a fanfiction

Snapchat

ditulis ole Rayi Cendana


Snapchat kelima berisi video yang nampaknya sedikit berbeda dengan yang sudah-sudah. Dibanding menayangkan petunjuk tentang lokasi tujuan, video singkat itu mempertunjukan panorama yang jelas diambil dari jendela kereta. Terlebih lagi, kereta yang mereka tumpangi bukan Japan Railway yang sejajar dengan tanah, melainkan monorail yang beroperasi melalui jalur elevasi.

Panorama yang direkam adalah lansekap Teluk Tokyo yang tengah memantulkan kemisteriusan langit malam tanpa bintang. Di kejauhan sana, gedung-gedung megah yang dibangun menyusuri pinggir teluk itu, berlomba-lomba memamerkan gemerlap sinar flurousen mereka. Pancaran kilauan mereka terpantul di permukaan air yang terombang-ambing angin darat.

"Odaiba," ucap Itona setelah video tersebut berakhir. "Mereka masih monorail – setidaknya sampai detik ini. Kalau Terasaka tambah kecepatan setidaknya dua puluh kilometer per jam lagi, kita bisa menyusul mereka dalam sepuluh menit."

"Boleh saja, tapi aku tidak menanggung tagihan dari polantas," jawab Terasaka sambil memindahkan gearshift ke mode drive.

Mobil sedan yang mereka pinjam (dengan paksa) dari guru mereka pun melaju secepat kilat. Karma memejamkan mata. Sedikit lagi, ia akan mendapatkan gadis miliknya kembali. Sebentar lagi, deretan pertanyaan yang terngiang-ngiang dalam benaknya akan terjawab. Sesaat lagi, genggaman tangannya akan menghantam rahang Gakushuu Asano. Untuk saat ini, yang terakhir tidak definit.

Matanya terbuka kembali. Ia menyandarkan pelipisnya ke jendela. Mungkin terdengar aneh, tapi saat menghajar preman-preman tadi. . . lebih tepatnya, saat melihat Kayano dan Okano dalam keadaan terikat tak berdaya di tengah kumpulan preman, ada rasa bersalah yang menampar pipinya.

Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan?

Mengejar Okuda-san, tentu saja. Merebut gadis itu kembali dari si pirang brengsek yang akhir-akhir ini terlihat gendutan. Tapi sebenarnya, apa yang sedang Manami Okuda sendiri lakukan dengan si pirang itu? Apakah ia memang perlu direbut kembali? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dibalik semua ini? Apakah ini mimpi? Siapa aku? Dimana aku?

"Ter, handphone-mu lowbatt?" Suara Itona terdengar pelan namun cukup untuk memecahkan lamunan Karma yang mulai menyimpang.

"Hah? Oh iya, aku lupa bawa portable charger," jawab Terasaka tanpa melirik ke cermin rearview.

"Chiba bilang di multichat, katanya kau dicariin emak."

Mendengar itu, Terasaka nyaris melonjak dari kursinya. Matanya terbelalak dan ia mulai mendesiskan kata-kata yang tak mungkin diketikkan disini karena ratingnya PG. Oh, Terasaka sayang. Kelakuanmu yang takut akan ibumu membuatmu terlihat seperti Takeshi Gouda.

"Kar, kau kita drop-off aja ya." Itona mengulurkan kepalanya dari kursi belakang. Karma membuka mulutnya untuk menjawab, tapi langsung menutupnya lagi ketika tidak ada kata-kata yang keluar. Matanya tertuju pada tangan Itona yang sibuk mencari colokan USB untuk menghidupkan ponsel Terasaka. Steker apa bukan sebutannya? Apa itu cetekan yang buat nyala-matiin lampu? Stopkontak itu terkesan lebih ke yang nempel di tembok.

Tepat sepuluh menit seperti perhitungan di awal, mobil sedan itu akhirnya berhenti di salah satu trotoar yang berada di tengah-tengah stasiun Daiba dan Odaiba-Kaihinkoen, dekat dengan DECKS Tokyo Beach. Kedua stasiun ini memiliki probabilitas yang tinggi dalam menjadi destinasi target. Menurut kalkulasi Ritsu, kemungkinan lokasi yang akan dikunjungi oleh dua remaja puber yang masih duduk di sekolah menengah pertama pada jam delapan malam adalah Odaiba Statue of Liberty atau bianglala Daikanransha. Mengingat ketidakmungkinan seorang Manami Okuda pulang ke rumah lebih dari jam sepuluh malam, pilihan untuk menaiki bianglala menjadi mustahil jika menghitung jarak tempuh dari Odaiba ke stasiun kereta pemberhentian sang gadis.

"Aku- aku pergi sekarang?" Karma melontarkan pandangannya ke arah kedua temannya.

"Yaiyalah, nyet!" Terasaka mencibir, memutar bola matanya. "Lari sana! Parkour, terbang, ngesot, teleport, terserah dah mana yang lebih cepet! Kita mau cabut ini, keburu nggak sempet balikin mobil!"

Jari tengah naik. Tapi kata-kata Terasaka membuatnya lebih tenang. Karma dengan segera mendorong pintu mobil dan melompat keluar. Seruan penyemangat dari Itona semakin mengecil seraya ia berlari menyusuri trotoar, melawan dinginnya angin bulan Desember yang bercampur dengan angin laut. Dalam hatinya, ia hanya berharap satu hal: bahwa ia akan menemukan kedua orang itu di sana. Di dekat replika patung Liberty. Apa yang harus ia lakukan setelah itu ataupun kemana dia harus pergi bila perhitungan Ritsu salah? Ia tidak tahu. Ia harap ia tidak perlu tau.

Dalam tiap langkahnya, Karma semakin ingin menertawai dirinya sendiri. Kau dan permainan konyolmu. Itu yang ia katakan pada Gakushuu Asano sekitar lima jam yang lalu. Namun sekarang ia menemukan dirinya, mengejar-ngejar manusia pirang brengsek itu dari Shibuya sampai Odaiba. Teman-teman sekelasnya sampai ikut terlibat. Yah, walaupun pada awalnya mereka yang melibatkan diri mereka sendiri.

Replika patung kebebasan Amerika mulai menunjukan dirinya di kejauhan. Karma ingin mempercepat lajunya, namun pergelangan kakinya mulai menolak untuk menambah kecepatan lagi. Meski begitu, ia tetap melaju, menyipitkan matanya untuk berfokus pada figur-figur yang berada di dekat patung itu. Suara derapan langkah Karma membuat beberapa orang menoleh pada dirinya.

"Itu bukannya. . . Karma-kun?!"

Dia disini. Suara yang sangat feminim itu, yang sangat dikenalnya. Karma menghela nafas panjang. Jantungnya masih berdegub kencang dari berlarian tadi, tapi beban pada pundaknya seperti sudah terangkat semua. Matanya tertuju pada gadis itu, gadis dengan kepangan yang mulai berantakan dan muka yang bersemu merah dari pipi hingga telinga.

"Selamat malam, Okuda-san." Ia berusaha mengatur nada suaranya agar terkesan seperti biasa, namun tetap saja sapaannya terdengar seperti desahan diantara nafas pendeknya.

"Apa yang. . . Apa yang terjadi? Kenapa kau. . . kenapa kau ada di sini?" Manami hendak bergegas menghampiri teman sekelasnya itu, tapi tangan Gakushuu mencegahnya. Gadis itu menatap laki-laki disampingnya dengan terbelalak, sebelum kembali mengarahkan tatapannya pada Karma.

Sang ketua OSIS mengangkat dagunya, memandang lawan bicaranya dengan menantang. "Ada yang ingin kau sampaikan, Karma Akabane?"

Karma akhirnya berhasil berdiri tegak dan memperlambat nafasnya. "Permainanmu sudah selesai, bule gadungan. Aku disini untuk mengambil apa yang seharusnya aku dapat." Ia lalu melangkah mendekat dan merebut lengan gadis itu. Mata Manami makin membesar. Tangannya menepis Karma dengan refleks. Keduanya mematung dalam diam.

"Hah?"

"Hah?"

Desiran angin selama tiga detik, disusul ledakan suara tawa Gakushuu Asano.

"Akabane, sebagai lawan akademik, aku tidak pernah menganggapmu bodoh," Gakushuu berusaha menyusun kata-kata di tengah tawanya. "Tapi, di momen ini, di detik ini, aku rasa kata bodoh sangat tepat untuk mendeskribsikanmu." Laki-laki pirang itu mendekatkan mukanya pada sang surai merah. "B-O-D-O-H."

Sebelum tonjokkan spesial Karma melayang ke hidung pria itu, Gakushuu menarik tubuhnya dan berpaling pada Manami. "Setan merah ini menguntit kita sejak sore tadi. Salahkan dia dan kebodohannya kalau rencanamu gagal," ucapnya sambil tersenyum menyeringai. Ia menyondorkan tiga paperbag yang dari tadi dibawanya pada gadis itu. Manami terus mengedipkan mata lavendernya dengan bingung, tapi si pirang sepertinya tidak berniat untuk menjelaskan perkataannya lebih lanjut. Sebaliknya, ia kembali mendekatkan mukanya ke Karma, masih dengan senyuman menyeringai. "Sama-sama, Akabane."

Dengan begitu, seorang Gakushuu Asano melangkah pergi.

Sepasang remaja itu menyaksikan kepergian ketua OSIS mereka hingga sosoknya hilang di persimpangan. Ketika keduanya menoleh, mata mereka bertemu satu sama lain. Sama-sama punya pertanyaan, sama-sama tidak bisa menjawab. Karma menurunkan sedikit tatapannya ke arahnya paperbag di genggaman tangan Manami. Salah satunya adalah paperbag berwarna putih bergaris hitam dari merk langganannya jika berkunjung ke Shibuya 109 Men's. Paperbag kedua berwarna hijau tua dengan tulisan romaji Junkudo Bookstore, dan paperbag kecil berwarna merah khas Asakusa.

"Um. . ." Suara Manami mengembalikan atensi Karma pada dirinya. "Maaf tadi aku menepismu, Karma-kun. Aku. . . Aku tadi kaget kenapa tiba-tiba. . ."

"Kau menemani si pirang itu belanja?"

Dahi Manami berkerut. "Um. . . Aku rasa lebih tepatnya Asano-kun yang menemaniku belanja."

"Kau belanja baju laki-laki?"

"Iya, soalnya ini untuk Karma-kun."

Sepasang iris merkuri itu membesar. Pipi gadis itu makin memerah di kulitnya yang pucat, kontras dengan kepangan rambutnya yang sehitam arang. Tapi sebaliknya daripada menyembunyikan wajah dibalik syal lavendernya seperti yang biasa ia lakukan saat sedang tersipu, kedua mata dengan kilau ungu muda itu terarah lurus ke Karma.

"Harusnya ini jadi kado ulang tahunmu yang ke 15. Tapi karena kau ada disini, sepertinya ini jadi kado terakhirmu di umur 14," kata gadis itu seraya menyerahkan ketiga paperbag di tangannya pada Karma.

Insan bersurai merah itu mengintip isi dari paperbag-paperbag ditangannya. Sebuah scarf berwarna abu-abu tua, buku novel Ready Player One yang tidak ditranslasi, dan sebuah jimat untuk ujian dari Asakusa. "Tapi. . . Kenapa dengan si pirang. . ." Ia kembali memandang gadis di depannya.

"Aku bertemu Asano-kun kemarin dan meminta padanya untuk menemaniku membeli kado," jawabnya sambil mengangkat bahu. "Aku pikir Asano-kun itu satu-satunya yang punya minat paling mirip dengan Karma-kun. Dibanding dengan laki-laki dari kelas E. . ."

Belum selesai bicara, Karma sudah menarik gadis bersurai malam itu dalam pelukannya.

"Mungkin kepintaranku hanya dalam bidang akademis dan asasinasi." Suara Karma terdengar lebih pelan seraya ia memendamkan wajahnya di bahu gadis itu.

"Karma-kun itu dari tadi habis ngapain sih?"

"Sudahlah jangan ditanya lagi!"

Senyum simpul terbentuk di bibir Manami. Ia membalas pelukan teman sekelasnya itu dengan erat. "Karena belum tanggal 25, jadi kurasa selamat tanggal 22 Desember, Karma-kun. Hadiahnya sudah merangkap hadiah natal."

Karma menarik diri dari pelukan itu dan menatap Manami dengan serius. "Jangan bilang apapun soal ini ke teman-teman sekelas," katanya. Dan sebelum darah panas membuat pipinya merah, ia telah kembali memendam mukanya di pundak gadis itu.

"Um. . . Aku tidak akan bilang tapi. . ." Manami mengarahkan pandangannya ke atas. "Kenapa ada helikopter Itona di atas sana?"


rayi's note:

Udah ya kelar. Buset 2 tahun WKWKW. Emang kalo ngga dipaksa ngga ada niat nulis. ANYWAY, udah lama banget sejak terakhir kali gue ke Odaiba. Beneran udah lupa denah dan susunannya. Jadi yaudah gini aja hehehe. Banyak yang bilang fic ini detil banget deskripsi lokasinya. Ia emang based on real location kok, sudah dipastikan dari pengalaman dan riset-riset lain.

THANKS ALL READERS FOR THE SUPPORT. Mungkin gue akan mulai nulis-nulis lagi. Tapi dengan ini, Rayi undur diri dulu. Sampai ketemu di lain kesempatan!