I Changed
i silent in my dreams loving you

.

.

©Jo Liyeol

chapter 3
; Squad.

.


...

"Serius?!"

Soonyoung mendelik jengah, meletakan kaleng root beernya ke permukaan meja. Lantas mendongak, menyandarkan kepala di sandaran sofa, menatap langit-langit ruangan.

"Ayolah, Kwon! Kepalamu disentuh dan kau hanya mempermalukannya?" Seokmin memutar bola mata sebal, rautnya bersungut-sungut, "Sumpah, ke mana Hoshiku, hah? Ke mana?"

Maka pukulan kencang yang menimpa belakang kepalanya.

"Tolol," Soonyoung mendengus, "Pikirmu, aku masih bisa selamat kalau menghajar anak orang lagi?" ia mendecih sekilas, "Ini kesempatan terakhirku, kuda. Sekolah terakhir. Kalau sampai kali ini aku dikeluarkan juga—mampus sudah, masa depanku bakal benar-benar suram. Belum lagi Yoongi-hyungah! Hancur aku! Hancur!"

Jeonghan muncul dari pantry, membawa nampan berisi kaleng bir lain dibuntuti Seungkwan di belakang, "Wow, berandalan mana yang masih ingat masa depan, man?" ia mencebik main-main, mendekat sekedar meletakan asal nampannya di permukaan meja. Surai pastelnya yang seharum peach bergoyang halus saat mendudukan diri di sofa tunggal. Mengambil satu kaleng dan membukanya acuh, "Persetan sepupumu yang galak. Kau itu sesuatu sekali demi Tuhan."

Soonyoung mendecak, beralih posisi; menyingkirkan Sokmin untuk memonopoli sofa sebagai tempatnya berbaring, "Kalian selalu berpikir ini gampang! Coba sekali saja pahami posisiku!" tubuhnya menelungkup menenggelamkan kepala di bantal kecil.

"Kau Hoshi, Hyung, bintang dunia bawah tanah. Berandalan sekolah mana yang tidak kencing di celana saat mendengar namamu? Jadi tidak heran 'kan kalau orang gila juga bakal berpikir segalanya mudah untukmu," Seungkwan yang menyahut, acuh tak acuh mengambil kaleng bir di meja; lantas duduk di lantai buat fokus menonton televisi. Ucapannya disetujui anggukan Seokmin.

Soonyoung memutar bola mata, persetan.

"Janji ya janji, anak nakal atau narapidana sekalipun; kalau dikodrat lahirkan menjadi laki-laki—harus bersikap jantan. Jadi janji ya janji!" vokalnya menyaring tinggi teredam bantal, "Lagi pula ...," ada jeda sebentar, intonasinya terdengar lebih tenang, "Aku tidak mau semakin membebani Yoongi-hyung. Walaupun persis macan betina—demi Tuhan, dia bahkan lebih menyayangiku dibanding ayah-ibu," kemudian tiga remaja lain bisa dengar bagaimana helaan napas Soonyoung terdengar berat, "Hidupnya sudah sulit padahal, tapi justru memungutku yang berengsek ini. Harusnya aku sudah putus sekolah dari dulu, tapi dia bersikeras menyekolahkanku—" lantas, Soonyoung menjadikan suasana senyap ketika tak kunjung melanjuti hingga bersuara lagi, "—sial, aku menyayanginya demi apapun."

Maka suasana benar-benar hening tatkala Soonyoung bangkit, melihat sekilas jam di ponselnya yang menunjukan pukul semilan malam, sebelum mengambil almet YaGooknya yang tersampir di sandaran sofa.

"Aku pulang ya. Dah!"

Menyisakan ketiga kawannya yang memindai punggungnya menjauh, hingga menghilang di balik pintu.

Dan mereka tertawa, tergelak heboh sambil menatap satu sama lain.

Jeonghan yang merinding, menenggak sekali bir kalengnya lantas berucap nyaring, "Astaga! Aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Dia tidak bisa tahan emosi tapi lembek sekali kalau sudah menyangkut Yoongi-hyung."

.

.


Soonyoung menggusak rambut belakangnya lelah; matanya berat, kaki-kakinya malas, kepalanya pusing efek alkohol. Tapi mau tidak mau harus berjalan melewati berisiknya pasar Myeongdong untuk sampai rumah.

Langkahnya terhenti sebentar saat melihat remaja mungil keluar dari salah satu tempat les, menjinjing ransel di pundak dan memakai seragam lengap. Entah kenapa, menjadikan akal logisnya kembali utuh dan tersenyum tipis.

Maka, Soonyoung mengejarnya cepat.

"Hei!" ia berseru pelan, seiring sebelah tangan menahan satu pundak sosok itu. Yang dimaksud menoleh sedikit mendongak, Soonyoung bisa lihat bagaimana bola mata jernihnya membulat melihat keberadaannya, "Hai?" Soonyoung melambai kecil, tapi kemudian, menggaruk belakang kepala kukik, "Uh, Ji ... won? Yoon? Moon? Mm—maaf, namamu?" Soonyoung berkesip canggung setelahnya.

Maka ia tergugu ketika si mungil terkekeh kecil. Manis. Menggemaskan.

Lebih membekukan dibanding senyuman di atap yang tak hilang dari memorinya hingga kini.

"Hoon," ia berkata lewat cara bicaranya yang aneh, "—Jihoon. Aku Lee Jihoon."

Yah, Soonyoung paham kalau kawan sebangkunya memang berbeda. Andai kata Seungkwan di posisinya pasti remaja Boo itu bakal bilang bocah ini; gila atau keterbelakangan mental, blak-blakan lewat cara bicaranya yang frontal dan asal-asalan.

Karena ke-abnormalan Jihoon itu sangat-sangat transparan.

Lewat cara bicaranya, lewat tatapan matanya, lewat seluruh gelagatnya.

Lee Jihoon absolut berbeda dari kebanyakan orang.

Maka Soonyoung mengudarakan 'ah' panjang, lantas mengangguk-anggguk paham, "Yeah, Jihoon. Itu namamu."

Ucapannya justru membuat si Lee kembali terkekeh senang.

Sumpah, Soonyoung hanya tidak menyangka, padahal baru seminggu lalu siswa ini terlampau gentar sekedar menatap matanya, tapi sekarang—lihat, Jihoon seakan terlalu mudah dipermainkan.

"Pulang?" si Kwon bertanya basa-basi.

Jihoon mengangguk lucu, "Pulang."

Untuk pertama kali setelah sekian lama, Soonyoung tersenyum tulus selain karena sepupu tersayangnya.

"Ke arah mana?"

Jihoon menunjuk bagian utara, Soonyoung mengangguk, "Kita searah, ayo ke sana sama-sama."

Jihoon hanya menyetujui lewat anggukan banyak sekali.

Imut.

Menurut Soonyoung.

.

.


Keduanya berbelok ke sebelah kiri di perempatan gang.

Tempat yang gelap dan sepi.

Lama berjalan, bunyi lebih banyak didominasi suara percakapan mereka juga berisik Myeongdong di bagian luar.

Jihoon tertawa untuk kesekian kali, menjadikan debar jantung Soonyoung berdegup anomali.

Memang.

Soonyoung tau ada yang salah.

Akan tetapi ia tidak paham di mana letak problemnya.

Hanya memahami sepenuh atensinya terbelenggu pada figur ini.

Sosok Lee Jihoon di sebelahnya.

.

.


Satu pukulan.

Wonwoo meninju Mingyu tepat di rahang, menjadikan remaja itu terhujung dan ambruk.

Si Jeon mendecih sekali. Mengusap mulutnya dengan punggung tangan.

Ia melangkah maju, sekedar meraih kerah kaos Mingyu dan menyentaknya brutal, "Bangsat, Kim—" ia menggeram. Menyalak marah memperhatikan Mingyu yang tersenyum menyebalkan padanya, "Sudah kubilang berhenti main-main."

"Aku tidak main-main," Mingyu menimpal santai, mengintai Wonwoo dengan retina yang berkilap sarkastis. Lantas, sebelah tangannya terjulur meraih rahang si Jeon, mengusapnya gamang, "... hanya menggodamu sedikit, babe," lalu memajukan wajah menghisap bibir Wonwoo kasar.

Maka satu pukulan menghantam tulang pipinya.

Sesaat, sebelum Wonwoo mengamuk menghajarnya tanpa ampun.

.

.


Langkah mereka terhenti.

Soonyoung mengernyit memindai keadaan. Ada dua belas remaja seusianya; beralmet sama sepertinya, menghadangnya pongah dengan balok kayu dipegangan masing-masing.

Ia kenal dua di antaranya, yang berdiri di baris paling depan.

"Wah, Hoshi kita datang juga akhirnya," provokasi; nada dan cara bicara siswa itu jelas sekali mengejeknya.

Soonyoung berkedip satu kali, menghela napas. Ia melirik ke sebelah melihat ketakutan Jihoon dengan tubuhnya yang gemetar.

"Mau apa?" Soonyoung kembali menatap mereka.

Choi Seungcheol bangkit, melangkah pertama mendekatinya. Lantas berdiri di hadapannya lewat gaya yang kurang ajar, "Memberi pelajaran buat hama pengganggu?"

Soonyoung memutar bola mata, sersenyum pongah kemudian. Retinanya menatap Seungcheol meremehkan, "Katakan itu ketika berani menantangku satu lawan satu."

Si Choi mendecih, menggeritkan graham terlalu kesal, lantas tergelak pelan atas arogansme yang membumbung.

Obsidiannya berpendar, sejenak, menatap sekitar mengalih pandang dari Soonyoung.

Hingga kemudian retinanya menangkap Jihoon di sana. Menunduk takut di sebelah si Kwon.

Lantas, Seungcheol menggeram emosi, menggerit marah seraya tersenyum miring, "Apa-apaan ini? Mencari inang baru karena melihatku dipukul sekali?" ia mendekati remaja itu menjadikan Jihoon melangkah mundur ke belakang Soonyoung. Seungcheol menghentikan langkah, "Wah, wah," ia mendecak hiperbola, "—idiot ini perlu diberi pelajaran juga rupanya."

Kemudian.

Jihoon memejam mata kuat, tersentak di tempat, menunduk lebih dalam ketika Seungcheol mengangkat kepalan tangan.

Menunggu kapan tepatnya tinjuan itu mendarat ke seluruh tubuhnnya.

Akan tetapi.

Bunyi debuman keras membuatnya reflek membuka mata. Sekedar mendapati punggung Soonyoung memenuhi pengelihatannya, sementara Seungcheol terpelanting ke depan teman-temannya.

Menjadikan anak-anak itu terperenjat. Menatap tak percaya Choi Seungcheol yang begitu mudah ditumbangkan.

"Ah ... kau membuat tanganku kotor lagi astaga," Soonyoung mendecak min-main, luar biasa mengesalkan.

Menyulut tempramental sebelas remaja di sana, lantas bangkit dan menerjangnya bersamaan.

Maka Jihoon biasa lihat bagaimana Soonyoung menariknya merapat, bergumam, "Tetap di belakangku," hingga pukulan demi pukulan ia layangkan untuk mereka yang menyerangnya.

.

.


Kafe Gook terlihat penuh di jam malam. Yoongi menunduk memperhatikan arloji di pergelangan, kakinya menghentak-hentak tidak sabar beberapa kali.

Ini sudah nyaris jam sepuluh tapi sepupunya belum juga datang, biasanya; Soonyoung sudah menjemputnya dari setengah jam lalu. Ia mendongak kemudian, berusaha abai dan lebih fokus pada Jimin yang duduk di panggung kecil.

Dengan gitar dipangkuan. Melantunkan There's nothing holdin' me back menghibur pelanggan yang menikmati nyanyiannya.

Yoongi mendesau, memijat pelipis ketika sekali lagi melirik jam.

"Sial, ke mana bocah bajingan itu."

Kemudian, ketika ponselnya berdering, yang pemuda itu tau adalah dirinya yang bakal menghajar habis-habisan Kwon Soonyoung.

Entah menggerus remaja itu menjadi bubuk atau mencincangnya menjadi potongan-potongan kecil.

sebab suara pria di sebrang sana memintanya datang ke kantor polisi.

.

.


"Kurasa aku gila, Hyung."

Soonyoung kena satu pukulan di kepala usai bicara demikian.

Yoongi berjalan di sebelahnya meninggalkan Jimin yang memberi peringatan di depan kantor polisi, pada siswa-siswa YaGook yang terlibat—pemuda itu yang menjadi wali bagi mereka. Sementara Jihoon sudah berlari pulang saat Soonyoung mendengar bunyi sirine di pasar.

Berawal dari gertakan Soonyoung yang mengusirnya kasar, Jihoon menggeleng; tapi si Kwon terlalu menyeramkan ketika tadi, lantas ia hanya menurut sambil menangis; memacu kaki-kakinya tanpa menoleh.

Terbebas dari persoalan polisi.

"Memang! Baru sadar sekarang?!" Yoongi menyalak emosional.

Dengan ekspresi yang tanpa dosa, Soonyoung menggeleng inosen. Persetan kalau pukulan Yoongi kembali menghujaminya.

"Tidak, Hyung, serius," Soonyoung memasang raut tegas, tak beralih dari memperhatikan jalan. Berhenti di depan mobil Jimin sekedar mendongak ke sepupunya, "Aku sudah berjanji padamu, benar?" ia bertanya diplomatis, akan tetapi tangan Yoongi justru menyambar mukanya kencang. Keras kepala. Soonyoung melanjuti sambil masa bodoh, "Aku bersumpah tidak mau mengecewakanmu lagi, demi Tuhan. Tapi aku tidak tau, Hyung—aku benar-benar tidak tau," ia menggeleng kebingungan, "Dia—anak itu maksudku ... um, Ji—" kemudian menggaruk belakang kepala mencoba mengingat-ingat, "... Jihoon," ia menggumam pelan sambil menunduk. Lima detik. Soonyoung kembali menatap Yoongi tepat di retina, "Anak itu lain, aku tau anak itu lain. Tapi tanganku justru bergerak sendiri saat dia dibilang idiot."

Mejadikan Yoongi tertegun karenanya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

tbc.
[ Wattpad : joliyeol ]


Jo Liyeol's Curhat Timing!


pendek ya? =w=
iya. emang.

ngetes doang kalian masih inget engga sama fic ini :v
alurnya dicepetin, btw.

.

PS(1): semua typo yang ada adalah kekhilafan.
PS(2): kucinta kaliaaaan ft. titik dua bintang. (tebar sempak dan kecup basah) =3= mumumu
PS(3): thanks for: follows, favorite, and reviews.
PS(4): see you on next chapter.

06.01.2018

...
tolong jangan lupa tinggalin jejak.
( review doang ga susah kan? ga ampe bikin bulukan? )
...