Chapter 8 : Naruto Cemburu?

Disclaimer : Naruto BUKAN punya saya. Kalau punya saya, Naruto bakal banyak adegan mesranya :V

.

GHOST © Vandalism27

.

Warning : BOYS LOVE, OOC (PARAH), Gaje tingkat tinggi, alur gak jelas, dan sederet kecacatan lainnya. Kalau ada yang tidak suka dengan YAOI, tolong klik 'back'.

.

RATE M! BUKAN BACAAN BOCAH INGUSAN!

.

Sinopsis:

Niat hati berteduh untuk menyelamatkan kameranya dari hujan yang turun dengan deras. Siapa sangka, sesuatu malah mengikutinya.

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

Minato bersandar pada sandaran sofa sambil menghela napas. Baru saja salah satu anak buahnya menghubunginya, mengabarkan tentang perkembangan proyek yang sedang ia tangani.

Keheningan melingkupi ruangan kerja pria bermarga Namikaze itu. Pria itu bahkan mengabaikan Kakashi yang sedang duduk dihadapannya. Padahal sebelumnya, mereka sedang membahas tentang Uzumaki Naruto.

"Jadi, kapan Anda akan menemui Naruto-sama?" Kakashi bertanya, memecah keheningan di ruangan itu. "Saya akan mengatur jadwal untuk Anda."

"Hmmm …," Minato menggumam. Kening pria berambut pirang itu berkerut. "Mungkin nanti, setelah aku kembali dari luar kota. Inginnya sih, sekarang juga, tapi pekerjaanku sedang tidak bisa ditunda."

Kakashi mengangguk paham. Bosnya ini memang super sibuk dan lumayan susah untuk ditemui jika tidak membuat janji terlebih dahulu. "Baiklah, saya mengerti. Saya akan mengatur semuanya agar Anda bisa bertemu dengan Naruto-sama tanpa gangguan."

"Terima kasih, Kakashi-kun," Minato berterima kasih dengan tulus. Jika bukan karena bantuan Kakashi dan seorang mata-mata yang ia sewa untuk menyelidiki Naruto, ia tak akan pernah bisa menemukan anaknya.

"Terima kasih kembali," jawab Kakashi.

Tatapan Minato mengarah ke jendela kantornya. "Kau tahu, Kakashi-kun? Naruto adalah anakku bersama seorang wanita yang sangat aku cintai ketika aku masih muda. Namanya Uzumaki Kushina," tiba-tiba, Minato bercerita. Kakashi pasang telinga. Sebenarnya ia tak suka dicurhati, tetapi pengecualian untuk sang bos. "Menurut mata-mata yang aku sewa, ibuku sempat mengincar Naruto juga, tetapi Kushina bergerak cepat dengan menitipkan Naruto di panti asuhan milik kerabatnya, sehingga ibuku kehilangan jejak Naruto. Sayang sekali, Kushina tewas oleh suruhan ibuku yang sengaja menabrakkan mobilnya saat Kushina menyeberang jalan."

Kakashi menatap wajah Minato. Ekspresi pria itu terlihat sedih. Kakashi yang tidak punya pengalaman dalam hal curhat-curhatan, memilih diam. Dia tak ingin salah bicara dan membuat bosnya semakin galau.

"Seorang nenek bernama Chiyo, merawat Naruto di panti asuhan itu. Sayang sekali, nenek itu sudah wafat. Sepeninggal nenek itu, Naruto diadopsi oleh Tsunade, lalu tumbuh dalam didikan keluarga Senju. Untunglah, mereka tidak mengganti marga Naruto."

Kakashi berdehem sekali. "Ah, begitu rupanya," jawab Kakashi, setelah memastikan sang bos sudah selesai curhat. "Lalu, apa yang akan Anda lakukan setelah bertemu dengan Naruto-sama?"

"Entahlah," Minato menghela napasnya yang terasa berat. "Aku hanya berharap Naruto mau menerimaku. Mau menerima seorang ayah yang bahkan tidak bisa melindungi dia dan ibunya."

"Tentu saja mau, Minato-sama. Berdasarkan hasil pengamatan, Naruto-sama adalah anak yang baik," meskipun dia sedikit nakal dan kurang ajar, tambah Kakashi dalam hati.

"Aku juga berharap begitu, Kakashi-kun."

Minato kembali menghela napas. Kemudian, ia mengeluarkan dompetnya. Pria itu menarik sebuah foto yang terlihat usang, tersimpan dengan aman di dalam dompet yang selalu dibawanya kemana pun ia pergi.

Foto itu adalah foto dirinya ketika masih muda, bersama seorang gadis cantik berambut merah. Minato mengelus foto itu dengan sayang. "Akhirnya aku berhasil menemukan anak kita, Kushina," gumam Minato.

.

.

.

Naruto menutup lensa kamera yang baru selesai dipakai untuk sesi pemotretan seorang model terkenal. Sudah satu minggu berlalu sejak ia mulai masuk kerja, setelah cuti panjangnya berakhir. Sambil meletakkan kamera di tempatnya, Naruto menghela napas panjang.

"Kau kenapa?" tanya Kiba, rekan kerja Naruto.

"Aku kangen pacarku," jawab Naruto.

Kiba menoleh cepat, terkejut setengah mati mendengar ucapan Naruto. "Pacar? Sejak kapan kau punya pacar? Setahuku, kau itu jomblo permanen–aduh!" Kiba mengaduh ketika Naruto memukul kepalanya.

"Aku ini tampan, wajar saja kalau punya pacar!"

"Apanya yang tampan? Akamaru saja tidak sudi dekat-dekat denganmu!" balas Kiba. Akamaru adalah nama anjing peliharaan Kiba, yang selalu mendengking ketakutan setiap melihat wajah Naruto.

"Sialan, kau!" umpat Naruto. Kiba adalah temannya sejak SMP, mereka sudah terbiasa saling ejek dan saling mengumpat. "Ne, Kiba, apa kau lapar?"

"Lapar, dong. Tadi pagi tidak sempat sarapan."

"Ih, kau pasti mimpi basah, ya, jadi sibuk mencuci celana sampai tak sempat sarapan!" Ledek Naruto.

Kiba menendang bokong Naruto. "Sialan, kau!" umpatnya. "Memang kenapa kalau aku belum makan? Kau mau mentraktirku?"

"Ayo kita makan ramen, aku yang traktir."

"Wah, tumben kau baik hati."

Naruto tergelak. "Aku kan memang berhati seperti malaikat!"

Kedua sahabat baik itu berjalan beriringan, menuju ke restoran ramen yang ada di depan kantor. Naruto memilih duduk di sisi jendala, agar bisa menikmati ramen sambil melihat pemandangan orang berlalu-lalang. Hm, selera yang aneh.

"Naruto, kau ingat Tamaki?" Kiba bertanya saat pesanan ramen mereka datang.

Kening Naruto berkerut, mencoba mengingat-ingat. "Tamaki? Apa itu?"

"Bukan apa, tapi siapa, bodoh! Tamaki itu gadis yang aku taksir saat SMA. Dia teman sekelas kita, masa kau lupa!"

"Oh, yang itu," sahut Naruto sambil menyeruput ramennya.

"Kau ingat?"

"Tidak."

Kiba mendecakkan lidahnya kesal. "Kau ini!" Kiba merogoh sakunya, mengambil ponsel lalu menunjukkan foto seorang gadis cantik berambut cokelat. "Yang ini. Masa kau lupa? Wajahmu pernah dicakar kucingnya Tamaki, lalu kau meratapi luka di wajahmu selama satu minggu penuh."

Mata biru Naruto membulat terkejut. Dia ingat sekarang. "Oh, Neko-chan? Jadi namanya Tamaki?"

"Kau baru tahu namanya sekarang? Kau ini benar-benar keajaiban dunia!"

"Aku selalu memanggilnya Neko-chan, jadi lupa nama aslinya," jawab Naruto, sambil cengengesan tidak jelas. Dia ingat sekarang, Tamaki adalah seorang gadis pecinta kucing yang cantik tetapi sedikit galak, dan anehnya Kiba malah jatuh cinta padanya. Naruto jadi curiga, jangan-jangan Kiba seorang masokis?

Naruto kembali menyeruput kuah ramen yang sangat nikmat. Mie yang kenyal, ditambah kuah ramen yang lezat dan pedas, benar-benar sempurna. Uh-oh, author ikut lapar.

"Beberapa hari yang lalu, Tamaki menghubungiku, dia ingin mengajak teman-teman sekelas untuk reuni. Dia memintaku untuk memberitahumu, katanya dia tidak punya kontakmu."

"Kapan?

"Besok malam, di restoran dekat sekolah. Tamaki bilang, teman-teman ingin mengenang masa lalu."

"Dan kau ingin mengenang cinta monyetmu yang berakhir tragis," ledek Naruto. Seingatnya, Tamaki yang dipuja-puja oleh Kiba malah berpacaran dengan Shino, teman sekelas Naruto yang pendiam dan misterius.

Kiba cemberut ketika Naruto tertawa terbahak-bahak. "Katai aku semaumu! Akan aku buktikan aku bisa punya pacar yang lebih baik dari Tamaki!" gerutu Kiba. "Memang sehebat apa pacarmu, hah? Kerja di mana dia?"

"Dia seorang CEO."

Kiba melotot. "Tante-tante?"

"Bukan, setan!" Sembur Naruto. "Jangan mengatakannya pada siapa-siapa, ya. Pacarku adalah …," Naruto menggantung kalimatnya. Ia mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik pelan. "Uchiha Sasuke."

Gerakan mengunyah Kiba terhenti. Dia menatap Naruto seolah ada tanduk tumbuh di kepala pirang itu. "Kau bercanda, kan?"

"No, no. Aku serius," kata Naruto sok Inggris.

Kiba kembali menyeruput ramennya, berusaha mengabaikan bualan Naruto yang kali ini agak kelewatan. "Makan ramenmu, dan jangan berimajinasi yang aneh-aneh. Makanya, sebelum tidur banyak-banyak berdoa, agar imajinasimu tidak sampai kemana-mana."

"Aku tidak mengada-ngada!" Naruto bersikeras, tidak terima dituduh berbohong. "Aku akan mengajak Sasuke ke reuni sekolah, akan aku tunjukkan kalau aku mengenalnya!"

Kiba menatap Naruto dengan pandangan meremehkan. "Hmm, ya bawa saja dia kalau kau bias," katanya sambil tetap mengunyah ramen.

"Oke, akan aku buktikan!"

"Aku baru tahu kau suka laki-laki. Kau homo?"

"Bukan," jawab Naruto spontan.

"Lalu?" Kening Kiba berkerut. "Kalau bukan homo, apa namanya?"

Naruto mengendikkan bahunya. "Aku tidak tahu, yang jelas aku hanya suka pada Sasuke," Naruto senyum-senyum sendiri seperti remaja yang sedang kasmaran. "Dia tampan dan sempurna, aku merasa beruntung punya pacar seperti dia."

Kiba menatap Naruto dengan tatapan sedih. Kasihan, Naruto pasti frustasi berat karena jomblo menahun. Sampai-sampai dia berimajinasi punya pacar sekeren dan setampan Uchiha Sasuke.

Kalau Kiba tidak salah, Uchiha Sasuke adalah cucu kesayangan Uchiha Madara, orang nomor satu di negara mereka. Dan seingatnya, Uchiha Sasuke sering menjuarai perlombaan di bidang sains. Dia juga bersekolah di sekolah bertaraf internasional.

Masa iya, Naruto kenal dengan Sasuke? Naruto yang tampangnya biasa-biasa saja meskipun bentuk tubuhnya bikin Kiba iri setengah mati, berpacaran dengan Uchiha Sasuke yang sempurna bak dewa dari kahyangan?

Sepertinya obat Naruto habis.

.

.

.

Naruto duduk di sebelah Sasuke yang sedang sibuk dengan laptop dan berbagai tumpukan kertas yang tidak Naruto pahami. Pemuda berambut pirang itu menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sandaran sofa, sesekali mengecek game di ponselnya untuk memberi makan ayam dan sapi

"Sasuke," panggil Naruto, merasa diabaikan terlalu lama oleh kekasihnya. "Sasukeee," Naruto kembali memanggil ketika tak ada jawaban.

"Hn," jawab Sasuke pada akhirnya.

Naruto menggembungkan pipinya kesal. Kekasihnya ini memang tidak bisa diganggu ketika sedang serius bekerja. Padahal mereka sedang berada di apartemen milik Sasuke, bukan di kantor. Harapan Naruto untuk ena-ena terancam gagal.

"Kenapa kau memandangi laptopmu terus? Pacarmu itu aku, bukan laptop jelek itu!" Rajuk Naruto.

"Hn," Sasuke kembali menjawab dengan gumaman.

Naruto kesal, dia merebut laptop yang ada di pangkuan Sasuke lalu meletakkannya di atas meja.

"Hei!" Protes Sasuke. "Apa yang kau lakukan?! Pekerjaanku belum selesai!"

Naruto tidak menggubris protesan itu. Ia malah mencium bibir Sasuke dengan ganas. Sasuke yang awalnya berontak, mulai luluh dalam permainan lidah Naruto. Bunyi decapan memenuhi ruang tamu apartemen mewah itu. Lidah mereka saling mencecap, menghisap dan membelit, seolah berebut dominasi.

Selang satu menit kemudian, Naruto melepaskan ciumannya, lalu mengecup ringan bibir Sasuke yang tampak berkilat. "Jangan abaikan aku," kata Naruto.

Sasuke terkesiap ketika menyadari Naruto ada di atas tubuhnya. Sejak kapan posisinya berubah menjadi terlentang di atas sofa begini? "A-aku sedang memeriksa laporan karyawanku, Dobe," jawab Sasuke sedikit terbata-bata. "Menyingkirlah."

"Tidak mau," Naruto menindih Sasuke, lalu memeluknya dengan erat. "Aku datang kemari bukan untuk menjadi penghangat sofamu. Lagi pula sekarang ini sudah bukan jam kerja, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu besok pagi."

Sasuke menghela napasnya yang terasa berat. "Baiklah, baiklah," jawabnya, berusaha mengalah. "Jadi, kau ingin aku melakukan apa?"

"Hmmm," Naruto membenarkan posisi mereka agar lebih nyaman. Untung saja sofa itu muat untuk menampung mereka berdua. "Apakah besok kau ada waktu?"

"Besok? Memangnya ada apa?"

"Teman-teman sekelasku saat SMA mengajak untuk berkumpul, dan aku berkata pada salah satu temanku akan membawamu."

"Untuk apa mengajakku?"

"Kau kan pacarku!"

Sasuke berdecak, dia tidak suka berkumpul dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. "Tidak. Aku tidak mau."

"Kenapaaaa?" rengek Naruto. "Ayolah, ikut saja, tidak apa-apa."

"Aku tidak bisa, Dobe, besok ada tamu penting dari luar negeri, dan kakek menyuruhku untuk menemani mereka."

"Tamu? Siapa?"

"Aku sebutkan namanya juga kau tidak kenal," jawab Sasuke. Tanpa sadar, pemuda itu menyamankan tubuhnya di dalam pelukan hangat Naruto. "Kau sudah makan?"

"Belum,"

"Mau makan di luar?"

"Hmm," jawab Naruto, sedikit tidak bersemangat.

Senyum tipis hadir di bibir sang Uchiha. "Kau merajuk? Ayolah, jangan seperti anak kecil."

Naruto tidak menjawab, dia semakin memajukan bibir bawahnya. "Cium dulu!" kata Naruto.

"Tutup matamu."

Naruto menutup matanya, lalu ketika ia merasakan bibir Sasuke menyentuh bibirnya, senyum Naruto melebar. Apalagi ketika ia membuka mata, lalu melihat pemandangan langka berupa wajah Sasuke yang sedikit memerah karena malu. Senyum itu berubah menjadi seringai jahil.

"Kau malu, Teme?"

"Diam kau!"

Naruto tertawa, lalu balas mencium bibir Sasuke dengan gemas. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju ke restaurant favorit mereka yang ada di dekat apartemen Sasuke.

Naruto memang sedikit sedih karena Sasuke menolak ajakannya. Tapi tidak apa-apa, Sasuke memang sibuk dan dia tidak bisa seenaknya merubah jadwal orang lain. Naruto akan berusaha menjadi pacar yang pengertian.

Besok, kalau Kiba berani berkata macam-macam, dia akan menyumpal mulut sahabat menyebalkannya itu pakai kaus kakinya yang belum di cuci selama satu minggu!

.

.

.

Naruto duduk diam sambil mengerucutkan bibirnya. Dia sebal, sedari tadi Kiba menghinanya jomblo ngenes, jomblo karatan, jomblo perak, dan lainnya.

Ini semua gara-gara Sasuke tidak bisa ikut dengannya. Kiba menuduhnya berkhayal yang tidak-tidak.

Naruto melirik Kiba yang duduk di sebelahnya. Kiba menyeruput minumannya dalam diam sambil memandang Tamaki yang sedang duduk bersebelahan dengan Shino. Mereka sudah menikah dan sudah dikaruniai satu buah hati berumur tujuh bulan.

Yang satu ditinggal kerja, yang satu ditinggal nikah. Sempurna.

Naruto sangat ingin balas menghina Kiba, tapi ketika ia melihat tampang Kiba yang seperti anak hilang, Naruto tak sampai hati. Beginikah nasib kawannya? Naruto merasa bersalah, tak seharusnya Naruto pamer tentang hubungannya dengan Sasuke pada Kiba.

"Kiba, kau baik-baik saja?" bisik Naruto.

"Tidak," Kiba menjawab sambil menggigiti sedotannya. "Hatiku panas."

"Sabar, sabar," Naruto mengelus punggung Kiba, merasa kasihan pada sahabatnya itu. Dia tak menyangka Kiba masih menaruh hatinya pada Tamaki. Pantas saja dia tak punya pacar sampai sekarang. "Kau mau pergi dari sini? Kita bisa minum di tempat lain."

Kiba mengangguk, menyetujui usul Naruto.

Akhirnya, mereka berdua pamit undur diri lebih awal. Naruto beralasan anjing peliharaan ibunya baru saja melahirkan, jadi Naruto ingin selalu ada di sisinya. Sedangkan Kiba beralasan ayahnya sakit, padahal ayahnya sudah meninggal bahkan sejak Kiba masih kecil.

Dua orang yang selalu kompak itu pun pergi menuju ke kedai favorit mereka untuk menghabiskan sisa malam. Naruto tak sampai hati meninggalkan Kiba yang sedang patah hati seorang diri.

Dalam perjalanan menuju ke kedai, Naruto menghentikan langkahnya ketika ia melihat seseorang yang tampak familiar.

Di seberang sana, ada seorang pria berambut hitam sedang berdiri di depan sebuah hotel mewah, disebelahnya ada seorang gadis cantik berambut pirang yang digelung tinggi. Gadis itu menggamit lengan pria berambut hitam itu dengan mesra.

Hati Naruto mendadak panas. Pria itu, adalah Uchiha Sasuke.

Siapa gadis berambut pirang itu? Apakah Sasuke selingkuh? Masa sih, Sasuke tega menyelingkuhinya?

"Kau baik-baik saja, Naruto?" tanya Kiba. Pemuda itu mengernyit heran ketika dilihatnya Naruto diam saja sambil menatap hotel mewah diseberang sana. "Apa yang kau lihat?"

Naruto tak menjawab. Mata biru itu menyorot tajam. Rahangnya mengatup rapat ketika dilihatnya Sasuke memasuki hotel mewah itu sambil bergandengan tangan.

"Sial!" teriak Naruto, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Kiba yang berdiri sambil kebingungan.

.

.

.

Hari minggu pagi yang cerah. Cuaca cukup bersahabat, langit biru membentang dengan sedikit awan, tanda tak akan turun hujan dalam waktu dekat. Sesuai dengan prakiraan cuaca yang diumumkan di berita kemarin sore.

Ting tong, ting tong.

Terdengar suara bel dari salah satu apartemen yang terletak di pinggir kota. Seorang pemuda berpakaian casual sedang menunggu di depan pintu berwarna putih gading itu sambil bersedekap.

Ting tong, ting tong.

Ia kembali menekan bel karena sang penghuni apartemen tak kunjung membukakan pintu.

"Kemana si Dobe itu?" gumam pemuda itu.

Ketika tangannya terangkat untuk menekan tombol bel yang ketiga kalinya, pintu itu mendadak terbuka. Pemuda itu menahan napas ketika sang penghuni apartemen membuka pintu hanya dengan selembar handuk putih yang menutupi bagian bawah tubuhnya, sementara bagian atas tubuhnya yang terbentuk sempurna, tak tertutupi sehelai benangpun.

"Oh, Sasuke. Aku pikir siapa," sapa sang pemilik apartemen. "Masuklah."

Sasuke, yang sempat bengong di depan pintu karena disuguhi pemandangan menyilaukan itu segera tersadar. "Oh, ya. Terima kasih. Kenapa kau lama sekali membuka pintu?" tanya Sasuke, sambil berjalan menuju ke sofa.

Naruto menaikkan sebelah alisnya. Ia menunjuk bagian bawah tubuhnya, "Ini apa?"

"Huh?" Sasuke bingung harus menjawab apa. Dia tidak yakin bagian mana yang ditunjuk oleh Naruto. Dia takut salah sebut. "Hmm, handuk?" jawabnya, cari aman. Tidak mungkin dia menyebutkan sesuatu yang tersembunyi di dalam handuk, kan?

"Kalau aku sedang memakai handuk, berarti aku sedang apa?"

"Mandi?"

"Anak pintar."

Sasuke mendecakkan lidahnya ketika ia sadar, Naruto sedang mempermainkannya. "Aku tidak bodoh, Dobe!" pemuda itu menghempaskan bokongnya ke sofa di apartemen itu. "Kenapa kau membuka pintu dengan penampilan seperti itu?"

"Memang kenapa?" jawab Naruto santai, sambil menyerahkan sekaleng kopi dingin pada Sasuke. "Tunggu di sini, aku pakai baju dulu."

Sasuke tak menjawab. Matanya sibuk mengamati punggung Naruto yang terlihat tegap, ketika pemuda berambut pirang itu berbalik menuju ke kamarnya. Otot-otot punggung Naruto tampak kuat dan jujur saja, itu membuat dia iri sekaligus … Plak!

Sasuke menampar pipinya dengan kuat. "Duh, nyaris saja pikiranku kebablasan," gumam Sasuke sepelan-pelannya. Jaga image, sis. Bisa hancur reputasinya kalau sampai orang-orang tahu.

Sasuke meneguk kopinya sambil menunggu Naruto selesai berganti pakaian. Sepuluh menit kemudian, Naruto muncul di ruang tamu dengan memakai kaus warna abu-abu. Pemuda itu duduk di sebelah Sasuke, meraih remote lalu menyalakan televisi untuk menonton berita.

Ada yang aneh. Kenapa dia diam saja? Biasanya, Naruto akan bertanya macam-macam atau berkata yang tidak-tidak pada Sasuke. Bukannya duduk diam sambil fokus pada berita di televisi.

"Kau kenapa?" tanya Sasuke.

"Kenapa apanya?" Naruto balik bertanya. Sasuke menaikkan sebelah alisnya ketika ia mendengar nada bicara Naruto yang sedikit ketus.

"Kau marah?" tebak Sasuke. "Oh, maaf kalau kedatanganku mengganggumu. Seharusnya aku memberitahumu lebih dulu–"

"Bukan itu, bodoh!" Ucapan Sasuke terputus ketika Naruto menyela. "Aku marah bukan karena itu! Dasar tidak peka!"

Kening Sasuke berkerut bingung. "Lalu, kau marah gara-gara apa? Jawab saja lah, tidak usah pakai kode-kodean segala!"

Naruto mematikan televisi, lalu duduk menghadap Sasuke. Tatapan pemuda itu terlihat kesal. "Siapa perempuan yang bersamamu kemarin?" tembaknya.

"Perempuan?" beo Sasuke. "Yang mana?"

"Rambut pirang! Sexy! Cantik! Kalian bergandengan tangan di depan hotel!" sembur Naruto. Pemuda itu mendelik kesal. "Kau selingkuh, ya?!"

"Kau ini bicara apa!" Sasuke mulai emosi. Dia tidak suka dibentak tanpa alasan yang jelas. "Kau ini manusia, bukan granat, jadi bicara dan jelaskan secara baik-baik, jangan asal meledak begini!"

Naruto merebut kaleng kopi yang ada digenggaman Sasuke, lalu meneguknya sampai habis. Kemudian, ia menghela napasnya agar emosinya surut. "Kemarin aku melihatmu bersama seorang wanita cantik berambut pirang, di depan hotel. Kalian bergandengan tangan, lalu masuk ke dalam hotel. Apa yang kalian lakukan di sana, hah? Aku tidak suka!" jelas Naruto.

Sasuke menaikkan kedua alisnya tinggi. "Oh, maksudmu Shion-san?"

"Mana aku tahu dia siapa!"

Sasuke mendengus geli. "Kau cemburu, Dobe?"

Naruto menggembungkan pipinya. "Iya, dong! Kau kan pacarku, jelas saja aku marah kalau aku melihatmu masuk ke hotel bersama seorang gadis cantik."

Sasuke merangkul bahu Naruto, lalu menepuknya pelan. Naruto sedang emosi, kalau dia ikut emosi, kesalahpahaman ini tak akan ada habisnya. "Namanya Shion, dia adalah tamu penting yang aku bicarakan kemarin. Ketika dia menggandengku, aku tidak bisa menolak karena wajahnya sedikit mengingatkan aku padamu, Naruto. Kalian sama-sama berambut pirang. Shion-san berdarah Jepang-Inggris, makanya rambutnya pirang."

"Memangnya wajahku mirip dengannya? Apa wajahku terlihat seperti orang asing?"

Sasuke menatap kedua mata Naruto yang berwarna biru jernih. "Memangnya ada ya, orang Jepang asli yang bermata biru sepertimu?" tanya Sasuke. "Kau tidak sadar ya, wajahmu ini berbeda dari wajah orang Jepang kebanyakan?"

"Iya juga, sih. Kadang-kadang aku penasaran, sebenarnya seperti apa wajah kedua orang tuaku. Apa jangan-jangan aku keturunan orang asing?"

Sasuke mengendikkan bahunya. "Entahlah, aku juga tidak tahu."

"Tapi benar, kan? Kau tidak selingkuh, kan?"

"Ya ampun, harus berapa kali aku menjelaskannya padamu? Aku akan memperkenalkanmu pada Shion-san kalau kau mau!"

Wajah Naruto berubah cerah. Sebenarnya kalau dipikir, tidak mungkin juga Sasuke berselingkuh. Sasuke ini tipe pacar yang setia, bahkan dia setia pada status jomblo-nya yang menahun. Yah, kurang lebih seperti penulis fanfiksi ini.

Naruto mendorong Sasuke sampai pemuda itu terlentang di atas sofa.

"Hei!" protes Sasuke.

Naruto memenjarakan Sasuke di antara lengannya. Mata biru itu menatap lurus ke mata hitam Sasuke. "Aku mencintaimu, Sasuke. Ku harap kau tidak menghianatiku. Dan aku sendiri, bersumpah tidak akan pernah menghianatimu," kata Naruto.

Naruto merendahkan kepalanya, lalu mencium bibir merah Sasuke dengan lembut. Sasuke memejamkan matanya ketika bibir Naruto mulai melumat bibirnya. Lumatan-lumatan lembut itu berubah ketika lidah Naruto menelusup masuk ke dalam mulut Sasuke.

Sementara lidah mereka bergulat, tangan Naruto menjalar ke area pribadi Sasuke.

Sasuke menahan pergelangan tangan Naruto, lalu melepaskan ciuman mereka. "Apa yang kau lakukan, bodoh!" protesnya. Ini masih pagi, dan dia tidak ingin mengotori pakaiannya. "Dobe–mmhhh!"

Protesan Sasuke tertelan di tenggorokan ketika Naruto kembali menginvasi bibirnya. Dalam hati, Naruto bersyukur. Kalau Sasuke protes, berarti ini bukan mimpi seperti tempo hari.

Sasuke mengernyit ketika area pribadinya disentuh oleh Naruto. Ini adalah kali pertama area pribadinya disentuh orang lain, selain dirinya sendiri. Rasanya berbeda, entahlah Sasuke tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya.

"Kau pernah melakukan ini sebelumnya, Teme?" tanya Naruto, sambil menggenggam barang berharga milik Sasuke.

"Tidak," jawab Sasuke dengan napas yang sedikit tersengal. "Kalau kau?"

"Nggg, t-tidak," jawab Naruto. Dia sudah pernah melakukan hal ini dan itu ketika masih SMA dulu. Salahkan hormon remajanya.

"Sudahlah, tidak perlu berbohong. Aku sudah tahu," Sasuke mengusap keringat yang mengalir di dahi Naruto. "Apa kau mau ku sentuh juga?" tawar Sasuke. Entah apa yang merasukinya.

"Kau yakin?"

Sasuke mengangguk. "Yakin," jawabnya.

Naruto tersenyum, lalu mengecup kening Sasuke dengan sayang. "Kau memang pacar yang pengertian."

Kemudian, mereka saling menyentuh bagian privasi mereka masing-masing. Sasuke mendesah pelan ketika Naruto bergerak dengan cepat, dan pemuda itu bisa merasakan pelepasannya yang sudah diujung tanduk. Sasuke ikut menaikkan gerakan tangannya, dia ingin Naruto juga merasakan apa yang dia rasakan.

"Naruto, aku hampir–" Perkataan Sasuke terputus karena napasnya tersengal.

"Iya, aku juga," jawab Naruto dengan napas memburu. Pemuda itu mencondongkan tubuhnya, lalu menggigiti leher Sasuke dengan gemas.

Tak berapa lama kemudian, terdengar geraman rendah dari Sasuke, lalu ia melepaskan hasratnya di tangan sang kekasih. Naruto menyusul satu menit kemudian. Setelah selesai dengan pelepasannya, Naruto berbaring di sebelah Sasuke. Mereka berdua sibuk mengatur napas yang memburu.

"Geser, Dobe! Sempit!"

Naruto tidak menggubris protesan Sasuke. Pemuda itu memanggil nama Sasuke dengan nada manja yang kekanakan. "Sasukeeee," panggil Naruto.

"Hn?"

Naruto menegakkan tubuhnya, lalu terkekeh. "Mau lanjut di kamar?"

Sasuke mengurungkan niatnya untuk protes ketika terdengar suara bel. "Siapa itu?" gumamnya. "Temanmu?"

Naruto menggeleng, keningnya berkerut. "Bukan. Temanku pasti menelepon lebih dulu kalau mau datang kemari," katanya. Naruto mengernyit ketika dilihatnya baju Sasuke ada bercak-bercak putih hasil perbuatannya tadi. "Bersihkan dirimu, Sasuke. Ganti bajumu dengan bajuku, ambil saja di lemari."

Naruto memperbaiki celananya yang melorot, lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci tangannya. Setelah itu, Naruto membukakan pintu untuk tamu yang datang berkunjung tanpa pemberitahuan.

"Ya–" gerakan Naruto terhenti ketika melihat siapa yang datang berkunjung. "Minato-san?" gumam Naruto. Pemuda itu menatap seorang pria berambut silver yang tidak ia kenal, berdiri di sebelah Minato.

Mau apa mereka? Lebih penting lagi, kenapa pria ini tahu tinggal tempatnya?

"Selamat siang, Naruto-kun," sapa Minato. "Ku harap aku tidak mengganggumu, karena datang dengan tiba-tiba."

"A-ah, sama sekali tidak. Masuklah, Minato-san," Naruto membuka pintu lebih lebar untuk Minato. "Maaf, apartemenku sederhana dan sedikit berantakan."

"Tidak masalah, Naruto-kun. Aku hanya ingin membicarakan masalah penting denganmu," kata Minato. Pria itu memasuki apartemen Naruto yang sudah lebih rapi. Berterima kasihlah pada Sasuke, jika bukan karena omelannya, apartemen Naruto bagaikan kapal karam.

Sejujurnya, Naruto agak tidak enak hati. Ruang tamu itu kan masih kotor sehabis dipakai enaena bersama Sasuke tadi.

Naruto mengamati punggung Minato dalam diam. Masalah penting apa yang ingin dibicarakan Minato dengannya? Apa dia pernah berbuat kesalahan sehingga Minato mendatanginya? Naruto mengingat-ingat perbuatan negatif apa saja yang pernah dilakukannya.

Naruto tidak pernah mencuri.

Naruto tidak punya hutang.

Naruto sudah menghapus history di browser-nya.

Naruto tidak pernah menghamili anak orang.

Naruto tidak pernah menikung temannya sendiri.

Naruto tidak pernah meniduri istri orang, apalagi istri Minato.

Lalu, masalah penting apa yang akan dibicarakan pria pirang itu?

.

.

TBC

.

.

Fic ini udah mau kelar. Kalian mau adegan enaena ga? :v