Spring, 2016.
Chanyeol menghela napas di depan mejanya berkali-kali, banyak hal mengganggunya hingga ia tidak tidur semalaman. Chanyeol melihat tumpukan berkas MRI di depannya, menganalisisnya satu per satu.
Hanya butuh satu bulan, hanya dalam jangka waktu satu bulan perkembangan penyakit Baekhyun bergerak cepat.
Chanyeol tahu ini akan segera terjadi, semua penderita ataxia mengalami perkembangan penyakit dan melemahnya kemampuan tubuh satu demi satu. Tapi Chanyeol tidak percaya bisa sedemikian cepatnya, ia merasa tidak berguna di waktu yang bersamaan.
Pintu ruang kerjanya diketuk dari luar, Chanyeol mempersilakan orang tersebut masuk dan muncul Jongdae dengan raut wajah penuh tanya.
"Ada apa memanggilku kemari pagi-pagi?" tanya Jongdae begitu masuk ke dalam ruangan.
"Duduklah, aku ingin memberitahu sesuatu."
Jongdae duduk lalu menghela napas. Ia menjamin ini bukan sesuatu yang menyenangkan untuk didengar di pagi yang cerah seperti ini.
"Baekhyun lumpuh total." Chanyeol berkata tiba-tiba, membuat Jongdae hampir menahan napasnya.
"Aku sudah menduga."
"Apa?"
"Kau memintaku untuk memfokuskan terapi pada koordinasi gerak tangannya selama hampir dua minggu berturut-turut, yang mana itu tidak mungkin karena seharusnya kaki Baekhyun juga perlu treatment. Jadi kupikir, kau sedang meneliti untuk diagnosa selanjutnya, atau ada sesuatu yang ingin kau sembunyikan dari Baekhyun."
"Aku memeriksa ini berulang-ulang dan hasilnya sama." Chanyeol menampilkan bagian tubuh Baekhyun pada sebuah layar. "Kekuatan saraf Baekhyun menurun drastis jadi otot kakinya tidak menerima respon apapun dari sarafnya. Beberapa sarafnya sudah benar-benar lenyap. Dan ini, otot kaki Baekhyun mulai mengalami penyusutan."
Chanyeol menatap Jongdae, "Sebulan yang lalu Baekhyun jatuh dari tempat tidurnya dan mengalami pendarahan. Aku yakin itu menjadi salah satu pemicu kelumpuhannya."
Jongdae balik menatap Chanyeol, "Lalu kapan kau berencana memberitahu hal ini pada Baekhyun dan ayahnya?"
Chanyeol tertawa miris, "Kau tahu saja hal apa yang kurisaukan."
Chanyeol memijat pelipisnya, tiba-tiba pusing menyerang. Tidak ada yang bisa Jongdae lakukan kecuali menepuk punggung temannya itu untuk memberinya semangat. Jongdae mengenal Chanyeol selama dua tahun semenjak Chanyeol memulai praktik kerjanya di rumah sakit ibunya sendiri, dan ia belum pernah melihat lelaki tinggi itu seputus asa ini.
"Hanya satu bulan, Jongdae. Hanya satu bulan dan Baekhyun sudah kehilangan kakinya. Semua ini sia-sia saja."
"YA! Chanyeol! Kenapa kau tiba-tiba begini, hah?! Kau sudah menangani beberapa pasien sebelumnya, dan kau tidak pernah seperti ini."
"Mana bisa aku melihat adikku lumpuh, Kim Jongdae! Meskipun dia adik tiriku, aku sudah menyayanginya seperti menyayangi kakak kandungku sendiri. Lalu bagaimana Baekhyun bisa menerima keadaannya? Aku tidak sampai hati melihatnya menderita."
"Dan kau seorang dokter, bersikaplah profesional. Tugasmu adalah memeriksa dan melaporkan semua hal yang telah kau periksa pada pasien dan keluarganya yang cemas. Lalu tugasmu yang berikutnya adalah membuat pasien merasa lebih baik. Kalau memang Baekhyun merasa sangat buruk karena sang dokter memberitahukan padanya bahwa salah satu anggota tubuhnya telah lenyap, maka buatlah dia merasa lebih baik seperti seorang kakak pada adiknya. Kau bisa memainkan dua peranmu, kau pasti bisa."
Chanyeol menghela napas panjang, kemudian berterima kasih pada Jongdae yang telah memberinya nasehat di pagi hari. Ia seorang dokter, dia tidak boleh seperti ini.
"Sepertinya kau butuh tidur, Pak Dokter." Jongdae memberikan candaannya seperti biasa.
"Bagaimana kau tahu aku belum tidur?"
"Kantung matamu."
"Astaga," Chanyeol tertawa lalu mengucek matanya. "Aku belum tidur semalam karena berkas-berkas ini menghantuiku." Jongdae melihat berkas MRI yang berserakan di meja Chanyeol.
"Setelah jam sarapan Baekhyun ada jadwal terapi denganku, aku akan menemani Baekhyun sampai jam terapi. Lebih baik kau istirahat saja, tidur beberapa jam mungkin bisa menolongmu. Aku yang akan memberitahu Baekhyun soal keadaan kakinya."
"Kau serius?"
"Apa wajahku terlihat meragukan?"
Chanyeol tersenyum lega, "Wajahmu sangat meragukan, tapi kau yang paling bisa diandalkan." Lelaki itu menepuk punggung Jongdae.
"Beritahu keluarga Baekhyun tentang hal ini. Kuatkan hati Baekhyun. Semua pasien ataxia harus tahu mereka akan mengalami fase seperti ini dan harus bertahan hidup, jadi tidak ada waktu untuk Baekhyun menderita seperti yang ada di bayanganmu. Mengerti?"
"Ya, terima kasih."
Membuat Baekhyun merasa lebih baik, itu tugas tambahan Chanyeol sebagai kakak sekaligus dokter pribadi lelaki mungil itu.
Chanyeol masuk ke kamar Baekhyun sekitar pukul sebelas siang. Tubuhnya sudah segar karena ia telah mendapat tidur selama kurang lebih tiga jam, ini lebih baik daripada dia tidak tidur seharian. Hanya karena memikirkan seorang pasien membuat Chanyeol insomnia mendadak.
Ketika Chanyeol masuk ke ruang dengan nomor 192 itu, Baekhyun tidak menyadari keberadaannya. Chanyeol sendiri hanya diam dan tidak ingin mengganggu Baekhyun yang sedang menulis, jadi ia hanya berdiri dan mengamati dari pintu. Lelaki itu melihat tangan Baekhyun yang memegang bolpoin tidak seperti biasanya, dan gerakan tangannya yang mulai banyak terhambat ketika menggoreskan tinta. Secepat ini kemampuan tubuh Baekhyun melemah, Chanyeol hanya bisa membatin dengan miris.
"Hey, Baekhyun-ah." Baekhyun sedikit tersentak namanya disebut, kemudian ia menoleh dan mendapati Chanyeol ada di depan pintu. Ia segera menutup buku di depannya, membuat Chanyeol sedikit mengernyitkan dahi.
"Kenapa ditutup bukunya? Lanjutkan saja menulisnya," ujar Chanyeol sambil berjalan mendekat ke ranjang Baekhyun, namun Baekhyun menggeleng dan tetap menutup bukunya. "Ah iya, aku lupa. Selamat pagi, pasien Byun Baekhyun. Bagaimana keadaanmu? Apa ada sesuatu yang kau keluhkan?"
"Selamat pagi, dokter Chanyeol. Omong-omong, ini sudah siang, jadi selamat siang, dokter Chanyeol. Kau sangat telat, ya? Keadaanku baik-baik saja dan tidak ada yang kukeluhkan," ujar Baekhyun sedikit bergurau dan tersenyum lebar, membuat Chanyeol tertawa kecil di tempatnya berdiri. Entah mengapa ada satu kelegaan di lubuk hati Chanyeol melihat Baekhyun dalam keadaan ceria seperti ini.
"Baguslah kalau begitu. Maaf baru bisa mengunjungimu siang-siang begini, semalam ada pekerjaan yang harus kuselesaikan jadi aku tidak tidur. Untung Jongdae mau menggantikanku menemanimu selagi aku tidur."
Baekhyun mendengarkan penjelasan Chanyeol lalu mendecih, "Ck, ternyata aku pasien yang ditinggal tidur oleh dokternya."
"Ugh, ayolah, tidur adalah kebutuhan setiap manusia. Oke, oke, aku akan menebusnya dengan menemaninu sepanjang siang sampai jam terapimu sore nanti. Kau ingin kemana? Jalan-jalan di sekitar rumah sakit? Pergi ke kedai es krim? Ke taman? Kemanapun kau mau."
"Kemanapun?"
"Ya."
"Aku ingin pulang."
"Hah?"
Baekhyun tertawa melihat reaksi Chanyeol yang terkejut begitu. Sepertinya orang-orang sangat paranoid jika ia ingin kabur atau keluar dari rumah sakit.
"Aku rindu rumah, nanti juga kembali lagi kesini untuk terapi. Jangan terkejut begitu."
Chanyeol memutar bola mata, "Kupikir penyakit alergi rumah sakitmu kambuh lagi. Baiklah, kita pulang. Tunggu disini selagi aku ambil kunci mobil di ruanganku dulu."
Lelaki tinggi itu berjalan hendak keluar ruangan namun langkahnya terhenti ketika Baekhyun memanggilnya, "Dokter!"
Chanyeol berbalik. "Ya?"
"Sebenarnya ada satu hal yang kukeluhkan," ujar Baekhyun.
"Apa?"
"Kenapa bukan dokter pribadiku yang mengatakan bahwa aku lumpuh total? Kenapa harus seorang terapis yang justru menjelaskannya padaku. Ada apa dengan dokterku?"
Seperti ada sesuatu yang menahan tubuhnya, Chanyeol terdiam di tempat. Oksigen sepertinya sedang susah didapatkan oleh karena itu rasanya ia susah bernapas. Bagaimana bisa Baekhyun bertanya hal seperti itu? Ini diluar dugaan Chanyeol. Ia merasa tidak menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan benar.
"Dan sekarang, kenapa dokterku malah diam?" Baekhyun berujar lagi, Chanyeol dengan refleknya menghembuskan napas keras-keras ke udara. Ia berjalan mendekati Baekhyun dan memeluk anak itu.
"Aku takut menghancurkan perasaanmu. Aku takut menghancurkan mentalmu. Banyak hal yang menakutiku. Aku juga takut, mungkin aku akan menghancurkan mimpi-mimpimu."
Baekhyun tersenyum kecil di balik punggung Chanyeol, setelah itu mendorong bahu kakak tirinya itu agar melepaskan pelukannya dari tubuhnya.
"Kau sangat berlebihan, Dokter."
"Maafkan aku."
"Tidak masalah. Sekarang cepat ambil kunci mobilmu, aku ingin pulang. Sumpah aku rindu rumah!" Chanyeol mengangguk cepat dan tersenyum paksa, lalu berbalik dan berjalan keluar.
"Chanyeol Hyung!" Baekhyun menghentikannya lagi sebelum Chanyeol membuka pintu kamar. "Aku tidak apa-apa, jadi kau jangan takut. Kau telah melakukan yang terbaik. Percayalah, Hyung."
Ketika keluar dari kamar Baekhyun, Chanyeol tidak tahu mengapa perasaannya menjadi seringan ini.
"Kenapa malah kau yang memberitahuku soal ini, Jongdae-ssi? Kau bilang aku lumpuh, tapi dokterku tidak bilang apa-apa. Bagaimana aku bisa percaya?"
"Inilah titik lemah seorang dokter ketika menangani keluarganya sendiri atau seseorang yang disayanginya. Mereka takut apa yang telah mereka lakukan malah tidak membuat pasien menjadi lebih baik, dan mereka takut tidak melakukan yang terbaik."
Baekhyun duduk di samping kursi kemudi, di sebelahnya ada Chanyeol yang menyetir dengan tenang. Chanyeol sengaja mengemudi dengan santai, dia tahu Baekhyun butuh refreshing dengan melihat-lihat jalanan kota. Sebulan lebih di rumah sakit pasti rasanya seperti dikurung dari dunia luar.
Lelaki mungil itu membuka kaca mobil dan sedikit melongokkan kepalanya keluar. Angin musim semi masih terasa segar walaupun hari sudah siang, atau memang karena Baekhyun yang tidak pernah keluar? Entahlah. Sehari-hari dia hanya menghirup bau antiseptik rumah sakit.
"Ingin beli sesuatu sebelum sampai rumah? Chanyeol menawarkan, tapi Baekhyun menggeleng dan mengajak langsung ke rumah saja. Anak ini kelewat bersemangat untuk melihat rumah.
Mereka sampai di rumah sekitar lima belas menit kemudian. Chanyeol menurunkan kursi roda Baekhyun, lalu membantu Baekhyun duduk disana. Baekhyun tersenyum lebar ketika pintu rumah dibuka oleh Chanyeol. Anak itu langsung menggerakkan kursi rodanya sendiri menuju depan televisi. Chanyeol melihatnya sedang memilih-milih DVD di rak. Ternyata anak ini sudah punya rencana ketika sampai di rumah.
Ketika Baekhyun menjatuhkan keping DVDnya saat memasukkannya ke DVD player, Chanyeol langsung membantunya memungut. Baekhyun tetap menyengir lebar walaupun kemampuan tangannya sudah mengalami penurunan dengan jelas. Anak itu mengambil remot, lalu mundur dan bersiap menonton.
"Ah iya, apa Hyung masih punya es krim di kulkas?" Baekhyun bertanya tiba-tiba. Chanyeol mengernyit.
"Aku tidak pernah membeli es krim dan menaruhnya di kulkas rumah ini."
"Tapi kau bilang kau punya satu ember es krim."
"Kapan?"
"Di surat yang kau selipkan di pintu kamarku."
Chanyeol menepuk dahinya.
"Eum...kau tau lah, aku hanya membujukmu." Dia menyengir, Baekhyun memutar bola matanya lalu fokus ke televisi ketika film di dalam DVDnya telah diputar. Tidak menghiraukan Chanyeol yang mengambil duduk di sofa dekatnya.
Chanyeol tidak begitu paham itu DVD tentang apa, jadi dia hanya menyilangkan tangannya di dada sambil melihat dengan santai. Disitu terlihat dua orang anak remaja sedang bermain-main di tepi pantai. Mereka berlari-lari, saling melempar-lempar pasir satu sama lain, lalu salah satu dari dua anak itu jatuh dan satunya ikut menjatuhkan dirinya lalu bergulung-gulung di pasir. Salah satu anak itu membawa sebuah kue tart ukuran sedang saat malam hari lalu mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun bersama.
Chanyeol mendapati salah satu anak itu mirip dengan Baekhyun.
Video lainnya memperlihatkan seorang anak kecil sedang merayakan ulangtahunnya bersama ibu dan ayahnya. Chanyeol kenal sekali itu adalah Tuan Byun, dan anak kecil itu pasti Baekhyun. Lalu...apakah itu ibu Baekhyun?
Chanyeol melirik lelaki kecil itu. Baekhyun hanya diam di kursi rodanya dengan bibirnya yang mengukir senyum. Dan Chanyeol kemudian mendapati setetes demi setetes airmata jatuh dari pelupuk mata anak itu.
Chanyeol tidak berani bertanya atau mengomentari apapun, jadi dia menunggu sampai video itu selesai terputar. Sekitar setengah jam, lalu Baekhyun menghapus airmatanya dan berbalik menatap Chanyeol.
"Apa kita akan ke rumah sakit sekarang?" tanya Baekhyun setelah selesai menonton.
"Aku tidak mungkin membawamu kembali dengan mata sembab," jawab Chanyeol. "Siapa anak laki-laki yang bermain denganmu di pantai? Dan wanita yang merayakan ulang tahun denganmu?"
"Oh, anak laki-laki itu sahabatku sejak SMP, dan wanita itu ibuku."
Benar dugaan Chanyeol.
"Lain waktu kenalkan aku dengan sahabatmu, ya? Kau bisa juga ajak dia main ke rumah sakit."
"Dia sudah meninggal saat kelas sepuluh."
"Oh..."
"Namanya Do Kyungsoo, dia memperkenalkan dirinya sebagai pengidap pneumothoraks ketika kami berkenalan, dan aku memperkenalkan diriku sebagai pengidap ataxia. Kami pikir itu lucu, dua orang yang memiliki riwayat penyakit berbeda, jadi kami saling menghargai. Sejak SMP dia yang selalu membantuku tiap kali aku kesusahan menghadapi tubuhku yang kadang rewel. Seperti saat SMA, ketika aku mulai sering terpeleset saat naik tangga, dia selalu menuntunku dan ada di sampingku seperti bodyguard. Dia menyuruhku berjanji untuk tidak meninggalkannya dengan cepat jadi aku harus bersemangat, tapi nyatanya dia yang meninggalkanku duluan. Itu video saat ulangtahunku yang keenam belas. Kami menghabiskan liburan musim panas di pantai. Lalu beberapa bulan setelah kami pulang, Kyungsoo dirawat di rumah sakit lalu pergi."
"Lalu ibumu?"
"Kau tahu sendiri ibuku meninggal di ulang tahunku yang ketujuh belas. Itu video saat aku merayakan ulang tahun yang kesepuluh."
"Kau menyimpan semua kenangan dengan rapi, ya?"
"Hanya kenangan yang sempat terekam. Aku melihat DVD itu setiap setahun sekali di hari ulang tahunku. Hari ini aku berulang tahun kedua puluh jadi aku menontonnya."
Chanyeol sedikit terkejut mengetahui hari ini Baekhyun berulang tahun, ia tidak tahu apa-apa. Dan kejadian pagi ini saat Baekhyun mengetahui dia lumpuh total di hari ulang tahunnya, Chanyeol tidak bisa membayangkan perasaan Baekhyun yang sebenarnya.
"Maaf aku tidak tahu kalau kau berulang tahun, aku tidak menyiapkan apa-apa."
Baekhyun tersenyum lembut, "Tidak masalah. Lagipula aku sudah selesai merayakan ulang tahunku. Ayah juga sudah mengirimku ucapan lewat pesan singkat."
"Kalau begitu, selamat ulang tahun, ya." Chanyeol merangkul Baekhyun, hanya itu yang bisa dia lakukan. "Jadilah anak yang baik, jangan berkecil hati dan tetap optimis. Percayalah bahwa kehadiranmu membawa kebahagiaan untuk orang lain, dengan itu kau akan selalu memiliki alasan untuk tetap hidup."
Baekhyun mengangguk, "Terima kasih, Hyung." Chanyeol melepaskan pelukannya dari Baekhyun. "Apa aku boleh meminta sesuatu?" pinta Baekhyun.
"Tentu saja. Apapun."
Baekhyun berganti memeluk Chanyeol. "Jangan tinggalkan aku, ya? Aku sudah banyak kehilangan jadi jangan pergi, Hyung. Tetaplah bersamaku. Aku ingin merayakan ulang tahunku yang selanjutnya bersamamu. Aku ingin tetap sehat. Aku ingin tetap hidup. Aku ingin tetap melihat orang-orang yang kusayangi. Janji jangan tinggalkan aku, ya?"
Chanyeol tersenyum dan membalas pelukan Baekhyun hangat. "Aku janji tidak akan meninggalkanmu."
Summer, 2016.
Musim panas bulan Juni mulai menyapa, dan Chanyeol merasa moment ini tidak bisa dilewatkan. Ia masuk ke kamar Baekhyun lebih pagi dari biasanya dan mendapati anak itu sudah bangun dengan wajah segar dan sedang menulis di meja. Seperti biasa, Chanyeol mengamati dari kejauhan, tidak ingin mengganggu konsentrasi Baekhyun. Menulis adalah kegiatan yang mulai terasa susah untuk Baekhyun, jadi Chanyeol bisa wajar.
Setelah Baekhyun selesai dia menutup buku. Anak itu memberi senyuman pada Chanyeol yang berdiri di dekat pintu sedangkan tangannya terulur mengambil segelas air putih di meja sebelah ranjangnya. Chanyeol langsung berjalan mendekat, takut-takut tangan Baekhyun tidak kuat menggenggam gelas kaca dan akhirnya pecah seperti yang sudah-sudah.
Baekhyun menanyakan tumben Chanyeol datang sangat pagi, biasanya dokter itu datang saat jam sarapan atau mendekati. Lelaki tinggi itu mengatakan idenya pada Baekhyun.
"Mau ke pantai?"
"Kau sungguh mau membawaku ke pantai?" Baekhyun langsung histeris. Namun volume suaranya seperti orang yang kehabisan suara, sedikit samar-samar. Chanyeol menduga pasti pita suara Baekhyun sekarang mulai ikut bermasalah.
"Tidak ke pantainya juga, sih. Ke tempat dimana kau bisa lihat pantai."
"Call."
...
"Waaahhh!" Baekhyun tertawa lepas setelah Chanyeol menurunkannya dari mobil dan mendudukkannya di kursi roda. Mereka berhenti di pinggir jalan dan satu-satunya hal yang menarik mata Baekhyun adalah pemandangan pantai yang bisa dilihatnya dari jarak jauh.
"Kau suka?"
"Tentu saja! Duh, aku tidak bawa ponsel untuk foto."
"Pakai ponselku saja, nanti kukirim."
Chanyeol memotret setiap angle yang diinginkan Baekhyun. Mengambil gambar anak itu juga kemudian mereka berfoto bersama. Terkadang kebahagiaan seorang pasien bukan karena dokter yang mengatakan penyakitnya akan lekas sembuh atau mulai membaik, tapi bagaimana pasien bisa melupakan bahwa terdapat penyakit yang bernaung di tubuh mereka separah apapun itu, mereka tetap punya alasan untuk tersenyum.
Di perjalanan pulang, Baekhyun bercerita banyak soal kenangan masa kecil dan masa remajanya soal pantai atau laut. Dia banyak menceritakan Kyungsoo, terlihat sekali anak ini merindukan teman sebayanya. Baekhyun juga bercerita dulu banyak temannya meremehkan dirinya karena punya penyakit seperti ini, tapi Kyungsoo tidak.
"Guru-guru memperlakukanku berbeda, mereka banyak yang iri. Sampai ada yang menyebar rumor murahan kalau penyakitku menular. Dasar bodoh! Aku memang sakit tapi tidak selera menyebarkan penyakitku pada orang-orang."
Curhatan itu mendadak jadi luapan emosi Baekhyun. Chanyeol tertawa gemas.
"Aku tidak butuh mereka. Aku cuma butuh orang-orang yang bisa menerimaku."
Chanyeol menatap Baekhyun dan memberikan senyuman terbaiknya.
"Masih banyak orang yang menerimamu, Baek."
Baekhyun mengangguk lalu tersenyum lebar.
"Aku akan mengetes kualitas suara dan pernapasanmu, coba katakan "A" sedikit panjang."
Baekhyun menuruti perintah Chanyeol. Ia mengucapkan "A" dengan sedikit panjang otomatis dia harus menahan napasnya.
"Sejauh ini suaramu normal. Ucapkan lebih panjang."
Perintah itu dituruti lagi. Tapi Chanyeol mendapati suara Baekhyun menjadi serak dan putus-putus. Baekhyun mengehentikan kegiatannya. Ia mengambil napas sebisa mungkin.
"Apa yang kau rasakan, Baek?"
"Aku berusaha mengucapkan "A", tapi rasanya napasku tertahan. Ada a—pa dengan—ku?"
"Apa akhir-akhir ini bicaramu sering terhambat?"
Baekhyun berpikir sebentar kemudian mengangguk. "Terkadang aku tidak bisa mengeluarkan napasku ketika bicara, jadi tak ada suara yang keluar, atau suaraku mengecil."
Chanyeol mengangguk mengerti kemudian ia beranjak ke rak di belakang mejanya dan mengambil sebuah buku dengan jilidan warna putih. Dia menyodorkan benda itu pada Baekhyun.
"Suaramu harus dilatih. Bacalah buku ini di kamar setiap saat dengan bersuara. Aku membuatnya sendiri untuk pasienku yang harus membiasakan pita suaranya. Sebenarnya penanganan yang tepat adalah mengajak pasien berinteraksi dengan mengobrol, tapi menurutku itu juga tidak efektif karena kita butuh lawan bicara. Jadi aku buat buku ini."
Baekhyun mengangguk.
"Oh iya, jangan biarkan tenggorokanmu kering. Oke? Minum air putih secara rutin."
Baekhyun mengangguk lagi.
"Baiklah, mau kembali ke kamar?"
"Eum, aku mau bertanya. Apa suaraku akan seperti ini? Maksudku, bisa kembali—atau bertambah parah?"
Mendengar pertanyaan semacam itu keluar dari mulut Baekhyun, Chanyeol terdiam. Tatapan mata anak itu penuh harap. Dia tidak bisa membayangkan akan menyakiti perasaan Baekhyun setiap kali menginformasikan kondisi tubuhnya yang akan bertambah parah setiap saat.
Melihat Chanyeol tak mengatakan apa-apa, Baekhyun memberikan senyumnya mencairkan suasana. "Ah tak apa, tak apa. Aku sudah tau jawabanya. Aku hidup dengan pengidap ataxia selama bertahun-tahun jadi aku sudah tahu. Hanya saja...kau tidak perlu merasa tak enak hati untuk mengatakan kenyataan, dokter." Baekhyun menggenggam telapak tangan Chanyeol dan memberinya senyum manis. "Aku baik-baik saja. Selama aku masih bisa hidup, aku baik-baik saja."
Ya, Baekhyun benar. Selama Chanyeol masih bisa melihat Baekhyun, seharusnya ia tak perlu khawatir.
Malam itu Chanyeol menengok Baekhyun sekitar pukul delapan, sekedar ingin menemani sekalian memberitahu bahwa ayahnya akan pulang dari luar kota besok pagi. Baekhyun pasti merindukan ayahnya yang pergi sebulan lebih.
"Selamat malam, Baek." Chanyeol menyapa ketika memasuki kamar. Baekhyun tersenyum lembar sembari membalas sapaan Chanyeol. Di tangan Baekhyun terdapat buku yang diberi Chanyeol tadi siang. Sebagai dokter ia senang kalau pasien semacam Baekhyun bisa ia jinakkan seperti ini.
Chanyeol melirik Baekhyun, "Kenapa bukunya hanya dibalik-balik saja? Kan sudah kubilang dibaca dengan bersuara," ujar Chanyeol ketika tahu Baekhyun hanya membalik-balikkan bukunya dan entah dibaca atau tidak.
"Kenapa kata-kata disini aneh sekali? Ka-ka-ka-ka-ri-ka-ri-la-ka-ri-ka," Baekhyun membacanya dengan ekspresi aneh. "Bacaan macam apa ini?"
Chanyeol tertawa gemas, "Itu untuk melatih pita suara dan lidahmu, Baek. Jangan harap kau menemukan kata-kata yang menyambung satu sama lain." Chanyeol tertawa lagi sembari duduk di tepi ranjang Baekhyun menghadap anak itu.
"Wah, aku baru tahu kau bisa membuat buku seperti ini. Kau bisa menjadikan ini sebagai koleksi buku langka di perpustakaan kota bersama koleksi buku braille."
"Baiklah, aku akan mencetaknya lebih banyak lagi kalau sempat" jawab Chanyeol dengan candaan. "Oh iya, ini beberapa kue dari ibuku." Chanyeol menunjuk sebuah tas jinjing dengan warna cantik yang tadi ia taruh di meja. Baekhyun mengangguk sekilas.
"Wah apa ini?" Chanyeol melihat sebuah kertas yang diselipkan di sisi tas itu lalu menariknya. "Sepertinya ini surat dari ibu untukmu." Ia memberikan kertas itu pada Baekhyun.
"Untukku?" Baekhyun meraih kertas persegi panjang itu lalu membuka isinya.
Aku membuatkan kue beras untuk camilan di rumah sakit. Kau pasti sering merasa bosan, makanya aku sempat menyuruh Chanyeol untuk mengajakmu jalan-jalan. Apa dia sudah membawamu ke banyak tempat? Refreshing sangat perlu untuk mendukung keadaan mental pasien. Akhir-akhir ini aku sering mengirimimu pesan ke ponselmu tapi sepertinya kau tidak membacanya sama sekali. Apa kau baik-baik saja, Baekhyun? Semoga kau selalu baik. Jangan khawatir, Chanyeol selalu menjagamu. Kalau dia tidak menjagamu dengan baik, bilang saja padaku, biar aku yang memukul kepala anak itu.
Oh iya, kalau kau ingin membeli sesuatu, bilang saja pada Chanyeol. Dia baru saja menerima gaji bulan ini jadi uang di dompetnya masih banyak. Kkkk
Beristirahatlah dengan baik, Baekhyun!
Chanyeol mengernyit ketika Baekhyun tertawa kecil membaca surat tersebut. Dia jadi penasaran apa yang ditulis ibunya sampai Baekhyun seperti itu. Ngomong-ngomong, apa Baekhyun sudah menerima ibunya?
"Surat apa itu? tanya Chanyeol pada akhirnya.
"Ibumu bilang kau baru gajian."
"Hah?"
Chanyeol merebut surat itu lalu reflek menggertakkan gigi ketika membacanya.
"Dasar ibu." Chanyeol merutuk.
Baekhyun tertawa. "Sampaikan terimakasih pada Eomma, aku akan memberikan surat balasan besok. Sayang sekali aku sudah tidak bisa mengetik dengan benar, bisa-bisa ponsel itu kujatuhkan berkali-kali," ujar Baekhyun. Ia lalu berusaha mengambil tas jinjing berisi makanan itu. Chanyeol membantunya karena tangan Baekhyun sudah tidak kuat menahan benda-benda berat.
Chanyeol menatap Baekhyun yang sedang berusah membuka tas jinjing tersebut dan mengeluarkan isinya. Chanyeol sengaja membiarkan Baekhyun melakukannya sendiri tanpa bantuan.
"Wah, kue buatan Eomma sangat enak," komentar Baekhyun sambil menguyah makanan di mulutnya lalu menggigit lagi dengan gigitan besar. Chanyeol terdiam sejenak.
"Baekhyun, apa kau sudah menerima ibuku?"
Pertanyaan Chanyeol itu bagai pisau yang menusuk paru-parunya, membuatnya sedikit sesak. Jika boleh jujur, tak ada yang Baekhyun harapkan dari seorang ibu tiri kecuali jika orang itu bisa menjadi sosok pengganti ibunya dan membuatnya nyaman. Sikap lembut dan baik ibu Chanyeol selalu membuat Baekhyun teringat pada ibunya. Mungkin jauh di sana, ibunya menginginkan Baekhyun untuk bisa bahagia dengan orang-orang di sekelilingnya siapapun mereka.
"Aku tidak tahu, Hyung. Pilihan untuk membenci atau menerima sama sekali tak bisa kupilih. Lagipula apa yang akan kuharapkan dari membenci, dan apa yang kuinginkan dari menerima? Aku hanya ingin bersikap baik pada semua orang."
Jawaban Baekhyun membuat suasana kamar menjadi hening. Hanya bunyi gertakan pelan gigi Baekhyun yang sedang mengunyah terdengar. Chanyeol sendiri tak tahu harus berkata apa.
Lagipula apa yang kuharapkan lagi? Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk hidupku.
Jika dirasa takdir mempermainkannya, Baekhyun akan selalu merasa begitu setiap hari sejak umur tiga belas. Ataxia, sebuah penyakit yang tak pernah disangka-sangka anak itu, merusak semua aspek kehidupannya, bahkan untuk sekedar berangkat ke sekolah dan bersenang-seneng seperti teman-teman yang lainnya. Di umur tiga belas, Baekhyun masih bisa berlari, masih bisa menendang bola, masih bisa melompat-lompat dengan mudah, masih merasa normal. Tapi semua itu perlahan lenyap seperti mimpi buruk.
Perlahan tapi pasti, Baekhyun menemukan keanehan pada tingkah lakunya sehari-hari, begitu juga tingkah laku ibunya yang semakin lama semakin tidak wajar. Baekhyun pernah melihat ibunya yang kesulitan menaiki tangga rumah, bahkan wanita itu butuh sekitar tiga jam hanya untuk mencuci satu keranjang baju kotor. Baekhyun juga pernah melihat ibunya tersedak makan siangnya kemudian tercekik hebat akibat paru-paru yang tiba-tiba tidak bisa bekerja. Ia kebingungan luar bisa dan untung saja tetangganya seorang suster rumah sakit jadi ibunya masih bisa diselamatkan dengan dibawa ke rumah sakit cepat-cepat.
Yang paling membuat Baekhyun terkejut setengah mati adalah ketika ibunya jatuh dari tangga dan ia menemukan darah mengucur hebat dari kepala wanita itu. Saat itu usia Baekhyun enam belas, dirinya baru saja menangis habis-habisan karena sahabatnya, Kyungsoo, baru saja meninggal dunia, dan ibunya berulah dengan jatuh dari tangga.
Yang paling parah menurut Baekhyun adalah di usianya yang ketujuh belas. Kedua kakinya sudah tidak bisa berjalan dengan normal, dan semakin banyak teman-teman yang mengejeknya juga semakin sedikit yang membelanya seperti yang dilakukan Kyungsoo selama ini. Baekhyun tak bisa merasakan sesedih apa dirinya sepanjang hari, tapi hari yang paling ia tunggu-tunggu adalah hari ulang tahunnya yang tinggal tiga hari lagi.
Tapi semua bayangan menyenangkan anak itu musnah di tengah jalan. Di hari ulang tahunnya, Baekhyun harus berdiam diri di rumah sakit dengan perasaan cemas. Semua keluarganya melupakan ulang tahunnya, yang mereka ingat hanyalah mendoakan ibunya yang sedang kritis di dalam kamar rumah sakit. Katanya, usia tujuh belas adalah tolak awal kedewasaan diri seorang remaja, maka Baekhyun berusaha menegarkan hatinya seperti yang dilakukan orang dewasa ketika ibunya menghembuskan napas terakhir.
Namun, terlepas dari semua itu, dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ketegaran itu hancur perlahan, Baekhyun rindu kasih sayang ibunya. Ia tidak bisa berbohong.
Bahkan ketika ia berkepala dua, sosok ibu bagi Baekhyun adalah sosok emas yang paling berharga atau harta karun paling bernilai. Ia tidak menyalahkan ibunya karena memberinya penyakit seperti ini, ia hanya menyesali dirinya sendiri karena lemah di usia muda, tidak seperti ibunya yang tetap semangat menemaninya selama tujuh belas tahun.
Ide ayahnya untuk memulai keluarga baru bagi Baekhyun adalah salah satu dari sekian banyak mimpi buruk dalam hidupnya. Tapi semakin lama, Baekhyun tahu, seburuk apapun mimpinya, ketika ia terbangun di suatu pagi, sembilan puluh sembilan persen mimpi itu lenyap dari ingatannya. Chanyeol, nama dokter itu mengisi hari-harinya, memperlakukannya seperti adik kecil yang perlu kasih sayang.
Tak ada alasan untuk membenci sebuah keluarga baru, tak ada alasan pula untuk menerima mereka. Yang harus Baekhyun lakukan adalah menerima semua permainan takdir dan melewatinya, maka suatu hari ia akan dinobatkan sebagai pemenang yang bahagia.
Sampai dua bulan ini pun, hingga kestabilan tubuh Baekhyun semakin parah seperti bicaranya yang tak lagi lancar, kemampuan menulisnya yang semakin buruk, tubuhnya yang sering lelah bahkan untuk melakukan hal kecil, sering tersedak dan kehilangan napas sejenak, juga tak bisa lagi menggunakan kakinya. Walaupun rumah sakit sudah memberinya kursi roda otomatis sehingga Baekhyun tak perlu sulit lagi untuk jalan-jalan kemanapun, ia tetap merasa tak berguna.
Maka Baekhyun selalu berusaha membesarkan hatinya sendiri. Ia bersemangat terapi, selalu membaca buku yang Chanyeol berikan setiap hari untuk melatih bicaranya, menulis di buku diary sebisa mungkin dan meminta Chanyeol membelikannya bolpoin gambar dengan tinta ukuran besar untuk mepermudah menulisnya yang belepotan, berusaha makan dengan tangannya sendiri walau sulit luar biasa, ia juga membiasakan diri jalan-jalan menyusuri area rumah sakit mencari udara segar sekaligus melihat dunia.
Karena Baekhyun masih menginginkan hidupnya, masih ingin memeluk dunianya. Selagi ia diberi kesempatan, sebisa mungkin Baekhyun menunjukkan pada takdir bahwa ia tak akan kalah.
Aku masih ingin melihat Eomma, ayah, dan dokter Chanyeol. Mereka orang-orang yang selalu mendukungku untuk tetap melanjutkan hidup. Tapi aku juga merindukan ibu.
Ini bulan terakhir musim panas, banyak orang yang kembali dari liburannya dan ada juga yang melakukan trip sebelum bulan ini berakhir. Chanyeol tidak ada ide untuk pergi kemanapun, selagi ia memiliki pasien yang harus ditangani, maka Chanyeol harus mengurungkan niatnya untuk berlibur. Toh Baekhyun juga tak mungkin ia bawa berlibur terlalu jauh.
Rumah sakit tetap sibuk. Musim panas dan musim dingin adalah saat-saat sibuk rumah sakit terutama dokter-dokter di ruang operasi. Liburan, semakin banyak kendaraan di jalan raya, maka kecelakaan semakin meningkat. Semakin banyak tubuh berbaring di kamar mayat, membayangkannya saja membuat Chanyeol miris.
Mengingat rumah sakit adalah tempat menentukan hidup dan mati seseorang, paling tidak, Chanyeol diberi kepercayaan untuk menjaga seseorang yang masih menginginkan dan memperjuangkan hidupnya. Tugas seorang dokter sebenarnya mudah, memastikan pasien dalam keadaan baik secara fisik dan mental. Maka Chanyeol menginginkan Baekhyun tetap dalam keadaan baik kapanpun.
Paling tidak, sampai waktunya tiba.
Siang itu Chanyeol membawa sebuah kantong plastik berisi dua buah es krim batangan. Sebenarnya Baekhyun dilarang makan es krim atau apapun yang dingin karena akan berbahaya bila tiba-tiba terserang batuk, tapi untuk sekali ini mungkin tak apa, Baekhyun tidak akan merasakannya lagi di lain hari.
Chanyeol memasuki kamar Baekhyun, tidak ada seorang pun disana membuat Chanyeol reflek membulatkan matanya. Ia langsung berjalan cepat dan bertanya pada seorang suster barangkali melihat Baekhyun, katanya barusan Baekhyun keluar dan turun lift.
Chanyeol langsung berlari menuju lift khusus karyawan, lalu turun ke lantai bawah dan berlari menuju taman. Feeling Chanyeol anak itu berada disana. Dan ketika Chanyeol melihat Baekhyun sedang duduk di bangku taman di bawah sebuah pohon paling rimbun di rumah sakit ini, Chanyeol menghela napas panjang. Hampir saja ia jantungan karena mengira Baekhyun hilang.
"YA! Baekhyun-ah!" Suara Chanyeol mengejutkan Baekhyun yang terlihat sedang melamun.
"Dokter?" Baekhyun reflek menimpali dengan suaranya yang kecil dan terbata.
"Bagus ya, sudah berani keluar tanpa sepengetahuanku. Untung cuma sekedar ke taman, kalau kau tiba-tiba pulang ke rumah sendirian 'kan aku yang panik."
Mendengar Chanyeol mengomel seperti itu membuat Baekhyun tertawa. Ia melihat keringat mengucur dari dahi dokternya itu, Baekhyun yakin lelaki itu lari-larian mencarinya.
"Kau habis olahraga, dokter? Berkeringat sekali," goda Baekhyun. Chanyeol menggerutu sembari duduk di bangku.
"Aku habis lari marathon gara-gara kau tadi," jawab Chanyeol kesal. "Ini," Lelaki tinggi itu memberikan sebuah es krim batangan pada Baekhyun. Ekspresi Baekhyun langsung berubah girang persis anak kecil.
"Serius kau memberiku es krim? Suster akan marah kalau tahu aku makan es krim."
"Tidak akan marah kalau yang memberikan es krim padamu adalah dokter tampan sepertiku."
"Cih, dasar narsis."
Baekhyun membuka es krim rasa mint di tangannya dengan bahagia. Di siang yang panas begini justru banyak pasien rawat inap yang bermain di taman, terutama anak-anak. Baekhyun tersenyum melihat mereka berlari-lari dan bersembunyi di semak-semak, lalu tertawa melihat seorang nenek yang memarahi mereka karena membuat kegaduhan. Semua pemandangan ini mungkin tak akan Baekhyun dapatkan di tempat lain.
Seorang anak laki-laki kecil tiba-tiba menarik baju Baekhyun. Tatapan matanya terfokus pada es krim di tangan Baekhyun.
"Hyung, apa aku boleh mencicipi itu?" Dia menunjuk es krim itu.
"Es krim? Tentu saja." Dengan ringan hati Baekhyun menyodorkan es krimnya pada anak itu. Tapi tangannya ditahan oleh Chanyeol.
Dokter tinggi itu berlutut di hadapan anak laki-laki tersebut.
"Kau ingin es krim, hm?" tanya Chanyeol. Anak kecil itu mengangguk.
"Kau sakit apa?" Chanyeol bertanya lagi.
"HIV." Chanyeol terdiam, Baekhyun juga diam-diam menelan ludahnya.
"Ini, makan punyaku saja, ya? Ini untukmu, ambil saja." Chanyeol memberikan es krimnya yang belum dia makan. Anak kecil itu berteriak girang lalu mengucapkan terima kasih berkali-kali pada dokter baik hati itu.
"Siapa namamu?"
"Kim Jongin. Kau dokter Chanyeol, 'kan? Kalau aku dewasa, aku ingin menjadi dokter yang tampan sepertimu. Terima kasih, dokter Chanyeol!"
Chanyeol tersenyum sembari melihat anak itu berlari ke arah teman-temannya. Ia melihat Baekhyun yang menunduk di kursi rodanya sambil mengemut es krim.
"Lihat, apa jadinya kalau kau mengizinkan anak itu menjilat es krimmu," celoteh Chanyeol sembari duduk kembali di bangku.
"Tapi—tapi, aku pernah membaca kalau seseorang yang memiliki HIV belum tentu terkena AIDS kok. Lagipula dia masih kecil."
"Kondisi tubuhmu memungkinkan virus bisa berkembang dengan cepat dan tidak terkendali. Seperti halnya flu batuk, bisa parah menjadi pneumonia. Bagaimana jika HIV, hah?"
"Tapi 'kan hanya le—akh! Akh!" Baekhyun menjatuhkan sisa es krim di tangannya, kini napasnya tiba-tiba terasa sesak. Ia terbatuk-batuk dan seperti terkecik. Anak itu memegangi bagian lehernya, kepalanya tiba-tiba pusing dan paru-parunya seakan tidak memproses udara yang masuk.
"Baekhyun! Ada apa?! Baekhyun!" Tidak ada jawaban untuk pertanyaan Chanyeol, Baekhyun tetap terbatuk dan kehilangan serpihan napasnya. Chanyeol bergerak cepat, ia berlari sambil mendorong kursi roda Baekhyun masuk ke dalam, lalu berteriak menginstruksikan suster untuk membawakan ranjang berjalan.
"Bawa ke Unit Gawa Darurat! Pasien terbatuk dan sesak napas. Siapkan aspirator! CEPAT!"
Tiga orang suster berlari mendorong ranjang Baekhyun menuju ruangan UGD. Chanyeol masuk lebih dulu, tak lama ranjang Baekhyun memasuki ruangan.
"Dokter, pasien baru saja pingsan dan napasnya lemah." Chanyeol menatap Baekhyun yang sekarang memejamkan mata. Seorang suster mengondisikan electrocardiopgraph dan yang lain menyiapkan aspirator.
"Cepat pasang aspirator! Pasien mengalami aritmia bradikardia. Jantungnya harus kembali normal atau pasien tidak selamat. Suster cepat pasang defribillator!"
Semua suster bergerak cepat. Chanyeol mengecek denyut nadi Baekhyun berkali-kali. Keringat mengucur di pelipis lelaki tinggi itu, ia tidak pernah sepanik ini.
"Bertahanlah Baekhyun, kau baik-baik saja. Kau pasti baik-baik saja."
"Akhir-akhir ini kondisi mental Baekhyun sangat baik. Walaupun ia telah lumpuh total, kemampuan berbicaranya semakin menurun, tapi satu hal yang berbahaya disini adalah ataxia juga menyerang saluran pernapasan. Gejalanya dimulai dari sering tersedak, sampai yang ke lebih parah. Katup saluran trakea tidak bisa bergerak secara otomatis, menyebabkan makanannya masuk ke saluran paru-paru sehingga ia sesak napas, mengakibatkan denyut jantungnya menurun drastis. Itu yang dialami Baekhyun."
"Lalu, apa Baekhyun akan tetap seperti ini?"
"Kondisinya akan berkembang lebih parah. Aku sarankan Baekhyun mulai memakan makanan lembut agar tenggorokannya tidak terlalu berat ketika menelan. Karena jika ini terjadi lagi dan lagi, aku khawatir dia akan terserang pneumonia.
"Ini persis sekali seperti yang diamalami ibunya."
"Aku takut setelah kejadian ini, saluran pernapasannya tidak pulih sehingga bicaranya semakin terganggu. Aku harus mengecek Baekhyun. Abeonim bisa pulang, kau terlihat sangat lelah."
Dan disinilah Chanyeol sekarang, di ruangan putih membosankan, kamar nomor 192, tempat dimana Chanyeol mengabdikan hidupnya untuk seorang pasien.
Chanyeol tidak tahu sejak kapan ia menyayangi anak ini, menyayangi seperti ingin melindunginya dari apapun, menyayangi seperti halnya pada ayah dan ibunya, menyayangi seperti halnya pada kakak perempuannya, menyayangi seperti anak ini adalah bagian keluarga yang tak ingin ia sia-siakan.
Baekhyun disana terbaring, namun ia sudah sadarkan diri ketika Chanyeol masuk tadi. Infus dan elektrokardiograf di samping ranjangnya, aspiratornya sudah dilepas karena pernapasannya telah normal. Chanyeol mendekat dan Baekhyun merespon kehadiran dokternya itu dengan senyuman.
"Selamat malam, Baekhyun. Kau tak sadarkan diri selama tiga jam. Apa tidurmu nyenyak?" tanya Chanyeol, sebenarnya sedikit menggoda. Namun Chanyeol tak mendapati jawaban apapun seperti hari-hari biasanya. Baekhyun hanya membuka mulutnya seperti ingin berbicara sesuatu, tapi tak ada suaranya yang keluar. Kemudian ia terbatuk lalu mengambil napas panjang-panjang.
"Baekhyun, tenanglah. Atur napasmu," Chanyeol berusaha menenangkan Baekhyun, lalu mengintruksinya dengan menarik dan membuang napas. "Apa kau masih bisa meresponku? Coba katakan "A" sedikit panjang."
Baekhyun membuka mulutnya lagi, mencoba mengeluarkan suaranya. Namun lagi-lagi tak ada yang keluar. Baekhyun mencoba lagi dan lagi, yang ada malah napasnya menjadi sesak. Anak itu mencoba terus mengeluarkan suaranya, tak peduli napasnya semakin tidak beraturan.
"Baekhyun, kau tidak perlu memaksakan dirimu."
Anak itu menggeleng kuat. Ia terus berusaha berbicara hingga memaksakan napasnya.
"Byun Baekhyun, berhenti!"
Dia menggeleng lagi. Kali ini bulir airmatanya mulai turun satu per satu. Ia menghapus butiran bening itu dengan punggung tangannya, lalu terus mencoba membuka mulut untuk mengeluarkan suara. Hingga tak ada hasil yang ia dapatkan, airmata anak itu mengalir lagi. Dia memaksakan dirinya lagi untuk membuka mulut dan mengeluarkan suara, disisi lain dia juga menangis dan menahan isakannya hingga membuat napasnya sesak.
"Pasien Byun Baekhyun, kubilang berhenti! Perhatikan pernapasanmu!" Chanyeol mengguncang bahu Baekhyun, anak itu berhenti memaksakan diri namun tangisannya semakin menjadi-jadi. Chanyeol memeluknya, mengelus rambutnya, menenangkannya sebisa mungkin. Tak terasa airmatanya juga ikut jatuh melihat Baekhyun yang seperti ini.
"Jangan khawatir. Kau tetap bisa bicara, Baekhyun. Kita bisa pakai papan abjad, aku akan bawakan itu untukmu. Kau masih bisa bicara Baekhyun, berhentilah menangis, jangan takut."
Fall, 2016.
Chanyeol tahu apa yang diinginkan Baekhyun bukanlah kehidupan seperti ini, walaupun pernah melihat ibunya yang juga mengidap penyakit yang sama, namun kehidupan seperti ini bukanlah yang Baekhyun pilih.
Baekhyun adalah anak yang ceria, berani mengutarakan pendapatnya pada hal apapun, dan bisa bersikap manis menghadapi tatapan khawatir orang-orang. Hidup dengan sebuah penyakit menempel di tubuh bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang mengkhawatirkannya, memberikan tatapan kasihan padanya, dan Chanyeol juga yakin, Baekhyun pernah mendapatkan tatapan rendah itu. Hidup dengan sebuah penyakit abadi menempel di tubuh adalah sebuah ketidak beruntungan. Tapi dia tahu Baekhyun, bahkan semua pasiennya, tak akan memiliki pilihan lain kecuali menjalani hidup yang sekarang dan tak memikirkan masa depan seperti, 'apakah mereka bisa sembuh?'
Chanyeol telah habis membaca buku diary Kitou Aya, gadis Jepang pengidap ataxia di tahun 80-an yang buku diarynya dicetak dan dipasarkan. Chanyeol selalu ingin mengenal pasiennya, secara literatur juga secara hati ke hati. Ia ingin selalu mengetahui apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, bagaimana cuaca hari ini, mengajak mereka melihat dunia luar. Pekerjaan dokter bukan hanya menyembuhkan tapi sekaligus mengasuh, mengingat ini bukan penyakit yang mudah. Ia tidak tahu, mengapa di masa mudanya dengan egonya dia memilih menjadi dokter spesialis saraf yang menangani pasien ataxia juga membantu perkembangan penelitian laboratorium rumah sakit. Tapi semua ini menyenangkan, Chanyeol memperhatikan pasiennya dengan baik, memperhatikan studinya dengan cermat.
Setiap kali melihat Baekhyun, Chanyeol selalu melihat sisi lain dari kehidupan pribadinya yang sempurna. Di umur dua puluh tahun, Chanyeol gila-gilaan mengejar sarjananya, memiliki prospek hidup, masa depan yang cerah, juga dukungan moral keluarga. Namun kini ia melihat seorang Byun Baekhyun, di umurnya yang dua puluh tahun dia hanya bisa berbaring di rumah sakit, menatap langit-langit putih kamar membosankan. Baekhyun kehilangan kakinya, kehilangan kemampuan tangannya, kehilangan kemampuan bicaranya, kehilangan masa depannya. Takdir seakan memposisikan mereka pada titik yang berbalik. Terkadang, menjadi dokter membuat Chanyeol mengerti bagaimana dia harus memperlakukan dan menghargai hidupnya lewat berkaca dari senyuman setiap pasiennya. Senyuman, yang menyembunyikan sebuah penyakit di balik kulit tubuhnya.
Empat bulan berlalu, musim gugur membuat temperatur udara menurun. Musim gugur membuat keadaan perlahan berubah. Karena waktu berjalan, dan penyakit yang Chanyeol tangani ini juga berkembang.
Baekhyun masih memakai papan eja untuk berkomunikasi dengan setiap orang yang datang. Bergantung pada perawat untuk mengambilkan barang-barang yang dia inginkan. Hal-hal seperti makan, minum, berkirim pesan pada ayahnya, mengambilkan buku dan bolpoinnya untuk menulis buku harian. Hidup Baekhyun sekarang bergantung pada orang-orang di sekitarnya.
Chanyeol datang di siang hari, ia melihat Baekhyun terpaku pada buku dan sebuah bolpoin di tangannya. Chanyeol membelikan Baekhyun bolpoin gambar dengan ukuran tinta paling besar dan buku ukuran legal. Kini anak itu sudah tidak bisa menggenggam bolpoin dengan satu tangan, jadi dia menulis dengan dua tangannya. Bahkan ketika kondisinya semakin buruk, ia tetap berusaha menuliskan apa yang dia pikirkan.
"Selamat siang, Baekhyun," sapa Chanyeol. Baekhyun tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Chanyeol memegangi papan abjad hangeul di hadapan Baekhyun, sehingga anak itu tinggal menunjuk apa yang ingin ia katakan.
"Se – la – mat – si – ang, dok – ter – Chan – yeol." Baekhyun menunjuk huruf-huruf tersebut dengan bergetar karena sarafnya sudah tak lagi normal.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Ba – ik." Senyum Baekhyun terukir ditujukan pada dokter pribadinya.
"Baguslah."
"Hyung – ber – u – lang – ta – hun?" Baekhyun bertanya, menimbulkan tawa gemas dari Chanyeol.
"Ya. Satu minggu lagi, tanggal dua puluh tujuh. Kau tahu darimana?"
"Eom – ma."
"Ah, sudah kuduga. Ibuku selalu menyebarkan tanggal lahirku pada siapapun. Apa kau akan memberiku kado?"
"Ya."
"Baiklah. Kita akan merayakannya bersama-sama. Kau harus sehat agar bisa minum wine," goda Chanyeol sembari menggusak pelan rambut Baekhyun. Anak itu tertawa kecil. Setelah itu dia meraih bolpoinnya kembali dan melanjutkan kegiatan menulisnya yang sempat terhenti.
Chanyeol mundur beberapa langkah. Ia tidak ingin melihat terlalu dekat jika Baekhyun sedang menulis buku di buku diarynya. Banyak pasiennya yang tidak nyaman jika mereka ditatap terlalu intens ketika menulis. Tapi Chanyeol rasa, Baekhyun baik-baik saja kalau toh Chanyeol mendekat dan mengintip tulisannya. Tapi meskipun begitu, buku diary adalah privasi Baekhyun.
Anak itu tak sengaja menjatuhkan bolpoinnya ke lantai, lalu berusaha menggerakkan tubuhnya untuk turun mengambil bolpoin dan hampir saja terjatuh, untung cepat ditahan Chanyeol. Ia mengambil bolpoin Baekhyun dan memposisikan benda itu di tangan Baekhyun. Lelaki kecil itu mulai menulis lagi.
Baekhyun menjatuhkan bolpoinnya lagi, tiga kali banyaknya, membuat Chanyeol prihatin. Dengan kondisi gerak tangan yang demikian, dokter tinggi itu mengelus rambut lembut adik tirinya.
"Tidak perlu memaksakan diri untuk menulis. Tak apa, Baekhyun."
Anak itu menggeleng pelan.
"Jika tanganmu sudah lelah, berhenti saja."
Baekhyun hanya diam.
"Kau sudah banyak berusaha, sekarang tubuhmu hanya perlu istirahat. Berhentilah menulis, jangan memaksakan energi pada tanganmu, Baekhyun."
Baekhyun menggigit bibirnya, menahan kebingungan dan rasa ingin menangis yang menderanya.
"Ibu kau tidak perlu repot-repot begitu."
"Sudahlah, Chanyeol. Hari ini 'kan ulang tahunmu, tentu aku harus menyiapkan makanan. Lagipula hari ini Baekhyun pulang untuk merayakan ulang tahun, 'kan? Dia tidak bisa makan sembarang makanan."
"Ck, dia baik-baik saja. Masakkan makanan yang lembut saja."
"Iya, iya. Aku sudah tahu. Aku banyak menemani Baekhyun ketika kau sibuk sendiri di ruangan kerjamu. Ish, semakin dewasa kau seakan menyuruhku untuk diam di rumah dan tidak melakukan apapun."
"Aku hanya tidak ingin Ibu lelah."
"Lelah apanya? Aku masih kuat. Aku masih muda, tau! Chanyeol-ah sela—"
Alarm darurat dari kamar Baekhyun tiba-tiba berbunyi. Chanyeol terkesiap, ia menutup teleponnya dengan sang ibu. Lelaki itu berlari keluar ruangan diikuti beberapa suster di belakangnya yang siap sedia dengan peralatan medis. Seorang suster keluar dari kamar 192 dengan wajah panik dan berlari kearah Chanyeol.
"Ada apa suster?!"
"Pasien tersedak air setelah minum obat dan membuat pernapasannya sesak, dokter."
Chanyeol berlari memasuki ruang Baekhyun. Ia teringat kejadian empat bulan lalu, Baekhyun terbatuk dan pernapasannya hampir berhenti. Chanyeol mengalihkan pandang ke elektrokardiograf, suster bersiap mengelilingi Baekhyun.
"Tekanan darahnya turun, detak jantung turun, suster cepat pasang aspirat—"
Chanyeol terdiam ketika Baekhyun tiba-tiba menggenggam erat pergelangan tangannya. Ia menepis tangan suster yang hendak memasangkan aspirator pada hidungnya. Tatapan mata anak itu hanya tertuju pada dokternya. Baekhyun menjatuhkan satu per satu bulir airmatanya, napasnya semakin tak beraturan dan hampir berhenti.
"SUSTER APA YANG KALIAN TUNGGU CEPAT PASANG ASPI—"
Genggaman tangan Baekhyun semakin mengerat pada telapak tangan Chanyeol, dan ia menepis tangan suster yang hendak memasang aspirator lagi. Chanyeol meneriakkan nama Baekhyun dengan nada membentak agar tidak membandel di saat seperti ini. Namun lelaki kecil itu menggelengkan kepalanya lemah, pandangan matanya yang sayu menatap Chanyeol seakan ingin mengatakan sesuatu.
Chanyeol tidak tahu, apakah ia berhasil sebagai dokter atau tidak. Hanya menginstruksikan pada suster untuk memasang peralatan medis pada sang pasien ia tidak bisa. Mengalahkan ego seorang pasiennya untuk sekedar memasang aspirator ia tidak bisa. Ketika di sisa napasnya Baekhyun berusaha mengucapkan sesuatu, membuat sebuah gerakan sekuat tenaga dengan mulut dan lidahnya tanpa suara yang keluar. Namun dengingan panjang elektrokardiograf mengakhiri semuanya.
Besok ia tak lagi menjadi dokter pribadi di kamar 192 dengan pasien yang sama.
Inikah rasanya ditinggalkan seseorang yang disayangi tepat di hari ulang tahun?
Tidak ada perayaan seperti yang direncanakan, ayah dan ibunya kini justru menangis di depan ranjang kamar 192 dan tubuh seseorang terbujur kaku diatas ranjang.
Di hari ulang tahunnya kali ini, Chanyeol tidak mengharap kado apapun. Hatinya hancur hanya dengan melihat kenyataan. Semua orang melupakan hari lahirnya, bahkan dirinya pun hanya mengingat satu hal dari hari ini. Baekhyun tak lagi bersamanya sekarang hingga selamanya.
Sebagai dokter, Chanyeol selalu melupakan kenyataan-kenyataan pahit pasien-pasiennya. Semua orang akan merasakan yang namanya kematian, dan kematian adalah hal yang wajar terjadi di lingkungan rumah sakit. Seorang dokter haruslah menjadi orang pertama yang tahan melihat kematian orang lain, bahkan jika orang itu separuh jiwanya. Jadi ketika Chanyeol memasuki kamar 192 keesokan harinya untuk mengemasi barang-barang Baekhyun, ia berusaha menahan semua gejolak di dadanya. Chanyeol yakin, Baekhyun telah bahagia dengan kehidupannya yang lain disana.
Chanyeol mengemasi pakaian-pakaian Baekhyun, semua barang-barang di meja nakas, termasuk ponsel dan buku diary Baekhyun. Ponsel itu, ada notif SNS yang bahkan belum Baekhyun buka berbulan-bulan. Kiriman foto dari Chanyeol saat mereka berjalan-jalan melihat pantai, Baekhyun belum melihatnya di ponselnya sendiri. Dan buku diary itu... buku diary yang menemani Baekhyun, banyak hal yang tak bisa Baekhyun katakan lewat ucapan bahkan tercurahkan disana.
Sebenarnya, Chanyeol selalu membaca buku itu. Ketika Baekhyun melakukan kegiatan terapinya, Chanyeol selalu diam-diam masuk dan membaca tulisan Baekhyun. Ia menganalisis semua keluh kesah Baekhyun yang tertulis disana, mengamati perkembangan mental dan fisik anak itu juga. Sekarang pun, pemilik buku itu sedang tidak ada di ruangannya, jadi Chanyeol duduk di ranjang dan diam-diam membuka lagi lembar demi lembar yang ditulis adik tirinya.
25.03.2016
Aku tidak mengerti kenapa dokter itu tiba-tiba memberiku buku diary. Tapi kurasa ini cukup berguna, aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara. Orang-orang di rumah sakit semuanya menyebalkan. Aku ingin keluar dari sini.
Lagipula tidak ada yang bisa mengubah keadaanku. Apa yang harus kuharapkan?
...
26.03.2016
Dokter membantuku membujuk ayah agar aku bisa jalan-jalan. Bahkan ayahku sendiri tak memberiku banyak kebebasan. Kupikir taman bisa memperbaiki pikiranku tapi sebelum dokter itu merusaknya.
Dia bertanya-tanya tentang ibuku, menyebalkan. Tubuhku juga tiba-tiba tidak bisa bergerak. Kenapa semua ini terasa menyebalkan? Kalau begini aku lebih baik mati saja. Aku punya tubuh yang tidak berguna.
...
Aku tidak mau terapi!
Kenapa orang-orang tidak pernah mau mendengarku?!
Ayahku bilang aku keras kepala, dokter itu bahkan memarahiku. Aku harus apa? Aku hanya bisa merepotkan semua orang. Aku tidak ingin hidup begini, aku rindu ibu, aku rindu kamarku, aku ingin pulang. Tapi orang-orang memaksaku melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan. Terapi tidak akan memperbaiki keadaanku.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mulai berdamai dengan keadaan?
...
Tanganku mulai sulit mengetik di keypad ponsel. Aku ingin menulis pesan di grup chat SMAku tapi aku selalu mengetikkan huruf yang salah, bahkan aku sulit memencet backspace.
Kenapa tiba-tiba aku merasa takut?
...
27.03.2016
Semua perkataan dokter itu benar. Yang harus kulakukan adalah memperjuangkan hidupku agar orang lain bisa melihatku lebih lama lagi. Akhirnya aku menerima tawaran terapi itu, barangkali aktivitas itu bisa memperbaiki keadaanku.
Terima kasih dokter, tiba-tiba aku ingin melihat dunia lebih lama lagi.
...
Tanganku mulai sulit digerakkan ketika menulis, mungkin tulisanku semakin lama akan semakin jelek. Nama terapisku adalah Kim Jongdae, dia orang yang lucu. Kami membicarakan banyak lelucon selagi terapi hingga aku tertawa terpingkal-pingkal dan hampir saja terpeleset ketika berlatih menaiki tangga. Astaga... itu kan bahaya. Untung Jongdae segera menahanku.
Dia bercerita tentang masa kuliahnya bersama dokter Chanyeol, ternyata mereka bersahabat hingga ibu Chanyeol mempekerjakan Jongdae disini. Dia banyak bercerita tentang Chanyeol hingga aku menangkap dokterku adalah orang yang baik.
Dokter juga menraktirku makanan!
...
Aku baru saja mengetahui kenyataan yang menyakitkan. Ayahku tidak seburuk itu, ayah tidak mau berselingkuh dengan ibu Chanyeol, semuanya hanya demi aku. Kenapa ayah harus melakukan itu?
Aku trauma menginjak rumah sakit semenjak ibu meninggal di hari ulang tahunku, saat itu aku benar-benar depresi. Mungkin karena itu ayah tak punya pilihan lain selain menikahi ibu Chanyeol yang merupakan pemilik rumah sakit dan Chanyeol yang seorang dokter. Mungkin ayah ingin mengubah pemikiranku tentang rumah sakit.
Harusnya aku bersikap baik pada mereka, harusnya aku bersikap baik pada ayah, pada ibu tiriku, dan pada kakak baruku Chanyeol.
...
28.03.2016
Aku tersedak saat memakan sarapanku tadi pagi. Ini adalah kedua kalinya aku tersedak dengan sangat tidak wajar, rasanya tidak enak sekali, dadaku sampai ikut sakit. Dulu ibu juga sering tersedak saat makan dan akhirnya aku tahu tersedak adalah gejala pasien ataxia stadium akhir.
Saat minum air putih tadi sore, aku juga tersedak lagi. Tapi sepertinya aku tidak harus mengatakan ini pada dokter, dia pasti sudah mengambil kesimpulan kalau penyakitku bertambah parah. Apalagi tadi Jongdae tiba-tiba bilang jadwal terapiku menjadi dua kali lipat. Keadaanku pasti semakin buruk.
Aku mulai ketakutan. Kenapa tiba-tiba aku masih ingin tinggal di rumah sakit ini? Kenapa tiba-tiba aku khawatir dengan keadaanku yang seperti ini? Bagaimana jika keadaanku semakin parah setiap harinya?
Aku masih ingin hidup.
...
03.04.2016
Kepalaku pusing luar biasa, terkadang rasanya berputar-putar. Sekarang kepalaku dibalut perban, kata dokter seminggu yang lalu habis pendarahan. Apa pusingnya ini efek dari pendarahan itu? Badanku juga lemas sekali, aku seakan tidak bisa bergerak dengan bebas. Aku malas makan, malas terapi, aku ingin tiduran saja.
...
11.04.2016
Sudah berapa lama aku tidak membuka buku? Semakin hari tubuhku semakin sulit digerakkan. Aku mulai berganti bolpoin dengan ukuran yang lebih besar sebab tulisanku semakin tidak terbaca. Aku memecahkan gelas lagi kemarin, aku sampai tidak enak dengan petugas kebersihan tapi ahjussi itu balik sekali.
Bagaimana hari-hariku besok? Aku tidak ingin memikirkan itu tapi pikiran itu selalu menakut-nakutiku. Pasti ada hari dimana aku sudah tidak bisa menulis sama sekali, ada hari dimana aku tidak bisa berjalan sama sekali, ada hari dimana aku hanya berbaring seharian. Ada hari dimana aku tidak bisa bergerak sama sekali. Pikiran-pikiran itu menghantuiku.
Seharusnya sekarang aku tidak memikirkan itu dulu. Selama aku bisa menikmati hari ini, aku ingin menikmatinya dengan gembira.
...
15.04.2016
Dari atas kamarku aku bisa melihat taman rumah sakit. Astaga... kenapa aku tidak pernah tau ya? Banyak anak-anak bermain disana pagi-pagi begini, mereka terlihat lucu. Mereka yang tidak memakai selang infus bisa berlari-lari. Ada juga yang hanya duduk di kursi roda dan melihat-lihat seperti aku. Kehidupan rumah sakit menarik juga.
Taman sedikit terlihat gelap jika di malam hari, hanya ada suster lalu lalang. Anak-anak itu pasti dilarang main malam-malam. Bagaimanapun aku suka senyuman mereka.
...
21.04.2016
Siang ini aku jatuh dari kasur. Aneh sekali, ketika turun dari kasur kakiku benar-benar kaku. Bahkan ketika jatuh, aku tidak bisa berdiri lagi. Untung saja Chanyeol Hyung datang, dia membantuku duduk di kursi roda. Aku bilang aku ingin jalan-jalan sebentar, tapi dia memaksa memeriksa kakiku. Setelah diperiksa, aku diizinkan jalan-jalan tanpa ditemani, tapi perasaanku benar-benar tidak enak.
Saat diperiksa tadi, kakiku tidak bisa digerakkan lagi, bahkan ditekuk pun tidak bisa. Aku melihat ekspresi cemas dari wajah Chanyeol Hyung, seketika aku ikut khawatir.
...
25.04.2016
Apa aku lumpuh?
Aku memikirkan kemungkinan ini berhari-hari tapi dokter belum mengatakan apapun padaku dan bersikap seperti biasanya. Dia hanya menyuruhku untuk tidak turun kasur jika sedang tidak ada orang lain di kamar.
Kalau aku benar lumpuh, apa yang harus kulakukan? Aku masih ingin berjalan.
...
26.04.2016
Suster bercerita padaku tentang anak di kamar lantai dua yang sudah mengalami kelumpuhan sejak pertama masuk di rumah sakit ini. Dia memiliki kanker, tapi lumpuhnya karena kecelakaan. Umurnya dua belas tahun dan kata suster dia suka bercerita tentang kehidupan sekolah dasarnya. Kata suster anak itu juga menggemaskan dan tidak pernah menunjukkan ekspresi atau keluhan seperti orang sakit.
Aku ingin seperti anak itu, tetap merasa bahagia walaupun sakit. Aku ingin bertemu dengannya, tapi kata suster dia sudah meninggal sehari yang lalu.
...
06.05.2016
Hari ini aku dinyatakan lumpuh.
Sebenarnya aku tidak begitu terkejut, tapi aku tetap sedih. Masih banyak hal yang ingin kulakukan dengan kakiku, tapi aku tidak bisa menggunakannya lagi. Lebih dari itu, Jongdae lah yang mengatakan hal ini padaku. Katanya, dokterku sangat menyayangi aku dan tidak sampai hati mengatakan hal ini padaku. Kata Jongdae, dia tidak tidur memikirkan keadaanku dan bagaimana cara mengatakan hal ini agar tidak sampai menyakiti perasaanku. Tapi akhirnya Jongdae membantunya.
Dia pasti sangat khawatir padaku, keadaanku yang sekarang hanya bisa membuat orang lain khawatir. Tapi kalau aku ikut bersedih, bagaimana dengan orang lain? Mereka mungkin akan semakin cemas.
Aku harus bisa menerima keadaan. Pasti masih banyak hal menyenangkan lain yang bisa kulakukan tanpa melibatkan kaki.
Omong-omong, hari ini aku berulang tahun.
Selamat ulang tahun, Baekhyun-ah.
Kau harus selalu bahagia!
...
10.05.2016
Terkadang aku ingin tahu kehidupan di luar rumah sakit. Bohong jika aku tidak merasa jenuh disini, tapi apa yang bisa dilakukan orang pesakitan seperti aku?
Dokterku banyak membantu menghiburku akhir-akhir ini. Aku banyak mendapat dorongan untuk tetap mempertahankan jumlah umurku dan berhenti putus asa. Memang inilah takdirku, hidup di rumah sakit untuk penyembuhan, walaupun tidak bisa benar-benar sembuh, tapi aku harus berjuang.
Ayah telah banyak memikirkanku, dokterku telah melakukan banyak hal untukku, eomma juga sering datang menjengukku, dia orang yang baik, juga Jongdae yang selalu menghiburku dengan leluconnya yang aneh. Banyak orang menyayangiku, aku harus tetap disini.
Baekhyun, kau harus tetap kuat!
Kata Chanyeol Hyung, semua orang punya masa depannya masing-masing.
Walaupun aku tidak pernah menargetkan bagaimana masa depanku, tapi aku percaya perkataan itu. Yang jelas, aku harus mulai melupakan penyakitku.
...
01.07.2016
Chanyeol Hyung benar-benar membawaku ke tempat yang kuinginkan!
Dia membawaku melihat pantai, aku sangat senang! Sudah lama aku tidak keluar ke tempat-tempat seperti ini, aku saja lupa kapan terakhir kali liburan ke pantai. Apa bertahun-tahun lalu dengan Kyungsoo? Aku tidak ingat sama sekali. Atau jangan-jangan memang sudah tidak pernah lagi. Penyakitku ini menahanku untuk berdiam diri di rumah.
Tapi dokter benar-benar memberikan liburan padaku walaupun hanya sebentar. Tadi aku lihat dia mengirimkan foto-foto kami ke SNSku. Sayang sekali aku sudah tidak bisa mengotak-atik isi ponselku, gerak tanganku sudah tidak karuan lagi.
Tapi hari ini aku bahagia. Terima kasih, Chanyeol Hyung!
...
08.07.2016
Ketika suster memeriksaku tadi, aku mengobrol beberapa hal ringan dengannya. Tapi tiba-tiba suaraku mengecil dan tiba-tiba aku susah mengeluarkan suara lagi. Aku bertanya pada suster ada apa, dan kata suster bisa saja ini karena perkembangan penyakit, aku akan kesulitan bicara.
Ketika suster pergi, aku mencoba mengeluarkan suara terus. Tapi yang bisa kukeluarkan hanya napas, suaraku benar-benar tidak keluar. Lama-kelamaan suaraku kembali, tapi aku lebih sulit mengucapkan sebuah kata.
Lagi-lagi aku ketakutan.
...
12.07.2016
Aku mengatakan pada diriku bahwa aku tak apa. Berulang kali aku mencoba berpikir bahwa aku tak apa. Dengan keadaanku yang seperti ini, aku tak apa.
Seharusnya aku sudah tahu, cepat atau lambat aku akan kehilangan fungsi tubuhku satu persatu. Aku sudah pernah melihat ibu, penyakit ini terus mengambil satu persatu bagian tubuhnya. Setelah kaki dan pergerakan tanganku, sekarang suaraku yang mulai hilang. Aku tidak bisa bicara dengan baik, aku memakan waktu lebih lama untuk mengatakan sesuatu. Aku membaca buku yang diberi Chanyeol Hyung keras-keras, tapi aku cepat lelah karena suaraku benar tidak mau keluar.
Sekarang kemampuan tanganku ikut kacau jika digunakan untuk menulis. Lalu apa yang bisa kulakukan lagi? Aku merasa tidak berguna, tapi disisi lain aku mencoba menyemangati diriku sendiri. Rasanya ingin menangis saja, tapi tidak akan ada yang berubah bahkan jika airmataku habis.
...
16.08.2016
Sekarang aku butuh bolpoin dengan ukuran yang lebih besar untuk menulis, bahkan aku mulai menulis di buku gambar ukuran A4. Tanganku tidak bisa mengenggam bolpoin yang biasanya karena ukurannya kecil, dengan bolpoin yang lebih besar tanganku lebih mudah mengenggam. Karena tulisanku semakin acak-acakan, buku tulisku tidak akan cukup menampung tulisanku yang hampir tidak terbaca.
Tapi aku tetap ingin menulis. Aku semakin sulit berkomunikasi dengan bicara, jika aku berhenti menulis, aku hanya seperti mayat hidup.
Aku harus bersemangat. Hanya itu yang bisa kukatakan pada diriku sendiri.
...
25.10.2016
Jika aku bisa memohon pada Tuhan, aku ingin hidup lebih lama lagi. Jika aku bisa memohon dengan menangis pada Tuhan, aku ingin bernafas lebih lama lagi.
Aku masih ingin melihat kamar rumah sakitku yang putih membosankan namun aku mulai terbiasa, dengan sebuah vas bunga yang bunganya selalu diganti oleh Chanyeol dan Eomma bergantian, terkadang ayahku yang mengganti, selang infus yang menemaniku, layar televisi yang jarang kunyalakan karena aku sudah tidak bisa menggenggam remot. Walaupun semuanya jauh dari kata normal, tapi aku menyukai kehidupanku. Aku menerima apapun yang kupunya. Aku tidak mengharapkan masa depan yang terlalu tinggi, aku menerima apa yang takdir berikan. Apakah aku masih kurang cukup untuk dikatakan bersyukur?
Lalu kenapa keadaanku tidak membaik? Kenapa aku semakin tidak berguna, bahkan sekarang aku harus menggunakan papan abjad untuk bicara. Aku sedih! Dokter, aku sedih! Ayah, aku sedih! Apa yang harus kulakukan? Aku sedih, tapi aku tidak punya banyak waktu untuk bersedih.
Aku harus tetap merasa bahagia, bagaimanapun aku tidak boleh menyia-nyiakan hariku meratapi penyakit.
...
01.11.2016
Aku berusaha baik-baik saja, tapi tiap tidur malam aku ketakutan.
Aku takut jika aku tertidur, mungkin besok aku tidak bisa terbangun lagi.
...
25.11.2016
Tuhan, aku lelah.
Aku ingin tidur, ditemani suara ibu yang menyanyikan lagu pengantar tidur seperti saat aku masih kecil.
Aku ingin tidur dengan tenang.
Aku ingin melupakan penyakitku.
...
Chanyeol membuka halaman paling belakang buku itu. Ia tidak pernah tahu Baekhyun menyimpan tulisan di bukunya yang paling belakang. Anak itu menghabiskan dua buku, tapi biasanya halaman paling belakang selalu dibiarkan kosong, sedangkan kali ini terisi.
21.11.2016
Saudara baruku itu namanya Chanyeol. Dia seorang dokter dan terlihat keren. Umurnya jauh diatasku. Meskipun begitu aku tidak menyukainya, tapi dia menyelipkan surat-surat lucu di bawah pintu kamarku. Dia mengajakku bicara ketika aku bosan di kamar rumah sakit. Dia mengajakku jalan-jalan dengan mobilnya. Dia mengenalkanku dengan terapis lucu bernama Kim Jongdae. Aku sangat suka playlist musik klasik yang ia berikan padaku. Dia kakak yang baik.
Minggu depan dia berulang tahun. Aku ingin merayakan ulang tahunnya, katanya kami akan merayakan di rumah. Aku akan belikan kado yang bagus untuknya, agar dia membelikan kado yang bagus juga di hari ulang tahunku tahun depan. Dia harus selalu sehat agar bisa menyembuhkan dan menghibur orang-orang yang sakit.
Aku tidak menyukainya, tapi aku tidak pernah membencinya!
Meskipun tulisan Baekhyun hampir tak terbaca, Chanyeol tetap merasakan kehadirannya sungguh berarti, begitupun juga sosok Baekhyun baginya. Empat musim mengenal seorang Byun Baekhyun, tapi Chanyeol akan melihat sosok anak itu dalam diri pasien-pasiennya yang lain.
Baekhyun tetap hidup.
27.11.2016
Selamat ulang tahun, Chanyeol Hyung!
THE END
"Sepuluh tahun mendatang... aku terlalu takut untuk memikirkannya.
Aku tidak punya pilihan lain selain menjalani hidup semampuku hari ini. Hidup adalah satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang. Aku muda tapi tidak dapat bergerak... Dilema dan tidak sabaran, tapi aku adalah pesakitan, jadi aku harus fokus pada penyembuhan.
Setiap orang punya kesedihan yang tidak bisa diucapkan. Ketika aku mengingat masa lalu,
Dengan kesal aku menangis; Kenyataan di masa kini terlalu kejam, terlalu keras, dan tidak mengijinkanku untuk bermimpi. Membayangkan masa depan membawaku pada air mata yang lain.
Sekarang aku menghabiskan seluruh hariku dengan tidur. Aku takut makanan akan masuk ke dalam jalur pernapasanku secara tidak sengaja karena aku tidak dapat menelan dengan baik, jadi aku hanya dapat makan dalam jumlah sedikit tiga kali sehari. Aku makan sangat lambat sehingga makan siang tiba hanya satu jam setelah sarapan.
Seluruh hariku adalah makan, tidur, dan pindah tempat. Terlebih lagi, seseorang harus membantuku melakukan semuanya...
Aku pikir hidupku akhirnya telah mencapai titik dimana hanya perlu satu langkah sebelum segalanya tidak memungkinkan bagiku untuk tinggal di rumah.
Aku telah memutuskan untuk berhenti memikirkan penyakitku.
-Diary of Kitou Aya-
A/N :
Makasih yg udah ninggalin review di chap 1, yg fav dan follow juga thank you banget. Penyakit ataxia ini beneran ada dan emang belum ditemuin obatnya. Penyakit ini nyerang saraf motorik dan nyerangnya step by step, gak langsung keseluruhan. Anggota gerak tubuh kayak kaki sama tangan jelas aja terhambat soalnya dikendaliin sama saraf motorik, bahkan gerak tenggorokan kayak waktu nelan itu juga diatur sama saraf motorik, jadi bisa kehambat juga. Kalo terapi sendiri bukan nyembuhin tp cuma memperlambat pernyakitnya doang.
Oh iya, aku ada pertanyaan. Disini baekhyun sempet ngucapin ultah ke chanyeol, menurut readers lewat tulisan atau ngucapin langsung?
Cluenya ada di cerita, udah jelas pake banget. Cobak deh jawab sertakan alasan, aku pengen tau :D
Thank you and have a nice day!