau boleh pergi. Aku tidak akan memaksamu untuk kembali ke pelukanku. Bisa mencumbumu malam ini saja sudah membuatku bahagia. Kumohon, malam ini saja."

Jaejoong merasa iba kepada Yunho. Ia tidak ingin terlalu banyak berpikir. Ia hanya ingin menikmati malam ini bersama pria itu.

.

.

.

Jaejoong tidak bisa tidur. Ia memang selalu tidak bisa tidur setelah berhubungan seks. Biasanya ia akan langsung pergi ke kamar mandi setelah si pria terlelap. Ia akan menangis dan membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa pria itu yang masih melekat pada tubuhnya. Bila perlu, ia menggosok kulitnya dengan keras jika ada tanda-tanda yang tertinggal atau membekas di kulitnya. Namun, kali ini rasanya lain. Ia tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Ia masih ingin berada di pelukan Yunho. Ia memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Ia tersenyum melihat Yunho tidur dengan mulut sedikit terbuka, lucu sekali. Ia terkekeh. Ia mencium pipi pria itu.

Jaejoong melirik jam weker di samping tempat tidur. Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Ia merasa bosan dan tidak mengantuk. Ia pun teringat akan Jiyool. Kamar gadis kecil itu ada di sebelah. Apakah anak itu merasa terganggu oleh suara-suara yang dihasilkan oleh aktivitas fisik dirinya dengan sang ayah? Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa malu. Entah mengapa ia merasa malu. Ini bukanlah pertama kalinya ia berhubungan seks.

Jaejoong bangkit dari tempat tidur dan melilit tubuh telanjangnya dengan selimut. Ia kemudian keluar dari kamar Yunho dengan wajah yang berseri-seri. Di koridor ia bertemu dengan salah seorang asisten rumah tangga Yunho yang sedang mengepel lantai. Ia berdiri membeku. Ia tertangkap basah keluar dari kamar Yunho dengan tubuh hanya dililit selimut.

"Maafkan aku, Nona! Aku tidak tahu bahwa kau ada di sini. Aku akan mengepel tempat lain terlebih dahulu." Wanita muda itu langsung pergi.

Jaejoong merasa sangat malu. Ia sangat ceroboh. Para pelayan di rumah ini pasti sudah bangun dan mulai bekerja. Ia kemudian masuk ke kamar Jiyool. Anak itu masih tertidur pulas. Ia mengecup pipi Jiyool dan berbaring di samping anak itu.

.

.

.

"Aku melihat wanita yang bernama Kim Jaejoong itu keluar dari kamar Tn. Jung saat aku sedang mengepel lantai." Asisten rumah tangga yang berpapasan dengan Jaejoong bercerita kepada temannya.

"Aku juga melihatnya keluar dari kamar Nn. Jiyool. Sepertinya wanita itu adalah calon istri Tn. Jung. Wanita itu sangat akrab dengan Nn. Jiyool dan mereka tampak saling menyayangi. Nn. Jiyool bahkan memanggilnya 'ibu'. Sejak aku bekerja di sini ini adalah pertama kalinya tuan membawa seorang wanita ke rumah, apalagi sampai menginap."

"Baguslah jika tuan menemukan tambatan hatinya. Aku merasa kasihan melihatnya terus meratapi istrinya yang melarikan diri. Dasar wanita tidak tahu diuntung. Ia mempunyai suami tampan, kaya, dan baik hati, tetapi ia memilih untuk pergi meninggalkan suami dan anaknya. Sudah saatnya tuan melupakan wanita itu dan berbahagia dengan cintanya yang baru."

"Bukankah wanita itu adalah penyanyi yang baru debut bulan lalu? Tidak mungkin seorang artis yang baru debut menjalin hubungan cinta. Kasihan sekali tuan."

"Jangan-jangan wanita itu hanya ingin memanfaatkan tuan."

"Apa yang sedang kalian berdua lakukan? Sekarang sudah waktunya sarapan, tetapi makanan masih belum tersedia di meja makan." Yunho memergoki asisten rumah tangganya sedang asyik bergosip.

.

.

.

Sebelum kembali ke asrama Jaejoong menikmati sarapan bersama Yunho dan Jiyool. Ia merasa sangat canggung bertemu lagi dengan pelayan yang memergokinya tadi pagi.

"Selamat pagi, Nona!" Pelayan itu menghidangkan makanan untuk Jaejoong. "Kau terlihat sangat cantik pagi ini."

Jaejoong tersenyum kaku. Ia terpaksa mengenakan pakaian milik istri Yunho karena ia tidak membawa pakaian ganti.

"Pakaian yang kau kenakan sangat cocok dan ukurannya sangat pas dengan tubuhmu." Pelayan itu berbasa-basi untuk menghilangkan kecanggungan mereka.

"Ya, kau terlihat cantik sekali," timpal Yunho. "Pakaian itu sangat cocok denganmu." Baju terusan berwarna peach dengan panjang selutut itu ia belikan untuk istrinya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Ia menyuruh para asisten rumah tangganya untuk merawat barang-barang milik istrinya itu, sehingga mereka pasti tahu bahwa pakaian yang Jaejoong kenakan adalah milik istrinya.

"Warna peach sangat cocok untukmu, serasi dengan kulitmu yang putih. Cobalah baju ini, Sayang!"

"Wah, kau terlihat sangat cantik! Kita beli baju ini."

"Selamat ulang tahun pernikahan! Kau ingin hadiah apa dariku?"

"Sekarang giliranku untuk mendapatkan hadiah darimu. Aku ingin kau memberikanku seorang putri yang cantik, yang mirip seperti dirimu."

Yunho tiba-tiba teringat akan kenangannya bersama sang istri. Istrinya itu pendiam. Selalu dirinyalah yang banyak bicara. Istrinya juga adalah wanita yang sangat sederhana, walaupun ia memanjakan istrinya itu dengan harta yang melimpah.

Salah satu hal yang membuat Yunho jatuh cinta kepada istrinya adalah kesederhanaan wanita itu. Wanita itu tidak banyak menuntut. Sifat istrinya yang terlalu pendiam kadang-kadang membuatnya berpikir bahwa wanita itu tidak mencintainya, tidak bahagia hidup bersamanya. Namun, ia segera menepis pikiran buruknya tersebut. Mana mungkin wanita itu mau menikah dengannya jika wanita itu tidak mencintainya? Apakah karena harta? Tidak, tidak mungkin. Wanita itu tetap hidup dalam kesederhanaan, walaupun hidup bergelimang harta.

Sikap istrinya yang jarang bicara membuat Yunho tidak bisa menebak isi hati dan kepala wanita itu. Ia tidak tahu apa yang diinginkan istrinya. Istrinya itu hanya menurut.

Dengan lahirnya Jiyool, buah cintanya dengan sang istri, Yunho berharap hubungannya dengan sang istri menjadi lebih romantis. Ia berharap istrinya tidak lagi menjadi wanita yang pendiam. Ia berharap Jiyool bisa mengubah Istrinya itu.

Kebahagiaan yang ia rasakan tidak berlangsung lama. Baru dua bulan lalu ia mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira atas kelahiran putrinya, ia harus kehilangan istrinya. Wanita itu kabur dari rumah tanpa mengatakan apa pun, tanpa kata-kata perpisahan. Wanita itu pergi tanpa membawa apa-apa, hanya pakaian yang melekat di tubuh dan sedikit uang.

Betapa hancur hati Yunho saat itu. Istrinya itu tidak membawa apa pun saat meninggalkan rumahnya. Bagaimana wanita itu akan bertahan hidup di luar? Apakah istrinya itu pergi bersama pria lain? Tidak, tidak mungkin istrinya itu berselingkuh. Sepanjang waktu istrinya itu hanya berdiam diri di rumah, menonton acara musik di televisi dan berselancar di internet. Apakah istrinya itu bertemu pria lain di dunia maya?

Yunho terus mencari keberadaan istrinya itu selama lima tahun. Namun, tidak mudah untuk menemukannya. Ia sempat mengalami putus asa, tetapi ia kembali bangkit karena rasa cintanya yang masih sangat besar kepada wanita itu. Ia akan terus mencari walau ke ujung dunia sekali pun.

.

.

.

Jaejoong semakin populer. Ia membintangi sejumlah iklan dan diundang ke acara televisi. Penggemarnya semakin bertambah dari hari ke hari, terutama penggemar laki-laki.

"Nn. Jaejoong, apakah kau sudah mempunyai kekasih atau teman dekat? Atau mungkin pria yang kau sukai?" Jaejoong menghadiri acara bincang-bincang di televisi.

Jaejoong ragu-ragu menjawabnya. Tentu saja ia harus menjawab 'tidak'. "Tidak ada. Aku masih sendiri," jawabnya malu-malu.

Jaejoong sudah terbiasa berbohong dan berpura-pura. Hidupnya penuh dengan kepalsuan.

Jaejoong menyimpan foto Jiyool dan Yunho di dompetnya. Di saat ia sedang sendirian ia akan memandangi foto tersebut. Tanpa sadar ia akan tersenyum. Rasa lelahnya akan hilang seketika.

Dalam waktu yang cukup singkat Jaejoong meraih popularitas yang sangat besar. Ia meluncurkan album mini pertamanya. Semua lagu dalam album mininya itu ia ciptakan sendiri. Lagu-lagunya terinspirasi dari Jiyool dan Yunho, lagu tentang cinta dan keluarga. Lagu utamanya berjudul "Baby". Banyak orang mengira bahwa lagu tersebut tentang cinta kepada kekasih, padahal sesungguhnya lagu tersebut menceritakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Ia mengungkapkan hal tersebut pada wawancaranya di sebuah majalah.

"Ah, lagu tersebut pasti untuk ibunya. Kudengar ibunya meninggal karena penyakit kanker," komentar penggemar.

Kisah hidup Jaejoong yang menyedihkan pun mulai terkuak. Publik mulai mengetahui bahwa ia adalah anak dari seorang musisi yang dulu pernah populer, tetapi kemudian namanya tenggelam. Ayahnya meninggal saat usianya tujuh tahun. Sejak itu ia hidup berdua hanya dengan ibunya, hidup dalam kemiskinan. Ibunya kemudian menderita penyakit kanker dan meninggal saat usianya sembilan belas tahun. Setahun kemudian ia menjadi trainee di Toscana Entertainment dan menjalani masa training selama lima tahun sebelum akhirnya ia debut sebagai penyanyi solo pada usia 25 tahun. Tidak semua kisah hidupnya terkuak. Mereka semua tidak tahu dua tahun kisah hidupnya yang ia sembunyikan, kehidupannya saat berusia delapan belas sampai dua puluh tahun.

Jaejoong menyembunyikan dua tahun kisah hidupnya itu. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu atau habislah dia, dua tahun yang baginya bagaikan neraka, hidup di dalam sangkar emas. Depresi, frustasi, ia rasakan selama dua tahun tersebut. Beberapa kali ia pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya, tetapi ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya. Selama dua tahun itu ia melihat cita-citanya berlari menjauh tanpa bisa berbuat apa-apa. Sampai pada akhirnya ia mengambil keputusan untuk melepaskan diri dari belenggu dan berlari mengejar impiannya.

"Nn. Jaejoong, apakah kau pernah jatuh cinta? Bisakah kau ceritakan tentang cinta pertamamu?"

Cinta? Apakah Jaejoong pernah jatuh cinta? Ya, ia telah jatuh cinta dan tak seharusnya ia mencintai pria tersebut. Ia tidak boleh jatuh cinta. "Tentu saja pernah. Lelaki itu..." Ia bingung untuk mendeskripsikannya.

"Wah, wajahmu merona, Nn. Jaejoong!" Pembawa acara menggoda Jaejoong. "Tipe pria seperti apa yang membuatmu tertarik?"

Jaejoong tidak bisa menjawab. Ia kebingungan. "Seorang pria yang tidak melukai sayapku. Ia tidak memegangi sayapku dan membiarkanku terbang jauh. Namun, ia yakin dan percaya diri bahwa aku pasti kembali kepadanya. Ia tidak lelah untuk menungguku, walaupun tak pasti kapan aku akan pulang. Pria itu memiliki kesabaran yang sangat tinggi untuk menghadapi wanita sepertiku."

Selesai wawancara, Jaejoong mendapatkan panggilan mendadak dari Yunho. Semua agendanya hari ini dibatalkan. Pria itu mempunyai kekuasaan untuk mengatur jadwalnya sesuka hati.

"Ada apa kau tiba-tiba memanggilku? Mengapa semua agendaku dibatalkan?" Jaejoong duduk di dalam limosin yang sudah menunggunya di belakang stasiun televisi.

"Aku tak bisa menahan diriku lagi, Jae. Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa aku tidak mengenalmu." Yunho tampak frustasi.

Jaejoong berusaha mengalihkan pembicaraan. "Di mana Jiyoolie? Mengapa kau meninggalkannya?" Jaejoong tampak khawatir.

"Ia di rumah, menonton siaran wawancaramu," jawab Yunho.

"Oh," komentar singkat Jaejoong.

"Jae, siapa pria yang kau maksud dalam wawancaramu tadi?" Raut wajah Yunho terlihat sangat serius.

"Apakah kau menjemputku hanya untuk menanyakan hal ini?" Jaejoong masih enggan menjawab.

"Aku benar-benar penasaran. Selama ini aku menahan semua rasa penasaranku." Yunho terlihat sangat kacau. "Namun, kali ini aku tak bisa menahannya lagi. Aku terbakar api cemburu, Jae. Siapa pria yang kau cintai itu? Apakah kau meninggalkanku demi pria itu? Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu sesungguhnya kepadaku."

"Kau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku, Tn. Jung. Hubungan kita hanya sebatas hubungan bisnis. Kau bukan siapa-siapa dalam hidupku." Jaejoong meminta sopir untuk menghentikan limosin. Ia pun berlari meninggalkan Yunho.

Sakit rasanya hati Jaejoong. Hidup ini kejam kepada dirinya. Bertahun-bertahun ia mengejar impian. Namun, saat impian itu ada dalam genggamannya, mengapa ia harus jatuh cinta? Cinta? Baginya cinta adalah hal yang menyedihkan. Mengapa ia harus jatuh cinta, terlebih kepada pria itu, Jung Yunho? Takdir telah mempertemukannya dengan pria bernama Jung Yunho itu. Dua kali pria itu menyelamatkannya dan dua kali juga pria itu mengikatnya. Kali ini ia tidak bisa lari lagi dari jeratan pria itu. Kali ini pria itu telah menjerat hatinya.

.

.

.

Hubungan Jaejoong dengan Yunho menjadi dingin. Ia berusaha menghindari pria itu. Ia tak tahan berdekatan dengan pria itu. Detak jantungnya menjadi tak terkendali.

"Mengapa akhir-akhir ini ibu sering terlihat murung? Apakah ibu sedang sedih?" Jiyool menyadari perubahan pada diri Jaejoong.

Jaejoong memaksakan senyumannya. "Ibu hanya lelah."

"Apa yang harus aku lakukan untuk membuat ibu kembali tersenyum?" Jiyool ikut sedih melihat Jaejoong bersedih.

Jaejoong menggeleng. "Kau tidak perlu melakukan apa pun."

Jiyool menyodorkan boneka kesayangannya kepada Jaejoong. "Ibu boleh memegang bonekaku."

Jaejoong memandang boneka di tangan Jiyool. Seketika pikirannya terbang ke masa lalu.

"Jae, tampaknya kau lebih mencintai bonekamu daripada diriku."

"Jangan sentuh bonekaku! Ini adalah boneka pemberian ibuku."

"Jae, mengapa kau marah? Itu hanyalah sebuah boneka."

"Ini bukanlah sekedar boneka bagiku. Boneka ini sangat berarti bagiku. Ibuku sudah susah payah membelikannya untukku."

"Baiklah, aku tidak akan pernah menyentuhnya lagi."

"Mengapa ibu diam saja? Apa ibu tidak mau menyentuhnya karena boneka ini jelek?" Jiyool tampak kecewa karena Jaejoong tidak menyukai bonekanya yang sudah usang.

"Bukan begitu. Bonekamu sama sekali tidak jelek. Apa kau yakin aku boleh menyentuhnya? Bukankah boneka ini sangat berharga bagimu?" Jaejoong memberikan penjelasan.

Jiyool mengangguk. "Boneka ini memang sangat berharga bagiku. Akan tetapi, ibu lebih berharga dari boneka ini. Aku menyayangi ibu."

Jaejoong merasa terharu. Ia memeluk Jiyool dengan erat. Ia juga sangat menyayangi anak itu.

Yunho tiba-tiba masuk ke kamar Jiyool. "Jae, bisa kita bicara sebentar?" Raut wajahnya terlihat dingin.

Jaejoong menjadi salah tingkah. Ia melepaskan pelukannya kepada Jiyool.

"Huh! Ayah mengganggu saja." Jiyool menggembungkan pipi tembemnya. "Aku kan sedang bermain dengan ibu."

"Ayah pinjam sebentar ibumu. Nanti kalian bisa bermain lagi," ujar Yunho.

Jaejoong mengikuti Yunho ke ruang kerja pria itu. Ia merasa sangat gugup. "Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Aku sudah merencanakan tour-mu.Kupikir sudah saatnya kau menggelar konser di beberapa kota," ujar Yunho serius.

Jaejoong terkejut. "Secepat itu? Apakah itu tidak terlalu cepat? Aku belum setahun debut."

"Kau juga menjadi populer dengan sangat cepat. Jadi, tidak salah jika kau menggelar konser dengan cepat juga." Yunho menatap Jaejoong dalam-dalam.

Jaejoong merasa tidak nyaman dipandangi oleh Yunho. Wajahnya merona. Ia tidak menyangka bahwa ia akan menjadi sangat terkenal secepat ini.

.

.

.

Jaejoong sangat antusias mempersiapkan konsernya. Ia sudah tidak sabar untuk menyapa penggemarnya di berbagai kota. Tour-nya dijadwalkan berlangsung selama setengah tahun. Selama itu pula ia akan jarang bertemu dengan Jiyool. Ia harus menahan rasa rindunya kepada anak itu. Mereka hanya bisa berkomunikasi jarak jauh. Untung saja teknologi komunikasi sudah sangat canggih.

Selama kurang lebih setengah tahun Jaejoong keliling negeri. Konser terakhirnya akan diadakan di Seoul. Setelah tour-nya berakhir, ia akan bisa sedikit bernafas sebelum mempersiapkan lagu untuk album pertamanya.

Jiyool merasa sangat gembira karena Jaejoong memberikannya tiket konser kelas VIP. Ia bisa menonton penampilan Jaejoong di atas panggung dengan sangat jelas. "Ayah, ayo cepat! Nanti kita terlambat untuk menonton konser ibu."

"Ya, Sayang! Bersabarlah! Kita tidak akan terlambat." Yunho mengendarai sendiri mobilnya. Ia mempercepat laju mobilnya karena putrinya terus merengek.

.

.

.

Jaejoong memandang ke arah bangku penonton di kelas VIP. Ia tidak juga melihat Jiyool dan Yunho di sana, bahkan sampai konsernya berakhir. Ia merasa sedikit kecewa karena dua orang yang sangat berarti baginya tidak datang. Namun, ia tetap berpikiran positif, mungkin Yunho sibuk.

Jaejoong merayakan kesuksesan konsernya dengan berpesta di sebuah restoran bersama para kru. Saat itu di televisi sedang ditayangkan berita malam.

Jaejoong membelalakkan matanya saat menyaksikan berita di televisi mengenai kecelakaan lalu lintas yang menimpa pengusaha muda Jung Yunho dan putrinya. Tanpa pikir panjang ia berlari ke luar restoran. Ia tidak memedulikan para kru yang memanggilnya.

Jaejoong menghentikan taksi yang lewat. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit ia menangis. Ia tidak ingin kehilangan dua orang yang sangat ia cintai. Sudah cukup ia bersedih karena kehilangan ayah dan kemudian ibunya. Ia tidak ingin kehilangan lagi.

Jaejoong kalang-kabut saat tiba di rumah sakit. Ia bertanya di mana Yunho dan Jiyool dirawat.

"Ayahnya hanya mengalami luka ringan, sedangkan anaknya terluka sangat parah dan membutuhkan transfusi darah. Akan tetapi, golongan darah ayahnya tidak sama dengan anaknya. Ayahnya bergolongan darah A, sedangkan anaknya B. Sayangnya persediaan darah golongan B di rumah sakit ini sedang kosong. Kita harus menunggu kiriman darah dari tempat lain untuk melakukan transfusi darah." Dokter yang menangani Yunho dan Jiyool berkata kepada perawat.

Jaejoong langsung menghampiri dokter tersebut. "Dokter, ambil saja darahku! Darahku pasti cocok dengannya."

Dokter tersebut terkejut karena tiba-tiba dihampiri oleh Jaejoong. "Maaf, anda siapanya Jung Jiyool? Apakah anda keluarganya?"

Jaejoong menangis tersedu-sedu. "Aku adalah ibunya. Aku adalah ibu kandung Jung Jiyool."

Jung Yunho adalah seorang pengusaha muda yang sangat sukses. Sangat wajar media berlomba-lomba untuk meliput kecelakaan yang menimpanya. Para awak media berkumpul di rumah sakit. Mereka cukup terkejut melihat kedatangan seorang artis yang sedang naik daun. Mereka lebih terkejut lagi mendengar pengakuan artis itu.

"Aku adalah ibu kandung Jung Jiyool."

Sontak saja para awak media itu mengerubungi Jaejoong. Mereka meminta penjelasan atas pengakuan Jaejoong tersebut.

Jaejoong berubah panik dan syok karena diserang oleh awak media. Wajahnya memucat. Untung saja dokter menyelamatkannya dan membawanya untuk melakukan transfusi darah, sehingga ia bisa menghindar sementara dari para awak media.

.

.

.

Berita dengan mudah menyebar begitu saja. Dengan sangat cepat media mengabarkan bahwa Kim Jaejoong adalah ibu kandung Jung Jiyool, putri dari konglomerat Jung Yunho.

Masyarakat mulai mempertanyakan hubungan Jaejoong dengan pengusaha muda tampan itu. Tersebar juga foto-foto Jaejoong saat mendatangi kediaman Jung Yunho, bahkan pertemuan Jaejoong dengan pria itu di hotel sempat tertangkap kamera.

Apakah sebenarnya hubungan penyanyi Kim Jaejoong dengan Jung Yunho? Benarkah Kim Jaejoong adalah Ibu Kandung Jiyool? Apakah itu artinya Kim Jaejoong adalah Istri Jung Yunho yang Menghilang Lima Tahun Lalu?

"Bisa kau jelaskan kepadaku apa maksud berita ini, Kim Jaejoong?" CEO Kim Junsu memanggil Jaejoong ke kantornya.

Jaejoong tertunduk. Kepalanya terasa sangat pusing. Ia tidak bisa berpikir jernih.

"Jawab aku, Kim Jaejoong!" CEO Kim berteriak ke arah Jaejoong. "Mengapa kau sampai diberitakan seperti itu? Ah, pasti karena kau terlihat sangat dekat dengan Jung Yunho dan putrinya, sehingga mereka mengira bahwa kau adalah ibu dari Jung Jiyool. Kau sangat gegabah, Kim Jaejoong. Seharusnya kau tidak mengunjungi rumah sakit pada malam kecelakaan itu. Apa yang kau pikirkan? Apa kau pikir Jung Yunho akan menikahimu? Apa kau mencintai pria itu? Ia hanyalah sponsormu. Tidak mungkin ia membalas cintamu, apalagi menikahimu."

Jaejoong hanya terdiam membisu. Tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya adalah istri Jung Yunho yang menghilang itu. Susah payah ia menyembunyikan fakta itu. Namun, kecerobohan kecilnya telah merusak segalanya.

"Biar kami yang menanganinya. Kau jangan muncul di depan publik untuk sementara," ujar CEO Kim Junsu.

.

.

.

Pernyataan bahwa penyanyi baru Kim Jaejoong merupakan istri Jung Yunho sangatlah tidak masuk akal. Publik mulai berpikir bahwa Kim Jaejoong hanya mengada-ada. Wanita itu berharap untuk menjadi istri Jung Yunho. Mulai muncul rumor bahwa Jung Yunho menjadi sponsor dari penyanyi Kim Jaejoong dan wanita itu menginginkan lebih, yaitu menjadi Ny. Jung.

"Dasar wanita tidak tahu diri. Ia bermimpi terlalu tinggi. Ia hanyalah mainan bagi seorang Jung Yunho." Berbagai komentar negatif ditujukan untuk Jaejoong. Dengan sekejap Jaejoong kehilangan banyak penggemarnya. Hancur sudah karirnya yang baru saja ia bangun.

"Tn. Jung, apa yang akan kau lakukan?" CEO Kim bertemu dengan Yunho secara tertutup untuk mendiskuskusikan masalah ini. "Ini juga mempengaruhi reputasimu."

Yunho terlihat sangat tenang. "Aku akan mengadakan konferensi pers. Aku akan mengatakan bahwa hal yang mereka tuduhkan tidaklah benar. Putriku adalah penggemar Jaejoong, sehingga aku sering mengundang Jaejoong ke rumahku untuk menyenangkan putriku."

Yunho tahu bahwa Jaejoong pasti merasa terpuruk saat ini. Menjadi seorang penyanyi adalah impian wanita itu. Jaejoong telah mengorbankan banyak hal demi menggapai cita-citanya itu. Saat Jaejoong baru saja menikmati hasil dari kerja kerasnya selama ini, wanita itu ditimpa masalah yang sangat besar yang mengancam karirnya.

Yunho tidak bisa tinggal diam. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membahagiakan wanita itu, membuatnya tersenyum. Selama dua tahun hidup bersamanya, wanita itu lebih banyak terlihat murung daripada tersenyum. Dulu ia tidak bisa membahagiakan wanita yang sangat dicintainya itu. Kini ia harus berhasil membuat wanita itu tersenyum.

.

.

.

"Ayah, aku ingin bertemu ibu." Jiyool masih terbaring lemah di rumah sakit. "Mengapa ibu tidak datang untuk menjengukku? Apakah ibu marah karena kita tidak datang untuk menonton konsernya?"

"Saat kau sedang tidak sadar ibu datang mengunjungimu. Ia bahkan mendonorkan darahnya untukmu. Kau tidak boleh berpikiran negatif kepada ibumu." Yunho lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani putrinya di rumah sakit. "Mungkin ibu masih punya banyak pekerjaan, sehingga ia belum bisa mengunjungimu lagi."

Yunho berpikir. Putrinya itu sudah sangat dekat dengan Jaejoong. Publik akan semakin berpikir yang tidak-tidak jika Jaejoong tetap menemui Jiyool. Rumor-rumor negatif akan terus berdatangan. Ia harus mengambil sebuah keputusan yang sangat penting untuk menangani masalah ini. "Jiyoolie, ibu adalah seorang bintang. Mulai sekarang ia tidak akan bisa lagi menemui kita. Ia adalah bintang di langit yang tidak akan bisa kita jangkau."

Jiyool merengek. "Mengapa? Aku ingin ibu."

"Kita masih bisa melihatnya di televisi dan datang menonton konsernya," lanjut Yunho.

Jiyool menggeleng. "Aku ingin bermain bersama ibu."

"Bukankah ada ayah? Sebelumnya juga kau selalu bermain dengan ayah. Ayah tidak akan pernah meninggalkanmu." Yunho membelai kepala Jiyool dengan penuh kasih sayang.

Air mata Jiyool terus mengalir. Ia mencoba mengerti yang dikatakan oleh ayahnya. Ia adalah anak penurut.

Jiyool menyerahkan boneka usang kesayangannya kepada sang ayah. "Jika ayah bertemu dengan ibu, tolong berikan boneka ini kepadanya."

Yunho memandang putrinya dengan keheranan. "Bukankah ini adalah boneka kesayanganmu? Mengapa kau ingin memberikannya kepada orang lain?"

"Aku tidak ingin ibu melupakanku. Kuharap boneka ini akan mengingatkannya kepadaku." Air mata Jiyool mengalir semakin deras.

Yunho mengecup kening Jiyool. Ia merasa bangga mempunyai anak seperti Jiyool yang berhati besar. "Ia tidak akan pernah melupakanmu. Di dalam tubuh kalian mengalir darah yang sama. Seorang ibu tidak akan pernah melupakan anaknya."

Berat bagi Yunho untuk mengambil keputusan ini. Akan tetapi, inilah yang terbaik. Ia harus menyelamatkan karir Jaejoong. Hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk wanita yang sangat ia cintai.

.

.

.

Sesaat sebelum menemui wartawan pada konferensi pers, Yunho menemui Jaejoong untuk memberitahukan keputusannya. Jaejoong pasti syok mengetahui hal ini. Ia tidak ingin Jaejoong berbuat hal yang tidak-tidak. Setidaknya jika ia memberi tahu Jaejoong terlebih dahulu, ia akan mempunyai waktu untuk menenangkan wanita itu.

"Apa?" Sesuai dugaan, Jaejoong terkejut mendengar keputusan Yunho. "Kau tidak bisa berbuat begitu. Bagaimana dengan perasaan Jiyoolie? Apakah kau tidak memikirkannya?"

"Jiyoolie adalah anak yang cukup dewasa untuk ukuran anak seusianya. Ia bisa memahami keputusanku. Ia bisa menerimanya." Dada Yunho terasa sesak saat mengingat tangis Jiyool.

Air mata Jaejoong mengalir. Ia tidak peduli. Ia hanya berdua dengan Yunho di dalam ruangan. Mengapa Yunho melakukan itu kepadanya? Pria itu telah mendekatkan dirinya dengan Jiyool dan setelah mereka sangat dekat dan saling menyayangi, pria itu akan memisahkan mereka. "Jika akhirnya harus seperti ini, seharusnya kau tidak mengenalkanku kepadanya." Ia memegangi dadanya yang terasa sakit.

"Ya, aku menyesali hal itu." Yunho juga ikut menangis. "Mengapa takdir begitu kejam? Mengapa nasib kita begitu buruk? Aku hanya bisa pasrah menerimanya. Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku hanya bisa menyalahkan diriku yang tak bisa menghadirkan kebahagiaan ke dalam hidupmu. Aku adalah suami yang tak berguna. Aku tidak bisa memahami keinginan istriku. Selama dua tahun aku menyiksa batinmu."

Jaejoong memandang Yunho dengan mata bulatnya yang basah. Hatinya semakin terasa sakit melihat air mata pria itu. Ia belum pernah melihat Yunho menangis. Jung Yunho yang ia kenal adalah pria yang gigih, tak kenal putus asa, dan sangat tangguh. Ia tidak pernah menyangka bahwa pria itu terpuruk karena ditinggalkan olehnya. "Maafkan aku, Yunho! Ini semua bukan salahmu. Ini semua terjadi karena keegoisanku. Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku hanya memikirkan bagaimana meraih impianku. Aku sama sekali tidak memedulikanmu dan anak kita. Aku hanya memandang bintang yang tinggi di langit, sehingga aku tidak melihat bahwa ada orang-orang yang sangat menyayangiku dan peduli kepadaku. Sekarang aku sadar bahwa bintang yang kulihat di langit itu semu. Bintang yang sesungguhnya ada di dekatku. Kalian berdualah bintangku yang sesungguhnya, yang menerangi malam-malam gelapku, yang membawa keceriaan dalam hidupku."

Yunho mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata Jaejoong. "Jangan menangis, Sayangku! Semuanya akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja. Aku akan memenuhi janjiku kepadamu. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. Maafkan aku!" Ia memberikan boneka Jiyool kepada Jaejoong dan kemudian ia pergi meninggalkan Jaejoong dan mengunci wanita itu di dalam ruangan sendirian.

"Yunho, apa yang kau lakukan? Buka pintunya! Keluarkan aku dari sini!" Jaejoong berteriak dari dalam ruangan sambil menggedor-gedor pintu.

Yunho menyandarkan punggungnya pada tembok. Ini benar-benar keputusan yang berat baginya. Namun, ia tetap harus melakukannya. Ia tidak ingin karir Jaejoong hancur. Istrinya itu sudah mengorbankan segalanya untuk menjadi seorang penyanyi. Istrinya itu sudah lama hidup menderita. Ia ingin mewujudkan mimpi Jaejoong. Setelah melangsungkan konferensi pers, ia akan langsung memboyong putrinya ke luar negeri dan akan menetap di sana. Ia akan menghilang dari kehidupan Jaejoong. Mungkin mereka memang tidak berjodoh.

.

.

.

Jaejoong menangis dengan sangat keras. Ia menyesali semuanya. Ia menyesal mengapa selama dua tahun itu ia tidak berusaha untuk mencintai suaminya. Yunho adalah pria yang sangat baik dan menyayangi dirinya dan ibunya. Ia telah dibutakan oleh ambisinya untuk menjadi seorang penyanyi, sehingga ia tidak bisa melihat cinta dan kebaikan pria itu. Mengapa ia baru mencintai pria itu sekarang, tidak sejak dulu saat mereka masih bersama?

Jaejoong mengusap air matanya. Ia memandangi boneka beruang, hadiah ulang tahunnya dari sang ibu yang kini sudah menjadi milik Jung Jiyool. Ia sudah menyesali perbuatannya. Ia tidak peduli lagi dengan karirnya. Keluarganya lebih berharga. Hampir sepanjang hidupnya ia tidak pernah bahagia. Kali ini ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bahagia. Ia harus mencari cara untuk keluar dari ruangan ini dan mencegah kepergian Yunho.

Jaejoong mendekati jendela. Ia berada di lantai tiga sebuah gedung. Di bawah adalah tempat berlangsungnya konferensi pers yang diadakan oleh Yunho. Para wartawan sudah memenuhi area tersebut. Apakah ia harus berteriak meminta tolong agar orang-orang menyadari keberadaannya dan membebaskannya dari sana? Keadaan di bawah sana terlalu ramai. Orang-orang tidak akan mendengar teriakannya. Lalu apakah ia harus melompat? Ia bisa mati jika melakukannya.

Jaejoong mengumpulkan segenap keberaniannya. Ia memanjat jendela. Ia keluar dari ruangan tersebut melalui jendela. Ia berpegangan pada apa pun yang bisa ia pegang yang menempel di dinding.

Jantung Jaejoong berdetak dengan sangat cepat. Ia merasa sangat takut. Kedua kaki dan tangannya gemetaran. Tidak, ia tidak boleh terjatuh. Ia tidak ingin mati sekarang. Ia belum siap untuk mati. Ia masih ingin melihat putrinya, meskipun hanya sekali.

Kepala Jaejoong mulai terasa pusing. Ia memaksakan dirinya untuk turun menyusuri dinding.

Pandangan Jaejoong mulai kabur. Ia sudah tidak kuat lagi berpegangan pada dinding. Ia mulai kehilangan keseimbangan.

"Lihat, ada orang di sana!" Seorang wartawan mendeteksi keberadaan Jaejoong lewat kameranya. "Orang itu akan jatuh!" Sontak saja seluruh pandangan tertuju kepada Jaejoong.

Jaejoong sudah tidak kuat lagi. Pegangannya terlepas. Tubuhnya terhempas ke bawah. Bu, aku datang. Maafkan aku, Bu! Aku sudah tidak kuat lagi. Jiyoolie, maafkan ibu, Nak! Sampai akhir pun aku tidak bisa mengakuimu sebagai anakku. Maafkan semua kesalahanku kepadamu, Nak! Aku telah meninggalkanmu. Aku telah menelantarkanmu selama lima tahun. Terakhir, maafkan aku, Yunho! Kau adalah malaikat penjagaku, hadiah terbaik dari Tuhan untuk menjagaku. Maafkan aku yang telah menyia-nyiakan cintamu.

The End