My Secret of Identity

.

.

.

.

.

Semuanya berakhir...

Rasa takut yang sempat singgah, lesap bersama dengan kerumun manusia yang tewas di markas besar ITODA.

Mereka mendamba masa depan bahagia tanpa bayang rasa takut akan serangan serta merta dari pihak yang haus kuasa. Ilmu pengetahuan membutakan nurani, membuat para peneliti bersemangat menghasilkan individu baru. Nyatanya, tujuan memanipulasi gen tidak bisa dibiarkan. Tiap makhluk punya karakter tersendiri, ciri yang mengikat dan tak bisa ditambah pun dipadukan dengan lainnya. Ketika manusia berusaha melewati batas, maka ada konsekuensi besar yang harus dipastikan sebelum malapetaka memusnahkan populasi.

"Sampai kapan mendekam di laboratorium, Appa?" bocah berusia 5 tahun melonggokkan kepala ke dalam ruangan penuh alat-alat tak biasa.

Pemuda berusia dua puluhan terperanjat, mengalihkan atensi ke arah pintu kaca yang sedikit terbuka. "Min, jangan masuk!" Kyuhyun—nama pemuda itu—panik menghampiri si bocah lelaki yang mulai bersiap masuk ke dalam laboratorium. "Hei, satu langkah kau masuk, maka seluruh game akan kusita." Ancaman bernada dingin, Kyuhyun menghampiri si bocah bernama Minsoo yang terkikik puas.

"Berhentilah mengancam anak kecil, Mr. Marcus!" balas menyentak, kedua tangan terlipat di depan dada yang membusung. Pose menerima tantangan tanpa segan.

Jas putih serta masker ditanggalkan, Kyuhyun membuang sarung tangannya ke tempat sampah, mencuci tangan lalu segera menggendong Minsoo—membawa anak itu pergi sejauh mungkin dari ruangan penuh bahaya. Tangga berundak dilewati, Kyuhyun menghempaskan diri ke atas sofa di ruang keluarga yang lenggang. Hari Rabu dan semua hyungdeul-nya sibuk di luar sana dengan pekerjaan masing-masing.

Berlalu ke dapur untuk mencari makanan serta sekotak ice cream rasa coklat yang sudah pasti akan menyenangkan untuk disantap saat santai sambil menonton film.

"Appa, kapan aku boleh ikut ke dalam laboratorium?" tanya Minsoo.

Kyuhyun mengacak puncak kepala Minsoo, mengangsurkan sesendok es krim. "Saat usiamu genap dua belas tahun."

Bibir mungil merengut kesal, lidah bergerak memindah es krim ke dalam tenggorokan. "Itu lama, Appa! Lama!" Bagaimana Minsoo bisa menunggu selama itu? Padahal ia berharap diizinkan masuk ke laboratorium, membantu appa-nya meneliti hewan dan kuman. Keesokan harinya ia punya cerita menarik untuk disampaikan pada teman-temannya di sekolah. Pasti semua temannya akan kagum dan merengek ingin bermain ke rumahnya.

"Appa, aku punya tugas dari seongsaengnim."

"Tugas apa?"

"Membuat puisi tentang eomma. Eum, teman-teman bilang jika eomma itu baik dan cantik. Apa itu benar, Appa?" Minsoo menggaruk pelipisnya, menatap ragu ke arah Kyuhyun. Tadi di sekolah ia mendengar teman-teman bercerita banyak mengenai sosok eomma hingga tak terasa 2 jam berlalu.

Kyuhyun menghela napas panjang, ini mungkin saat yang tepat baginya untuk memberitahu Minsoo. Banyak kisah tragis serta manis yang harus diketahui. Lambat laun, Minsoo memang harus tahu jati dirinya.

"Tunggu di sini sebentar," ucap Kyuhyun sambil mengecup pipi cuby Minsoo. Kakinya berjalan menuju kamarnya di lantai dua, mengambil sebuah map berwarna biru yang berhias bercak darah kering pada satu sisinya.

Mata mengerjap berkali-kali, Minsoo mengulum bibir lalu mencomot satu cookies dari toples. Oh, dia suka coklat dan appa-nya terlalu baik dengan menyediakan camilan di atas meja.

Sebuah foto diulurkan, Minsoo mendongak—memandang Kyuhyun penuh tanya. "Lihat wanita cantik ini? Namanya Im Yoona, dia eomma-mu."

"Jeongmal?"

"Ne. Cantik, kan?"

"Woah, eomma neomu yeppeo. Eodi?" Wanita di dalam foto terlihat begitu cantik. Rambut bergelombang yang terurai, kulit putih bersih, dan senyumannya manis.

Kyuhyun tersenyum tipis, mengangkat Minsoo lalu mendudukkan bocah lima tahun itu ke atas pangkuannya. Map biru diletakkan ke meja, satu-persatu foto dijajar dan beberapa lembar dokumen dibiarkan tertumpuk di sudut meja. "Eomma-mu ada di tempat yang jauh, Minsoo-ya." Belum saatnya menjelaskan perihal kematian, itu mungkin akan berdampak buruk dan justru menimbulkan lebih banyak tanya bagi anak berumur lima tahun.

"Di mana itu, Appa?" Jauh? Sejauh apa? Minsoo ingin tahu berapa jauh jarak yang ada hingga ia tidak bisa melihat eomma-nya.

Hening melingkupi. Beberapa detik dibutuhkan Kyuhyun untuk sekadar memantapkan hati, "Di sisi Tuhan."

"Apa aku boleh ke sana?" Minsoo belum terlalu mengenal Tuhan, tapi orang-orang bilang jika Tuhan sangat baik. Jika eomma-nya berada di sisi Tuhan, mungkin ia juga boleh.

Ada keterkejutan ketika mendengar respon Minsoo. Berada di sisi Tuhan yang dimaksud tentu berbeda makna dengan ibadah—mendekatkan diri pada Sang Pencipta. "Boleh. Tapi ... saat Minsoo sudah tua." Tidak ada yang tahu batas umur manusia, namun Kyuhyun ingin Minsoo berumur panjang hingga puas menjalani hidup yang penuh tantangan.

"Ho, geurae." Tua, Minsoo tahu jika menjadi tua masih sangat lama. Lebih lama dibandingkan menunggu Heechul ahjussi selesai memilah baju untuk berangkat ke pesta.

Foto lain diraih, siluet yang tampak makin jelas. Empat sosok di foto, tersenyum menatap kamera. "Lihat ini. Eomma, appa, dan nuna-mu." Satu-persatu ditunjuk sambil menjelaskan siapa sosok tersebut.

"Nuna?" Minsoo pikir 'nuna' hanya berlaku bagi sebagian kakak dari teman-temannya. Ternyata dia punya nuna, nuna-nya yang juga cantik.

"Ne."

Mengherankan, selama ini Minsoo tidak pernah berjumpa dengan eomma, lalu ia pun tak pernah berjumpa dengan nuna yang ada di foto. "Nuna di mana?"

"Nuna dan appa bersama eomma. Mereka bersama Tuhan." Hanya ini, Kyuhyun mengharap jika Minsoo tidak akan berpikir hidup sendiri. Masih ada kakek serta nenek yang tinggal cukup jauh di daerah pedesaan, mereka adalah keluarga kandung Minsoo.

Minsoo merasa pusing, pikirannya sulit memahami. Mungkin ini yang disebut 'pikiranku seperti benang kusut yang harus diluruskan'. Mengapa appa di dalam foto sangat berbeda dengan appa-nya? Di foto terlihat lebih tua dan berkacamata, juga lebih gagah. "Appa? Appa di sini."

"Aniya, appa Minsoo ada dua. Appa dan eomma, nuna." Kyuhyun menunjuk tiap wajah di foto tersebut. Mungkin Minsoo akan kebingungan menyerap informasinya. Mengutarakan istilah 'anak adopsi' atau 'anak angkat' pasti membuat Minsoo murung, Kyuhyun tahu rasanya jadi ia tidak akan mengatakan itu sebelum Minsoo cukup umur.

Masih belum mengerti, Minsoo menyandarkan kepalanya ke bahu Kyuhyun, sementara kedua matanya tak lepas dari foto tersebut. "Nugu?" Telunjuknya mengarah pada bayi mungil dalam dekapan sosok yang disebut 'eomma'. Bayi itu terlihat lucu dan Minsoo pikir jika itu adalah adik kecil yang belum bisa berjalan, sama seperti Seomin—anak dari Choi harabeoji.

"Minsoo," jawab Kyuhyun.

Tugas sekolah ternyata sangat sulit, Minsoo menghela napas panjang. Satu yang diinginkannya hanya sesuatu mengenai 'eomma' bukan 'appa' juga 'nuna'. Jadi ... sekarang kepalanya terasa pusing sekali. "Appa, jadi eomma itu seperti apa? Bisakah appa menuliskannya di kertas? Nanti Minsoo tulis ulang kalau Bum hyung sudah pulang."

Kecemburuan muncul mendadak, Kyuhyun mencebik lalu menggerutu dalam hati. Bagaimana bisa Kim Kibum menjadi sosok penting yang selalu dicari oleh Minsoo acap kali jam belajarnya tiba? Lalu panggilan 'hyung' yang seharusnya 'samchon' atau 'ahjussi'.

"APPA!" Minsoo memekik kencang, memukul lengan Kyuhyun dengan keras. Ia tak suka diabaikan, sangat tidak suka.

"Jangan berteriak seperti itu. Appa belum tuli." Selepas Heechul pulang dari kantor, Kyuhyun bersumpah akan menuntut pertanggungjawaban. Anak kesayangannya pasti belajar berteriak dari Heechul.

Hela napas panjang, Kyuhyun mengambil secarik kertas kosong lalu mulai menulis. Ingatannya berputar pada sosok ibu angkat yang selalu menyayanginya. "Eomma adalah sosok paling mulia di dunia ini. Tidak peduli apakah eomma adalah artis atau buruh sekalipun, eomma adalah sosok yang harus dihormati."

Kepala mengangguk-angguk, Minsoo tahu apa itu hormat—seperti yang dilakukan pasukan keamanan yang setiap pagi berjaga di depan gedung presiden Korea Selatan. Tangan terangkat, siku ditekuk hingga ujung jari telunjuk ditempelkan ke dahi, kaki yang rapat dan badan tegap tak boleh miring. "Lalu?"

"Eomma itu ... cantik. Bagaimanapun keadaannya, meski belum mandi juga tetap cantik." Ini kejujuran yang nyata, wanita akan tetap cantik meski belum mandi. Apalagi saat mereka bangun paling awal untuk memastikan sarapan terhidang di meja makan.

"Woho, berarti Appa kalah! Appa jelek kalau tidur." Seringai terbentuk sempurna, Minsoo tak berbohong-Heechul ahjussi yang masih baik penampilannya saat tidur. Yang lain? Jangan ditanya. Ada juga yang ileran.

Dongkol, Kyuhyun merasa dihempas kasar ke dasar. Minsoo sungguh pandai mengutarakan fakta yang mengejeknya habis-habisan. "Eomma itu pintar memasak, membersihkan rumah, menghias ruangan, dan sangat suka berbelanja."

"Appa payah, masak ramen saja payah. Kuahnya seperti sungai Han yang meluap. Jorok, kaos dan celana di atas tempat tidur, selimut jatuh juga tidak diambil. Appa meledakkan ruangan, laboratorium berasap lalu boom! Semuanya pecah. Belanja juga salah mengambil bubuk merica padahal yang dimaksud itu bubuk penyedap rasa." Racauan Minsoo disampaikan dengan semangat menggebu-gebu.

Kadang Kyuhyun lupa dengan betapa cerdiknya Minsoo yang mampu menyebutkan setiap keteledorannya tanpa terkecuali. "Ho, Appa juga pernah me—"

Ucapan Minsoo disela, sengaja, biar tidak bikin sakit hati. "Eomma dulu adalah seongsaengnim di sekolah Appa. Ah, dokter sekolah lebih tepatnya, tapi juga mengajar."

"Tunggu, jadi eomma itu saem di sekolah Appa?" Mata terbuka lebar, Minsoo membayangkan appa-nya yang nakal dan sosok seongsaengnim cantik adalah ibunya.

"Berhentilah menyela, Minsoo." Kyuhyun mencebik, tiap rangkai frasa dalam benaknya mendadak lesap.

Si kecil merengut, mengangguk paham segera ketika menyadari jika menyela cerita tidak baik dilakukan. Apalagi Appa-nya sedang bercerita mengenai eomma yang belum pernah dijumpai oleh Minsoo.

"Eomma memberikan banyak hadiah untuk Minsoo, tapi semua itu baru bisa Minsoo miliki setelah lulus sekolah."

"..." Minsoo membuka mulutnya lebar, mengatupkan segera. Menunggu lulus sekolah artinya ia harus tumbuh setinggi Appa atau Bum hyung, itu ... lama sekali! Dan apakah appa-nya tidak akan lupa jika selama itu menunggu untuk menyampaikan hadiah? Menaruh kacamata saja lupa, apalagi hadiah.

Foto lain ditunjukkan, seorang wanita muda yang tersenyum simpul sambil mengendong bayi mungil berpipi gembul. "Minsoo bisa membawa ini ke sekolah, tunjukkan pada teman-teman jika Minsoo punya eomma yang cantik."

"Woah, siap kapten!" Tanda hormat dilakukan, Minsoo mengambil foto lalu melihatnya dengan seksama.

"Appa, boleh minta eomma baru?" Minsoo kecil hanya ingin ada 'eomma' dan 'appa'. Seorang teman bilang jika ia punya 'eomma baru' yang baik, tidak jahat seperti eomma baru putri salju.

"Ha?" Dan detik itu juga Kyuhyun kehabisan kata, eomma baru? Usianya bahkan baru dua puluhan dan belum pernah berkencan sekalipun. Ada kewajiban wajib militer menanti ketika usianya nyaris tiga puluh, sebelum itu maka ia pikir jika melajang tidaklah buruk. Toh sudah ada Minsoo. "Eung, ..." pandangan gusar, manik mata bergerak liar. Ini yang disebut mati kutu, pertanyaan membunuh yang sukar dijawab. "Es krimnya mencair!"

"Aigoo, Appa. Ayo selamatkan es krimnya!" Minsoo turun dari pangkuan, mengambil kotak es krim lalu menyendok banyak untuk dilahap saat itu juga. Es krim meleleh itu bencana, Minsoo sangat tidak suka melihat es krim terabaikan. 'Syukurlah,' ucap Kyuhyun dalam hati. Biar lah pembahasan kali ini berakhir, ia tak cukup cerdik untuk menimpali pertanyaan Minsoo.

.

.

.

.

.

My Secret of Identity

(Flash back)

Darah di mana-mana, pakaian hitam tak lagi bersih karena bercak dan debu yang menempel. Pertarungan berakhir, banyak korban berjatuhan, dan pemusnahan dilakukan mendadak. Si pemuda bernama Dinghae merobek kemeja, menggunakan helai baju untuk menekan luka. Di sampingnya ada Kibum yang menatap hamparan puing-puing bangunan dengan hampa, menunduk sejenak guna melihat sebuah chip dalam genggaman. "Kita menang, Kyu." Ada rasa haru yang singgah, menyeruak hingga Kibum merasa begitu damai dan tenang. Kyuhyun dilarikan ke rumah sakit segera karena sayatan tadi rupanya sangat dalam, terlalu banyak darah yang mengucur—hingga kesadarannya lenyap.

Semua perjuangan dalam hitungan detik telah berlalu, pasukan ITODA yang tertangkap segera digiring ke dalam mobil tahanan. Tim medis tambahan belum datang, terlalu banyak korban yang butuh ditangani segera. Beberapa anggota saling menepuk bahu, berbahagia karena misi penyerangan berhasil dimenangkan. Dokumen beserta sampel didapatkan dan akan diidentifikasi lalu dimusnahkan jika diketahui bahayanya.

"Kerja bagus." Jungsoo atau yang lebih dikenal sebagai Denis, meletakkan senapan ke atas tanah, melepas sarung tangan hitam, lalu rompi anti peluru yang sedari tadi melindungi tubuh. Gurat lelah begitu jelas, Jungsoo memijat kaki yang terasa pegal karena tidak berhenti berlari.

"Daddy baik-baik saja?" Donghae menghampiri, memindai tubuh dari kaki hingga kepala. Beberapa bagian tubuhnya terasa sangat nyeri, tapi Donghae bersyukur karena tidak kehilangan nyawa. Hujan peluru, bahan kimia yang berbahaya, juga ledakan. Nyawanya bisa saja melayang andai takdirnya memang mati dalam misi penghancuran ITODA.

Ringisan kecil lolos, Denis menepuk pundak anaknya. "Ya, aku baik. Kecuali punggung yang mungkin memar karena ditendang tadi." Bela dirinya tak terlalu bagus, gerakan gesit sesekali terlewat dari kewaspadaan. Apakah faktor usia memengaruhi? Jika iya, mungkin karena usia yang tak lagi muda.

"Siwon di mana?" Jungsoo menyapukan pandang, mencari sosok tinggi berbadan kekar yang sejak kemarin tak berhenti panik.

"Dia terluka, satu tembakan di kaki kanan. Sudah dibawa oleh ambulans." Jongwoon menghampiri sambil mengulur sebotol air untuk Donghae. "Kau seharusnya memanggilku," ucap Jongwoon sambil mengecek kaki Donghae yang terluka. Dugaan sementara mungkin ada keretakan pada tulang, memar yang parah bahkan pembengkakan.

"Tunggu, apa ini?!" kepanikan mencuat ketika menyadari benda asing terdapat di bahu Donghae.

"Ada apa?" Kibum mendekat, melihat apa yang membuat appa-nya panik. "Ini ... sesuatu yang ada di laboratorium, jarum ini a—"

"Donghae!" Belum selesai kalimat Kibum, tubuh pemuda bermarga Lee langsung terkulai, Donghae tak bergerak, napasnya lemah dengan suhu tubuh yang rendah. Jongwoon mencabut jarum yang menusuk bahu, memasukkannya ke dalam plastik. Ambulans tiba tepat waktu, Donghae segera dibawa ke rumah sakit.

Empat jam terasa seperti setahun lamanya. Kibum memejamkan mata, berusaha tenang tapi tetap saja tidak bisa. Donghae ada di ruang ICU, keadaan menurun drastis karena racun—yang belum diketahui jenisnya. Terkutuklah petugas ITODA yang menusukkan jarum beracun. Kyuhyun telah dipindah ke ruang perawatan biasa, masih belum sadar namun kondisi terbilang stabil.

Amerika, kota yang tak pernah tidur. Pukul satu dini hari dan Kibum masih menemukan kepadatan lalu-lintas di perkotaan.

Tap.

Tap.

Tap.

Kim Kibum menyandarkan punggungnya, melihat langit-langit selasar yang polos tanpa warna. Suara langkah kaki menjadi musik alami yang menemaninya dalam kesepian.

"Kyuhyun belum sadar." Segelas kopi terangsurkan di depan wajah, Kibum menoleh dan mendapati appa-nya yang datang.

Kopi diterima, Kibum bisa melihat gurat lelah dan kantung mata yang jelas di wajah si pria berusia empat puluhan. "Appa tidak tidur?" tanyanya berbasa-basi.

"Tidak mengantuk. Minggu depan kita pulang ke Korea Selatan." Jongwoon menghela napas panjang, melipat lengan dan menyandarkan kepalanya ke dinding.

Minuman diteguk sedikit demi sedikit, kehangatan menjalar meski tidak mampu mengusir dingin yang menyelimuti. "Hm, ... Appa?" terselip ragu ketika Kibum ingin bertanya sesuatu. Sebuah kepastian yang dibutuhkannya agar bisa tenang.

"Ne?"

"Kyuhyun, apa ia sudah benar-benar sembuh? Maksudku ... apa jantung barunya tidak akan bermasalah?" tanya Kibum. Sebelah tangannya mengepal di sisi tubuh, sedangkan tangannya yang satu meremas gelas kopi.

"Kurasa tidak." Suara Jongwoon terdengar mengambang di udara.

Bingung, Kibum tidak paham dengan dua kata yang diucap. Apakah itu menjawab pertanyaannya atau hanya salah satu saja? Kenapa nadanya demikian? Seolah sesuatu yang buruk masih menanti di masa sepan. "Appa ..."

Lengkung asimetris tercetak, Jongwoon menepuk pelan pundak putranya. "Yakinlah Kyuhyun baik-baik saja. Sejauh ini tidak ada masalah, kondisinya pulih dengan cepat dan belum kutemukan kejanggalan. Jadi yakinlah jika adikmu akan selalu sehat." Tak ada yang bisa dilakukan Jongwoon lebih dari sekadar meyakinkan Kibum dan mengutarakan kondisi sebenarnya meski tidak ada jaminan bila Kyuhyun akan sehat hingga menua nantinya.

"Appa, terima kasih."

"Heum, sama-sama, Bum." Sebelah lengan merangkul bahu Kibum, sudah sangat lama sejak terakhir kalinya melihat Kim Kibum membicarakan sesuatu yang membuatnya takut.

Kebencian yang kuat bisa lebur juga karena kasih sayang melebihi kemampuan kerasnya ego bertahan menolak kenyataan. Saudara akan tetap menjadi saudara, tidak peduli seberapa banyak kadar benci bercokol di dalam hati. Hidup bukan untuk membenci namun menyayangi dan menjaga apa-apa yang dimiliki dengan sekuat tenaga. Penyesalan selalu datang paling akhir; mematahkan semangat dan bahkan mengacaukan akal sehat.

Derit pintu membuat atensi Kyuhyun berpindah. Aroma obat masih setia menemani, balutan perban di lengan dan beberapa di tempat lain. Sebuket bunga diletakkan oleh pemuda yang hanya berselisih dua tahun lebih tua dari Kyuhyun. Kibum, mengulas senyum tipis sambil menarik kursi, mendudukkan diri di samping ranjang pesakitan, meraih buku untuk dibaca.

"Hyung menjenguk atau hanya datang untuk menumpang baca buku?" Kyuhyun, bersuara dengan pelan. Tatapannya masih mengarah pada Kibum yang terdiam tanpa menyanggah atau merespons sindirannya.

Si pemuda yang baru lulus senior high, meletakkan bukunya—menyandarkan punggung lalu memandang wajah si bungsu yang masih pucat. "Kurus sekali. Kau tak lebih dari tulang berbungkus kulit." Komentarnya dengan sarkasme, Kibum meraih nampan berisi sarapan yang belum disentuh. Mengaduk bubur yang sudah mendingin.

"Makan atau kubunuh kau!" Ancaman sarat perhatian yang tersirat, Kyuhyun memutar bola mata. Sampai kapan hyung-nya ini bersikap sok dingin padahal peduli?

Tangan kanan yang tertancap infus mendorong mangkuk, tolakan pelan. "Aku tidak mau makan."

"Kyu, makan. Tidak baik membiarkan lambungmu kosong." Kibum mengertak, kesabarannya diuji untuk menghadapi satu pasien pembangkang.

Tubuh digeser, miring ke kiri agar tidak berhadapan lagi dengan sosok bernama Kim Kibum. "Pergilah, Hyung." Dua hari lalu Kyuhyun memang baru sadar, mengetahui banyak orang menyambutnya dengan kelegaan dan ucapan syukur. Tapi ... Kibum bahkan tidak datang, menolak panggilannya saat menelepon. Mungkin benar, Kibum masih belum bisa menerimanya dengan tangan terbuka.

"Kau kenapa, Kyu?" suara itu melembut, sarat akan keputusasaan. Mangkuk masih dibawa, Kibum melirik singkat pada bubur yang mungkin akan berakhir di tempat sampah.

"Aku baik. Pergilah." Lagi, Kyuhyun memilih untuk tidak melihat Kibum jika harapannya untuk diterima akan pupus begitu saja.

Mangkuk diletakkan, Kibum mengambil buah apel lalu mengunyahnya perlahan. Manis, tapi apakah adiknya akan suka? Sepertinya tidak, bahkan bubur saja ditolak apalagi buah. "Kalau kau tetap merajuk seperti gadis yang minta dinikahi karena hamil. Maka itu tidak mempan untukku."

Ternganga. Bagaimana bisa perandaian itu yang terbesit di otak jenius Kibum? Keterlaluan sekali menyamakannya dengan gadis yang ... hei! Apa tadi?! "Yak! Jaga bicaramu, Kim Kibum!"

Kyuhyun berbalik, mendorong bahu Kibum dengan tangannya yang tak ditancapi jarum infus. "Pergi! Suasana hatiku berantakan karena kalimatmu yang kurang tepat."

"Kau tidak salah? Suasana hatiku yang buruk karena ditolak berulang kali ketika melakukan niatan baik dengan menawarkan sarapan." Kilat marah terlihat jelas, Kibum tak perlu berpura-pura abai ketika kesal. Seorang Kim Kibum mengalah? Itu mustahil.

"Kalau kalian bertengkar, perhatikanlah sekitar. Anak ini butuh ketenangan." Heechul datang sambil menggendong bayi yang asyik mengunyah biskuit. "Beruntung koridor sepi." Lega karena Minsoo tidak perlu berjumpa banyak orang sakit meskipun ruangan rawat Kyuhyun termasuk paling pojok, bisa langsung ditemukan setelah keluar dari gedung parkir.

Kibum mengulur tangan, meminta Minsoo agar diberikan padanya. "Dia bisa sakit. Hyung seharusnya tidak mengajaknya ke sini." Sikap Heechul sangat disayangkan. Anak kecil sangat rawan tertular penyakit, terlebih lagi di koridor banyak orang berlalu-lalang.

"Aku mengajaknya ke sini karena butuh imunisasi. Jadi jangan menuduhku membahayakannya padahal aku menolong masa depannya." Heechul menyerahkan sebuah buku yang mencantum daftar imunisasi bayi. "Hebat, tidak menangis." Satu biskuit diberikan lagi, Minsoo menggapai udara dan mencondongkan badannya ke depan untuk meraih biskuit.

"Siapa yang membawa Minsoo ke Amerika?" tanya Kyuhyun. Tangannya terulur untuk menyentuh pipi gembul, tapi Kibum segera menepisnya.

Tatapan tajam Kibum membuat si bungsu menghela napas kasar. "Yak! Biarkan aku menyentuh Minsoo."

"Hiks, hiks."

"Lihat, dia terkejut karena kau berteriak, Kyu." Heechul melotot, mengambil alih Minsoo dan menepuk-nepuk punggungnya. Meski mulai terbiasa dengan bayi, tapi Heechul tidak tahan tangisan cempreng yang bisa membuat telinganya berdengung.

Alih-alih menyesal, Kyuhyun makin merasa tertekan karena tak bisa menyentuh Minsoo. Kibum melihat mangkuk bubur yang masih penuh, ide jahil muncul. "Chul hyung, Kyu tidak mau sarapan. Jadi biarkan dia tidak bermain dengan Minsoo, cukup kita saja."

"M-mwo? Hey, kalian tidak bisa melakukan itu!"

"Makan, Kyu." Heechul meraih sendok lalu menyodorkan bubur di depan adiknya. "Makan atau aku buang seluruh game itu?"

"Ck, kalian." Berat hati Kyuhyun membuka mulut, membiarkan bubur mendarat di lidah dan memaksa makanan tersebut masuk ke perutnya.

Tiga suapan pertama tidak ada yang aneh. Bubur terasa hambar dan itu sudah biasa, tapi ... suapan ketujuh mulai terasa menyiksa, perut bergejolak dan siap muntah.

"Hei, jangan dimuntahkan." Heechul mengambil minum, memaksa Kyuhyun untuk meneguknya sedikit. "Lihatlah, jika appa tahu ini, maka kau akan ditegur."

"Kalian berdua bicaralah. Aku tahu jika kalian butuh waktu, banyak masalah yang perlu dibahas. Luapkan saja asal jangan beradu fisik. Aku pergi, bayi ini butuh kasur yang nyaman untuk tidur." Usai mengucapkan itu Heechul pamit, menepuk pelan pundak Kyuhyun dan Kibum yang masih dalam mode labil. Anak remaja memang sulit dipahami apalagi menyuruh untuk terus terang, rumit sekali.

Ruangan kembali hening. Kim Kibum kini duduk di samping ranjang, membiarkan kakinya terayun pelan. "Mianhae." Jelas, Kibum mengulur tangan kanan—untuk bersalaman. "Kesalahanku banyak, tapi mulai hari ini aku ingin menebusnya dengan perlakuan baik."

"Hyung ..."

"Dulu aku marah, sangat marah. Terlebih ketika melihat appa yang sangat menyukai serta memanjakanmu. Kau yang tiba-tiba hadir, mendapat tempat khusus di rumah, lalu juga sekolah di tingkatan yang sama denganku. Ya, aku kekanakan. Tidak lebih bijak seperti yang dielu-elukan oleh banyak orang. Aku terlalu buta untuk melihat bahwa dirimu jauh lebih menderita sebab tak pernah merasakan perhatian appa ketika mendidik kami." Kibum menarik napas dalam, tatapannya teduh dan dalam. Semua yang menganjal mulai dilontarkan, harapnya sederhana; Kyuhyun bisa memaafkan semua tindak-tanduknya yang melewati batas. "Dan aku semakin marah ketika semua memujimu, mengatakan jika kau bisa menandingiku. Padahal, aku selalu menjadi nomor satu sejak kecil. Awalnya aku menganggapmu ancaman yang bisa membuatku lengser dari posisi pertama."

Kyuhyun menundukkan kepala, memainkan jari-jarinya yang terasa dingin. Kejujuran Kibum sangat masuk akal, itu juga yang pasti dirasakan Heechul. "Mianhae."

"Tidak, kau tidak salah, Kyu. Kami yang salah. Ah, tidak. Aku yang sangat salah di sini. Semua kebencian itu membuatku menampik fakta jika kau sama berharganya seperti Heechul hyung. Kita saudara, harusnya aku tidak membencimu sebesar itu. Kau ... sangat baik, seperti eomma." Surai kecokelatan itu diusap pelan oleh Kibum, lalu tangannya tergerak untuk mengangkat dagu agar pandangan Kyuhyun tak lagi menamat pada jari yang dimainkan. "Beri aku kesempatan, Kyu. Biarkan aku menjadi kakak yang menyayangimu dan merecoki hari-harimu. Biarkan aku membimbingmu agar menjadi sosok yang tegar dan bersemangat meraih nilai sempurna. Ya, meski gelarmu bahkan jauh di atasku." Kekehan pelan lolos, Kibum mengacak surai Kyuhyun dan menghadiahi sentilan di dahi.

"Ne, Hyung."

"Gomawo, Kyu." Pelukan mungkin awal yang baik, Kibum merasakan detak jantung yang beraturan. Kyuhyun pasti bisa kembali sehat seperti sosok yang terlahir kembali untuk menyambut kebahagiaannya.

Ini awal dari perdamaian di mansion Kim. Tak ada lagi argumen sarat akan kebencian dan sarkasme yang bermakna negatif. Kerukunan diselip canda adalah harapan yang diinginkan Kibum.

(Flashback off)

.

.

.

.

.

Krystalaster27

Ruang keluarga mansion Kim, tempat paling nyaman untuk berkumpul dan bermalas-malasan. Beberapa camilan tergeletak di atas meja, kaleng minuman, serta buku-buku yang entah milik siapa.

"Hari minggu dan pekerjaan. Bagaimana menurut kalian?" Jongwoon memijat pelipis, merebah pada sofa panjang di ruang keluarga.

Si sulung menutup buku, menatap si pelontar tanya yang tak lain adalah appa-nya. "Itu kutukan. Hari minggu dan pekerjaan adalah suatu yang salah, tidak ada waktu santai." Ini pendapat nyata sekaligus sindiran langsung, meski melihat appa-nya bekerja tanpa libur adalah hal biasa. Berangkat pagi, pulang dini hari. Betapa sibuk si dokter melayani pasien.

Bocah lima tahun berlari, memekik hingga suara menggema di ruang yang luas. "Ahahaha, harabeoji jelek!" ejekan totalitas, si kecil menubrukkan tubuh ke sofa, naik ke atas tubuh yang berbaring lalu terpingkal di sana.

"Minsoo, kau kenapa?" Kibum-yang sedari tadi diam memerhatikan—mulai bersuara kala mendengar kikikan menggemaskan dari bocah berusia lima tahun.

Tawa meledak-ledak, Minsoo melihat sosok yang ada di lantai atas—tengah menatapnya dengan wajah merengut. Lalu ada wanita yang menggendong bayi, tertawa sepertinya namun lebih kalem. "Ahahaha, harabeoji jelek. Tadi Minsoo minta foto dengan aunty, lalu harabeoji merengek. Wajahnya jelek! Huahahahaha." Terpingkal lagi, Minsoo mengusak kepalanya ke perut Jongwoon.

Si sulung tertawa, penjelasan singkat itu sangat lucu. Siwon—yang dipanggil 'harabeoji'—memang terkadang membuat ekspresi konyol tanpa sadar. "Seharusnya tadi kau foto harabeoji-mu, Minsoo-ya." Saran Heechul memang tidak baik, tapi ini adalah hiburan tersendiri yang patut diabadikan.

Minsoo memekik ketika merasakan tubuhnya diangkat lalu mendarat di tubuh lain yang beraroma lebih segar. "Appa!" Kedua tangan melingkar di leher, Minsoo menyandarkan kepalanya pada bahu. "Lama sekali pulangnya." Sudah lama sejak jarum kecil menunjuk angka tujuh dan kini sudah berpindah ke angka satu. Minsoo ingat jika tadi pagi ia ditinggal pergi tanpa pamit. Semua bilang jika appa-nya akan kembali pada pukul sebelas, tapi Minsoo tidak juga melihat mobil terparkir di depan mansion.

"Tadi macet." Tiap keterlambatan tentu punya penyebab.

Minsoo menggeleng, menarik kerah kemeja appa-nya yang masih rapi. "Bohong."

"Tidak," sanggah Kyuhyun dengan tegas.

"Hu, bohong. Kalau macet, appa akan melonggarkan dasi." Tangan mungil beralih menarik dasi yang masih terpasang apik tanpa dilonggarkan sedikitpun.

Oh, Kyuhyun lupa kebiasaan itu. Minsoo selalu hafal tiap gerak sederhananya, tanpa terkecuali seolah tiap kedipan mata pun diperhatikan dengan baik. "Tadi bingung mencari PSP." Pengakuan lirih itu disambut tatapan mematikan dari Jongwoon dan Heechul yang masih ada di sana.

"Woah, mana? Mana? Berikan padaku, Appa! Berikan!" Minsoo melonjak riang, tangannya bertepuk sesekali. PSP terbaru pasti dibeli oleh appa-nya. Membayangkan keseruan bermain game sehari penuh, itu luar biasa.

"Ini dia." PSP diserahkan, masih mengkilap tanpa goresan. Sepasang mata berbinar, bibir bergerak-gerak tapi tidak mampu berkata.

Sret.

PSP berpindah, berada dalam kuasa Heechul yang menampakkan raut murka. "Biarkan aku menjelajah game yang ada. Beberapa mungkin melewati batasan umur." Tak ada ampun jika ada satu game yang diluar batas konsumsi anak lima tahun.

"Hyung, kau membuatnya sedih." Kyuhyun tak terima ketika melihat Minsoo yang murung.

"Dan kau membuatnya keracunan game." Bukan Heechul yang bicara tapi Kibum—masih dengan santai membaca buku—tanpa menoleh.

Jika ini anime, mungkin tatapan Kyuhyun sudah dialiri listrik dan ada tanda perempatan di kepalanya. Bersungut pendapat tentu lebih sering berakhir dengan kekalahan di pihaknya. "Hyung membuatnya terlalu pintar jika buku-buku baru terus ada di atas meja."

"Hei, buku itu jendela dunia. Minsoo bisa membaca lebih cepat juga karena Kibum yang mengajarinya setiap hari," balas Heechul. Lengannya bersedekap, sebelah alis terangkat, dan jangan lupa dengan nada mengejek yang kentara.

Tak bisa dibiarkan, Kyuhyun mendesis kesal lalu mengutarakan pendapatnya. "Tapi usianya baru lima tahun, Hyung. Lima tahun saatnya menggambar dan mewarnai, bukan membaca buku astronomi."

"Dia bisa jadi ilmuwan muda." Heechul tidak menemukan kesalahan pada buku mengenai langit dan isinya. Itu aman, tidak terdapat konten yang perlu disensor, menghafal nama planet serta rasi bintang adalah suatu yang menarik.

Sikap tak terima mulai membuat Kyuhyun merasa jengah. "Aku tidak mau. Minsoo hanya akan mendapat masalah jika mengikuti jejakku." Masih lekat dalam ingatan ketika ada banyak cibiran karena ia terlalu cepat lulus sekolah.

"Dia akan mengikuti jejakku bukan jejakmu." Pemastian Heechul tentu berdasarkan bukti nyata, ia akan memastikan tidak ada ancaman untuk keponakannya yang menggemaskan.

"Hyung!" Bentak Kyuhyun.

"Ayo lanjutkan. Silakan bertengkar," kata Minsoo sambil memasang kamera untuk merekam Kyuhyun dan Heechul yang berdebat.

Kibum terkekeh tanpa suara dibalik buku, sedangkan Jongwoon mulai duduk dan menatap datar ke arah Kyuhyun. "Biarkan saja, Heechul-ah. Jika Minsoo punya nilai jelek di sekolah, maka kita bisa menghukum seseorang sampai puas."

"Appa!" Apa-apaan? Menghukumnya karena nilai Minsoo yang jelek.

Sebelah alis diangkat, dagu pun demikian. Jongwoon menatap tegas ke arah putra bungsunya. "Mwo? Kau membebaskan Minsoo, itu artinya kau siap dengan segala risikonya. Anak kecil akan tumbuh baik mengikuti apa yang ia serap tiap hari, terutama rutinitas orang tuanya."

"Sial." Umpatan lolos. Kyuhyun merutuki posisinya yang selalu terpojok. Keheranan itu nyata, bagaimana sikap mereka yang sangat menyayangi si kecil.

"Appa mengumpat?" tanya Minsoo dengan tampang terkejut. Seonsaengnim bilang jika mengumpat adalah tindakan tidak terpuji, kurang pantas, dan melanggar sopan santun.

"Aniya," elak Kyuhyun. Dapat dirasakan tiga pasang mata menatapnya tajam dengan aura mencekam.

Telunjuk digerak-gerakkan di depan wajah. "Ho, bohong." Minsoo menusuk pipi appa-nya, kebiasaan yang harusnya dilakukan oleh Kyuhyun.

"Kyu—"

"Silakan kalian bermain, aku mau tidur." Kyuhyun menyela ucapan Kibum, segera menurunkan Minsoo dari gendongannya.

Tangan Minsoo menggaruk pelipis, rumit sekali memahami tingkah appa-nya yang berubah-ubah dalam waktu singkat. "Appa kesal ya?"

Yang dibicarakan sudah menaiki tangga, tidak menoleh sedikit pun ke belakang.

"Biarkan saja appa-mu itu." Heechul menepuk sisi sofa yang kosong, isyarat agar Minsoo duduk di sampingnya.

Tap.

Tap.

Tap.

Langkah cepat membuat tiga orang mengalihkan fokus, Kyuhyun tampak tergesa menuruni tangga lalu menghampiri mereka.

"Mana ponselku?" Tangan kanan diulurkan dengan telapak yang terbuka.

Minsoo memeluk erat ponsel, merapatkan tubuhnya pada Heechul—mencari perlindungan. "Aku pinjam."

"Tidak boleh." Kyuhyun berusaha merebut ponselnya, agak susah karena Heechul pun menepis tangannya.

"Appa pelit!" Lengkingan memekak telinga, Kibum bahkan tersentak karena teriakan Minsoo.

Masih bersikeras merebut ponsel, Kyuhyun meringis ngeri ketika benda kesayangannya—setelah PSP dan PS3—digenggam sangat erat oleh Minsoo. "Kemarikan, Min."

"Shireo~"

.

.

.

.

.

Krystalaster27

Buku-buku usang menunggu dibaca, secangkir kopi berada di ujung meja. Obsidian memproses tiap kata yang dilihat, sedangkan otak berusaha mengingat dan pastikan tidak ada detail yang luput dari pengamatan. Kim Kyuhyun menghabiskan waktu liburannya di rumah, menjadi orang tua yang mencurahkan perhatian pada anak semata wayang—meski anak yang diperhatikan lebih memilih PSP, buku-buku dongeng, serta film tentang pahlawan super. Dunia anak-anak yang sempurna, setidaknya itu yang Kyuhyun lihat saat si kecil tidak harus berpikir 'apa yang terjadi jika planet asing menabrak bumi?' atau 'apa yang terjadi jika sepuluh lubang hitam bersatu?'.

Getaran ponsel membuat Kyuhyun menghentikan aktivitasnya, menatap malas pada nama yang tertera di layar. Ini liburan dan mengapa ada panggilan dari orang penting Korea Selatan? Apakah ia mendapat tugas lagi atau tiket wisata gratis ke Maladewa?

"Profesor Kim. Bisa segera ke markas?" suara bariton langsung terdengar, tanpa basa-basi mengucap salam atau kabar. Kyuhyun bergerak gusar, perasaannya mendadak was-was.

Kopi diteguk hingga tandas, "Ada apa?" tanyanya penasaran.

"Sesuatu terjadi. Beberapa data sitaan dari misi penghancuran ITODA ... kini raib." Si penelepon menerangkan, menjeda kalimat akhir dengan intonasi dramatis.

Butuh sepersekian detik untuk mencerna berita yang disampaikan, "Mwo? Kau jangan bercanda?" bahkan Kyuhyun melupakan jabatan si penelepon. Rasa terkejutnya melebihi ingatan bahwa ia kini tengah bicara dengan jenderal.

"Saya serius," nada gusar tertangkap rungu. Kyuhyun menggeram tertahan, menumpuk buku-bukunya lagi dan mengembalikan gelas kopinya yang sudah kosong ke dapur.

Penjelasan singkat tambahan didengar baik, Kyuhyun tergopoh-gopoh meraih jas hitam serta kunci mobilnya. "Tunggu aku di sana." Ponsel dimasukkan ke dalam saku, tangannya segera membuka knop pintu. Hingga—

"APPA!" Minsoo memanggilnya dengan lantang, bocah lima tahun itu mempercepat langkah lalu memeluk kakinya dengan erat.

Refleks menepuk jidat, bisa-bisanya Kyuhyun lupa jika sedang bersama Minsoo. Waktu berjalan, Kyuhyun melirik arloji dan semakin gusar dibuat bimbang karena Minsoo yang merengek. "Aigoo, Minsoo-ya. Kau di rumah saja, jangan ikut. Bermain sendirian tidak masalah kan?"

"Shireo! Aku mau ikut Appa!" Cengkeraman di kaki makin erat, Kyuhyun menghela napas panjang—rumit jika Minsoo tidak mau melepasnya.

Pengertian mungkin bisa disampaikan perlahan, Kyuhyun melepaskan tangan mungil yang melingkar di kakainya. "Tapi appa harus ke markas. Jenderal meminta appa segera ke sana. Ada hal penting, Minsoo-ya." Usapan pelan di puncak kepala, tatapan sarat permohonan pun dilakukan oleh Kyuhyun.

"Appa, ikut~" Dua mata berkaca-kaca, Minsoo menarik-narik ujung jas yang dipakai appa-nya.

Rambut yang rapi diacak, Kyuhyun merasa pusing dadakan jika menyangkut betapa keras kepalanya si anak kesayangan. Sikap keras kepalanya ternyata ditiru amat baik. "Aish, baiklah. Kau boleh ikut." Menyerah, biarlah nanti mencari orang di markas untuk menjaga Minsoo—andai itu diperlukan.

"Yeayyy!" Minsoo menepuk tangan, melompat-lompat riang sambil berputar. Modusnya berhasil kali ini, diizinkan masuk ke markas militer yang keren adalah impiannya sejak kecil. Pikirnya mungkin ada robot pintar di sana, teman Optimus Prime yang keren dan senang membantu manusia. Betapa menyenangkannya jika bisa bersalaman dengan robot pintar dari luar angkasa.

Kyuhyun meraih topi yang tergantung di dekat pintu, kacamata di laci, serta masker dari saku jasnya. "Tapi diam dan jangan bicara banyak. Kau juga harus pakai masker, topi, dan kacamata."

"Wae?!" Minsoo mengentakkan kaki. Ia sangat tidak suka kacamata karena hidungnya pasti terasa aneh, lalu topi juga membuat kepalanya gatal.

Alasan logis tidak akan bisa dicerna, mengatakan kejujuran 'tidak ada yang boleh tahu wajahmu karena kau bisa jadi sasaran empuk orang jahat' hanya akan menimbulkan banyak tanda tanya dan menanam rasa penasaran jauh lebih tinggi. "Karena tidak ada yang boleh tahu betapa tampannya anak appa ini."

"Heu, arraseo." Minsoo pasrah ketika Kyuhyun memakaikan atribut menganggu pada wajahnya. Sepatu dipakai segera, tidak lupa dengan jaket hitam dan sarung tangan bergambar Pororo.

"Kajja!" Kyuhyun menggendong Minsoo, memastikan ruangan ditinggal dalam keadaan aman tanpa ada barang elektronik yang lupa dimatikan.

Perjalanan menuju markas tidaklah cepat, dua jam dibutuhkan untuk sekadar melewati banyak jalan berliku dan jalan tol yang dilabeli 'jalan tanpa hambatan' padahal faktanya 'penuh dengan antrean' di masa liburan panjang musim dingin.

Markas besar yang tersambung dengan laboratorium militer. Banyak bangunan tersebar di sekeliling gedung induk markas. Satu prajurit bergegas menghampiri, membuka pintu mobil lalu memberi hormat ketika Kyuhyun keluar dari kendaraannya. Minsoo—dalam gendongan yang nyaman—terperangah, banyak pertanyaan yang singgah. Bagaimana appa-nya bisa dihormati oleh prajurit? Lalu tempat apa yang kini dikunjunginya? Ada masalah apa hingga si prajurit harus bicara cepat dengan bahasa Inggris?

Pegangan Minsoo mengerat ketika Kyuhyun mulai berlari menuju bangunan setinggi lima kali mansion Kim. Banyak pasukan dengan senjata lengkap berdiri tegap, tidak menggaruk hidung atau menggerakkan kaki meski banyak salju di sekitar yang bisa membuat hidung gatal dan kaki menggigil.

Satu orang berbadan tinggi dengan seragam keren dan senjata di tiap sisi tubuh—memberi hormat singkat ketika melihat Kyuhyun memasuki gedung raksasa. Minsoo menempelkan kepalanya dengan kepala Kyuhyun, sementara matanya sibuk mengingat-ingat dengan baik setiap lekuk markas agar bisa diceritakan pada teman di sekolah.

"Setelah bertahun-tahun, mengapa datanya baru hilang sekarang, Jenderal?" Minsoo bergidik ngeri ketika mendengar suara appa-nya yang dingin dan tatapan tajamnya. Jika Minsoo ditatap seperti itu, sudah pasti ia akan menangis sesenggukan sambil meringkuk di sudut kamar karena takut.

"Apa Anda tidak mencurigai seseorang?" Sang jenderal mengangsurkan sesuatu, sebuah kotak kecil berlapis kain beludru warna hitam. Minsoo nyaris menyentuh kotak itu andai kata lupa petuah appa-nya yang menyuruh diam.

Kotak hitam itu dibuka, tampak chip mirip memory di dalam ponsel tapi ukurannya jauh lebih besar dan berwarna biru. Kyuhyun melihat chip itu lalu menutup kotak dan mulai mengantonginya. "Mereka semua yang kutahu sudah ditangkap. Aku tidak tahu lagi."

Si jenderal mengangguk, mempersilakan Kyuhyun untuk memasuki ruangan yang penuh dengan komputer. Minsoo merasakan pegangan Kyuhyun mengerat, seolah menjaga agar tubuhnya tidak jatuh ketika melewati jembatan yang beralaskan kaca tebal. Apa yang terpampang di bawah sana membuat Minsoo bertanya-tanya, terlalu banyak mesin raksasa yang tidak dikenalinya—bahkan baru dilihat kali ini. Rupanya film robot yang ditontonnya masih tidak lengkap, buktinya banyak sekali yang tidak ada di film berdurasi kurang lebih dua jam itu.

"Kami sedang menyelidiki seluruh pekerja di sini. Meretas latar belakang serta mencari rekaman CCTV yang hilang." Si jenderal menghadap sebuah monitor besar, menyerahkan kartu pada robot yang berdiri kau di samping monitor. Minsoo menahan pekikan girangnya, ada robot kecil yang matanya bersinar dan sedang sibuk memeriksa kartu yang diberikan oleh jenderal. Robot itu mengembalikan kartu lalu mulai diam kembali tanpa bicara.

Tanda tanya besar, Kyuhyun mengedarkan pandangan untuk menghitung jumlah CCTV di ruangan yang kini dipijaknya. "Hilang?" ada rasa tak percaya dari kata tanya yang diucapkan. Keamanan markas militer tentu sangat kuat, jika si pencuri bisa menonaktifkan kamera CCTV—itu artinya ada keterlibatan orang dalam.

"Ya, markas ini seperti sengaja dilumpuhkan selama beberapa menit. Tepat pukul dua belas malam." Jam tengah malam adalah waktu pergantian penjaga, sang jenderal menyerahkan sebuah tab yang tampak canggih. Minsoo menahan napas sejenak, tab itu seperti sebuah alat peretas yang menyimpan banyak informasi.

Kyuhyun mengembalikan tab itu usai membiarkan sidik jarinya dideteksi, "Sistem pemindai kornea mata harusnya tak bekerja jika malam hari. Pintu segel akan tetap tertutup kecuali kata sandi diucapkan." Bukan hal yang mudah untuk masuk ke dalam ruang terlarang. Hanya ada segelintir orang yang tahu kata sandi darurat untuk membuka ruangan itu, Kyuhyun sendiri yang memastikan keamanannya jadi mustahil ada yang sanggup membobol kecuali orang itu adalah hacker paling handal.

Minsoo memutuskan melihat-lihat kemegahan ruangan, obsidiannya tertarik memerhatikan robot tadi lalu bergeser pada pintu kaca yang ada di sudut ruangan. Satu orang berpakaian hitam terlihat aneh, mengukir seringai ke arahnya sambil menempelkan telunjuk di depan bibir. Minsoo tahu itu isyarat agar ia diam, tapi untuk apa? Orang itu mengendap masuk ke dalam ruangan kaca, mengejek Minsoo secara terang-terangan.

"Appa, di sana," ucap Minsoo sambil menarik dasi yang dipakai appa-nya. Orang asing tadi membuka ransel dan memasukkan banyak botol ke dalamnya. Suntikan diambil dan cairan di dalam botol disedot—siap diberikan entah untuk apa. Lalu orang asing itu membuka almari, mencari beberapa barang dengan tergesa-gesa.

Kyuhyun menepis tangan Minsoo yang menarik-narik dasinya. Tidak lucu jika ia harus tercekik dan terbatuk-batuk di depan jenderal. "Minsoo, diamlah."

Orang asing itu menutup kembali almari, membawa ranselnya dan menutup pintu kaca dengan cepat. Tombol pengaman ditekan cepat, buru-buru sekali dan Minsoo yakin dia adalah orang jahat.

"Turunkah aku, Appa." Mencoba memberontak, Minsoo segera berlari saat Kyuhyun menurunkannya dari gendongan.

Percakapan antara Kyuhyun dengan sang jenderal masih berlangsung, keduanya mengamati sebuah data yang baru dicetak oleh komputer. Daftar pekerja ITODA, Kyuhyun memaksa otaknya kembali mengingat identitas yang tertera pada kertas itu. Agak sulit, empat tahun berlalu dan ternyata para pembangkang masih punya kaki tangan untuk balas dendam. "Kami akan mencari pelakunya segera."

"Ya, lebih baik begitu. Aku tidak ingin ada bahaya lagi di masa mendatang karena hal yang serupa." Kyuhyun meletakkan kertas itu ke atas meja, mengangguk setuju dengan ucapan si jenderal.

"Mari ikut dengaku. Ada hal yang ingin kutunjukkan. Mungkin Anda bisa melacak pencurinya." Jenderal mengendik ke arah ruangan kaca yang tadi dilihat oleh Minsoo. Itu adalah tempat terlarang yang pintunya disegel rapat.

Kyuhyun mengangguk, pandangannya mengarah ke bawah. "Minsoo-ya, ayo i—" ucapannya terhenti manakala sadar jika sosok mungil setinggi satu meter tak genap—tidak ada di dekatnya.

"Di mana dia?" Kepanikan melanda, Kyuhyun melepas maskernya lalu merangkak di lantai. Kolong meja dilihat satu-persatu, pikirnya Minsoo pasti bersembunyi di bawah meja.

Kepanikan makin menjadi tatkala sosok mungil tidak juga dilihat. Banyak sekali mesin serta senjata, Kyuhyun hanya khawatir jika rasa penasaran Minsoo membuat anak itu ceroboh dan nekad menjajal senjata. "Minsoo? Minsoo? Kau di mana?" beberapa prajurit saling menatap, mereka ikut bingung karena mendengar racauan Kyuhyun yang masih merangkak ke sana-sini. Sedari tadi mereka hanya memusatkan perhatian pada layar monitor yang menampakkan data-data militer, sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang diserukan oleh pemuda bernama Marcus Kim.

"Kalian melihat anakku? Tingginya sebatas ini, matanya bulat dan dia tampan." Kyuhyun tak lebih baik dalam menjelaskan ciri fisik, pikirannya terlanjut kalut dan itu adalah deskripsi paling singkat yang cukup membantu karena tidak ada anak kecil di markas.

Seorang prajurit datang dengan raut panik. "Tuan Marcus. Anak Anda masuk ke laboratorium bawah tanah!"

Kyuhyun membelalak, segera berlari cepat menuju laboratorium yang dimaksud. Pikirannya bergerak liar, bagaimana bisa Minsoo masuk ke sana? Ada banyak kode yang harus ditekan hanya untuk masuk ke ruangan berbahaya itu.

DOR!

DOR!

Dua tembakan terdengar disusul dengan bunyi kaca yang pecah. Pikiran panik berubah menjadi ketakutan luar biasa, Kyuhyun membuka pintu dengan tangan yang gemetar. Langkahnya tergesa melewati selasar yang sepi untuk sampai ke bagian tengah laboratorium.

"MINSOO!" Di pojok ruangan terlihat anak kecil yang berdiri di atas meja sambil membawa pisau yang ditodongkan pada pria berseragam hitam.

"BUNYIKAN ALARM! SERANGAN TERJADI DI DALAM MARKAS!" Seruan jenderal terdengar dari arah luar laboratorium, alarm pun berbunyi nyaring dan Kyuhyun merasa jika dia sedang menghadapi situasi paling buruk selama eksistensi hidupnya.

Minsoo kecil menodongkan pisau, melompat ke sisi lain meja lalu turun dan merangkak. Pria berseragam hitam itu mencoba menangkap tapi selalu gagal. Di tangan yang lain, Minsoo membawa sesuatu—botol mungil dengan cairan berwarna biru muda.

"Kau jahat! Pergi!" suara kecil itu tercekat, Kyuhyun mengepalkan tangan dan memberanikan diri untuk mengambil senjata yang ada di dekatnya. Pintol tak cukup membantu jika lawan juga menggunakan senjata yang lebih baik. Jarak tembaknya terbatas, senjata laras panjang tidak ada dan Kyuhyun tak mau beranjak hanya untuk mengambil senjata laras panjang.

Si pria merobohkan almari kaca, cairan kimia menggenang dan bercampur menjadi satu di lantai. Kyuhyun melihat keramik yang rusak, beberapa cairan kimia bisa menghancurkan kulit serta mengganggu pernapasan bila menguap.

"A-appa. Uhuk." Minsoo terbatuk, meringkuk di sudut celah meja dan almari kaca lain yang juga menyimpan banyak zat berbahaya.

Panggilan lirih Minsoo membuat pria itu mengalihkan pandangan, tepat di pintu masuk tampaklah sosok yang tengah berdiri kaku dengan tatapan tajam yang penuh sorot kekhawatiran. "Senang melihat anda lagi Mr. Marcus. Dan saya sangat terkejut mengetahui anda punya anak. Lucu sekali dan cerdik, ia bahkan tahu saya menyusup ke sini."

Minsoo ditarik paksa, digendong dan dicengkeram dengan kuat. Pekik tertahan terdengar menyakitkan, Kyuhyun geram namun masih mengendalikan tangannya agar tidak menembak di depan Minsoo.

"Hei, kendalikan senjatamu!" Kyuhyun melotot saat pria misterius itu menodongkan pistol tepat di pelipis Minsoo.

Masker dan topi membuat si pria merasa aman karena wajahnya tak terdeteksi. Kamera CCTV telah dilumpuhkan, mengacaukan sistim keamanan dengan membobol sandi lalu mengubahnya sedikit adalah hal yang biasa. "Sayang sekali. Si kecil harus diberi peringatan jika ikut campur urusan orang dewasa adalah kesalahan besar."

"Sial! Ck." Kyuhyun melangkah maju, ia tidak memakai rompi anti peluru dan ini bisa dibilang sebagai aksi bunuh diri.

Dor!

Satu kali tembakan terdengar, si pria tertawa nyaring sambil mengangkat Minsoo tinggi-tinggi.

"Appa! Akh." Si kecil merintih kesakitan, tangannya berusaha menggapai apa pun untuk pegangan.

Amarah memuncak, Kyuhyun mengarahkan senjatanya ke arah si pria. "Berhenti membuatnya takut. Kau membuat anakku tertekan." Gertakannya mungkin tidak berhasil namun diam saja juga bukan hal yang baik. Beberapa prajurit mulai masuk ke laboratorium, berdiri di belakang Kyuhyun. Mereka mencoba menyebar dan mengepung si pria berseragam hitam, tapi sulit. Laboratorium di sayap kiri markas hanya memiliki satu pintu.

"Manis sekali. Momen ayah dan anak yang saling melindungi." Pria itu berjalan menuju almari yang tadi dijatuhkan, cairan kimia yang menggenang adalah tempat baik untuk sebuah penyiksaan secara perlahan.

Kyuhyun melangkah maju, namun gerakannya terhenti ketika melihat sebuah spuit dikeluarkan dari balik jaket pria itu. "Lepaskan anakku!"

"Satu suntikan saja, maka saya akan melepaskannya."

"Hey, apa yang kau lakukan."

Pria itu menurunkan Minsoo ke atas meja, mencengkeram lengannya dengan kuat hingga Minsoo merintih kesakitan. Tetesan air mata sudah mengaliri pipi, Minsoo yang ketakutan hanya berpikir cara untuk kabur dengan beringsut mundur. "Ini adalah sampel uji coba yang belum pernah diinjeksikan pada manusia. Anak ini sangat sehat, ia akan menjadi kelinci percobaan yang sempurna."

"Hiks, appa!" Minsoo memberontak ketika ditarik paksa, dipaksa terlentang lalu jaketnya dirobek pada sisi lengan.

Kyuhyun maju, mendorong meja yang menghalangi langkahnya. "Minsoo-ya."

Semua gerakan seolah melambat, Minsoo yang menangis dan memberontak menjadi pusat perhatian Kyuhyun. Kaki jenjang itu melompat lalu menendang keras punggung si pria berbaju hitam.

Duagh!

Minsoo diraih dengan cepat, didekap dalam rengkuhan nyaman.

"SIAL!" umpatan si pria terdengar. Kyuhyun mengarahkan pistolnya setelah membenamkan wajah Minsoo bahunya.

DOR!

"Untuk apa yang kau lakukan terhadap anakku."

DOR!

"Karena kau membuat kesabaranku habis."

Tubuh pria itu tergeletak, darah mengucur dari perut dan kakinya. Kyuhyun masih sadar jika membunuh tersangka hanya akan melenyapkan bukti tentang anggota ITODA lain yang mungkin saja masih berkeliaran bebas.

Kyuhyun menurunkan senjatanya, perhatian sepenuhnya kini tertuju pada Minsoo yang memeluknya erat.

Dor!

"Ugghh. Appa." Si kecil tersentak lalu memejamkan mata rapat-rapat, liquid bening kembali meluncur di pipi.

"Minsoo!" Kyuhyun panik, darah mengalir dari kaki mungil yang berbalut kaos kaki putih.

Pasukan segera mengepung si pria, satu prajurit mengambil alih Minsoo untuk dibawa ke ambulans. Kyuhyun mengikuti si prajurit, berlari melewati selasar markas yang penuh senjata.

Rumah sakit tampak lenggang, Kyuhyun duduk di ruang tunggu bersama kedua kakak serta appa-nya. Ruang operasi masih belum terbuka, beberapa dokter masuk tapi tidak ada yang keluar untuk sekadar memberi kabar.

Telapak tangan Kyuhyun masih ternoda oleh darah yang bahkan belum kering sepenuhnya. Itu darah Minsoo, sangat banyak hingga Kyuhyun merasa kepalanya pening melihatnya. Rintihan dan tangis terekam jelas dalam benak, Kyuhyun tak tahu apakah Minsoo baik-baik saja. Di laboratorium juga ada insiden pecahnya puluhan botol berisi cairan kimia. Entah apa saja yang tersimpan di almari tersebut, Kyuhyun berharap tidak ada zat berbahaya yang terhurup lalu merusak pernapasan Minsoo.

"Beruntung tembakan itu tidak terlalu dalam," kata dokter yang baru keluar dari ruangan.

Kyuhyun lekas berdiri, menghampiri dokter tersebut sambil menatap penuh harap jika tak akan ada kabar buruk lagi. "Apa ia benar-benar baik?"

"Pasien hanya butuh istirahat banyak karena tulangnya sedikit retak. Peluru berhasil mengenai tulang tapi untungnya tidak tembus." Penjelasan tersebut membuat Kyuhyun bergidik ngeri, membayangkan betapa sakitnya ketika timah panas menusuk kaki lalu meretakkan tulang yang masih dalam tahap pertumbuhan.

Jongwoon menghampiri dokter itu, membicarakan keadaan Minsoo dengan lebih detail. Kibum menarik lengan Kyuhyun yang membeku dengan tatapan kosong, menyeret adiknya agar mengikuti brangkar yang didorong oleh perawat. Minsoo terlihat baik, seperti sedang tidur pulas meski wajahnya agak pucat.

Ruang VIP untuk anak-anak. Dinding penuh corak gambar kartun, tirai polkadot, lalu ada TV serta kulkas mini. Sofa panjang di sudut ruangan, lampu dengan kap berbentuk angry bird. Kyuhyun segera duduk di kursi samping ranjang ketika Minsoo sudah dipindahkan dan perawat melenggang pergi.

"Pasti rasanya sakit." Kyuhyun menatap nanar kaki mungil yang tak akan bisa bergerak untuk beberapa waktu. Anak kecil yang masih dalam tahap pertumbuhan, semoga saja cepat pulih.

Heechul masuk ke kamar rawat, meletakkan ransel berisi pakaian Kyuhyun lalu mendorong bahu adiknya itu. Donghae pun datang tak lama setelahnya—menepuk pundak Kyuhyun—menyerahkan kantung plastik berisi perlengkapan mandi. "Bersihkan dirimu. Pria itu sudah ditangkap. Polisi memastikan ruang tahanan terbaik untuk mengurung si biang onar itu."

Meski enggan, Kyuhyun akhirnya melangkah menuju kamar mandi. Tangannya memang kotor, bajunya juga, terlebih lagi dengan wajah yang kusut karena rasa letih berlebihan.

Lima belas menit berlalu dan Kyuhyun sudah selesai membersihkan diri, memilih duduk di sisi Minsoo—sambil mengusap pelan lengan mungil yang pucat. Empat kepala duduk di sofa, memandangi Kyuhyun yang mirip pria baru saja dicampakkan dan ditinggal kekasih, tidak ada tenaga sama sekali.

"Minsoo akan mengalami trauma. Ini salahku." Ucapan Kyuhyun yang lirih terdengar jelas, Donghae menghela napas dan bangkit lalu menghampiri Kyuhyun—menepuk bahu yang tampak rapuh. Donghae mungkin juga akan melakukan hal yang sama, meratapi kesalahan dan mengumpati kelalaiannya.

Jongwoon meletakkan koran yang sejak tadi dibacanya, menghampiri si anak bungsu yang masih hanyut dalam rasa kalut. "Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Minsoo baik, kejadian barusan tidak akan membuatnya trauma. Dia bocah yang tangguh dan tak mudah takut."

"Kalian tidak tahu mimik wajah ketakutan Minsoo saat orang itu menodongkan pistol tepat ke pelipis." Napas Kyuhyun memburu, emosinya tidak stabil. Bayangan ketika si kecil Minsoo berteriak memanggilnya adalah hal paling mengerikan. Kyuhyun seolah melihat kematian siap menyambut.

"Kami memang tidak tahu. Maka dari itu, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana cara untuk membuat Minsoo kembali nyaman." Tidak ada kalimat lain yang Jongwoon pikir bisa menenangkan hati. Semua juga sama sedihnya, menyayangkan keadaan Minsoo yang mungkin akan mengalami trauma setelah sadar.

Kepala menggeleng berulang kali, Kyuhyun menatap nyalang ke arah jendela—seolah si pria misterius itu ada di sana. "Tidak. Ini salahku."

Bugh!

Bugh!

Dua pukulan menghantam telak ke wajah Kyuhyun hingga pria itu tersungkur ke lantai. Kim Heechul berdecih, menarik kerah kemeja adiknya yang lalu melayangkan satu lagi pukulan ke rahang. Sudut bibir berdarah, Kyuhyun merasakan rahangnya ngilu luar biasa.

"Kau ini harusnya berpikir ulang sebelum mengajaknya. Bukankah ada aku dan Kibum yang bisa kau hubungi? Lain kali bijaklah." Heechul menyentak kasar Kyuhyun. Membiarkan tubuh terjerembap di lantai yang dingin.

Senyum puas tercetak, Heechul melipat tangan di depan dada. "Nah, aku sudah menghajarmu. Apa kau masih mau menggumam kata-kata sesal itu?" Ia bersiap memberikan tendangan andai Kyuhyun masih tidak berhenti menyalahkan diri sendiri.

"Gomawo, Hyung." Kyuhyun bangkit, menghampiri sofa lalu merebahkan tubuh yang terasa sangat lelah. Pukulan Heechul luar biasa keras, mungkin besok pagi akan ada memar kebiruan di wajahnya.

Dini hari pukul lima, Minsoo membuka matanya yang terasa berat. Gelap dan hanya ada cahaya temaram dari lampu lucu di atas nakas. Tanda tanya besar di kepala, indra penciuman menangkap aroma tak biasa. Kasur yang agak keras, lalu sebelah kaki serta tangan yang kaku saat digerakkan.

"Appa," panggil Minsoo lirih. Tidak ada respons, rasa takut mulai menyergap hingga membuat tubuhnya gemetar hebat.

Tangan mungil mencoba menggapai nakas, saat cahaya menerangi punggung tangannya, Minsoo melihat selang dan jarum yang menusuk. Tangisan siap meledak, Minsoo mencoba bangun lalu meraba kakinya yang terasa sangat berat.

"APPA!"

Di sofa, Kyuhyun tersentak hingga nyaris terjungkal ke lantai. Pergerakan dari ranjang pesakitan membuatnya sigap berlari menghampiri, "Minsoo-ya, mana yang sakit?"

"Kaki. Hiks." Tangisan meledak, Minsoo mengulurkan tangan berharap appa-nya bersedia menggendong. Lampu utama dinyalakan, Kyuhyun merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapannya yang hangat. "Tidurlah, tidak apa-apa. Appa ada di sini." Tepukan pelan di punggung, Kyuhyun merasakan kelegaan yang nyata ketika melihat Minsoo sudah sadar. Tangisan perlahan mereda, kepala terkulai dan napas yang teratur menandakan si kecil sudah jatuh tertidur.

Kyuhyun memutuskan naik ke tempat tidur, bersandar sambil memangku Minsoo yang terlelap. Sesekali bersenandung pelan, berharap si kecil tidak bermimpi buruk atau memimpikan kejadian di markas. Matahari mulai terbit, pagi yang cerah di musim dingin. Kyuhyun menghela napas panjang, ia berharap ini adalah terakhir kalinya mendapat kabar demikian. Semoga Minsoo bisa tumbuh tanpa ada bahaya yang mengintai, ia juga merindukan kehidupan damai tanpa bayang-bayang penyerangan dadakan.

"Kita akan baik-baik saja, aku berjanji."

FIN

.

.

.

:"D aduh, gimana ini? Udah pas kan?

Semoga ini cukup untuk membayar rasa kurang puas di chapter 12 kemarin.

Krystal mau ngucapin banyak terima kasih buat reader yang udah setia baca, like, ngereview, dan nggak copas karyaku yang receh ini. /\

Banyak kekurangan di banyak sisi, aku sadar masih butuh belajar biar bisa menghasilkan karya yang baik.

Oh. Nyaris lupa. Krystal juga ada akun wattpad dan wordpress loh. ^^

Isinya belum lengkap sih. Tapi ada rencana kalau di wattpad akan publish suatu fiksi yang terdiri dari OC buatanku sendiri. Mampir ya~

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian~

Thank you.