"Kau tampak buruk, Xiao Lu."

Luhan membawa matanya keatas, dengan masih menumpu kepala di depan keyboard komputer. Berusaha menghadap Zheng Kai yang baru saja menyampir tas kerja di seberang meja.

Kemudian berdeham mengiyakan. Kembali memejam mata sebelum menyadari kehadiran pria tadi di belakang kursinya.

"Jangan pulang terlalu malam. Bahaya untuk gadis sepertimu."

"Kau—"

Luhan bangkit karena gusar. Lebih gusar lagi ketika Zheng Kai berhasil menghindar dari tarikan tangannya, dan juga mendengar tawa pria itu selama pergi keluar ruangan. Menyisakan dirinya seorang selain deru mesin laptop yang terdengar samar.

Luhan, tetap disana untuk puluh-puluh menit selanjutnya. Terkecuali untuk menit ke dua puluh lima, ketika kepalanya naik—masih dengan dagu ke meja, sedangkan tangannya membuka satu e-mail yang diterima dua jam lalu.

Ia ingin marah, namun tak tahu alasan yang tepat untuk melakukan itu.

Ia ingin meledak, namun mama tentunya tak pernah mengharapkan itu.

Berbicara soal harapan mama-nya, apa sebenarnya harapan Luhan sendiri? Entah kenapa semua benar-benar terasa sulit semenjak Sehun bermalam di apartemen temannya.

Terlebih, Sehun tak main-main dengan kalimat 'aku mengerti'nya kala sarapan lalu. Karena semenjak itu ponselnya kosong, tak menderingkan nada khusus seperti setiap panggilan dari Sehun masuk. Notif pun, sekedar sesama rekan editor dan beberapa penulis yang membuat janji bertemu.

Ia merasa tertampar begitu satu pertanyaan muncul dalam kepalanya. Bukankah dia sendiri yang meminta?

"Bukan seperti ini…"

Luhan tertawa samar. Dengan mata yang tidak demikian—ini membuatnya terkesan rapuh.

Luhan tidak pernah meminta Sehun untuk pergi. Untuk mendiamkan lelaki itu apalagi Sehun yang mendiamkan dirinya.

Luhan hanya kecewa. Sehun sebagai pihak yang cenderung dominan seharusnya mengerti bahwa Luhan tak pernah ingin diperlakukan seperti ini. Bahwa sarapan kemarin seharusnya menjadi petunjuk, kalau Luhan benar-benar kehilangan Sehun sekarang ini.

Dan yang lebih tak Luhan mengerti adalah—

"Ya, Luhan?"

—sejak kapan tangannya meraih ponsel dan menekan dial untuk kontak Sehun.

"T-tidak. Aku hanya, hmm... maksudku bagaimana kabar—"

"Kalian, berisik! Tidak lihat aku sedang menerima telepon?! —Oh, maaf. Apa tadi kau bilang?"

"Ahahaha…" Luhan tertawa hambar, "Tidak. Aku menanyakan kabar dan sepertinya kau baik."

"Ya, kurang lebih begitu. Kau, bagaimana? Sudah makan malam? Minum obat?"

Senyumnya naik di sela matanya yang masih terpejam. "Baik, sudah, dan sudah."

"Baguslah,"

Sesaat kemudian Luhan meremas jari gugup. Ragu ketika mendapatkan satu ide di lintas otaknya. Untuk berkata terang-terang bahwa ia merindukan Sehun sekarang.

Bukan. Luhan menginginkan Sehun sekarang.

"Sehun, aku—"

"Tidak apa. Aku mengerti kau sibuk. Kututup teleponnya, ya? Nanti kuhubungi."

—tidak. Bukan ini.

Kenapa Sehun tidak mengerti?

"Luhan?"

Dan kenapa, airmatanya harus turun disaat seperti ini?

"Kau disana? Luhan?"

Dan kenapa—

"Kau… menangis? Luhan, ada apa?"

—ia bisa jatuh hanya karena melewati hal ini?

"Tunggu disana! Aku akan ke kantormu sekarang juga. Jangan kemana-mana."

Luhan adalah dewasa. Dan akan tetap seperti itu terkecuali ini menyangkut Sehun dan dirinya. Karena Sehun berbeda, dan Luhan tak bisa berpura-pura untuk lelakinya.

"Cepatlah, Sehun,"

Bahwa ia benar-benar membutuhkan Sehun, lebih dari apapun.

.

.

Sehun sudah hapal betul bahwa lift akan dimatikan begitu jam sudah tiba di angka delapan waktu malam. Meski begitu, dengan napas memburu kakinya dibawa menaiki tangga untuk sekitar lima kali, demi menuju pintu ruang editorial yang terletak di ujung lorong kiri.

Kosong dan gelap yang ia lewati menyisakan dingin untuk dirinya sendiri, namun tak cukup dingin untuk mengeringkan basah keringat di leher dan punggung.

Menemukan hanya satu ruangan terang di ujung, Sehun mendesah ditengah larinya. Tapi ia tak berhenti. Dengan tergegas membuka pintu tertutup untuk kemudian mendekat ke satu-satunya penghuni lain disana.

Luhan tidak tidur, Sehun bisa tahu meski wajah lelaki itu tenggelam penuh pada lipatan tangan.

"Luhan,"

Lantas berdiri di belakang kursi. Bergerak meraih Luhan dengan mencengkeram masing-masing pundak Luhan dalam pelukan.

"Tenanglah…" bisik Sehun setelah menangkap isak kecil dari Luhan. Memberi usapan pada pundak yang masih dalam rengkuhan.

Luhan kunjung membaik selama itu—selama Sehun tak menjauhkan pipi mereka yang bersisian. Selama usap lembut itu terus ia rasakan.

Karena Sehun sudah bersamanya. Sekarang.

.

.

Tubuh Luhan kembali turun, kembali menenggelamkan penis Sehun dalam dirinya setelah tiga puluh detik menghabiskan waktu untuk fase puncak.

Sehun tersenyum menangkap desah lega dari pria di pangkuannya. Tetap, dengan kepala tenggelam untuk menyesap aroma di bahu kiri Luhan. Sementara kedua tangannya bergerak mengusap lingkaran pinggang Luhan. Berusaha memberikan usapan menenangkan seperti yang Luhan sukai dikala waktu pasca-orgasme.

Sehun menyudahi gerak tangannya untuk membawa Luhan berbaring. Memanjang diatas sofa, tanpa menjauhkan seruas jari pun bagian bawah keduanya. Kemudian bergerak lagi, ingin menyusul Luhan dengan dorongan lembut berkecepatan rendah.

Luhan tersenyum di bawahnya, terpejam. Tak menghentikan lenguh pelan yang hanya mampu didengar oleh mereka berdua. Dan Sehun tetap diatas, menangkap rona pipi Luhan dengan matanya yang melengkung sabit.

Sehun mengambil alih tangan kanan Luhan dari bantal sofa. Meninggalkan satu kecup hingga hidungnya tenggelam disana, saat dimana dirinya orgasme.

Pria di bawah dibuat mengejang karena kaget mendapati kehangatan Sehun di dalam. Dengan mata Luhan yang tak lepas dari wajah Sehun, dimana lelaki itu masih menggenggam tangan yang diciumnya—amethyst keduanya bertemu.

Setelah waktu yang cukup lama, mereka kembali bertemu dalam tatapan yang sudah menghilang sebulan belakang. Mereka kembali bertemu, dengan jarak sepanjang telunjuk dan napas yang saling beradu.

Mata Sehun tetap mengarah teduh. Ikut menarik senyum ketika tahu Luhan menikmati hangat cairannya di dalam tubuh pria itu. Hingga persenggamaan mereka berakhir, Sehun menutupnya dengan lirih pelan, "Luhan, kau sangat indah…"

.

.

"Sakit?"

Luhan enggan menjawab usai mendapat bisikan dari samping telinga kirinya. Yang ada dirinya menarik tangan Sehun, melilitkannya kembali erat seperti sebelum pelukan lelaki itu mengendur.

Untuk sejenak Luhan bersandar di dada Sehun. Berusaha tak menghilangkan momen ini hanya untuk menjelaskan isi pesan ibunya di e-mail lalu.

"Kau tahu ibuku tak pernah mau aku berlama-lama disini," Luhan ambil satu telapak besar Sehun untuk kemudian memainkan jari-jemarinya di dalam genggaman lelaki itu. "Apalagi dengan kondisi ayah yang seperti ini,"

Sehun tak lepas memandang Luhan meski matanya hanya bisa menangkap hidung dan bulu mata si pria dari arah samping seperti ini. Bibirnya yang memang sedang tersenyum ditarik lebih tinggi, berusaha menikmati permainan tangan Luhan dengan mengaitkan jarinya disana.

Luhan tersentak. Menatap tautan tiba-tiba yang kini meremas tangan kecilnya.

Dan lantas tersenyum. Mengikuti gerakan Sehun hingga keduanya berada dalam satu lekatan yang erat.

—hingga keduanya berada dalam satu lekatan yang erat.

Luhan tersentak, lagi. Kini lebih terkesan tiba-tiba dengan tangan yang tak lagi menggenggam Sehun.

Ada satu hal yang lebih penting. Dan itu juga lah yang membuat Luhan menginginkan Sehun beberapa saat lalu.

Matanya melirik beberapa detik ke monitor laptop yang masih menyala. Belum sempat dimatikan semenjak rengkuhan Sehun mendadak menghentikan laju tangisnya. Kemudian kepalanya memutar arah. Mencari mata Sehun yang kini masih tersangkut pada miliknya.

"Dan, Sehun,"

Tangan Sehun terulur untuk mengusap pipi hangat Luhan dengan punggung telunjuk. Berniat menenangkan napas Luhan yang berubah cepat. Berusaha mengatakan untuk Luhan tak tergesa-gesa dan segalanya akan baik-baik saja.

Satu menit, Luhan lalu menyambung kalimatnya, "Ibuku… ingin aku menikah,"

Usapan Sehun dibuat berhenti karena itu. Mata teduhnya sirna tiba-tiba, dan Luhan tak memiliki respon yang baik juga.

Sehun tahu bahwa mereka tak pernah ada di anggapan kedua orangtua Luhan. Tak pernah diinginkan, bahkan.

Jangankan orangtua—Sehun dan Luhan bahkan masih harus menutupi romantika mereka dari dunia. Jongin dan Chanyeol, keduanya tahu secara tidak sengaja. Sama halnya dengan satu sepupu Luhan yang pernah bermalam di apartemen mereka.

Luhan sudah dua puluh delapan, ketika Sehun masih tujuh dibawah. Maka bukanlah sesuatu yang aneh jika ibu Luhan menginginkan menantu di usia matang anaknya.

Sedangkan Sehun tidak begitu. Pekerjaan, bahkan gelar sarjana pun tak ia miliki jika pun dirinya meminta Luhan di hadapan orangtuanya saat ini.

Meski begitu, Sehun mempunyai mimpi besar untuk mengikat Luhan. Untuk mengambil separuh waktu dari pria itu demi kebersamaan keduanya hingga ujung nanti.

"Beri aku waktu," Luhan sudah nampak gelisah sebelum Sehun kembali berkata, "Setidaknya sampai selesai kuliah dan memiliki pekerjaan. Aku… aku tak bisa secepat ini untuk menghalangi keinginan ibumu,"

Karena Sehun kira, ia akan lebih mudah mengikat Luhan ketika dirinya sudah mapan. Meski itu tak menutupi kemungkinan buruk bahwa orangtua Luhan akan tetap murka dan tak merestui hubungan anaknya dengan sesama pria.

"Menghalangi? Apa yang kau coba katakan?"

Mata Luhan berubah dan Sehun sungguh ingin berpaling saking tak inginnya melihat wajah marah Luhan. Tapi ia tak bisa beralih dari sana. Luhan perlu diyakinkan dan Sehun tak ingin membuat Luhan berspekulasi buruk dengan tak mau menatapnya.

"Kau harus menikah. Dan kau juga yang bilang bahwa ini sudah keberapa kalinya kau didesak,"

Luhan membuka mulutnya kecil, membuat Sehun nyaris ingin menarik kembali kalimat selanjutnya.

"Aku akan datang, ketika sudah cukup untuk ibumu. Tapi sebelum itu… kalau kau diharuskan untuk menikah, aku tak masalah,"

Seandainya Luhan tahu bahwa Sehun jauh lebih sulit mengatakannya dari suara yang terdengar terbata-bata. Seandainya, pria kecil itu bisa melihat keputusasaan Sehun di balik sorot mata tenang di tengah iris legamnya.

"Sejak kapan kau egois seperti ini, huh?" Luhan menggeleng, "Pikirmu aku semudah itu untuk menikahi wanita yang tak kuinginkan, hanya demi menunggu 'kedatanganmu' yang tak jelas kapan?"

"Luhan… Aku bukannya—"

"Ya, aku bisa dengan wanitaku dan kau dengan gadis-gadismu, maka itu akan terdengar adil, bukan?"

Kalimat Luhan yang tak terbendung terpaksa membuat Sehun bungkam. Luhan bukannya tidak percaya dengan kedatangan Sehun yang dijanjikan lelaki itu. Dirinya hanya merasa muak begitu mendengar ide gila Sehun yang merelakan dirinya untuk menikahi wanita asing. Dan yang lebih memuakkannya, adalah saat Sehun berkata secara implisit bahwa lelaki itu akan baik tanpa kehadiran Luhan.

Malam mereka berakhir ketika keduanya memutuskan untuk pulang. Bahkan tanpa ada satu kalimat diantara mereka, di dalam mobil dengan AC yang menyala. Luhan bungkam, dan Sehun terlalu takut untuk kembali menatap mata Luhan yang sempat ia lirik berkaca-kaca.

.

.

Dua hari menjadi sangat lama semenjak Luhan berhenti bekerja dan memilih menghabiskan waktu seorang diri. Sementara Sehun akan pulang di jam nyaris tengah malam, dirinya akan berdiri di balkon apartemen, sebisa mungkin memotret malam Seoul dengan memorinya.

Ponselnya ada di genggaman, sebagai inisiatif barangkali ada pesan masuk dari Sehun. Karena jika lelaki itu bermalam di apartemen temannya, maka ia tak perlu berdiri kaku bak orang bodoh seperti saat ini.

Kepalanya jatuh menunduk. Menjuntaikan sedikit poni yang sudah memanjang, bergerak ke kanan searah angin malam. Luhan masih di posisinya yang bersandar pada dinding pembatas, tatkala datang satu getaran dari pesan bukan Sehun.

Luhan, kau baik? Bibi Yuen memintaku menemanimu di perjalanan besok, sekalian berlibur. Kau masih di apartemen yang dulu?

Luhan, dengan tanpa pikir panjang segera membalas singkat. Tiba-tiba gelisah—pesan Yixing seakan mengingatkannya bahwa waktunya tersisa sebentar disini.

Aku baik. Dan sepertinya kita bertemu di bandara saja.

Bibirnya tersenyum getir. Seketika ingin cepat-cepat bangun di pagi hari, berada di penerbangan menuju Beijing.

.

.

Malam pukul sebelas menjadi waktu ketika Luhan sudah genap dua jam berbaring memejam mata. Kantuk tak kunjung menyentuh sarafnya, dan ia tanpa mau membuka mata masih menggenggam ponsel di balik selimut.

Menginjak sepuluh menit selanjutnya, ia terpaksa membuka mata. Telinganya dapat dengan mudah mengenali langkah berat Sehun yang kini mendekati kamar.

Maka, ditariknya selimut hingga di posisi hidungnya tenggelam. Menurunkan kelopak mata tepat saat gagang pintu bergerak ke bawah.

Lantas setelah itu, adalah gerakan Sehun yang mendekat pada Luhan. Meninggalkan suara ketukan kaki yang samar, tanda bahwa lelaki itu takut membangunkan Luhan.

Luhan menunggu tak sabar. Sudah bisa menyadari keberadaan Sehun dan keterdiaman lelaki itu di sisi ranjang. Namun begitu ia menunggu, dan menunggu.

Dan Luhan pun tak tahu apa yang ia nantikan hingga ia mendapat usapan di dahinya. Enggan menghentikan kepura-puraannya, Luhan bergeming meski tangannya bergetar—ia benar-benar ingin menarik Sehun ke dalam pelukan.

"Kau pasti menunggu lama,"

Suara yang cenderung berbisik itu terdengar tak jauh dari wajah Luhan, yang mana membuat pria itu berkesimpulan bahwa Sehun tengah merunduk.

"Aku mencintaimu, Luhan,"

Juga pada satu kecupan di pipinya, yang kini meninggalkan bekas hangat, Luhan tak bergerak sama sekali. Tidur benar-benar ia rasakan baru ketika mendapati sebelah tangan Sehun yang melingkari pinggangnya dari arah belakang. Dan terakhir, adalah gumaman Sehun yang serupa seperti kalimat sebelumnya, namun kali ini dengan kecupan di tengkuk.

.

.

Kalau Luhan tak salah melirik jam, ini adalah menit ke empat belas mereka membiarkan hening mengontrol atmosfer dalam mobil.

Sehun masih di kemudi, dengan Luhan yang enggan beralih perhatiannya dari mobil lain di sisi kiri. Luhan mengaitkan satu tangan pada sabuk pengaman, berpegangan. Tanpa Sehun ketahui, mulut Luhan akan terbuka, terkadang. Sudah akan berucap ketika mendadak Luhan dikacaukan kecanggungannya sendiri.

—atau, dikacaukan kekecewaannya sendiri.

Tapi Luhan tersentak. Luhan sempat lupa bahwa dia adalah dewasa.

Dan ia tak pernah mau masa-masa terakhirnya disini hanya dihabiskan untuk merutuk Sehun dalam hati, untuk berharap bahwa Sehun yang akan mengalah dengan membuka mulut terlebih dahulu.

Maka, dengan waktu yang tersisa dua puluh menit, "Sehun—"

Dihabiskannya dengan saling menggenggam tangan.

Dengan kaku Luhan putar kepalanya ke arah bawah, dimana tangan Sehun baru saja mengeratkan tangan keduanya. Dimana lelaki itu tetap membisu, kepala lurus menghadap jalan, namun juga satu senyuman yang entah kapan berada di wajahnya.

Maka, kata-kata yang menggantung di pita suara, Luhan telan seadanya. Memilih balas menggenggam telapak Sehun seraya kembali ke arah kaca mobil.

Meski, bibirnya tak bisa berpura-pura untuk datar. Dan Luhan tak bisa membantu, bahwa ia tersenyum selama itu.

.

.

Untuk duduk di kursi tunggu, untuk beli sedikit bekal di minimart bandara, tak satu pun dari mereka yang menjauhkan genggaman di bawah sana. Luhan seharusnya risih dengan tatapan menilai dari orang-orang asing. Tapi dengan sisa waktunya yang pendek, Luhan lebih harus membiarkan tangannya diambil Sehun.

"Kopi?"

Bahkan Luhan menggunakan satu tangan untuk membuka kemasan minuman, demi menjaga kaitan di bawah.

Sehun menggeleng. Matanya yang terkesan sayu dibawa untuk melirik Luhan di sisi kiri. Dimana lelaki itu meneguk Iced Americano yang dibelinya beberapa saat lalu.

"Luhan!"

Dan ketika Sehun hendak menarik tangannya, Luhan tak mengizinkan dengan tetap menahannya. Berusaha mengirim sinyal agar Sehun tenang, karena Yixing bahkan sudah mengetahui keadaan mereka.

Berbarengan, keduanya berdiri. Luhan balas memeluk Yixing yang tiba-tiba saja menubrukkan dadanya, memeluknya dengan erat.

"Bandara penuh sekali. Aku nyaris tak menemukanmu," Keluhan Yixing terjeda ketika mata sepupu lelaki Luhan itu menemukan Sehun. Dengan tanpa canggung sama sekali, ia rengkuh singkat tubuh tinggi Sehun, juga beberapa tepukan di bagian punggung.

"Senang melihatmu, Sehun,"

"Senang melihatmu juga, ge,"

Yixing benar-benar tiba disaat tepat. Karena usai itu, ketiganya menangkap suara pemberitahuan keberangkatan pesawat yang akan dinaiki Luhan dan Yixing.

Maka Luhan memutar kepalanya sedikit. Dan kali ini tak menghabiskan banyak waktu untuk mulai memeluk Sehun. Untuk menghirup leher pemuda itu sebanyak-banyaknya, seakan mengisi kerinduan yang akan ia dapati untuk waktu yang lama nanti.

Kepala Luhan sudah menjauh dan kakinya tak lagi menjinjit, ketika Sehun terlebih dahulu menarik wajahnya untuk dua kecupan. Satu untuk dahi dan satu lagi untuk bibir. Terkesan lama meski lelaki itu melakukannya dengan cepat.

"Kabari aku kalau sudah sampai,"

Mata Luhan bergerak-gerak ke dua iris Sehun, di sela kepalanya yang mengangguk. Tenggeran tangan Sehun di kedua pundaknya baru lepas semenit setelahnya. Namun mata mereka tetap saling mengunci.

Ketika jarak sudah sangat jauh hingga pandangan keduanya tak bisa lagi bertemu. Luhan tetap membawa kepalanya kearah Sehun, betapa ingin melihat lelaki itu sebelum ia mengudara meski siluet tingginya terhalang orang-orang yang berjalan ke pemeriksaan tiket.

Ketika, Luhan nyaris menyerah dan hendak fokus pada tarikan kopernya, mereka kembali bertemu—iris-iris itu. Sehun yang berdiri, yang tersenyum menjelang kepergian Luhan, yang menggerakkan bibirnya meski sedikit samar.

Tunggu aku.

Dan Luhan memutuskan tatapan bersamaan dengan anggukan. Bahwa ia menunggu. Dan akan menunggu.

.

.

To be continued.

.

End chapnya masih rada bimbang. Antara sad atau happy ending… TT

.

Shend, 17 Juli 2016