Gekkan Shoujo Nozaki-kun
©Izumi Tsubaki sensei
.
A/N : "Ini bukan soal apa yang anda katakan, tapi bagaimana cara mengatakannya."—Erika Martines (psikolog Miami). Dedicated for #EyesVoiceHear
.
— Badai —
Chapter 1
.
.
.
Cuaca tak pernah secerah ini, dimana matahari dan angin saling bekerja sama menghalau hujan. Awan tampak bahagia memberikan keteduhan di beberapa tempat, dan matahari seolah enggan untuk mengalah untuk memberikan cahanya. Angin tidak tinggal diam, ia membantu matahari menerbangkan awan ke sudut lain di langit yang luas.
Angin membawa beberapa hal terbang bersamanya, tapi angin tetap membantu matahari untuk menyinari bumi. Awan tidak pernah marah ketika angin menghempaskannya ke belahan dunia lain, karena ia tahu angin membawanya kepada tempat yang sudah terlalu lama disinari oleh matahari. Pada akhirnya, awan, angin, dan matahari tak pernah bertengkar hanya karena siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Mereka ada karena ada yang membutuhkan mereka, untuk itulah mereka selalu hadir.
Kehadiran tiga benda ciptaan Tuhan itu juga dibutuhkan oleh seorang insan. Ia butuh angin untuk menerbangkan helai-demi helai rambutnya yang nakal. Ia butuh awan untuk meneduhinya dari sinar matahari, meski begitu ia juga butuh matahari untuk memberikan cahaya di sisinya. Terduduk di teras dengan sebuah bangku yang bergerak konstan. Bangku itu menjaga punggungnya agar tetap nyaman, memberikan gerakan kecil agar tubuhnya tidak bosan dan pegal tiba-tiba. Senandungan merdu keluar dari bibir tipisnya, ia menyambut angin dengan sangat baik.
Jemari lentiknya menari mengiringi senandungan, entah sudah berapa lama ia memegang jarum di kedua tangannya. Mata amber miliknya tak berhenti bercahaya, berpijar seperti matahari. Hangat dan lembut. Sebuah bentuk kaki mungil berada di pangkuannya, sangat kecil dan manis. Warnanya merah muda dengan sebuah pita kecil di tengahnya.
"Apa kau sudah meminum vitaminmu, Yuzuki?" sebuah suara lembut menyapa telinganya. Menghentikan lantunan senandung yang indah. Matanya bertemu dengan sepasang manik merah, tidak terlalu tegas hanya sedikit lebih lembut.
"Ya. Tenanglah." Katanya. "Lihat." Ia menunjukkan sepasang kaus kaki yang telah selesai ia rajut. "Bagaimana menurutmu? Apa anak kita akan menyukainya, Mikoto?"
Pria berambut merah tersenyum manis, senyuman yang akan meluluhkan siapa saja yang ada dihadapannya. "Ya. Dia akan sangat menyukainya. Meskipun ia tidak akan mengerti apa itu merah muda, dan apa itu pita manis yang menghiasi kaus kakinya."
Mikoto duduk di hadapan Yuzuki, tangannya yang kecil namun sedikit berotot itu menghentikan kursi yang bergoyang. "Dia..." tangan lainnya menyentuh sebuah gunung di perut sang istri. Mengelusnya penuh kasih sayang. "...akan secantik dirimu."
.
.
"A! MIKOTO!"
Raungan besar menggema dari dalam rumah sederhana yang penuh kenyamanan. Pria yang tengah menikmati teh hijau di sore hari itu berlari dengan cepat. Meninggalkan koran yang belum sempat ia baca pagi tadi.
"MIKOTO!"
Kembali suara itu memanggilnya. Mata merahnya membesar begitu mendapati Yuzuki terkapar di sisi tangga. Darah segar mengalir dari sela kakinya, mengucur dari paha hingga mata kaki. Air mata siap menerjang kelopaknya begitu Mikoto terduduk di hadapannya.
"Apa yang terjadi?" tubuhnya menggigil begitu ada bau anyir menyelimuti hidungnya. Tangannya menyentuh benda kental itu. "Darah?" tanyanya tak percaya.
"SAKIT!" Wanita itu akhirnya menangis. Napasnya tersengal, jemari lentiknya mencengkram kuat bahu sang suami.
"Kita ke rumah sakit, sekarang!"
.
.
Entah bagaimana caranya atau entah mengapa, sore itu pertahanan matahari, angin, dan awan runtuh begitu saja. Meninggalkan kehangatan menjadi sesuatu yang dingin. Awan menangis sepanjang malam karena angin tak mau berhenti untuk menerbangkan dirinya hingga menabrak awan yang lain. Membuat gemuruh tangisnya semakin keras. Bulan yang seharusnya muncul tak muncul malam itu. Ia terlalu takut untuk hadir diantara pertentangan mereka.
Pria merah disana seolah tak di dukung oleh alam. Ia terduduk dengan wajah cemas. Surai merahnya tak mengembang dengan sempurna, lepek karena hujan. Dan tubuhnya semakin menggigil karena hempasan angin yang diam-diam menusuk setiap tulang dalam tubuhnya.
Matanya konstan menatap ruang operasi. Meski begitu ia bergetar terlalu hebat seolah akan melompat dan meninggalkan rongga itu sendiri.
Telinganya menanti dengan gelisah. Ia menanti sebuah suara yang akan dengan tiba-tiba menghangatkan hatinya. Tapi, sudah tiga jam sejak Yuzuki memasuki ruang operasi suara itu tak tertangkap oleh telinganya. Ia hanya dapat menangkap suara gemuruh di hatinya. Jantungnya bahkan seolah melakukan konser besar-besaran, kencang dengan hentakkan yang luar biasa.
Akhirnya, mata merah itu menangkap sosok wanita dengan jubah putih. Dia hanya berharap bukan seorang malaikat pencabut nyawa dengan mata hijau yang menyapa dirinya.
"Tuan Mikoto." Sapanya lembut. Ia sedikit tersenyum walau agak memaksa.
"Bagaimana dokter? Apa Yuzuki baik-baik saja? Bagaimana dengan putriku? Aa—aku tidak mendengar suaranya."
"Tenanglah tuan Mikoto." Wanita itu menyentuh bahu bidang Mikoto. "Kau menjadi seorang ayah sekarang. Seorang ayah dari seorang putri. Sangat cantik, seperti ibunya."
Mata Mikoto tidak pernah secerah itu, melebar dengan sempurna. Telinganya telah menangkap sesuatu yang lebih baik dari sebuah tabuhan drum dalam jantungnya. Atau, amukan petir di luar sana. "Tapi," seketika rona merah dari pipinya menghilang. Melihat mimik dokter dengan nametag 'Kashima' di dadanya membuat wajah Mikoto memucat.
"A—ada apa dokter?"
"Ia prematur." Katanya singkat. Hidungnya mengambil oksigen begitu banyak. Kemudian ia hempaskan begitu dalam. "Ia tidak dapat berbicara. Ia tidak menangis ketika lahir, meski aku telah melakukan beberapa tindakan. Responnya tak berubah. Maafkan aku."
Kaki-kaki jenjang Mikoto seolah patah tiba-tiba. Kakinya tak mampu menahan beban yang akan di tanggung putrinya beberapa tahun kedepan. Ia jatuh, punggungnya menghantam sandaran kursi di belakangnya.
"Tenanglah, tuan Mikoto. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Anakmu sedang di inkubasi, jangan khawatir. Temanilah istrimu. Dia berada di ruang perawatan sekarang."
Kashima meninggalkan seorang ayah yang masih gamang dengan takdir putri sulungnya. Kakinya masih terlalu lemah, dan wajahnya masih terlalu tegang. Ia tidak akan bisa menunjukkan badai yang akan menghempaskan istrinya begitu saja ke dasar jurang. Tidak akan.
Untuk beberapa saat ia mencoba mengatur napasnya. Telapak tangan yang lebar menampar-nampar pipi putihnya. Mencoba menghilangkan ketegangan dari otot wajahnya. Kakinya berdiri, meski tak sempurna. Terhuyung, hingga membentur pintu operasi. Kakinya mundur satu langkah begitu para suster keluar dari ruangan itu.
"Dimana ruang perawatan?" tanyanya dengan sedikit bergetar.
"Anda lurus lalu belok kanan, disana ruang rawat setelah persalinan." Tangan putih dan jemari lentik membimbing arahnya dengan sempurna. Dengan satu anggukan Mikoto melesat menuju ruangan itu. Kakinya melangkah dengan cepat, ingin memeluk dan merengkuh tubuh istrinya sesempurna mungkin. Entah kenapa mereka harus memindahkanya melalui jalan lain, mata itu kesal tak dapat melihat setiap peluh yang mengalir dari kening istrinya. Tak berada di sisinya, wanita itu pasti takut dengan pisau dan jarum yang menusuk kulit perutnya.
Kakinya masuk serampangan, melangkah tak tentu arah. Ada beberapa pasien lain di ruangan ini, namun matanya dengan cepat menangkap rambut cokelat yang tersudutkan di sisi jendela. Mata ambernya menatap jendela, begitu cerah dan berbinar. Padahal pemandangan di luar sana tak seindah itu, awan masih menangis dan angin masih saja membenturkan awan hingga kilat dan gemuruh hadir di antara mereka. Kemana matahari? Ia sedang tak di tempat, menitipkan mereka berdua pada bulan. Namun pada akhirnya bulan ketakutan, hingga enggan menampakkan dirinya.
"Yuzuki." Panggil Mikoto. Sepasang merah mencoba memberikan kehangatan diantara dinginnya malam. Wanita di hadapannya tersenyum begitu manis, Mikoto tertawa kecil. Nyatanya senyuman itu malah lebih menghangatkan hatinya.
"Bagaimana dengan putri kita? kapan aku bisa memangkunya?" matanya berpijar luar biasa. Lidah Mikoto kelu untuk sekedar berkata putrinya sehat-sehat saja, ia hanya tak bisa bicara. Tak dapat menangis ditengah malam. Tak dapat memanggil dirinya ayah, atau memanggil wanita di depannya dengan sebutan ibu.
Mikoto duduk di tepi ranjang. Tangannya menyentuh pipi kenyal Yuzuki, menghantarkan kenyamanan tersendiri. "Aku tahu." Tiba-tiba bibir mungil dihadapannya berucap. "Putriku tidak bisa bicara iya, kan?"
Mikoto menurunkan tangannya, mengganti sentuhan pada jemari lentik sang istri. "Ya." Katanya. Suaranya begitu parau dengan banjir yang meluap dari mata juga hatinya. "Dia tak akan pernah memanggilku ayah. Atau memanggilmu ibu. Dia tak akan pernah bicara, Yuzuki."
Hatinya menangis, mata merahnya semakin merah dengan garis-garis halus yang mendampingi. Suaranya parau, tersekat oleh oksigen yang tiba-tiba memasok dirinya begitu sedikit. Jemari lentik yang dingin menghapus setiap tetes yang membasahi pipi putih Mikoto. Senyuman itu tak pernah lepas dari wajahnya. Menghentakkan hati Mikoto begitu keras.
"Aku sudah cukup bahagia dia lahir ke dunia ini. Aku tidak peduli jika ia tak pernah memanggilku ibu. Aku juga tidak peduli ia tak akan bisa memanggilmu ayah. Ia masih bisa mendengar setiap untaian kasih sayang yang akan kita ucapkan, ia masih bisa melihat jika ayah dan ibunya selalu bersamanya. Kita," tetap saja, air mata itu enggan terdiam untuk sesaat. "bisa menjadi suaranya. Kita akan menjadi suara untuknya, Mikoto. Kita... akan..."
Badai malam itu tak pernah benar-benar berhenti, walau awan sudah tak menangis sederas sebelumnya. Tapi segukannya masih terasa di kedua telingan insan itu.
.
.
"Maafkan aku, tuan Mikoto. Putri mu tidak akan bisa melihat. Aku bersyukur tidak ada masalah dengan pendengarannya. Tapi—"
"APA KATAMU! Jangan mengatakan omong kosong seperti itu!"
"Maafkan aku, tapi inilah yang terjadi. Mata putrimu tidak dapat melihat dengan sempurna. Kelahiran sebelum waktunya memaksa organ yang belum sempurna untuk bekerja. Hari ini mungkin ia dapat melihat sedikit kabur, namun seiring waktu kekuatannya akan melemah. Dan maafkan aku, ia tidak akan bisa melihat setelahnya."
Napas itu tak teratur. Menabrak dan masuk dengan sesuka hati, jantungnya seolah akan berhenti karena oksigen yang tak mau mengalir hingga ke jantungnya. Tubuhnya lemas, wajahnya tertunduk menatap telapak tangan yang dibuka lebar. Kemudian tangan itu menampung seluruh wajahnya, menahan air mata yang akan tumpah begitu saja.
.
.
Ditemani hempasan angin rambut oranye yang belum panjang itu menari lembut di atas pangkuan ibunya. Mata ungunya berpijar sangat indah, sesekali bibirnya mengerucut kemudian tertawa dengan lebar begitu sebuah kelitikan mampir di sela-sela jemari kakinya yang amat sangat kecil. Goyangan kursi memberikan kenyamanan pada anak itu, ia tidak menangis. Tidak pernah menangis. Rumah itu tak pernah ramai dengan deraian tawa ataupun tangisan seorang bayi. Tidak pernah, dan tak akan pernah.
"Yuzuki." Sapa sang pria bertubuh tinggi. Matanya menatap lembut kedua insan yang di sapu sang angin. "Lihat apa yang aku bawa!" serunya menunjukkan sebuah boneka tanuki yang manis.
"Chiyo akan sangat menyukainya. Ia tidak berhenti tertawa sejak tadi."
"Kau menggelitikinya lagi, bagaimana ia tak tertawa?"
"Hn," Yuzuki tersenyum. Mata ambernya ia lembar pada bola ungu yang entah memandang apa dan kemana. Yang ia tahu, mata itu berpijar penuh cahaya meski ia tak dapat menangkap cahaya sekalipun. "tawanya sangat renyah, hingga telingaku tak dapat mendengarnya sama sekali."
Mikoto serasa akan menangis, tapi ia tak akan pernah menangis lagi. Putri kecilnya tak pernah menangis, lalu kenapa dirinya harus menangis. Senyum dan tawa yang hampa suara itu tak berarti tak ada kehidupan disana. Senyuman itu bahkan lebih hangat dari sinar matahari, dan mata yang tak menangkap cahaya bahkan lebih bersinar dari cahaya matahari yang menyilaukan. Namun begitu tatapannya sangat lembut, tak membuat silau siapapun yang memandangnya. Seolah ada magis dari balik ungu yang memesona itu, tak akan ada yang sanggup menolak tatapannya.
Mikoto memanjangkan tanganya, mengambil gadis oranye itu dari dekapan sang ibu. Menyandarkan kepala kecil itu di lengannya, "Apa kau bisa mendengarku, Chiyo?" tanyanya lembut di daun telinga sang bayi. Bayi itu diam lalu tersenyum kemudian. "Ayah..." suara Mikoto mulai bergetar. Mentalnya begitu lemah di hadapan bayi mungil itu. Yuzuki mengenggam lengan Mikoto, menguatkan keyakinan yang akan runtuh dengan tiba-tiba. "...ayah membelikanmu boneka tanuki." Lanjutnya. Pria itu mengambil napasnya dalam, menghembuskannya pelan hingga kulit tipis Chiyo yang masih kemerahan dapat merasakan hangatnya. Mikoto menyentuhkan boneka itu ke pipi Chiyo. Bayi itu terdiam, mencoba merasakan sensasi apa yang tengah menyapanya. Kemudian jemari kecil itu bergerak keatas, menggapai-gapai udara yang kasat mata. "Kau ingin ini?" tanya sang ayah lagi.
Bayi itu masih diam, ia tidak akan menjawab iya ataupun tidak. Dia tak akan menjawab mau atau tidak mau. Bibir kecil itu mengerucut seolah kesal. Alisnya yang masih sangat tipis hampir bertautan.
"Hentikan, kau akan membuatnya menangis!"
"Bisakah aku membuatnya menangis?" ia menolehkan pandangannya pada Yuzuki. Yuzuki terlihat ragu. "Jika bisa, aku akan membuatnya menangis." Ujarnya seraya tertawa.
"Hei!" sergah Yuzuki. Suaranya cukup keras, hingga bayi di tangan Mikoto terdiam tiba-tiba. Matanya melebar, tangan-tangan mungilnya turun ke atas perut.
"Chiyo?" tanya Mikoto. Matanya bergetar, ia meletakkan boneka tanuki di perut Chiyo. Menyerahkannya pada Yuzuki. "Aku—aku, akan siapkan mobil! Kita ke rumah—"
"MIKOTO!" Yuzuki lebih dari berteriak. Matanya bergetar hebat. "Kau ditipu." Katanya, kemudian ia tertawa.
"Ha? Apa?" mikoto yang sudah mengambil langkah itu kembali menghampiri Yuzuki. "Apa maksudmu?"
"Lihat lebih dekat," katanya. "Dia hanya ingin bonekanya."
Mikoto bisa melihat senyum yang lebih indah daripada senyum Yuzuki, istrinya sendiri. Tawa renyah tanpa suara itu lebih terlihat indah dan menenangkan di depan matanya.
"Kau..." Mikoto mencium pipi Chiyo dengan kasih sayang. Dan bayi itu merenggut sehelai surai merah milik ayahnya. "HO! Chiyo!"
Tawa bayi itu memang tak pernah hadir di tengah rumah sederhana milik Mikoto, namun bayi itu akan sangat bahagia ketika ia bisa mendengar setiap deru napas orang tuanya. Mendengar setiap tawa di telinganya. Satu-satunya alasan ia tak menangis adalah untuk tak mendengar tangis di telinganya.
.
.
.
To be Continued
.