Hari ini merupakan hari Senin yang bertepatan pula dengan hari dimana pengumuman hasil ujian masuk ke universitas yang dijalani oleh semua pelajar di Korea Selatan akan keluar. Sudah menjadi hal yang lumrah jika kau melihat kebanyakkan dari mereka gemetar akibat gugup bahkan hingga menangis ketakutan menunggu hasil dari perjuangan belajar mereka selama kurang lebih dua belas tahun ini. Dan bisa dikatakan, inilah penentu bagi seorang pelajar. Apakah ia layak menyandang status sebagai pelajar yang sesungguhnya atau hanya sebuah kata yang terdiri dari tiga suku kata yang tertera di tanda pengenal, atau bahkan tak berarti apapun.

Sistem pendidikkan di Korea Selatan memang pantas disebut – sebut sebagai sistem pendidikkan yang cukup memberatkan. Tenaga, pikiran, jiwa dan waktu mereka memang betul – betul dicurahkan pada pembelajaran. Selama empatbelas jam per-hari atau lebih akan mereka habiskan untuk dunia pendidikan. Dan tentu saja semua hal itu berorientasi pada ujian masuk universitas. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang pelajar jika ia bisa masuk ke universitas yang bergengsi dengan fakultas yang ia damba – dambakan.

Dan tentu, bukan menjadi suatu hal yang tabu jika persekian persen dari mereka akan lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya jika mereka dinyatakan gagal dalam ujian seleksi masuk universitas akibat tak mampu menahan malu.

Dan semua hal itu tengah dirasakan oleh pria dengan mata rusanya yang terus bergerak gusar menatap jalanan di depan gedung apartemen yang saat ini ia diami. Bukan hanya matanya, kaki kurus jenjangnya itu pun tak bisa untuk bersikap tenang walau hanya beberapa menit saja. Rasa gugup dan kalut yang menguasai tubuhnya membuat kaki itu terus berjalan ke arah kanan dan kiri secara berulang - ulang. Bahkan petugas keamanan yang bertugas menjaga pintu masuk sudah muak melihat keberadaan pria mungil itu.

Namun ia terlihat tak perduli. Pria pengantar surat yang tak kunjung datang membuat pikirannya semakin kacau. Untuk apa ia memikirkan orang lain yang menatapnya dengan tatapan anah sedangkan di sisi lain ia bahkan tak perduli dengan kondisi perutnya yang terus meraung meminta nutrisi dari beberapa suap nasi yang dapat memenuhi kebutuhan sel sel tubuhnya akan glukosa.

Bagaimana tidak? Ia terus melakukan kegiatan menunggunya dari jam enam pagi hingga kini jam telah menujukkan jam tujuh malam. Petugas itu telah berkali – kali menyuruhnya untuk berhenti berharap. Karena petugas surat akan berhenti melaksanakan tugas mereka pada jam delapan malam.

Namun ia seakan tuli. Ia hanya membalas saran petugas itu dengan senyuman lemah yang seolah terus berharap akan sebuah keajaiban. Bukannya membantunya dengan membelikannya makanan untuk nasib perut ratanya, petugas itu malah terus mematahkan semangatnya.

"Hei Luhan!" Pria itu –yang petugas itu panggil dengan sebutan Luhan- kembali membalikkan tubuhnya untuk mendegarkan ucapan petugas keamanan itu. Bukan bermaksud membanggakan diri, Luhan itu adalah anak yang sangat sopan dan baik. Walalupun terkesan mengganggu tapi sebaik mungkin ia akan berusaha untuk menghormati petugas tua itu.

"Mengapa kau tak melihatnya di internet saja? Kau hanya akan menghabiskan tenagamu untuk menunggu petugas surat."

Luhan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "Aku tak memiliki pulsa. Uang saku dari beasiswa itu selalu 'ku tabung untuk kepentingan mendadak. Dan rasanya terlalu sayang bagiku untuk menggunakannya untuk hal lain."

"Ya Tuhan... mengapa kau sangat pelit anak muda." Ucap pria itu sambil beranjak dari posisi duduknya untuk mengambil ponsel pintar miliknya yang ia simpan di saku celananya. "Pakailah! Aku kasihan melihatmu terus mengunggu."

Luhan terlihat dilema memilih antara menerima tawarannya atau tidak. Sebenarnya ia bisa – bisa saja pergi ke warnet atau ke beberapa tempat yang memiliki akses Wi-Fi untuk melihat hasil ujiannya melalui website resmi. Namun ia terlalu takut untuk melihat hasil ujiannya. Pikirnya akan lebih baik jika ia menunggu petugas surat datang memberikan hasil ujiannya.

Ia tetap menunggu di depan gedung aapartemen sembari memeluk tubuhnya sendiri akibat ia menolak tawaran petugas keamanan tersebut.

Petugas keamanan itu datang kembali dari arah kantin sambil membawa dua buah gelas kopi hangat dengan uap panas yang mengepul di atasnya. Tanpa sepatah kata apapun, pria yang sudah menginjak kepala empat itu menyodorkan salah satu gelas kopi kepada Luhan yang ia teriman dengan senyuman penuh rasa terima kasih yang tinggi.

Usai menyesap beberpa mili kopinya, pria itu meletakkan gelasnya di meja sebelahnya dan beralih menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah jam sebelas malam. Apa kau tetap menolaknya.?" Kembali pria itu menyodorkan ponsel pintar miliknya.

Dan untuk udara dingin yang semakin menusuk serta rasa lapar yang membuat matanya berkunang – kunang, Luhan tak bisa mengatakan tidak. Setelah meyakinkan hatinya untuk tetap kuat dalam segala kemungkinan yang terburuk, Luhan mengambil ponsel itu dan mengucapkan banyak terima kasih sebelum ia membuka aplikasi browser.

Pria berumur itu tersenyum maklum memperhatikan jemari Luhan yang terlihat gemetar ketika memasukkan password dan nama pesertanya di dalam kolom yang tersedia. Bahkan pria bermata rusa itu sempat mengumpati tangannya yang tak dapat berhenti bergetar yang mengakibatkan ia mengalami beberapa kesalahan dalam mengetik nama maupun passwordnya.

Luhan menghela napasnya beberapa kali dengan jangka waktu yang cukup panjang. Matanya ia pejamkan sembari memanjatkan beberapa do'a dengan khidmat sebelum ia menekan tombol log in dengan jari telunjuknya yang bergetar hebat.

Mata berbentuk rusa itu terus memperhatikan sebuah garis tipis yang terus bergerak membentuk pola lingkaran yang terletak di bagian sudut kanan atas pada ponsel tersebut. Tak ia biarkan matanya berkedip barang sekalipun, dan server yang begitu lamban membuat sebuah keinginan untuk membanting ponel tersebut muncul. Namun gagal ketika ia melihat sebuah garis merah terpampang begitu nyata dan jelas pada layar ponsel itu.

Wajahnya langsung berubah pucat pasi dengan tubuh yang terasa semakin mendengin. Luhan tersenyum kecut hingga membuat petugas keamanan itu memberengut bingung yang juga ikut penasaran akan hasil ujian Luhan.

Mungkin lebih dari lima kali Luhan menekan tombol refresh hanya untuk memastikan apakah ada kesalahan dalam sistem. Bahkan ia kembali me-log-in akunnya sebanyak tiga kali hanya untuk mendapat sebuah garis merah dengan sepenggal kalimat yang begitu menyesakkan.

Maaf, peserta bernama Luhan gagal dalam ujian masuk universitas.

"Bagaimana? Apakah kau masuk?" Luhan menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada pemiliknya setelah ia memberikan sebuah gelengan lemah yang disertai dengan senyuman kecut penuh kekecewaan.

Pria itu mengerti. Luhan gagal masuk ke universitas yang ia inginkan. Ia memberikan sebuah tepukkan hangat sebagai penyemangat pada pemuda itu. "Kau masih muda Luhan. Kau masih memiliki banyak waktu untuk belajar. Masih ada tahun depan dan tahun depannya lagi untukmu mengulang. Kegagalan sekali dua kali bukanlah hal yang asing untuk mencapai kehidupan yang cerah. Bagaimana mungkin kau menyerah hanya dengan kesulitan yang seperti ini. Ketahuilah anak muda, kau bahkan akan mendapati kesulitan yang lebih pelik lagi daripada yang satu ini. Masalahmu ini tidak lebih dari kerikil kecil. Jadi, semagatlah untuk hidupmu. Orang - orang akan lebih menghargaimu jika kau mau berusaha untuk pendidikkanmu.-"

Luhan terdiam mendengar ucapan pria tersebut. Hatinya memang masih merasakan nyeri akibat kekecewaannya. Namun, petuah yang pria tua itu berikan sedikit banyaknya mengangkat baban di pikirannya. "Masih banyak hal yang perlu kau lakukan di umurmu yang begitu muda ini Luhan. Kau begitu bodoh jika kau mengakhirinya. Apa kau mengerti apa yang aku katakan?"

Luhan mengangguk dalam tundukkan kepalanya. Ia kembali memberikan senyuman penuh terimakasihnya; yang sialnya malah terlihat kecut, menunjukkan bahwa ia merasa lebih baik mendengar semua petuahnya.

"Baiklah! Kegagalan ini bukan berarti menanggalkan statusmu sebagai pelajar. Dan seorang pelajar tak pantas untuk berkeliaran di luar kamarnya selarut ini. Kembalilah ke apartemenmu dan segera istirahat. Lupakan hari ini dan tenangkan dirimu sejenak dengan segelas susu coklatmu itu. Arra?" Kali ini Luhan mampu tersenyum dengan tulus sambil mengela nafasnya dengan lega ketika ia memikirkan tentang susu coklat hangatnya.

Petugas keamanan itu tertawa terbahak – bahak melihat Luhan yang telah kembali dengan senyuman lembutnya ketika ia mengatakan tentang susu coklat favorit anak lelaki bermata rusa itu.

"Terimakasih paman. Kau sudah menemaniku seharian ini. Dan terimakasih juga untuk petuahmu. Aku kembali ke apartemenku dulu."

Pria itu menganggukkan kepalanya dengan memberikan lambaian tangannya pada Luhan yang kini telah memunggunginya memasukki pintu gedung apartemen.

.

.

.

Oh Zhiyu Lu

Present

.

.

.

Unexpected Way

.

.

.

Luhan

Oh Sehun

Chaptered

Mature

Drama, Romance, Sexs Contain, BDSM, Daddy-Kink, Yaoi and Some Fluffy

Ide, Alur dan karakter milik saya kecuali tokoh yang merupakan

Milik agensi yang menaungi mereka.

.

.

.

Langakah kakinya terus ia bawa menelusuri tangga menuju kamar apartemennya yang terletak di lantai empat gedung berlantai tujuh ini. Luhan bukanlah sosok pemuda yang dipenuhi oleh tebaran uang yang berjatuhan di atas tubuhnya. Ia hanyalah pemuda sebatang kara yang terus mempertahankan pendidikkannya di negara yang terkenal akan gingsengnya itu. Mendapatkan sebuah apartemen kecil dengan harga yang cukup murah sudah lebih dari cukup untuknya berteduh.

"Luhan?" Luhan mendongakkan kepalanya ketika seseorang memanggil namanya. Sebuah senyuman yang kembali terasa kecut ia berikan pada wanita tua yang ia kenal sebagai pemilik gedung apartemen ini.

"Ya? Ada apa halmoni? Apa ada yang membuatmu kesulitan?" Wanita tua itu tersenyum lembut pada sikap Luhan.

"Tidak. Aku hanya bertanya. Mengapa kau menundukkan kepalamu begitu? Kau terlihat tak bersemangat. Apa hasil ujianmu tidak seperti apa yang kau harapkan?"

Luhan menganggukkan kepalanya masih dengan senyuman yang sama. Kecut dan penuh kekecewaan. "Aku gagal dalam ujian masuk universitasku."

Luhan kembali mendapatkan tepukkan lembut pada bahunya yang menurun lemah. "Gagal dalam ujian masuk universitas itu bukanlah akhir hidupmu Luhan. Masih banyak jalan menuju kesuksesanmu. Jangan menutup sebelah matamu untuk satu jalan saja. Kau tau Luhan? Mungkin Tuhan sedang memberikanmu jalan yang lebih baik daripada jalan yang telah kau rencanakan. Segala sesuatunya pasti akan bahagia pada waktunya. Istirahatlah! Kau memerlukan waktu sendiri untuk menenangkan pikiran kalutmu itu."

Luhan menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi ketika wanita tua itu sudah terlebih dahulu beranjak pergi menjauhinya. Ketika di lantai kedua, langkah kakinya kembali terhenti ketika sorang pria yang hampir menginjak umur kepala tiga menanyakan tentang moodnya yang terlihat begitu buruk.

Entah mengapa rasanya hari ini Luhan begitu buruk. Dirinya ingin sekali memaki setiap orang yang menanyakan tentang hasil ujian masuk universitasnya. Padahal mereka hanya berusaha bersikap peduli pada dirinya yang sedang bersedih. Hanya saja, bukannya merasa lebih baik, ia merasa semakin sedih sebab terus teringat akan masalah tersebut. Apakah mereka tak mengerti akan perasaan seorang pelajar yang gagal dalam ujian masuk universitasnya?

Luhan hanya mampu membalas pertanyaan pria tersebut dengan gelengan kepala beserta senyuman kecutnya.

"Istirahatlah. Kau memerlukannya saat ini." Dalam hati Luhan berucap terimakasih sebab pria itu cukup mengerti akan kondisinya saat ini. Pria itu segera beranjak pergi setelah memeberikan beberapa tepukkan ringan pada bahunya.

Setelah menghela napasnya sejenak, Luhan kembali melanjutkan langkahnya menaikki tanggal hingga akhirnya ia berhenti tepat di depan sebuah pintu dengan nomor duabelas. Ia membuka pintu tersebut menggunakan kunci miliknya yang ia simpan di kantung celananya dan kembali berjalan masuk kedalam apartemennya.

Setelah menutup pintunya kembali, Luhan menyenderkan tubunya pada pintu kamarnya. Hening beberapa saat hingga tanpa terasa sebuah cairan bening menetes dari mata serupa rusa miliknya dan diikuti tetesan lainnya yang semakin deras dari detik ke detik. Kakinya bergetar lemas hingga ia jauth terduduk dengan isakkan yang semakin deras yang keluar dari bibir tipisnya.

Entah mengapa mengingat semua hal yang telah ia jalani dari semenjak pertama kali ia menginjakkan kakinya di tanah Korea Selatan ini, semua perjuangannya, semua kerja kerasnya dan semua usaha yang telah ia lakukan mati – matian terasa begitu sia – sia. Semua terasa tak berarti apa – apa baginya saat ini.

Apapun yang ia pikirkan untuk kedepannya terlihat buntu. Untuk melanjutkan pendidikkannya di universitas swasta pasti akan memakan biyaya yang sangat besar. Sedangkan uang yang berada di tabungannya bahkan tak cukup untuk membayar uang kuliahnya satu semester. Ia tak akan sanggup untuk memilih pulang ke kampung halamannya. Kedua orang tuannya melepaskannya pergi ke Korea Selatan dengan harapan setikanya ia dapat pulang kembali ke kampung halaman dengan menyandang status sarjana. Jika ia pulang ke Beijing dengan hanya tamatan sekolah menenga atas, tentu saja hal ini akan menyakiti perasaan kedua orang tuanya yang berada di Beijing sana.

Selain harapan kedua orang tuanya, tujuan lain Luhan untuk memilih melanjutkan pendidikkannya di Korea Selatan adalah karena ia ingin menaikkan drajat keluarganya di mata masyarakat melalui gelar sarjana yang ia dapatkan melalui pendidikkannya. Sebab ia tahu, keluarganya bukanlah keluarga kaya raya yang bergelimang harta.

Ia adalah pria berkebangsaan asli China. Ia memiliki kedua orang tua berkebangsaan China, lahir di China dan ia pun menjalani masa kanak – kanaknya di China, tepatnya di Beijing. Begitupun orang tuanya bukanlah berasal dari kalangan bangsawan. Mereka hidup tepat di garis menengah. Hidup sesederhana mungkin tanpa embel - embel barang - barang mewah. Tidak terlalu miskin namun juga tak terlalu kaya.

Arus gelombang Hallyu yang begitu kuat membawa Luhan pada sebuah beasiswa penuh di salah satu SMA yang cukup terkenal di Korea Selatan. Teman wanita sekelasnya menginformasikannya tentang beasiswa tersebut dengan iming - iming beasiswa penuh dan uang saku yang selalu diberikan sebulan sekali oleh pihak penyelenggara.

Dan tentu saja ia bersyukur dapat menerima beasiswa tersebut tanpa hambatan yang berarti. Dan selama itu pun ia tak pernah meminta sepeser uang apapun pada kedua orang tuanya. Bahkan ia memiliki tabungannya sendiri dengan menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ia simpan di dalam tabungannya. Atapun terkadang ia berkerja paruh waktu di beberapa tempat seperti minimarket ataupun cafe - cafe kecil.

Maka jangan heran melihat tubuh mungil Luhan yang pantas di sebut kurus. Biyaya hidup di Korea Selatan yang cukup tinggi membuat Luhan benar - benar menerapkan prinsip hidup hemat bahkan pada makanannya. Ia makan hanya untuk sekedar menghilngkan rasa laparnya. Bukan untuk mengenyangkan perutnya ataupun memenuhi selera makannya.

Selama masa sekolahnya, Luhan tak pernah mengikuti pergaulan teman – temannya yang pergi bermain dari satu tempat ke tempat lain. Dan tentu saja hal itu membuatnya menjadi sosok tertutup dengan kehidupan masa remaja yang terkesan suram. Ia tak pernah merasakan indahnya persahabat ataupun manisnya percintaan selama masa – masa sekolah menengah atasnya.

Ketika ia telah merasa lelah menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan, ia memilih untuk memejamkan matanya dan tanpa terasa ia tertidur masih dengan posisi awalnya yang teduduk di depan pintu kamarnya tanpa ada cahaya apapun kecuali sinar rembulan yang masuk melalui celah jendela kamarnya.

.

.

.

520

.

.

.

Seorang pria dengan perawakkan tubuh tegap atletisnya berjalan keluar dari kamar mandinya. Rambut hitam basahnya meneteskan beberapa tetes air melalui ujung - ujung rambutnya menuju tubuh pucat nyaris albino miliknya. Jatuh pada bahu tegapnya, mengalir melewati dada bidangnya terus turun menuju perut ber-abs miliknya dan lenyap di balik lilitan handuk putih yang melingkar di pinggang rampingnya yang dihiasi oleh v line yang begitu menggoda.

Dari balik lemari mewah berbahan kayu jati dengan ukiran - ukiran rumit yang menghiasinya, ia mengambil satu stelan jas abu – abu bermerek miliknya.

Begitu celana berbahan kain dan kemeja putih itu telah melekat dengan sempurna pada tubuh tegapnya, ia beralih untuk memakai dasi merah maroon dengan garis tipis yang melingkupinya.

Rambut hitam nyaris mengering miliknya ia tata sedemikian mungkin hingga berbentuk klimis kebelakang menampilkan dasi seksi miliknya. Tangan kekar berjari - jari panjang itu meraih jas abu – abu yang tergeletak di sudut ranjang berukuran king size miliknyanya dan memasangkannya pada tubuh tegapnya dengan gerakkan yang begitu anggun nan menggooda. Sebagai sentuhan terakhir, ia mengaplikasikan sebuah jam keluaran Louis Vuitton dengan berlian hitam yang memperindah bentuknya yang begitu elegan.

Selesai dengan penampilannya, ia segera bergeges turun menuju lantai satu mension megah miliknya. Di ujung tangga, sudah menunggu sosok pria dengan tubuh tegapnya yang dibalut sebuah jas hitam.

Begitu ia menginjakkan sepatu pentofel hitam mengkilat miliknya di anak tangga terakhir, pria tersebut langsung menundukkan tubuh tegapnya dengan mengucapkan sapaan paginya, "Selamat pagi Tuan Oh."

Pria yang mendapatkan sapaan Tuan Oh itu hanya menganggukkan kepalanya singkat dengan raut wajah yang begitu dingin dan tegas. Bukannya membosankan, wajah bak dewa itu terlihat begitu tampan dan seksi dalam waktu yang bersamaan. Garis rahangnya yang begitu tegas dan tajam, bibir tipisnya, hidungnya yang mancung dan tatapan matanya yang setajam belati itu mampu membuat siapapun terdiam kaku akan pahatan Tuhan yang begitu menakjubkan.

Tuan Oh langsung masuk ke dalam mobil mewah miliknya ketika seorang supir membukakannya pintu penumpang di bagian belakang.

Pria paruh baya yang mendapatkan posisi sebagai supir itu juga membukakan pintu penumpang bagian depan di sebelah kursi pengemudi untuk sekertaris Tuan Oh, Park Chanyeol. Pria bertelinga lebar itu mengucapkan terima kasih secara singkat dengan senyuman kecil pada bibirnya pada sang supir yang di balasnya dengan senyuman tak kalah lebar.

"Apa jadwalku hari ini Park Chanyeol." Tanya Tuan Oh begitu Chanyeol telah mendudukkan tubuhnya pada kursi kulit pada mobil mewah tersebut.

"Awal pagi ini anda akan memberikan kata sambutan dan ucapan selamat untuk para mahasiswa yang berhasil lulus di ujian masuk universitas mereka. Begitu selesai anda akan mengurus beberapa kontrak yang telah tersedia di atas meja milik anda. Itu saja jadwal anda untuk hari ini Tuan Oh."

Tuan Oh menganggukkan kepalanya mendengar penuturan rinci Chanyeol untuk jadwalnya hari ini.

"Tuan Oh, sebuah undangan makan malam di restoran The Royale baru saja masuk ke e-mail anda dari Kim Cooperation. Apakah anda mau menghadirinya?"

"Kapan?"

"Acara tersebut diadakan lusa jam tujuh malam."

"Aku akan menghadirinya." Chanyeol mengangguk dan kembali berkutat pada gadget miliknya.

Setelah yakin perbincangan kedua pria tersebut berakhir, sang supir segera menyalakan mesin mobil dan menginjak gas mobil untuk beranjak pergi dari mension mewah milik Tuan Oh.

.

.

.

520

.

.

.

Terhitung sudah lima hari berlalu semenjak hari pengumuman ujian itu tiba. Tak ada sesuatu yang spesial yang terjadi pada hidupnya. Bahkan semuanya terasa begitu membosankan. Ia hanya tidur, makan, menonton televisi, membersihkan apartemennya atau terkadang ia kembali menangisi kegagalan ujian masuk universitasnya. Jika saja ia lulus pada ujian masuk universitasnya, pasti hari ini ia tengah bersiap – siap dengan pakaian terbaiknya untuk menghadiri acara penyambutan calon mahasiswa tahun ajaran baru yang lulus pada ujian masuk universitas. Namun apa gunanya berandai – andai. Kegiatan menyedihkan itu tak akan berdampak apa – apa pada hidupnya.

Terkadang di sela tangsinya, Luhan sering mengutuk orang - orang yang mengatakan Tuhan telah memberikannya jalan yang lebih baik melalui kegagalannya. Ataupun kegagalan akan membawanya pada kesuksesan. Yang terpenting ia hanya harus bersabar dan dengan ikhlas menerima kegagalannya saat ini serta mau kembali berkerja keras.

Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu semua sedangkan jurang yang begitu besar terpampang sangat jelas di hadapnnya. Hidupnya buntu tanpa ia bisa melakukan apapun.

Tok Tok Tok!

Luhan mengalihkan perhatiannya ketika ia mendengar sebuah ketukkan pada pintu apartemennya. Setelah ia membersihkan air mata yang mengotori wajahnya -yang tanpa ia sadari ia telah menangis-, ia berjalan menuju pintu kamarnya dan menemukan petugas keamanan yang menemaninya tiga hari yang lalu ketika ia membuka pintu kamarnya.

"Ada apa paman?"

Petugas keamanan itu menyerahkan sebuah brosur kepada Luhan. Ia memperhatikan sejenak isi brosur itu dengan cukup teliti. Yang mampu ia tangkap, brosur itu berisikan lowongan perkerjaan untuk pelayan di restoran berbintang lima.

"Ini,,, brosur lowongan perkerjaan?"

Pria itu menganggung senang. " Ya,,, aku hanya membantumu untuk mencari perkerjaan. Bukan maksudku untuk merendahkanmu, tapi aku tahu bagaimana perekonomianmu dan keluargamu di Beijing sana karena kaupun sering bercerita padaku. Kau pasti akan keberatan untuk melanjutkan pendidikkanmu di universitas swasta. Maka dari itu, akan lebih baik jika kau mengulang ujianmu di tahun depan. Kau juga bisa menabung uang untuk kuliahmu nanti dengan berkerja di sana."

Pria itu menghentikan ucapnnya sejenak untuk memperhatikan wajah Luhan yang tengah memperhatikan brosur itu dengan teliti. "Itu adalah restoran bintang lima yang cukup terkenal di Gangnam-gu. Biasanya restoran itu digunakan untuk pertemuan bisnis para petinggi perusahaan – perusahaan besar. Kau bisa menggunkan bahasa Inggris, China dan Korea. Aku rasa itu akan memudahkanmu karena mereka memiliki banyak pengunjung dari orang – orang asing. Aku yakin kau pasti akan diterima di sana karena kau juga punya pengalaman berkerja di cafe – cafe kecil. Selain itu, kau juga memiliki wajah yang sangat rupawan. Bagaimana?"

Luhan tersenyum dengan sangat baik pada pria petugas keamanan tersebut. "Terima kasih banyak atas bantuanmu paman. Ini akan sangat membantuku. Akan aku pikirkan dahulu tentang lowongan ini."

Pria itu membalasnya dengan anggukkan kepala. "Sama – sama. Jangan terlalu lama berpikir. Banyak yang menginginkan perkerjaan itu. Walaupun hanya sebatas pelayan, mereka memberikan gaji yang cukup tinggi dibandingkan restoran - restoran yang lainnya. Karena mereka menuntut pekerjanya mampu menggunakan bahasa asing seperti dirimu."

'Baiklah paman. Aku akan berpikir dengan cepat. Hahahaa." Mereka tertawa bersama dan kemudian pria petugas keamanan itu memilih untuk pamit undur diri untuk melanjutkan perkerjaannya karena ia sedang berada di jam kerjanya.

.

.

.

To Be Continue

Yapppsss… mungkin ada yang tau ini hari apa? Yes! It's gloomy Thursday. Dan inilah hasil kegalauan Zhi.

Mau review sok atuh mangga. Mau baca aja, It's okey –barbelmelayang

Oh… mungkin ini bakalan mirip The Fifty Shades of Gray. But, Zhi tegasi, kalau Zhi bisa pastiin alurnya jauh dari film itu

.

.

.

Review, Follow and Favorit pleasee,,,