Title : SQUAD (Secret Mission)

Author : arilalee

Cast : 2MIN ft Meanie and other

Genre : Fluff, school life, humor garing

Warning : YAOI/Boys love, Typo(s), OOC

.

.

.

.

.

.

"Haaahhh kenyang sekali.." Minho menepuk perutnya yang terasa penuh. Ia sampai tak bisa bangkit untuk bersandar di sofa.

Mingyu yang duduk di samping Minho ikut bersuara, "Rasanya perutku akan meledak."

"Itu akan benar-benar meledak kalau kita memakan masakanmu, Mingyu." Minho mengejek tapi Mingyu hanya mencibir. Cara bertahan hidup bersama Choi Minho adalah menjadi seseorang yang bersikap seolah tuli. Karena jika didengarkan, kata-kata Minho itu terlalu jahat dan menusuk. Membuat siapa saja bisa sakit hati. "Tapi beruntung aku masih hidup."

Mingyu menyengir kuda. Eum, maksudnya menyengir dracula. "Kita harus berterimakasih pada Taemin Hyung!"

Minho mendengus ketika orang yang namanya disebut Mingyu tiba-tiba muncul dari dapur. Namja itu membawa sesuatu di tangannya dan menatap Minho dengan kesal.

"Kau bahkan masih punya empat voucher nasi ayam gratis!" Taemin mengomel sambil menunjukkan voucher yang ditemukannya di laci dapur rumah Minho.

Minho ternyata tidak benar-benar menelepon rumah sakit jiwa. Ia lapar, jadi lebih baik menelepon Taemin saja untuk membawakan masakan Eomma Lee. Bukankah Minho pintar? Seharusnya ia masuk kelas A, 'kan?

"Salahkan saja little brat ini." Mingyu menunjuk Mingyu di sampingnya. Sementara si objek penunjukkan kembali menunjukan deretan giginya yang abnormal pada Taemin.

"Aku sedang menjaga badan, Hyung." Mingyu beralasan. "Lagipula junk food tidak baik untuk kesehatan."

"Tapi yang kau masak tadi benar-benar sampah." Komentar Minho membuat Mingyu mempout kesal.

"Itu inovasi, Hyung! Siapa tahu aku ternyata aku akan menjadi chef nantinya?"

"Dan kemudian kau akan dipenjara karena meracuni semua orang." Timpal Minho semakin menjadi-jadi.

"Bahkan kau membuang masakanku sebelum itu matang. Jadi kita tidak tahu bagaimana rasanya."

"Jangan pernah memintaku untuk mencoba masakanmu lagi!"

Taemin terdiam sambil mendudukkan tubuhnya di sofa. Ia tak mau ikut campur dengan masalah antar-sepupu itu. Ia malah terlihat seperti sedang menonton acara debat politik yang sering ditonton Ayahnya setiap malam. Membuat mengantuk saja.

Perdebatan Minho dan Mingyu berhenti ketika Taemin melirik stik PS yang tergeletak di bantal, di atas karpet yang diduduki Minho dan Mingyu. "Ini games yang barusan kau dapatkan dari tabunganku?"

Minho melirik ke arah televisinya dan menganggukkan kepala. "Benar."

"Ck, baru saja kau dapatkan dan sudah kau mainkan sampai sesore ini." Taemin mengomel persis seorang ibu-ibu, tapi Minho hanya memutar bola mata. Toh, Taemin bukan Ibunya betulan, jadi ia tidak akan durhaka.

Mingyu ber'ah' ria ketika menangkap ucapan Taemin. "Jadi kalian tadi membolos untuk video games ini, Hyung?" Ia sedikit kesal karena mereka berdua ternyata pergi untuk bersenang-senang sementara dirinya ditinggal ditengah kebosanan, alih-alih tak ada Wonwoo di sekolah.

"Dia ini ada hutang budi padaku, Mingyu-ya. Jadi inilah imbalannya." Ujar Minho menjelaskan.

Mingyu mengernyit, "Hutang budi apa?"

"Aku membantunya untuk menanyakan pada Seungcheol tentang wo-ow!" Minho tiba-tiba memekik saat punggung tangannya terasa nyeri. Dan kemudian menatap horror Taemin yang ternyata sedang menggigit punggung tangannya. Dengan sedikit tepisan kasar sampai Taemin terjungkang, akhirnya Minho bisa melepaskan gigitan Taemin di tangannya. "YAK! Apa yang kau lakukan, dasar kanibal!"

Taemin mendelik pada Minho. Dasar tidak peka. Kalau ia tidak menggigitnya sesegera mungkin, sepertinya mulut ala ember bocornya itu sudah akan membeberkan tentang Squad MWHJ pada Mingyu dengan seenaknya. Beruntung Taemin bisa berpikir cepat untuk menghentikan mulut Minho. Taemin jadi menyesal telah membelikan video games mahal pada sahabat kurangajarnya itu.

Minho masih mengusap-usap punggung tangannya yang kini memiliki bekas gigitan Taemin. Ternyata jejaknya mirip gigitan Eve beberapa bulan lalu. Tapi Minho lebih suka digigit Eve karena Eve menggemaskan, sementara Taemin menyebalkan.

"Kalau kau lapar dan belum makan, kenapa tidak katakan saja dari tadi? Aku akan menyisakan makanan yang kau bawakan. Dengan begitu kau tak perlu menggigitku." Minho memarahi Taemin yang masih mendelik padanya tanpa rasa bersalah.

Dan setelah Taemin semakin mempertajam tatapannya, akhirnya Minho sadar akan kode yang Taemin salurkan dari tatapan matanya. Minho berdecak pelan, harusnya ia tahu kalau ia digigit gara-gara Squad bodoh itu.

"Baiklah, aku akan tutup mulut. Tapi 'kan tidak perlu menggigit. Bagaimana kalau besok aku demam? Lebih parahnya lagi aku rabies?"

PLAK!

Taemin menghadiahi mulut kurangajar Minho dengan tamparan dari tangan kanannya. Agak pedas rasanya, meski tak sesakit punggung tangannya.

"Awas saja kalau kau berani bicara, kodok sawah!" Taemin kembali mengancam, kini sambil menunjuk hidung mancung si namja bermata besar itu.

Minho berdecak, "Iya aku mengerti. Jangan katakan pada Mingyu, 'kan?"

Taemin menepuk dahinya keras. Dasar Minho bodoh!

"Kenapa namaku dibawa-bawa? Memangnya ada apa dengan Taemin Hyung dan Seungcheol Sunbae, Hyung?" Bagus. Mingyu si anak puber malah penasaran.

"Aku diminta untuk meminta informasi tentang Seungcheol oleh bocah ini." Minho menunjuk Taemin dengan tanpa rasa bersalah. Lalu ia menambahkan, "Seperti id ktalk, line dan akun weibo-nya."

"EO?" Taemin dan Mingyu sama-sama terkesiap. Taemin karena ucapan ngelantur Minho, sementara Mingyu karena keantusiasannya.

"Apa-apaan, kau?" Taemin mengerang kesal.

Tapi bukan Minho namanya kalau tidak menyebalkan, "Ya, kau mengaku saja Taemin. Hanya aku dan Mingyu saja 'kan yang tahu?"

Taemin menghela nafasnya. Ia menatap langit-langit rumah Minho yang sangat tinggi. Rasanya ingin menangis saja ketika menyadari kalau ia memiliki sahabat sejenis Minho. Sepertinya Taemin di kehidupan masa lalu telah bertabiat buruk sehingga sekarang Taemin harus menanggung beban dosanya.

"Hmm.. Taemin Hyung, apa ini sudah lama?" Tanya Mingyu yang membuat Taemin harus menatap namja berwajah tegas itu.

Taemin mengusap mukanya dengan kasar. "Tidak."

"Ah, jadi baru-baru ini?" Mingyu semakin terlihat antusias.

"Kau bicara apa, bodoh?" Taemin menyahut dengan malas. Sedikit menyempatkan diri untuk melirik tajam Minho yang justru tersenyum miring dengan jahatnya.

"Kasihan kau, Hyung. Sabar, ya, mungkin Seungcheol Sunbae bukan jodoh untukmu." Ujar Mingyu lagi, kini dengan intonasi prihatin yang kentara. Ia bahkan berani menepuk-nepuk bahu Taemin dengan perlahan.

Taemin menepis tangan Mingyu, "Jangan dengarkan Minho, Gyu. Kau sedang dibodohi olehnya."

"Tak perlu malu, Hyung. Aku tahu kau patah hati, tapi tak perlu menutupinya. Jujur saja padaku, anggap aku adikmu." Mingyu malah makin aneh. Taemin jadi malas menanggapinya. Sementara Minho sudah berlalu ke lantai dua sambil terbahak-bahak.

Taemin mencoba memejamkan matanya di atas sofa selagi Mingyu masih menepuki bahunya. Bocah kelas satu itu mengatakan kalau Taemin harus tegar menghadapi cobaan dan semacamnya. Taemin tidak terlalu mendengarkan karena ia sudah malas.

"Tapi Hyung, aku sedikit penasaran." Mingyu yang sudah hampir berlalu ke kamarnya kembali lagi menghampiri Taemin di sofa. "Kau baru menyadarinya saat Seungcheol Sunbae sudah bersama Jeonghan Sunbae, atau lebih dulu tapi Seungcheol Sunbae justru mencintai Jeonghan Sunbae?"

"Rasanya aku mau mati saja!" Taemin bergumam alih-alih menjawab pertanyaan absurd dari Mingyu. Ia berguling di sofa sampai jatuh ke atas karpet lalu kembali berguling-guling di sana.

Gara-gara Minho yang super jenius, Mingyu jadi terus mengiranya menyukai Seungcheol. Memang sih, Mingyu jadi tidak tahu tentang Seungcheol yang dulu dekat dengan Wonwoo dan segala yang berhubungan dengan Squad MWHJ. Tapi Taemin tak rela jadi tumbal. Apalagi dikatakan menyukai namja berpaha besar itu. Tidak mau!

Taemin pikir ia sudah bisa tenang tapi tepukan yang ia rasakan lagi di punggungnya membuatnya menghela nafas berat. Mingyu masih di situ rupanya.

"Sabar, Hyung. Jangan berniat mati hanya karena kau patah hati."

Taemin mendongak pada Mingyu dengan senyuman lebar yang terkesan menakutkan. Mingyu saja sampai mengkerut. Kalau Mingyu siput, mungkin sudah masuk ke dalam rumahnya.

"Kau kenapa, Hyung?"

"Kau pernah digigit oleh orang yang sedang frustrasi, tidak, Gyu?"

"Ah, tidak pernah, sih."

"Lalu kau mau mencobanya?"

"Aku ti – arrggghh! Jariku Hyung! Sakit, Hyung!"

Dan teriakan Mingyu yang menggema di rumah Choi's itu mengiringi tawa Minho di kamarnya. Dia benar-benar puas kali ini. Like a psycopath.

.


.

Mingyu sudah siap dengan seragam sekolah lengkap sejak sepuluh menit yang lalu. Niatnya sih, berangkat lebih pagi untuk sarapan di kantin sekolah. Tapi Minho tidak keluar-keluar juga dari kamar, jadi Mingyu berniat memaggilnya. Setidaknya untuk berpamitan pergi lebih dulu.

"Hyung.." Buku-buku jari Mingyu mengetuk pintu kamar Minho yang tertutup. Hening, tak ada jawaban.

Apa Minho belum bangun?

Mingyu memutuskan untuk melihat kakak sepupunya itu. Ia membuka pintu yang ternyata tak dikunci itu. Tapi yang Mingyu dapati hanya ruangan berantakan dan kosong. Minho tak ada di tempat tidur dan dimana pun.

"Apa aku ditinggal?" Mingyu bergumam sambil mencebik. Kenapa rasanya sedih sekali harus memiliki sepupu sejahat Choi Minho? Tahu begini Mingyu langsung pergi saja. Kasihan pada perutnya yang sudah berteriak meminta makanan.

"YAK! BUKA PINTUNYA, BODOH!"

Mingyu sudah hampir keluar dari kamar Minho – yang terkesan seperti lokasi bekas penjarahan dibanding kamar tidur – sebelum kemudian menghentikan langkah karena teriakan menggema dari arah kamar mandi. Suara familiar. Tapi yang jelas bukan suara Minho. Kecuali Minho salah minum obat yang membuat pita suaranya menipis dalam semalam.

Itu suara,

CKLEK~

"Taemin Hyung!" Baru saja Mingyu berpikir tentang si pemilik suara saat pintu kamar mandi terbuka dan memunculkan seseorang dengan tubuh basah dan handuk yang melilit pinggangnya.

Taemin melotot ketika menyadari keberadaan Mingyu. Ia segera menyilangkan tangannya ke arah dada untuk menutupi tubuh bagian atasnya yang polos. "YAK! Apa yang kau lakukan di sini?"

Mingyu belum sempat menjawab dan ia sudah dikejutkan lagi dengan sosok Minho yang menyumbulkan kepala dari pintu kamar mandi. Minho melakukannya karena keributan yang Taemin buat barusan. Mata Mingyu semakin melebar saja, terlebih ketika mendapati kepala Minho masih tertutup busa shampoo.

"Eo? Mingyu kenapa kau ada di kamarku?" Pertanyaan serupa Minho lontarkan. Mingyu belum menjawab ketika mata Minho justru terasa perih karena busa shampoo yang tak sengaja mengenainya. Minho pun masuk kembali ke dalam kamar mandi. "Arrghh! Air! Air!"

Taemin yang melihat itu langsung menarik pintu kamar mandi, menutupnya kembali. Lalu ia menyengir pada Mingyu yang masih mengerjap berusaha mencerna apa yang baru saja ia lihat.

"Kenapa?" Taemin bertanya dengan galak.

Saliva Mingyu tertelan dengan susah payah. "Eung.. Hyung, apakah kalian baru saja.. mandi bersama?"

"NO NO NO!" Taemin memekik keras. Sebelumnya ia mengambil kaus hitam miliknya yang ada di lemari Minho untuk menutupi tubuhnya dari pandangan Mingyu. "Jangan berpikiran macam-macam, bocah! Aku sudah mandi lebih dulu, lalu aku menyikat gigi selagi Minho mandi di dalam."

Mingyu menggaruk pangkal alisnya. "Eo?"

"Apa lagi?" Taemin kembali bertanya dengan galak. "Keluarlah, aku ingin pakai baju!"

"Aku.. bolehkah aku pergi lebih dulu?" Tanya Mingyu kemudian.

Taemin mengangguk padanya. "Pergilah. Hati-hati di jalan."

Kini Mingyu yang mengangguk. "Minho Hyung.."

"Biar aku yang sampaikan padanya. Asal kau tak melukai sepedanya, dia pasti juga tak apa-apa." Taemin menyahut.

"Kalau begitu, aku duluan, Hyung." Mingyu langsung berlari keluar dari kamar Minho setelah mengatakan itu.

Sambil menuruni tangga, Mingyu memukuli kepalanya. Pemandangan pagi hari yang agak absurd ini harus segera ia hilangkan dari memory-nya agar tidak merusak harinya. Ia sedikit mengutuk dirinya sendiri karena baru ingat semalam Taemin memutuskan untuk menginap. Sebenarnya Mingyu sempat berpikir betapa tidak berharganya Taemin bagi orang tuanya, buktinya Taemin menginap di sembarang tempat tanpa memberi kabar pun tak ada yang mencarinya.

Mingyu kembali memukuli kepalanya. Ck, kenapa kesialan selalu menghampirinya? Melihat Taemin topless itu sama sekali tidak ada untungnya. Kecuali kalau yang ia lihat adalah Wonwoo.

Sial, pipi Mingyu memerah dan taringnya keluar. Ia jadi membayangkan wajah manis Sunbae kesayangannya. Jadi Mingyu memutuskan berlari dan menyambar Miranda secepat mungkin. Mampir ke toko bunga untuk setangkai mawar dan membeli susu kotak stroberi di kantin sepertinya cukup menyita beberapa menitnya di pagi ini. Jadi Mingyu harus bergegas untuk sampai di sekolah lebih cepat.

.


.

Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan, Wonwoo akan datang di jam-jam terakhir menuju bell masuk sekolah. Dia memang siswa yang pintar dan rajin, tapi bukan berarti rajin itu datang ke sekolah pagi buta. Rajin yang menjadi acuan Wonwoo adalah datang setiap hari ke sekolah dan mengikuti pelajaran dengan baik, bukan malah menjadikan sekolah sebagai ajang bertemu teman, bertemu musuh, bertemu jodoh, apalagi bertemu orang gila yang setiap hari kerjaannya menempeli pintu locker orang lain dengan setangkai bunga mawar merah dan sekotak susu stroberi yang dingin.

Helaan nafas keluar begitu saja tanpa Wonwoo rencanakan. Ia sekarang sudah tak terlalu peduli pada benda-benda asing di pintu locker-nya. Hanya perlu mengabaikannya dan membuangnya agar si pelaku bisa peka dan tahu diri. Tapi sepertinya si pelaku terlalu bodoh untuk bisa sadar kalau apa yang dilakukannya benar-benar membuat Wonwoo muak.

Wonwoo melepaskan jaket kulitnya, membuka kunci pintu locker-nya dan memasukkan jaket yang sudah terlipat itu dengan rapi. Tangannya bergegas mengambil empat buah buku dari dalam locker dan menukarnya dengan tiga buku dari tasnya.

Tangannya kembali bergerak untuk menutup pintu locker itu sebelum ia sadar ada sesosok berkulit hitam dan bertubuh tinggi yang ada di balik pintu locker-nya. Wonwoo tak perlu menyiapkan umpatan, karena sosok hitam tinggi itu bukan si tersangka Mingyu.

"Ada apa, Kim Jongin?" Mereka ini satu kelas, tapi Wonwoo bahkan tak ingat sudah berapa kali mengobrol dengan Jongin sangking never-nya.

Jongin tersenyum miring, entah disengaja atau tidak. "Apa itu?" Dia merujuk pada dua benda yang menempel nyaman di pintu locker Wonwoo.

"Kau boleh memilikinya, aku tidak peduli."

"Aku hanya bertanya, bukan berarti aku mau." Jongin menolak. Tapi kemudian ia tersenyum lagi, "Apa ini ulah bocah kelas satu itu juga?"

"Aku tidak peduli."

"Benar juga. Memangnya kapan Jeon Wonwoo akan peduli pada sekitarnya?" Jongin berniat menyindir Wonwoo. Barangkali itu bisa mengetuk hati keras Wonwoo agar bisa cepat-cepat menerima Mingyu. Jongin sih tidak terlalu concern pada Mingyu dan Wonwoo, dia hanya ingin segera menyudahi kegiatan anehnya di squad buatan Taemin yang menyita waktu dan lebih sering membuatnya bertengkar dengan Soojung-nya.

Wonwoo masih Wonwoo yang sama ternyata. Wonwoo yang datar dan tanpa ekspresi. Sebut saja emo. "Amanat apa yang akan kau sampaikan?"

Jongin mendengus, kenapa susah sekali sih menebak si namja Jeon ini? "Tadi Soojung mengatakan padaku untuk mengatakan padamu, kalau Kibum Hyung mengatakan ingin bicara denganmu di studio jurnalistik."

Agak membingungkan, tapi Wonwoo yang pintar bisa menangkap maksud dari ucapan Jongin yang berbelit seperti usus ayam yang pernah Wonwoo teliti. "Kapan?"

"Kapan pun saat kau datang. Berarti sekarang juga, 'kan?"

Decisan kecil keluar dari mulut Wonwoo. Seperti ia sedang malas atau semacamnya. Jongin yang melihat itu menaikkan sebelah alisnya.

"Apa barusan kau mengutuk Kibum Hyung karena kau enggan menemuinya?" Jongin mencoba peruntungannya dalam menebak ekspresi Wonwoo yang terlalu misterius.

Wonwoo meliriknya. "Aku mengutukmu, tahu."

"Apa?"

Wonwoo tak mempedulikan Jongin lagi. Ia mengunci locker-nya dan segera berbalik untuk meninggalkan area locker itu dengan santainya.

Jongin menganga sampai dagunya hampir menyentuh lantai. Apa baru saja ia diabaikan? Seorang Kim Jongin diabaikan?

"HOI, JEON WONWOO! Kau mau kemana?"

Entah mendengar atau tidak, tapi Wonwoo hanya berjalan lurus dan menghiraukan teriakan Jongin.

"Keterlaluan, Jeon." Jongin mencebik.

.


.

Minho itu tidak terlalu pintar, tapi kalau urusan elektronik dan listrik, Minho itu jagonya. Maka dari itu, tugas kelistrikan untuk kelompok akan selalu dibebankan pada Minho. Dan hebatnya lagi Minho akan mengerjakan tugas itu di sekolah, beberapa jam sebelum dikumpulkan.

Taemin yang satu kelompok dengan Minho hanya ditugaskan mengipasi tubuh Minho agar tidak gerah. Sebenarnya Taemin tidak mau, tapi daripada tugas kelompoknya terbengkalai, jadi turuti saja permintaan namja tinggi itu. Begitu pun Jinki yang ditugaskan mengerjakan PR biologi Minho.

"Mana Kibum?" Taemin bertanya pada Jinki bukan tanpa alasan. Mereka itu dua sejoli.

"Tidak tahu." Jinki menyahut dengan ketus setelah sebelumnya menatap Taemin sekilas.

Taemin mengerutkan dahinya, "Kalian masih bertengkar?"

Jinki tak menjawab. Hanya mencoba memfokuskan diri pada tulisannya.

Taemin berdecak pelan. "Apa sih yang kalian perebutkan? Kenapa harus bertengkar seperti ini?" Bukannya ingin ikut campur, tapi agak aneh melihat Jinki tanpa Kibum atau sebaliknya.

Terlepas dari itu, semenjak bertengkar dengan Jinki, tingkah Kibum jadi semakin anarkis. Taemin saja ingat dengan jelas kalau anak itu kemarin menuangkan separuh isi saus sambal ke tteokpokki Taemin dengan alasan kesal pada Jinki. Taemin tidak mau itu terulang lagi.

Jinki malas menjawab. Ia menutup buku tugas Minho yang sudah selesai ia kerjakan. "Sudah selesai."

Minho melirik bukunya. "Kau tidak sedang menjebakku, 'kan?"

"Kau pikir selama ini aku hanya menjebakmu? Dasar brengsek!" Dan satu lagi yang tidak Taemin suka kalau Jinki dan Kibum sedang bertengkar. Mulut Jinki jadi tajam sekali.

Minho sih tidak ambil pusing dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Tinggal satu lagi lampu paralel yang harus ia pasang dan semuanya akan selesai. Sebenarnya, Jinki juga bisa mengerjakan tugas kelistrikan ini, tapi namja sipit itu beralasan kalau dia tidak mau selalu dibebankan dalam kelompok. Selagi ada yang bisa selain dirinya, harus dieksplorasi dengan baik.

Taemin akhirnya memilih untuk memanyunkan bibirnya selagi menunggu Minho selesai. Ia bukan menunggu pekerjaan Minho, tapi menunggu kapan waktunya ia berhenti mengipasi tubuh Minho yang seperti raja ini. Pegal, tahu.

Sedang menikmati kepegalannya, tiba-tiba Taemin teringat akan kejadian kemarin sore. Ya, saat ia melihat Wonwoo di halte dan pergi dengan bus. Taemin melirik Minho yang terlihat sedang serius. Bisa diganggu tidak, ya?

"Minho.."

Hening.

"Minho-ya..."

Masih hening.

"Choi Minho..."

Semakin hening mencekam.

Taemin mendengus dan dengan segenap kekesalan di hatinya ia memukulkan buku paket biologi yang digunakannya untuk mengipas Minho itu ke kepala Minho. Sebenarnya tidak sengaja, tapi Minho sudah lebih dulu memekik sebeum Taemin sadar kalau ia bersalah.

"Ups!" Taemin menggigit bibirnya keras-keras. Persetan jika memutuskannya. Ketika Minho menoleh padanya dengan asap yang mengepul dari hidung dan telinga, Taemin sempat berpikir untuk kabur dengan melompat dari jendela. Tapi sayangnya Taemin masih mencintai nyawanya. "M-maafkan aku.."

Minho tak menjawab. Ia merebut buku biologi berhalaman seratusan lebih itu. Memang tidak terlalu tebal, tapi cukup sakit sampai kepalanya berdenyut. Taemin terlihat memelas menatap Minho, berharap Minho tidak marah atau semacamnya. Tapi Minho tidak akan luluh. Ia mengangkat buku itu tinggi-tinggi dan menghitung sampai tiga sebelum memukulkannya ke ubun-ubun Taemin.

BRUK!

"Aww!"

Seperti psycopath, Minho tersenyum miring melihat Taemin meringis kesakitan. "Impas."

Taemin tak terima. "Hei, aku tadi tidak sengaja. Dan memukulnya juga tidak sekeras itu! Ini tidak impas."

Minho mengabaikan Taemin dan melanjutkan pekerjaannya. Tapi ia harus menghentikan kegiatannya lagi karena Taemin kembali membalas pukulannya. Kali ini dengan tempat pensil yang lebih keras. "YAK! Kau mau membunuhku?"

"Aku hanya membalas apa yang kau lakukan, kodok sawah."

"Ck, aku tadi memakai buku. Kau memakai tempat pensil. Itu tidak impas." Minho merebut tempat pensil Taemin dan langsung memukulkannya ke kepala Taemin.

Sementara aksi pukul-pukulan antara Taemin dan Minho tak dapat dihindari, Jinki sangat enggan memperhatikan perkelahian aneh itu. Ia berdiri dari kursinya berniat belajar di luar saja. Sedikit menambahkan umpatan untuk dua makhluk berisik yang kini mulai pukul-pukulan menggunakan tas masing-masing.

Jinki hampir tenang untung belajar di luar ketika ia malah melihat Kibum yang melintas bersama seorang namja hoobae. Dahi Jinki berkerut samar, sepertinya Kibum tak menyadari keberadaan Jinki karena dia terus saja mengoceh.

Mata sipit Jinki menerka siapa kira-kira namja hoobae yang ada di samping Kibum. Mengingat begitu banyak kemungkinan untuk Kibum mendapatkan teman dari kalangan mana saja. Dia itu terlalu supel, padahal menyebalkan dan seenaknya tapi memiliki banyak teman.

Decisan keluar dari mulut Jinki ketika ia baru sadar kalau namja itu adalah Jeon Wonwoo. Ia juga langsung ingat perihal squad yang dipelopori Kibum dan Taemin.

"Bodoh. Mementingkan urusan seperti ini dibanding mengerjakan PR-nya." Desis Jinki melanjutkan membaca bukunya.

.


.

Seharusnya mereka bertemu di studio jurnalistik, tapi karena bertemu di koridor, jadi Kibum memanfaatkannya saja. Lagipula sudah mau masuk.

"Kau baru datang?" Kibum ini sebenarnya tipe yang jago berbasa-basi, tentu saja, dia 'kan jurnalis. Tapi berhadapan dengan seorang Jeon Wonwoo membuatnya sempat kehilangan kata-kata.

Wonwoo bahkan tak tersenyum sedikit pun, alih-alih sebagai sopan santun pada seorang Sunbae. "Ya."

Bagus. Wonwoo memang selalu sukses membuat siapapun mati kutu. "Ah, langsung saja, ya."

Kepala Wonwoo mengangguk mengiyakan.

"Sebenarnya aku ingin membicarakan konsep pemotretan kita. Tapi kau justru datang sesiang ini." Kibum melirik Wonwoo yang mendengarkannya dengan seksama. "Aku ingin membuat tiga sesi untuk pemotretan yang akan kau lakukan selagi aku melakukan wawancara dengan narasumber. Sesi pertama untuk sudut pandang kegiatan mereka, kita lakukan di lapangan outdoor dan ruang olahraga. Lalu sesi kedua masih dilakukan di outdoor, tapi dengan fokus pada model utama. Sementara sesi ketiga khusus untuk tujuan komersil dan entertainment, semuanya terfokus pada model utama. Semua pose-nya kau yang tentukan. Semua property juga kau yang tentukan, pokoknya harus semenarik mungkin. Untuk kali ini dilakukan di indoor."

Mata Wonwoo mengerjap. Ia sebenarnya terlalu jenius untuk mengerti apa inti dari perkataan Kibum yang bertele-tele. Tapi karena ia tak berekspresi apa-apa, Kibum jadi kaku dan menggaruk alisnya. Andai saja wajah Wonwoo bisa lebih fleksibel.

"Itu saja?"

"Ne?" Kibum mengumpat dalam hati. Pertanyaan Wonwoo itu seolah meremehkan konsepnya. Seperti Wonwoo menganggap enteng apa yang dikatakannya. Tapi demi squad, demi Mingyu dan Wonwoo untuk semakin dekat, Kibum harus menghela nafas dan menetralisir emosinya. "Ya.. mungkin aku akan sibuk dengan wawancaraku, jadi aku akan membebaskanmu untuk mengeksplor kemampuanmu. Kalau ada yang tidak kau mengerti, kau bisa tanyakan langsung padaku agar konsep kita sejalan. Ck, seharusnya model kita juga datang agar kita bisa membicarakan ini bersama."

Wonwoo menimpali, "Tak apa, aku akan sampaikan padanya sebelum sesi dimulai."

Kibum tersenyum senang mendengarnya. "Kau memang best-partner, Wonwoo-ya. Aku akan meminjamkan flashdisk-ku, kau bisa memasukkan semua hasil fotomu ke dalamnya. Aku tidak peduli dengan editing atau effect apapun, aku serahkan semuanya padamu."

Wonwoo menganggukkan kepalanya mengerti. Tapi kemudian ia membuka suara, "Lalu waktunya?"

"Itu juga kuserahkan padamu." Kibum menyahut. "Yang penting, dalam waktu satu Minggu aku ingin tiga sesi itu selesai."

"Aku mengerti, Hyung."

"Haahh.. senang sekali berpasangan dengan orang pintar semacam kau." Kibum bertepuk tangan. Ia tidak bohong untuk ini. Wonwoo memang terlalu pintar sampai semudah itu mengerti apa yang disampaikannya. Padahal Kibum sempat berpikir dua kali bagaimana cara menyampaikan maksud dan tujuannya pada Wonwoo. "Baiklah, kalau begitu terimakasih. Kau bisa kembali ke kelas."

"Tapi Hyung.." Wonwoo memanggil Kibum dan menghentikan langkah Kibum yang hampir meninggalkannya.

"Apa lagi?"

"Siapa modelnya?"

Bibir keriting Kibum tersungging mendengar pertanyaan Wonwoo. "Ah iya, aku belum katakan padamu, ya?"

Perasaan Wonwoo jadi tak enak ketika Kibum merogoh saku celananya. Apa yang akan dilakukan oleh namja bermata kucing itu? Dan perasaan buruk Wonwoo terjawab dengan selembar kertas foto yang Kibum sodorkan padanya.

"Dia modelmu. Kim Mingyu, kelas 1 C."

Wonwoo masih ingin hidup, tapi rasanya ia ingin ditelan bumi saat ini juga.

.


.

Meski masih duduk di tingkat pertama, sepertinya nyali seorang Kim Mingyu sudah terlalu besar untuk membolos pelajaran di ruang kesehatan. Ya, siapa yang meragukan nyalinya? Bahkan di hari pertamanya sekolah dia sudah berani membuat sebuah peristiwa fenomenal di lapangan basket. Well, meski berakhir dengan memalukan.

Awalnya Mingyu tiduran di tempat tidur, tapi ketika mendengar suara langkah yang mendekat, Mingyu jadi duduk dengan punggung menegak. Matanya terus menatap ke arah pintu. Ia bisa melihat bayangan seseorang yang entah siapa.

Mata Mingyu mengerjap berkali-kali. Dalam hati ia berdoa agar bukan dokter sekolah atau guru yang memergokinya berada di sini. Dan kalau pun itu adalah mereka, setidaknya Mingyu tidak diberi hukuman berat.

CKLEK~

Peluh mengucur dari pelipis Mingyu. Dadanya berdentum-dentum karena detakan jantungnya yang berubah cepat. Rasanya ia sangat tegang.

Dan ternyata orang yang datang adalah..

Choi sialan Hansol. Alias Vernon Chwe.

"Keparat kau Hansol!" Mingyu langsung menyambut si bule itu dengan umpatan-umpatan koleksinya.

Mata Hansol mengerjap tak mengerti. Ia baru datang dan sudah dimaki-maki begitu. "What's wrong?"

"Wat rong kepalamu?" Mingyu mendengus dan kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Padahal semalam tidak tidur terlalu larut, tapi kenapa mengantuk sekali pagi ini? Memang ya, namanya juga anak muda. Jiwa nocturnal-nya terkadang muncul.

Hansol mengedikkan bahu tak peduli karena tingkah aneh Mingyu. Ia ikut membaringkan tubuh di atas tempat tidur di samping Mingyu. Melirik Mingyu yang memunggunginya dengan heran. "Kenapa kau tidak masuk kelas?"

"Lalu kau sendiri kenapa tidak masuk kelas?" Mingyu berbalik dan bertelentang.

Hansol menyengir sedemikian rupa, "Aku sih telat."

"Kalau aku malas."

Hansol mencibir. Ia menatap langit-langit ruang kesehatan yang putih bersih. "Pantas saja kau ditolak. Tidak pintar dan tidak rajin."

Mingyu hanya melirik Hansol dengan tajam. Dan sial karena si blasteran tidak melihatnya. Kenapa sih orang suka sekali mengungkit confess-nya yang gagal?

"Bicara tentang Wonwoo Sunbae, bagaimana kelanjutannya?"

Mingyu berdecak alih-alih menjawab. Ia ikut menatap ke arah langit-langit ruang kesehatan. "Aku juga tidak tahu."

Hansol tertawa, tapi entah apa maksud dari tawanya. "Sebenarnya kau itu serius atau tidak sih padanya?"

"Kau pikir aku rela mempermalukan diriku sendiri kalau aku tidak serius?" Mingyu tak bisa menahan nada suaranya. Hansol sudah memancing emosinya. Jadi tak ada alasan untuk Mingyu tidak mempout sebisanya.

Hansol lagi-lagi tertawa. "Jadi kau punya rasa malu juga? Haha.."

"Sial." Mingyu melempar wajah Hansol dengan bantal. Kata orang-orang sih wajah Hansol yang campuran Amerika-Korea itu sangat tampan. Tapi sebagai sahabatnya, Mingyu tidak setuju. Karena Mingyu tentu saja merasa lebih tampan dari namja bersenyum lebar itu.

"Aku sebenarnya agak takjub padamu. Baru saat orientasi kau mengatakan padaku kalau kau menemukan seseorang yang menarik hatimu, aku jadi tidak menduga kau akan menyatakannya di hari pertama sekolah." Hansol melirik Mingyu. Namja itu terlihat kesal dengan ucapan Hansol, tapi Hansol tak mau berhenti. "Kenapa kau bisa seyakin itu sampai melakukan big confession seperti itu?"

"Kau pikir aku over percaya diri sampai aku yakin dia menerimaku?" Mingyu berdecak.

Dahi Hansol berkeut, "Maksudmu?"

"Aku juga tahu kalau Wonwoo Sunbae pasti akan menolakku. Siapa orang yang akan menerima junior tak tahu malu yang menyatakan perasaannya di hari pertama sekolah?" Mingyu menertawakan dirinya sendiri. Terdengar sarkastik memang. "Kenapa aku melakukannya, aku juga tidak tahu. Itu seperti sebuah dorongan dari dalam hatiku untuk menyatakan apa yang kurasakan padanya. Niatnya memang membuatnya terkesan, tapi aku juga tahu diri. Malah aku jadi semakin semangat setelah ditolak. Dengan begitu aku percaya kalau Wonwoo Sunbae adalah orang yang sangat sulit didapatkan, itu tandanya dia lebih pantas diperjuangkan."

Hansol terdiam sejenak. Tak menyangka kalau namja berkulit gelap yang menjadi teman sekelasnya itu akan menjawab dengan jawaban sepuitis itu. Tidak cocok dengan wajahnya sih, tapi Hansol cukup tertegun. "Aku tahu cinta membuat kita bodoh, dan kali ini aku baru tahu cinta bisa membuat orang menjadi pintar."

Mingyu melirik tajam pada Hansol. "Maksudmu aku tadinya bodoh?"

"Jangan diperjelas, aku sudah tahu."

"Sialan."

"Lalu bagaimana rencanamu ke depannya?" Hansol kembali bertanya.

Mingyu sempat curiga pada namja berwajah campuran itu, jangan-jangan Hansol itu anggota klub jurnalistik yang terselubung. Tapi sepertinya itu tidak mungkin mengingat Hansol saja tidak suka membaca dan menonton berita.

"Tak ada." Sahut Mingyu singkat.

"Tak ada?" Hansol mengulang kata-kata Mingyu.

"Biarkan saja semuanya terjadi apa adanya. Yang jelas, aku akan tetap memperjuangkan Wonwoo Sunbae." Mingyu tersenyum plus taringnya saat wajah Wonwoo yang tersenyum melintas di kepalanya. Dan pipi Mingyu merona begitu saja seperti seorang maniak.

Hansol menatap Mingyu dengan horror. Ia balik melempar Mingyu dengan bantal agar si tiang listrik itu tersadar. "Kau jangan berpikiran yang aneh-aneh!"

"Kau yang membuatku memikirkan ini." Mingyu melimpahkan kesalahan pada Hansol. Hansol akan melayangkan jawaban lagi sebelum kemudian pintu ruang kesehatan kembali terbuka.

BRAK!

Mingyu dan Hansol secara spontan menoleh ke arah pintu. Dan mereka membolakan mata tanpa sempat memikirkan rencana kabur ketika sudah melihat Kim Saem dengan mata menyalangnya di ambang pintu.

"Hei, apa rencanamu setelah ini?" Mingyu berbisik pada Hansol yang sama shock-nya dengan Mingyu.

Hansol menelan ludah susah payah, "Entahlah. Biarkan mengalir apa adanya."

"Brengsek!" Umpat Mingyu dalam gumaman dalamnya.

"KALIAN BERDUA! IKUT AKU!" Kim Saem berteriak sampai Mingyu bisa melihat seekor cicak terjatuh dari tembok.

Ya, biarkan saja mengalir apa adanya. Ikuti perintah Kim Saem agar hukuman bisa berlalu lebih cepat. Syukur-syukur kalau berakhir sebelum istirahat sehingga Mingyu tak perlu malu jika Wonwoo akan memergokinya sedang dihukum.

.


.

"Ck, lihat itu! Bukankah dia terlalu bengal untuk jadi siswa kelas satu?"

Soonyoung mengerjap ketika Jihoon mengoceh di sampingnya. Mereka sedang dalam jam pelajaran dan tidak biasanya Jihoon justru memperhatikan hal lain alih-alih memperhatikan Seonsaengnim yang mengajar.

"Kau bicara apa tadi, Jihoonie?" Tanya Soonyoung setengah berbisik pada Jihoon.

Jihoon tak menoleh, masih melempar pandangannya ke luar jendela di sampingnya. "Aku membicarakan hoobae gila itu."

"Memangnya ada yang gila di sini?" Soonyoung memang terlalu polos. Sangking polosnya sampai membuat Jihoon ingin memecahkan kepalanya.

Jihoon memutar bola matanya sebelum menjawab. "Tak perlu berbisik begitu, kau pasti tidak sadar kalau Ryu Saem sudah keluar dari kelas, ya 'kan?"

Soonyoung mengerjap dan mendongakkan kepala. Lalu ia tertawa cengengesan ketika sadar kalau Ryu Saem memang tidak ada di mejanya. "Kapan dia keluar?"

"Sepuluh menit yang lalu, Soonyoung."

"Ah, kenapa aku tidak tahu?"

"Kau terus menunduk, bagaimana kau bisa tahu?" Jihoon tak bisa menahan putaran di matanya. Ia harus selalu melakukannya jika sedang berada dekat Soonyoung.

Soonyoung mencibir. Sementara itu Jihoon kembali menolehkan kepalanya ke luar jendela. Mengabaikan tugas yang diperintahkan Ryu Saem untuk diselesaikan selagi ia keluar.

"Kau melihat apa, Jihoonie?" Soonyoung dan segala sikap protektifnya. Ia bahkan sampai menarik Jihoon dan merangkul tubuh mungil kekasihnya itu. "Kau melihat namja lain, ya?"

Jihoon menatap datar si blonde yang sialnya adalah kekasih tercintanya itu. "Iya, aku melihat namja lain."

"Apa?" Dan satu lagi, Soonyoung dan segala kehebohannya. "Hueee... kenapa kau tega sekali, Jihoonie? Kau ini memang imut dan menggemaskan, tapi bukan berarti kau bisa memanfaatkannya untuk mencari selingkuhan tepat di depan mataku sendiri. Huee-ppppfffttt~"

Jihoon menyumpal mulut Soonyoung dengan gumpalan kertas. Ia benar-benar tak tahan mendengar ocehan Soonyoung yang tidak penting. Lebih baik membalikkan tubuhnya untuk melihat Wonwoo yang asyik mengerjakan tugas di belakangnya.

"Kau tak mau lihat ini, Wonwoo?" Jihoon bertanya sambil mencoba mencari wajah Wonwoo. Namja itu kalau sudah serius seperti orang yang tuli sekaligus buta. Tak tahu apa-apa yang terjadi di sekitarnya.

Wonwoo mendongak dengan tampang bodohnya. Hanya tampangnya saja, karena otaknya masih sepintar Wonwoo yang lama. "Melihat apa?"

"Kau akan tahu kalau menengok ke sebelah kananmu." Ujar Jihoon tidak to the point.

Wonwoo sebenarnya malas. Jihoon itu terlalu suka mengurusi dan mengomentari orang lain, jadi terkadang dia suka memperhatikan hal-hal tidak penting. Tapi agar semuanya cepat selesai dan Wonwoo bisa kembali berkutat dengan soal, dia memutuskan untuk menoleh.

Dan ia menyesal karena telah melakukannya.

"Ck, apa maksudmu menyuruhku melihat ini?" Kesal, Wonwoo menatap Jihoon dengan menusuk.

Jihoon mengedikkan bahunya. "Kita baru beberapa lama masuk periode tahun ajaran baru, tapi coba kau hitung sudah berapa kali dia dihukum?"

"Apa peduliku, Jihoon?" Wonwoo menyesal telah meninggalkan soal-soal berharganya. Ia kembali menunduk dan membangun konsentrasi.

Jihoon berdecak, "Itu memang sifatmu. Jangan disebutkan karena aku sudah tahu."

Wonwoo kembali mendongak ketika nada bicara Jihoon berubah jadi ketus. "Kau kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba mengurusi bocah itu?"

"Aku hanya kasihan padamu." Jihoon menjawab dengan serius. Well, dia memang selalu serius, tidak seperti Soonyoung. Tapi kali ini sangat serius. "Kalau kau memang tidak suka dengan keberadaannya, seharusnya kau tegas untuk mengenyahkannya. Kau bukan seperti Wonwoo yang kukenal."

"Aku bukan tidak ingin mengenyahkannya, aku hanya tidak ingin mematahkan semangat orang lain. Biarkan saja. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di kemudian hari." Wonwoo menjawab dengan raut datar yang sama. Ia terdengar santai dengan jawabannya, tapi efeknya tidak sesantai itu.

Bisa dilihat dari wajah Jihoon yang tercengang. Bahkan mulutnya menganga lebar dengan dagu yang hampir terjatuh ke lantai. "Kau.. Jeon Wonwoo?"

Wonwoo mengedikkan bahunya sembari kembali fokus pada bukunya. Mencoba mengabaikan Jihoon yang kembali merutuki dirinya. Mereka memang teman dekat, tapi terkadang sifat Jihoon juga tidak sejalan dengan Wonwoo. Tidak menjamin meski mereka sama-sama pintar maka mereka akan saling memahami.

Jihoon terlihat kesal diabaikan. Dia jadi menaikkan nada suaranya, "Jadi semudah ini kau goyah? Ini baru beberapa hari dan kau sudah mulai membiarkannya masuk ke dalam hidupmu?"

Rahang Wonwoo mengeras mendengar pekikan Jihoon. Badannya tiba-tiba terasa gerah. Dan bisa Wonwoo pastikan kalau beberapa orang di sekitar mereka mulai tertarik dan memperhatikan mereka akibat kegaduhan yang Jihoon buat. This little brat.

"Memangnya apa urusanmu, Lee Jihoon?!" Wonwoo membalas pekikan Jihoon dengan mengejutkan. Beberapa siswa bahkan sampai terharu karena akhirnya bisa mendengar suara Wonwoo lebih dari empat belas desible.

Jongin yang juga berada di kelas itu sudah memperhatikan mereka dari tadi. Awalnya ia tidak mengerti apa yang dibicarakan dua jenius itu. Ya, dia hanya mendengar kata 'goyah' dan 'luluh' lalu teriakan Wonwoo yang bertanya tentang apa urusan Jihoon.

"Ya, memang bukan urusanku." Jihoon memungkas dengan wajah marah yang kentara. Ia kembali berbalik dan berkutat dengan bukunya. Bahkan ia mendorong Soonyoung dengan teganya sampai si kekasih terjungkang saat Soonyoung mencoba menenangkannya.

Wonwoo terdiam sambil menatapi punggung kecil Jihoon. Ia tidak tahu apa yang menjadi kesalahannya sampai Jihoon semarah itu. Dengan spontan kepala Wonwoo menoleh dan kembali mengikuti pergerakan Mingyu yang sedang di hukum di lapangan sana. Sedikit berdesis pada si hoobae karena gara-gara dirinya, perdebatan ini terjadi.

Tapi bukan umpatan yang keluar dari mulut Wonwoo seperti biasanya. Ia hanya menghela nafas dan meruntuki dirinya sendiri.

"Apa aku terlihat sudah goyah?" Batinnya.

Sementara itu, Jongin mengetikkan sesuatu di grup chat dengan serius. Ia tidak sadar ketika Jihoon ternyata menatapinya terus sedari tadi sangking fokusnya.

.


.

Minho mengernyit ketika hanya mendapati Jinki di kursinya. Taemin sudah menghilang entah kemana, begitu pun Kibum. Kalau namja bermata kucing itu sih, Minho tidak peduli. Tapi kalau Taemin, biasanya sepulas apapun tidur Minho di kelas, jamur beracun satu itu akan membangunkan Minho dan izin untuk pergi kemana pun.

"Oi, Jinki!" Minho menendang kursi Jinki seperti sedang meminta jawaban saat ulangan.

Dan reaksi yang sama Jinki berikan padanya. Ia menoleh dengan dahi berkerut dan bibir mengumpat. Untuk yang terakhir itu, Jinki sih terbiasa melakukannya dua hari terakhir. "APA?!"

Minho baru tahu kalau kegalakan seseorang bisa menular. Mungkin berpindah dari Kibum ke Jinki karena mereka sering bersama. "Ck, garang sekali. Kau tidak sarapan dengan menu ayam tadi pagi, hah?"

Hanya tatapan tajam dari mata sipit Jinki yang Minho dapatkan. Dan jujur, ternyata cukup membuat merinding. Minho jadi berharap Jinki dan Kibum cepat-cepat berdamai agar ia tidak kena imbasnya.

"Kau tahu kemana Taemin?" Tanya Minho akhirnya.

Jinki mengedik, "Pergi."

"Aku tahu kalau itu." Minho memutar bola matanya. "Haahh, bicara dengan Jinki dalam mode menyebalkan memang tidak ada untungnya." Minho berdiri dari kursinya dan akan segera pergi sebelum ia merasakan lemparan tempat pensil tepat ke belakang kepalanya.

Matanya menatap horror pada Jinki yang sudah berasap. Benar, 'kan? Jinki sedang dalam mode galak memang sangat menyeramkan.

.


.

"Mereka bertengkar?" Mata Soojung membulat ketika melontarkan pertanyaan itu. Ia sedang bersama dengan Squad MWHJ di kantin untuk mendiskusikan hal yang menjadi topik hangat hari ini.

Jongin mengangguk yakin. "Mereka bahkan sampai berteriak. Dan aku merasa tidak beruntung karena mendengar teriakan Wonwoo. Lebih menyeramkan dari tatapan horrornya."

Taemin berdecak, "Apa yang mereka perdebatkan sebenarnya?"

Jongin menggaruk alisnya lalu cengengesan di tempat. Sebuah ciri-ciri kalau ia tidak akan membantu lebih banyak. "Hehe.. aku juga tidak tahu. Aku 'kan tidur sebelumnya. Aku terbangun ketika Jihoon meneriaki Wonwoo dengan kata-kata 'goyah' dan 'luluh'. Itu saja."

"Sudah kubilang, bocah ini tak berguna." Kibum berdesis lalu meminum jus jeruknya. "Kalau sudah begini, bagaimana? Aku takut hal ini membuat konsentrasi Wonwoo pada project buatan kita akan menurun."

Soojung mengangguk setuju. "Seharusnya pertengkaran semacam ini tidak terjadi. Kurasa Jihoon terkesan seperti ikut campur."

"Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencari tahu tentang apa yang mereka perdebatkan." Ujar Taemin kemudian. "Tapi sayangnya informan kita satu-satunya malah tertidur dan hanya mendengar dua kata kunci."

Jongin cengengesan selagi ketiga pasang mata menatapnya dengan tajam. Seolah sedang mengulitinya hidup-hidup. "Kalian seperti tidak mengenalku saja."

"Dasar tukang tidur." Taemin jadi ingat Minho yang masih terlelap di kelas. Pasti namja itu akan mencari Taemin setelah bangun nanti. Ah, persetan.

"Kalau saja kita punya alat penyadap yang bisa digunakan dengan mudahnya." Desisan santai Kibum itu mengundang perhatian dari tiga orang yang duduk di mejanya. Ia belum sadar dengan apa efek dari ucapannya barusan andai saja Jongin tidak bertepuk tangan untuknya.

"Daebak!"

Soojung mengangguk dengan senyuman di bibirnya. "Bagaimana aku tidak memikirkan tentang ini?"

"Kau ternyata punya sisi jenius juga, Bum." Taemin memuji si anggota jurnalistik sambil menepuk bahunya.

Sementara mata Kibum mengerjap karena ia masih belum sadar. "Apa? Aku bilang apa?"

"Tak penting." Taemin menyela.

"Itu cara yang sangat bagus, tapi dimana kita bisa membeli alat seperti itu? Tak masalah kalau uangnya, aku bisa membayarnya terlebih dahulu dan kalian mengganti uangku nanti. Tapi masalahnya, apakah alat itu bisa kita dapatkan dengan mudah di toko elektronik?" Tanya Soojung dengan sedikit unsur kesombongan dalam kata-katanya.

Jongin mengerutkan dahi tanda ia berpikir. "Aku tidak tahu, sih. Coba saja cari di google."

Kibum yang masih belum mengerti kemudian berdecak. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan, bung?"

"Kalian tak perlu khawatir." Taemin menimpali. Tapi tidak menjawab pertanyaan Kibum yang semakin heran. "Untuk alat seperti ini, aku kenal seseorang yang bisa membuatkannya tanpa harga yang mahal."

"Benarkah?" Soojung dan Jongin bertanya dengan kompak. Jarang sekali mereka terlihat serasi seperti ini. Jongin saja sampai berkaca-kaca sambil menatap wajah Soojung, tapi sayangnya gadis ini tak peduli.

"Ya, Kibum kau mengenal Jungmo Hyung, 'kan?" Taemin beralih pada Kibum yang masih tak mengerti situasinya.

Kibum mengangguk sambil mengingat-ingat. "Ya, hanya tahu saja. Alumni dua tahun lalu. Juara olimpiade kelistrikan."

"Check! Three point!" Mereka bertiga memutar bola mata mendengar Taemin berbicara bahasa asing. Sangat aneh di telinga. "Dia memiliki perusahaan elektronik cukup besar. Warisan Ayahnya, sih, tapi dia juga sering terjun ke bagian produksinya."

"Lalu apa hubungannya dengannya? Maksudku, kalian membicarakan apa, sih?" Kibum mengacak rambutnya kesal. Kenapa sekarang ia jadi tertular bodohnya Jongin, sih?

Tapi ketiga orang yang ada di hadapan Kibum bukannya menjawab malah tertawa mengerikan. Yang paling mengerikan adalah Taemin sampai ia harus naik ke atas kursi kantin hanya untuk tertawa. Beruntung namja itu cepat sadar ketika beberapa hoobae menatapnya dengan horror pada Sunbae mereka yang satu ini.

Bibir keriting Kibum mengerucut. Dia terkadang membenci squad ini. Sungguh.

.


.

Mingyu berjalan dengan santainya di koridor kelas bersama Hansol. Partner-nya saat membolos. Dan jujur saja, setelah dihukum bersama, rasanya ikatan pertemanan mereka jadi semakin kuat. Tadinya selain bersama Hansol, ada juga Minghao bersama mereka. Tapi si chineese itu malah menghilang setelah mereka melewati kelas 3 D. Sepertinya bocah itu diculik oleh sorang Sunbae bernama Wen Junhui. Ah, persetan.

"Aku masih heran kenapa kau yang jadi modelnya." Hansol berujar sambil mendribble bola basket di tangannya. Ia meminjam bola itu saat pelajaran olahraga dan menyembunyikannya di sudut kelas. Beruntung guru olahraga tidak menyadari salah satu bolanya yang hilang.

Mingyu menaikan sebelah alis dengan angkuh. "Kenapa? Kau iri padaku, ya? Bahkan wajah campuran yang biasa dielu-elukan ini kalah dengan ketampananku. Memang sih, aku 'kan sempurna."

"Heh? Whatever." Hansol malas menanggapi ocehan narsis Mingyu. Tapi kemudian ia menambahkan, "Kalau kau perfect, seharusnya kau yang dikejar. Bukan mengejar."

Mingyu mengeluarkan taringnya yang tajam. Ingin sekali menggigit bocah blasteran itu karena terus saja mengungkit masalah ini. Sakit, tahu. Tapi Hansol malah tertawa sambil menjauhkan bola basket, takut benda itu kempes jika harus berdekatan dengan taring Mingyu yang abnormal.

Mereka kembali berjalan beriringan. Niatnya, Mingyu ingin pergi ke studio jurnalistik dulu untuk menemui Kibum. Tapi niatannya luntur ketika melihat siluet orang yang dikenalnya di pinggir lapangan basket.

Jeon Wonwoo-nya.

Pipi Mingyu memerah seketika melihat kecengannya di sana. Wajah serius Wonwoo yang sedang membidik sesuatu dengan kameranya itu membuat Mingyu semakin gemas saja. Ditambah lagi pemakaian kacamatanya yang agak melorot di hidung mancungnya. Dia pasti sangking seriusnya sampai mengabaikan kacamatanya.

"Hei, masukkan taringmu, stupid." Hansol meninju lengan Mingyu yang sudah cukup berotot. "Terlihat seperti maniak."

Mingyu tak peduli dengan ocehan Hansol. Dan dengan segala tarikan dari dasar hatinya, kakinya melangkah begitu saja menghampiri si Sunbae kesayangan. Dalam batinnya ia berseru, 'Sunbae, i'm coming~'

CLICK!

Wonwoo menjauhkan kamera dari sebelah matanya setelah berhasil menangkap objek yang dimaksud. Setelah melihat hasil jepretannya, Wonwoo kembali membidik objek lain yang menarik menurutnya.

"Sepertinya aku akan lebih menarik dijadikan objek daripada lapangan basket yang kosong." Itu suara Mingyu yang entah sejak kapan sudah datang lengkap dengan senyuman taringnya.

Mingyu tidak pernah menyiapkan kata-kata sebelum bicara pada Wonwoo. Semua yang keluar dari mulutnya adalah spontan. Sebagai bentuk rasa cintanya pada Wonwoo, maka kata-kata narsis seperti itu akan keluar begitu saja.

Wonwoo hanya melirik Mingyu sebelum melakukan rolling eyes. "Jangan ganggu, aku sedang bekerja."

"Aku tidak mengganggu." Mingyu menyahut. "Aku juga akan sibuk setelah ini."

Wonwoo mendengarkan tapi ia tidak menggubrisnya. Melihat fotonya sepertinya lebih menarik daripada harus melihat wajah tampan bocah gila di sampingnya. Ah, tidak. Maksudnya cukup tampan. Karena Wonwoo merasa ia lebih tampan dibanding Mingyu.

"Dan sepertinya juga Sunbae-nim sedang sibuk." Mingyu kembali bersuara.

Wonwoo tak melirik sama sekali. Masih fokus pada kameranya meski mulutnya mulai bergerak, "Kalau tahu aku sibuk, sebaiknya kau diam, idiot."

Mingyu terkekeh di tempatnya. Entahlah, tapi mendengar makian keluar dari mulut Wonwoo terasa sangat lucu. Mingyu sampai tak bisa menghentikan tawanya begitu saja.

"Oh, baguslah, kupikir kalian belum bertemu."

Mingyu menoleh ketika mendengar suara asing. Sebenarnya tidak terlalu asing, sih. Karena itu suara Kibum. Sementara Wonwoo masih enggan untuk berpaling dari his beloved camera.

"Eo, Kibum Hyung? Maaf membuatmu malah kemari bukannya aku yang menemuimu." Mingyu memberikan gerakan membungkuk empat puluh lima derajat untuk meminta maaf pada Sunbae-nya itu.

Kibum mengibaskan tangan tanda ia tak peduli. "Aku memang sengaja kemari untuk melihat kalian."

"Kami?" Mingyu mengerjap sambil menunjukkan telunjuknya ke arah dirinya sendiri dan Wonwoo. "Kenapa Sunbae ingin melihat kami?"

"Ah, ternyata kau belum memberitahunya, ya, Wonwoo?" Kibum bersilang dada pada Wonwoo yang meliriknya sekilas.

Wonwoo menganggukkan kepala. "Bagaimana aku memberitahukannya kalau dia terus mengoceh sedari tadi."

Mingyu yang masih belum mengerti situasinya menatap Kibum dan Wonwoo secara bergantian. Dua namja berwajah manis itu seperti sedang mengetahui sesuatu yang tidak Mingyu ketahui sama sekali.

"Sebenarnya, ada apa Hyung?" Memilih bertanya pada Wonwoo dibandingkan dengan Kibum, padahal sudah pasti ia tak akan mendapatkan jawaban dari si emo. Dan apa itu? Kenapa mendadak Mingyu mengakrabkan dirinya pada Wonwoo dengan memanggilnya 'Hyung'?

Kibum terkekeh melihat bagaimana Wonwoo terus mengabaikan pertanyaan Mingyu. "Hei, bocah. Dia ini fotografermu."

Mata Mingyu melebar seiring dengan taringnya yang keluar. Ia terkejut tentu saja, tapi juga bercampur senang. Dan perasaan bahagia lebih mendominasi. "Apakah kau tidak bercanda, Hyung?"

"Apa menurutmu Wonwoo adalah tipe orang yang suka bercanda?" Kibum menyindir Wonwoo yang langsung mendengus mendengarnya. "Baiklah, karena kalian sudah bertemu biar aku tinggal kalian di sini. Aku sudah akan melakukan sesi wawancara dengan narasumber."

"Hyung, kenapa kau tidak bertanya saja padaku? Apa aku tidak cocok menjadi narasumber?" Tanya Mingyu sambil menatap Kibum dengan lugu. Khas sekali anak polos yang baru masuk SMA.

Kibum mengedikkan bahunya. "Aku hanya membutuhkanmu sebagai model. Itu saja."

"Hanya orang pintar yang cocok menjadi narasumber." Cetus Wonwoo dengan mengejutkan. Mingyu dan Kibum sampai menganga melihat bagaimana Wonwoo berbalik dengan santainya untuk mengambil tripod yang ia letakkan di bawah pohon.

Dan sejurus kemudian Kibum tertawa terbahak-bahak sambil memukuli bahu Mingyu. Cukup keras sampai Mingyu harus meringis menahan sakitnya. "Hahahaha... Dia itu lucu juga. Hahaha.. sangat humoris."

Mingyu mencebik mendengarnya. "Humoris apanya? Dia kejam." Desis Mingyu sambil mengerucut. Tapi kemudian ia mengganti ekspresinya menjadi bahagia. "Tapi dia memang menggemaskan."

Kibum berdecak melihat kelakukan Mingyu. Sedikit heran karena perubahan ekspresi yang terlalu cepat. Kibum sempat berpikir kalau Mingyu memang pengidap bipolar, seperti yang Minho bilang. Ah, mungkin setelah case bersama Squad MWHJ selesai, Kibum akan melakukan penelitian untuk yang satu ini. Mungkin akan bagus untuk menjadi sebuah headline di majalahnya.

TBC

HuWAAA... Chapter lima udah keluar gaes! Gimana gimana? Ini kayaknya chapter paling mengecewakan dah :v Sempet kehilangan feel humor di ff ini. Mungkin karena aku yang terlalu lelah *malah curhat seperti biasa* :v

Dan alurnya di chapter ini.. masih terlalu lambat nggak sih? Wahahaha.. kayaknya ff ini bakalan banyak chapter deh :v Semoga aja para readers tahan ya :D

Tuh, Meanie mulai banyak interaksi hihihi.. Kira-kira rencana Squad buat bikin Meanie semakin dekat berhasil ngga yah? Dan ini juga udah aku sempilin OnKey yang friendzone :v Buat 2min-nya.. aku juga bingung mereka itu apa :v

Hmm.. reviewnya aku baca semua loh meski nggak aku balas satu-satu. sebenernya aku bingung juga mau balesnya gimana /plak :v Pokoknya terimakasih banyak banyak yang udah mau sempatin buat baca dan review ^^

arilalee