Disclaimer: This story is completely based on my imagination. Seventeen belongs to Pledis entertainment. The plot is mine.

Warning : Typo everywhere. Tidak sesuai dengan EYD. Yaoi. Boy x Boy.

Cast :

Kwon Soonyoung & Lee Jihoon (SoonHoon)

Seventeen members

+ Happy reading+

Namja itu berjalan pelan menyusuri jalan setapak yang membawanya masuk ke kawasan lingkungan pendidikan elit. Sesekali ia menyeka keringannya karena panas yang menyengat saat ia melewati lapangan bola.

Kiri. Namja itu memilih untuk lewat jalur kiri, melewati gedung D agar sedikit menghindar dari panasnya matahari. Belum apa-apa baju dan rambut coklatnya sudah basah karena peluh.

Beginilah saat memasuki Pledis University lewat jalur belakang di siang hari yang panas. Dan perlu ditekankan. Namja itu benci panas. Udara panas. Panas matahari yang menyengat seperti sekarang. Panas. Bukan hangat. Jika itu minuman, maka namja itu menyukai teh hijau hangat. Sekali lagi. Bukan panas.

Ramai. Gedung D memang ramai karena gedung D merupakan wilayah mahasiswa fakultas perhotelan dan pariwisata yang menuntut banyak kerja praktek disana. Contohnya sekarang. Sepertinya sedang diadakan ujian praktek di replika cafe untuk mahasiswa semester empat. Sebenarnya, keadaan aslinya, wujud asli 'replika' cafe tersebut benar-benar mirip seperti cafe pada umumnya. Nuansa putih dapat namja itu liat dari balik dinding kaca.

Namja itu segera mempercepat langkahnya melewati gedung D yang memang mempunyai salah satu akses jalan di wilayah kampus tersebut. Memang tak masalah jika mahasiswa fakultas lain 'berkunjung' ke gedung fakultas lainnya, namun namja itu lama-lama jadi tidak enak karena ia sendiri.

Hal lain yang namja itu benci adalah sendiri. Ia suka suasana tenang. Ia tidak suka keramaian yang bisa membuatnya pusing. Ia suka menyendiri dari keramaian namun ia benci sendiri. Ia tidak ingin sendirian. Seorang diri. Setidaknya ia harus punya seorang teman yang bisa menemaninya walau mereka hanya diam.

"Lee Jihoon!" Teman. Oke. Seperti sekarang ini. Jihoon menoleh pada seorang teman yang sering menemaninya. Sering. Bukan selalu. Bukan setiap saat. Tapi ia lah yang menemani Lee Jihoon.

"Wonwoo." Jihoon, memilih untuk diam. Menunggu Jeon Wonwoo untuk mendatanginya. Sebenarnya Jihoon sedikit malas untuk melangkah menuju taman kolam lotus yang sering digunakan para mahasiswa untuk bersantai atau mengerjakan tugas mereka. Jihoon ingin segera memasuki kelasnya.

"Mengapa kau lewat belakang?" Tanya Wonwoo, yang sudah berdiri di depan Jihoon yang lebih pendek darinya. Pendek. Jihoon itu termasuk pendek untuk namja seumuran dirinya. Mahasiswa semester satu, umur hampir menginjak sembilan belas tahun dengan tinggi 167 cm. Kata orang batas manusia bisa tumbuh adalah dua puluh tahun. Jadi Jihoon bisa menambah tiga sentimeter lagi. Mungkin. Kemungkinan. Itu harapan Jihoon.

"Tadi aku mengambil buku musik ku yang tertinggal di mobil Seungcheol hyung."

Mendengan nama Choi Seungcheol, Wonwoo mendelik. "Tadi pagi kau diantarkan Seungcheol hyung?!"

Sebelum Wonwoo berpikiran macam-macam, Jihoon segera menambahkan. "Ada Junghan hyung juga." Dan Wonwoo kembali menutup mulutnya sebelum kalimat tanya tambahan keluar. "Kau lupa aku dan Junghan hyung satu komplek? Jadi besar kemungkinan jika kami akan sering bertemu."

Ya. Demi mengurangi jarak dan biaya transport, Jihoon memilih rumah sewa di daerah Pledis University.

Mendengar penjelasan Jihoon, bibir Wonwoo membentuk huruf 'O'. "Jadi kalian bertiga sudah sangat dekat sekarang."

Jihoon sadar jika temannya ini sedang menggodanya. "Aku dan Seungcheol hyung memang dasarnya adalah teman baik jadi tak masalah bagi kami."

"Junghan hyung pasti sangat baik sampai ia tak mempermasalahkan jika mantan Seungcheol hyung dekat-dekat." Wonwoo adalah orang yang pendiam. Sama seperti Jihoon. Namun entah mengapa semenjak Wonwoo menjadi kekasih seorang Kim Mingyu, namja berwajah emo itu menjadi sedikit lebih rewel.

"Kau salah." Koreksi Jihoon. "Junghan hyung itu mudah cemburu. Hanya saja ia sudah mengetahui cerita ku dan Seungcheol jadi ia tak masalah."

Jika sedetik saja Wonwoo diam, Jihoon akan angkat kaki dari sana. Namun sayang, ucapan Wonwoo selanjutmya membuat Jihoon terhenyak.

"Cerita jika kau tidak bisa membalas perasaan Seungcheol hyung karena cinta pertama mu itu. Jadi kalian lebih memilih mengakhiri hubungan."

Jihoon tidak masalah jika orang main mengukit berakhirnya hubungannya dengan Seungcheol. Yang menjadi masalah adalah alasan konyol yang menjadikan Jihoon sebagai orang konyol. Jihoon mengakui itu. Terlalu bodoh memang namun itu lah yang terjadi.

"Hentikan! Aku ingin masuk ke-"

"Mian. Aku tidak bermaksud un-"

"Gwenchana." Apakah Jihoon terlalu ketus tadi? Oh tidak. Jihoon merasa dirinya konyol lagi. "Lupakan saja. Efek panas jadi aku mudah emosi."

Senyum Jihoon itu manis. Semanis gulali yang Jihoon selalu makan saat ia menangis sewaktu kecil. Wonwoo ikut tersenyum. Ia menyesal. Waktu yang kurang tepat untuk membicarakan 'cinta pertama' seorang Lee Jihoon.

Wonwoo mengangguk. "Masuk lah. Aku juga harus ke kelas."

Dan mereka memisahkan diri. Mengikuti jalan setapak yang membawa mereka ke gedung fakultas mereka masing-masing.

Pikiran Jihoon berkelana kemana-mana seiring kakinya melangkah. Setiap batu pijakan membuat pikirannya semakin jauh ke masa lalu. Riuh suara kantin bagaikan backsound film yang tak didengarkan Jihoon. Sedangkan bunyi decitan orang bermain basket tidak membuat telinganya ngilu.

Gedung C adalah gedung untuk mahasiswa fakultas seni seperti Jihoon, seorang mahasiswa jurusan musik. Jalan menuju ke gedung C berada di pertengahan kantin dan lapangan indoor basket. Menjadi hal biasa banyak orang berlalu lalang di jalan tersebut.

Dan saat itu pikiran Jihoon sedang tak di tempat, sehingga ia tak sengaja menabrak seseorang yang sedang setengah berlari di depannya.

"Aw!" Tubuh kecil Jihoon terjatuh. Bokong mulus Jihoon berhasil mencium tanah. Dan buku musiknya entah terpental kemana.

"Mianhae." Sahut mereka bersamaan.

Sebuah uluran tangan menyambut Jihoon yang sudah kembali ke alam sadarnya. Mata kecil Jihoon memandang tangan besar yang terulur di depan wajahnya. Bisa Jihoon pastikan itu tangan namja. Tangan yang bisa menangkup habis wajah kecilnya.

"Bangunlah." Tampan. Jihoon akui itu. Walau Seungcheol dan Wonwoo tidak kalah tampan dengan namja di depannya. Dan mata! Mata namja itu sipit. Seperti mata rubah. Seperti jarum jam yang menunjukan angka sepuluh lewat sepuluh. Tunggu! Apa?!

"Kau tidak mau bangun?" Namja itu sedik tak sabaran untuk meraih tangan Jihoon.

Lagi. Pikiran Jihoon mulai berkelana lagi. Tubuhnya terhuyung karena tarikan paksa namja itu.

"Ini buku mu." Jihoon mengambil buku musiknya yang disodorkan oleh namja sipit itu. "Lain kali hati-hati."

Mata Jihoon tidak berkedip sampai namja itu berjalan melewatinya. Ia terus memandangi buku musiknya.

Pikirannya berhasil sampai pada suatu titik memori. Jihoon mengingatnya. Mengingat memori itu. Memori tentang mata itu. Mata yang seperti menunjukan pukul sepuluh lewat sepuluh. Oh tidak! Jihoon mulai konyol lagi.

Segera Jihoon menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha meluruskan logikanya. Oh ayo lah, ada berapa banyak manusia di bumi ini yang mempunya mata seperti itu. Pasti banyak. Jihoon yakin. Dan namja tadi... tidak. Jihoon yakin bukan namja tadi. Atau mungkin saja benar?

Gee! Jihoon tidak ingin memikirkannya terlalu jauh. Ia harus masuk kelas. Sekarang. Mungkin mendengarkan musik sebelum kelas mulai bisa menetralkan pikirannya.

.

Walau tubuh Jihoon kecil dan matanya juga kecil, namun Jihoon lebih nyaman duduk di belakang. Matanya masih normal untuk memandang papan tulis di depan sana. Dan duduk di tengah-tengah dua teman dekatnya cukup membuatnya nyaman.

"Jihoon-an, aku lapar." Bisik namja berpipi chuby di sebelah kanan Jihoon. "Temani aku ke kantin ne?"

Jihoon hanya mengangguk menjawab namja bernama lengkap Boo Seungkwan tersebut.

"Aku ikut!" Ucap namja di kiri Jihoon yang ternyata mendengarkan ucapan Seungkwan.

Jihoon menoleh. "Kau masih punya utang padaku, Lee Seokmin."

Lee Seokmin. Namja berhidung mancung itu tersenyum lebar. Daya ingat Jihoon memang baik. Sangat baik malah. Sampai memori sepuluh tahun yang lalu Jihoon mengingatnya dengan jelas.

"Arraseo, nanti akan aku traktir teokpokki!"

Sejenak berpikir kemudian Jihoon mengangguk. Kebetulan ia sedang berhemat untuk membeli album dari komposer kesukaannya.

.

Ramai. Kantin megah Pledis University selalu ramai di saat jam makan siang. Dari kedai paling dekat dengan akses ke gedung C hingga ke ujung dekat akses masuk ke gedung serba guna yang merangkap sebagai perpustakaan. Dari kedai kecil yang menawarkan makanan ringan sampai kedai yang menawarkan makanan berat. Semua sibuk melayani para mahasiswa yang kelaparan. Termasuk Seungkwan. Namja bermarga Boo itu menarik Jihoon dan Seokmin ke meja kosong yang tersisa di dekat panggung.

"Tunggu disini, biar aku yang pesan." Dan Seokmin menghilang di balik kerumunan mahasiswa.

Jihoon tidak tertarik dengan bagaimana perjuangan Seokmin untuk membeli teokpokki, atau bagaimana Seungkwan berkeluh kesah dengan perutnya yang minta diisi. Jihoon lebih tertarik dengan seorang namja yang sedang menaiki panggung.

Panggung kantin tidak terlalu luas. Sederhana dengan dua gitar, satu keyboard, kajon dan seperangkat drum. Panggungnya berwarna merah, kontras dengan nuansa kantin yang putih dengan sedikit sentuhan jingga.

Senada dengan warna cardigan namja yang sudah duduk di kursi di atas panggung, siap dengan gitar dan mic-nya.

Jihoon tersenyum memandangnya. Memandang senyum namja itu yang ditujukan pada setiap orang di kantin. Walau hanya ada beberapa orang saja yang memperhatikan dirinya. Namun senyum tipis namja itu tetap hangat. Sehangat hatinya. Ya, Jihoon mengenal namja itu cukup dekat.

Lalu namja itu mulai memetik gitarnya. Intro yang sangat Jihoon kenal. Lagu dari girl group terkenal di Korea Selatan, After School dengan lagunya Because of You. Jihoon yang mengaransemen lagu itu menjadi accoustic version, tentu namja itu juga ikut ambil andil. Tapi tetap saja yang berpengaruh adalah mahasiswa jurusan musik, Lee Jihoon.

Mungkin beberapa siswa yang mendengarnya tak asing dengan lagu tersebut. Lagu ubahan Jihoon itu cukup sering dimainkan oleh mahasiswa Pledis University, tentu dengan persertujuan Jihoon jika lagunya itu dibutuhkan untuk acara formal. Jika itu hanya untuk iseng menyanyi, maka tak perlu minta izin Jihoon. Jihoon bukan komposer yang haus akan title, tapi dia menjunjung tinggi kejujuran dalam sebuah karya.

"Seharusnya Hong Jisoo hyung itu masuk jurusan Musik, bukan Psikologi." Suara Seokmin membuyarkan konsentrasi Jihoon dan Seungkwan yang sedang menghayati petikan gitar Jisoo yang indah.

Jihoon menerima teokpokki dari Seokmin dan langsung melahapnya. Jujur. Jihoon juga kelaparan.

"Ani, Jisoo hyung lebih cocok masuk ke jurusan ilmu filsafat." Jihoon hampir tersedak dengan ucapan Seungkwan yang Jihoon akui hampir benar. Terkadang, Jisoo itu berpikiran lurus. Bahkan sangat lurus. Hingga Jihoon tak pernah menceritakan kisah konyolnya pada Jisoo, walau kemungkinan Jisoo akan memberinya saran karena ia calon psikolog handal.

"Sekalian saja Jisoo hyung ambil jurusan Teologi." Ucap Jihoon yang terus mengunyah makanannya.

"Sepertinya itu bukan hal buruk." Kedua kalinya Jihoon hampir tersedak. Kali ini karena suara namja yang sedang dibicarakan, Hong Jisoo. Namja itu sudah berdiri di samping meja Jihoon. Sepertinya teokpokki sudah mengalihkan dunianya hingga Jihoon tidak sadar Jisoo sudah turun dari panggung.

Segera Jihoon menelan makanannya. "Hanya bercanda."

Jisoo mengangguk kemudian terkekeh. Ia sudah sering mendengar orang berbicara tentang dirinya. Tentang talentanya di musik. Tentang kepribadiannya yang hangat dan easy going. Tentang ketampanannya. Tentang dirinya. Dan Jisoo menanggapinya dengan positif.

"Ada project baru?" Jisoo mengambil tempat di kiri Jihoon yang kosong.

"Belum," Jawab Seokmin di depan Jisoo.

"Kalau begitu aku sarankan kalian ikut Youth Music Festival akhir semester depan."

Ucapan Jisoo berhasil menghentikan aktifitas Jihoon mengunyah. Jihoon menajamkan pendengarannya.

"Mwo?! Aku saja belum tahu tentang berita itu." Seungkwan selaku mahasiswa update angkat bicara. "Dari mana hyung tahu?"

"Ayah ku salah satu investor acara tersebut." Ucap Jisoo tanpa ada nada sombong sedikit pun. "Mungkin bulan depan mulai disebar pengumumannya, jadi jangan beri tahu yang lain dulu."

"Jadi kau memberi tahu kami bocoran?" Tanya Jihoon setelah meneguk habis botol air mineral yang dibelikan Seokmin.

Jisoo mengangguk kemudian tersenyum. "Kalian bisa mempersiapkan diri lebih awal bukan?"

"Woaahh! Jisoo hyung terbaik!" Seru Seokmin dengan senyum lebar khasnya. Menampakan gigi putihnya yang rapi. Gummy smile. Jihoon akui temannya yang satu ini tampan walau Seungcheol dan Wonwoo masih diperingkat atas list teman tampannya.

"Untuk tahun ini, kalian harus memberikan yang spesial. Kali ini akan ada beberapa kategori." Jisoo mulai menjelaskan. "Vocal group, band, dance group, komposer dan solois. Aku tidak tahu bagaimana cara juri menilainya. Jadi kalian harus menciptakan musik yang terbaik."

"Hadiahnya?" Tanya Seokmin.

Jisoo tersenyum. Seperti sedang menyiapkan kejutan ulang tahun. "Ada komposer dan produser Jung Jinyoung yang menjadi salah satu juri, jadi kalian bisa tebak apa hadiahnya."

Deg! Bagaikan disuntik endorphin, Jihoon langsung berubah menggebu mendengar nama komposer kesukaannya. "Bisa berkerja sama dengan komposer Jung Jinyoung!"

Itu harapan Jihoon untuk saat ini. Tentu Seokmin dan Seungkwan tahu betul apa yang menjadi acuan Jihoon dalam bermusik. Maka mereka bersedia untuk mewujudkan harapan Jihoon.

"Tapi jangan lupa tugas-tugas kuliah mu ne?" Seketika tiga mahasiswa musik itu ingin melempar Jisoo ke kolam lotus karena harus mengingat tugas-tugas kuliah yang siap menunggu mereka.

.

Langit belum gelap. Masih ada cahaya sore yang disukai Jihoon. Namja bersurai coklat itu menjadi orang terakhir yang keluar dari kelas musik.

"Kau mau langsung pulang?"

Jihoon tersentak. Seharusnya ia sudah biasa dengan suara berat temannya itu, tapi tetap saja. Disaat suasana sunyi dan tiba-tiba ada suara bass manusia terdengar, siapa yang tidak terkejut.

"Mungkin hanya kau mahasiswa jurusan hukum yang sering berkunjung ke gedung C." Jihoon mendahului Wonwoo lalu menuruni tangga.

Mengabaikan perkataan Jihoon, namja bermarga Jeon itu segera berlari kecil menyusul Jihoon. "Mingyu masih belum keluar kelas."

"Lalu?" Sebenernya, tanpa Jihoon bertanya, ia sudah tahu Wonwoo akan berbicara apa.

"Temani aku sebentar saja sampai Mingyu selesai dengan tugas lab-nya."

Jihoon memutar bola matanya malas. Tugas laboratorium? Mengapa namja tampan seperti Kim Mingyu menyukai ruangan laboratorium yang menurut Jihoon itu aneh. Mingyu pasti sangat menyukai jurusannya sehingga ia diangkat menjadi asisten laboratorium oleh dosennya.

Jihoon dan Wonwoo duduk di kursi batu di bawah pohon rindang. Pledis University sangat menyukai suasana greeny. Maka tak salah jika suasana sejuk akan selalu terasa di sini karena banyak pohon yang menyalurkan oksigen. Kecuali saat panas tinggi melanda. Jihoon benci itu.

Mereka duduk di antara gedung A dimana Wonwoo belajar dan gedung B, 'habitat' para mahasiswa science dan teknologi. Jihoon berpikir jika seandainya Mingyu tidak terlalu sibuk dengab labnya, maka sepasang kekasih itu akan dengan mudah sering bertemu.

"Jihoon-ah," Suara berat Wonwoo membuat Jihoon menoleh, "Mingyu sedikit berubah."

Jihoon terdiam. Membiarkan Wonwoo menyelesaikan ceritanya.

"Mingyu semakin sibuk dengan tugas kuliahnya dan aku juga. Terlebih ujian kenaikan semester tinggal beberapa minggu lagi, pasti Mingyu akan semakin mengabaikan ku."

Walau wajah Wonwoo itu emo. Jarang ada ekspresi yang ia tunjukan, tapi Jihoon yakin temannya itu sangat sedih.

Wonwoo melanjutkan, "Karena terlalu sering sibuk dengan urusan masing-masing, saat kami bertemu, kami jadi bingung harus berbicara apa. Aku takut Mingyu tidak mencintaiku lagi."

"Jangan berpikir yang macam-macam Wonwoo-ya!" Walau badan Wonwoo lebih besar darinya, Jihoon masih bisa merangkulnya dan memberi elusan hangat pada bahu Wonwoo. "Saat ujian kenaikan selesai, aku yakin Mingyu akan kembali seperti biasa."

Wonwoo hanya mengangguk. Berharap ucapan Jihoon menjadi kenyataan.

Seperti itu kah rasanya diabaikan orang yang kau cintai? Jihoon tidak tahu. Dirinya belum pernah merasa pacaran sesungguhnya. Bersama Seungcheol, walau status mereka pacaran, tapi Jihoon tetap menganggapnya teman, seorang hyung, maka dari itu mereka lebih memilih berpisah. Dan Seungcheol dengan rela meng-iya-kan, karena Seungcheol sadar, jika ia ingin melindungi Jihoon sebagai hyung, bukan seorang kekasih.

Jihoon belum pernah merasakan rasanya menyayangi. Tentu berbeda dengan rasa menyayangi sahabat, orang tua, atau hewan peliharaan. Jihoon hanya pernah jatuh cinta satu kali. Entah ia bisa menggapnya jatuh cinta atau bukan karena saat itu Jihoon masih berumur delapan tahun. Puppy love? Entah lah. Yang Jihoon tahu ia menyukai orang itu sampai sekarang.

.

Langit masih terang walau tidak seterang saat Jihoon selesai kelas. Sepertinya sudah cukup lama ia menemani Wonwoo menunggu seorang Kim Mingyu. Sudah berapa kali Jihoon melewatkan bus umum yang biasa membawanya pulang. Dan baru saja bus berwarna hijau itu berangkat sesaat setelah Jihoon keluar gerbang utama. Perlu waktu tiga puluh menit lagi untuk bus selanjutnya lewat.

Jihoon mendudukkan dirinya di kursi halte bus. Matanya memandang ke depan. Ke arah deretan pertokoan yang kebanyakan adalah kedai penjual makanan, kafe, restoran, dan toko roti yang Jihoon sukai.

Sekilas Jihoon melirik jam analog yang tertera di layar ponselnya. Masih ada dua puluh lima menit lagi sebelum bus selanjutnya datang. Masih ada waktu untuk membeli roti gandum isi coklat kesukaan Jihoon.

Jihoon sudah berdiri di pinggir jalan. Siap melewati zebra cross saat lampu pejalan kaki berwarna hijau.

Dan saat mata Jihoon memandang toko roti bernuansa biru tua itu, ada seseorang yang menarik perhatiannya.

Namja itu! Namja yang menabrak Jihoon, ralat, Jihoon yang menabrak namja itu. Namja yang mempunyai mata seperti pukul sepuluh lewat sepuluh. Mata itu...

Jihoon sangat amat yakin banyak orang di luar sana yang mempunyai mata yang sama, namun hatinya berkata lain. Mengapa Jihoon jadi penasaran begini?

Telinga Jihoon masih berfungsi dengan baik, maka saat ia mendengar bel tanda pejalan kaki boleh menyeberang, Jihoon langsung berlari kecil mencari namja tadi.

Ia melupakan roti gandum kesukaannya. Jihoon lebih memilih mencari tahu sosok pemilik mata sepuluh lewat sepuluh. Hanya meyakinkan, tidak ada salahnya bukan?

Jujur sampai saat ini Jihoon tidak mempunyai clue selain ciri mata sepuluh lewat sepuluh dan sebuah nama. Karena opsi pertama lebih berpeluang, jadi Jihoon selalu memanfaatkan ciri mata unik tersebut.

Hilang. Sosok namja tadi menghilang di belokan jalan pertokoan. Sedih. Entah mengapa Jihoon merasa sedih. Sedikit menyesal karena ia tidak memanfaatkan kesempatan pertama saat ia menabrak namja itu. Namun, namja itu pasti salah satu dari sekian ribu mahasiswa Pledis University. Jihoon yakin itu. Jihoon masih mempunyai kesempatan untuk bertemu namja itu. Nanti.

"Lee Jihoon?" Panggil seorang namja tinggi yang entah muncul dari mana. "Sedang apa kau berdiri disini? Kau menghalangi orang yang ingin lewat." Sedikit candaan dari namja itu membuat Jihoon berbalik.

"Jun?" Jihoon memperhatikan namja bernama lengkap Wen Junhwi tersebut. Dilihat dari wajah dan namanya, namja ini adalah 'produk' China.

"Ada apa dengan wajahmu? Apa kau kehilangan sesuatu?" Apakah wajah Jihoon sesedih itu? Jihoon segera tersenyum. Memperbaiki wajah kecewanya karena kehilangan orang itu lagi.

"Ani. Tidak ada apa-apa." Jawab Jihoon sebiasa mungkin. Ia tidak mungkin menceritakannya kepada Jun. Jihoon sudah belajar bagaimana membedakan hal yang lumrah diceritakan dan yang mana tidak. Itu berlangsung dari Jihoon kecil.

"Kau ingin makan? Kebetulan aku sedang memesan makanan di sini." Jun menunjuk restoran bernuansa western di samping mereka.

Jihoon segera menggeleng. "Tidak terima kasih, aku ingin segera pulang."

Kemudian Jihoon pamit pulang. Melupakan roti yang ia ingin beli lalu segera menyeberang jalan.

"Oh ayo lah Lee Jihoon! Jangan bertingkah konyol lagi!" Jihoon berguman memarahi dirinya sendiri. Untung saja di halte sudah sepi. Hanya ada dirinya dan beberapa mahasiswa yang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Jihoon segera menormalkan kembali pikirannya yang mulai berkelana kemana-mana. Ia menghela napas berat. Tepat hembusan kedua, sebuah bus hijau datang. Siap mengantar Jihoon ke depan gang rumahnya.

.

.

.

To Be Continue

Note 1 : Aku kembali dengan FF SoonHoon. Semoga banyak yang menyukainya. Untuk FF ini, aku akan menyelesaikannya.

Note 2 : Beberapa kejadian di FF ini kisah pribadiku. Seperti sampai sekarang aku masih mencari my first love. Dan kisah Meanie disini, tentang ceritaku dengan couple RP ku. Latar belakang universitas disini adalah sebuah universitas elit di daerah ku, namun ada beberapa yang aku ubah sesuai kebutuhan cerita.

Note 3 : Aku pakai seventeen couple lama, SoonHoon, SeungHan, Meani, Verkwan, JunHao. Walau aku juga suka Jihoon couple dengan Seungcheol.

Note 4 : Please review karena sebuah review sangat berharga untuk ku. Terima kasih.