Sasori menatap suasana luar balkon kamarnya dengan tatapan kesal. Semilir angin, taburan bintang dilangit, dan bulan purnama yang tercetak sempurna nyatanya tak membuat suasana hati sulung Haruno ini membaik. Bagaimana tidak, jika kau baru saja mendengar bahwa adik kesayanganmu akan dinikahkan padahal usianya masih terlampau muda?
Ya, adik kecilnya, Haruno Sakura, akan dinikahkan dengan anak keluarga Uchiha. Siapa lagi kalau bukan Sasuke. Hell, padahal kakak-kakaknya saja belum ada niatan untuk menikah. Sasori mendengus kasar. Sialan, padahal hanya ciuman singkat yang terjadi beberapa malam lalu, tapi malah berujung seperti ini. Sasori tahu bahwa Haruno dan Uchiha kebelet menjadi keluarga besar, tapi jangan mengorbankan adiknya juga kali. Bayangkan, mereka berdua bahkan masih SMA demi Tuhan! Apa orangtua itu masih punya akal sehat, kah?
Sasori berandai, kalau saja ia atau Itachi adalah seorang perempuan, bukan tidak mungkin mereka akan berakhir seperti Sakura dan Sasuke. Tapi sayangnya, anak sulung Haruno dan Uchiha terlahir dengan gender sama. Tidak mungkin keduanya menikah atau bisa-bisa kedua perusahaan besar mereka akan dicekal karena terlibat skandal.
Sasori mengusap wajahnya kasar. Tadi keluarga Uchiha bertandang kerumah untuk menentukan tanggal pernikahan yang tepat. Dan saat itulah Sasori berusaha mati-matian meyakinkan kedua keluarga itu untuk menunda, setidaknya menunggu Sasuke dan Sakura lulus. Awalnya mereka menolak, namun Itachi yang entah kesambet setan apa, membantu menguatkan argumen sahabat sekaligus calon besannya. Setelah perdebatan alot yang memakan waktu hampir satu jam, akhirnya semua setuju untuk menunggu kedua calon pengantin lulus sekolah.
Dan Sasori sekarang menyesal melakukannya. Ia baru sadar bahwa Sasuke dan Sakura sudah kelas akhir dan kelulusan tinggal menghitung bulan. Sialan. Harusnya ia meminta untuk menunda pernikahan sampai bungsu Haruno dan Uchiha itu wisuda. Walau ia tahu pendapatnya akan ditolak mentah-mentah karena dinilai terlalu lama.
Sasori mengerang. Waktunya untuk menyusun rencana tidaklah lama. Ia harus bertindak cepat.
••••
Under Age Marriage
By Hinamori Hikari
Masasshi's characters
Warn : typo(s), OOC, gaje, apalah, etc.
[Sasuke U, Sakura H], Sasori, Itachi U.
Sequel Letter of Heart
Romance - little bit Humor
Summary : Pernikahan sudah didepan mata dan keputusan mutlak Haruno serta Uchiha tidak bisa diubah. Sasori harus memutar otak agar adik kecilnya tidak terlibat pernikahan muda yang konyol itu. /"Sudahlah Sas, itu namanya takdir kita jadi besan"/ Itachi bahagia mendengar Sasuke menikah, namun Sasori sebaliknya. /"Demi Tuhan Chi, mereka masih terlalu muda!"/ Sequel Letter of Heart
Happy Read!
••••
Sasori mengetuk pintu kamar sang Adik sebelum memutar kenopnya. Begitu pintu terbuka, nampak sesosok gadis bersurai merah muda sedang sibuk berkutat dengan setumpuk buku pelajaran di meja belajar.
"Boleh Kakak masuk?"
Suara lembut Sasori menarik atensi Sakura. Bungsu Haruno itu tersenyum. "Masuk saja, Kak"
Setelah menutup pintu, pemuda yang seusia dengan Itachi itu menghampiri adiknya dan mengusap lembut surai merah muda Sakura. "Sibuk ya? Kamu ujian negara kapan?"
"Um, masih tiga bulan lagi sih, Kak. Tapi aku sudah mulai mencicil belajar dari sekarang"
Sasori tersenyum mendengar penuturan adik bungsunya. Sakura memang pintar, terbukti dari peringkatnya yang tidak pernah dibawah lima besar dan sering membawa pulang medali berkat kerja kerasnya memenangkan olimpiade baik akademik maupun non-akademik. Sangat disayangkan kalau harus dibuang sia-sia karena pernikahan konyol itu. Ah, Sasori jadi kesal lagi jika mengingatnya.
"Em, Sakura" Sasori beranjak dan memilih duduk di sofa tepat samping kiri meja belajar. Adiknya hanya diam namun perhatiannya tertuju penuh pada sang Kakak. "Aku mau membahas soal.. Um, pernikahanmu"
Sakura terkekeh. "Aku tahu. Bahkan dari awal keluarga Uchiha datang saja aku tahu isi hatimu"
Seulas senyum tipis terpatri di bibir Sasori. "Tentu. Kau selalu tahu apa yang kurasakan. Jadi, langsung ke intinya saja ya?"
Gadis cantik itu mengangguk.
"Kau setuju dengan pernikahan ini?" tanyanya to the point. Sakura terdiam sejenak.
"S-sebenarnya aku pikir ini terlalu awal. Aku masih SMA dan butuh kebebasan lebih selayaknya anak remaja pada umumnya. Dan aku takut peranku sebagai istri nantinya akan mengukungku dalam tanggung jawab yang bahkan aku sendiri belum ingin" Sasori tersenyum puas mendengar penuturan Sakura. "Tapi Sasuke-kun berjanji tidak akan mengekangku mengingat usia kami sebaya. Dan Mama Papa juga bilang hari-hariku tidak akan berbeda dengan hariku sebelum menikah. Hanya saja perbedaannya pada letak status dan ada yang menemani serta menjagaku"
Senyum Sasori memudar. Che, adik polosnya mudah sekali dibohongi. Sasuke tidak akan mengekang Sakura? Hell, Sasori akan memotong lehernya sendiri apabila ucapan bungsu Uchiha itu benar adanya. Dia (sangat) tahu betapa protektifnya Sasuke terhadap sang Adik bahkan saat mereka masih menjalin status sebagai sahabat. Dan lagi, kenapa orang tuanya bilang bahwa hari-hari Sakura tidak akan berbeda? Tentu saja berbeda! Sasori membayangkan kehidupan adiknya saat harus mengawali hari dengan senyum mesum Sasuke disamping kasurnya, atau bayangan Sakura yang setiap malam harus tersiksa oleh perbuatan Sasuke membuat Sasori rasanya ingin muntah. Dan lagi, bayangan keponakan-keponakan kecil, mungil, nan menggemaskan yang akan memanggilnya dengan sebutan 'Paman' membuat perut sulung Haruno itu mulas. Gadis kesayangannya masih terlalu polos dan awam untuk si mesum macam Sasuke yang bahkan berani mencium adiknya didepan banyak orang.
"Kak?" suara lembut Sakura memecah lamunan Sasori. Pemuda itu sedikit terkesiap. "Kau kenapa?"
"Tidak" sahabat Uchiha Itachi itu menggeleng. "Dengar, sebenarnya tanpa kau menikah, sudah ada aku yang akan menemani serta menjagamu"
Sakura tersenyum. "Memang, aku tahu. Tapi setidaknya akan ada banyak yang menjagaku"
"Memangnya kurang apa Kakakmu ini?" Sasori mencibir. "Aku kenal dengan orang-orang divisi kepolisian. Beberapa teman dekatku bekerja untuk FBI. Bahkan menyuruh belasan atau puluhan mata-mata untuk menjagamu pun bukan masalah besar untukku. Kalau perlu disetiap sudut kota ini akan kuletakkan orang kepercayaanku untuk mengawasimu dari jauh"
Bungsu Haruno ini tertawa. "Jangan berlebihan! Aku bukan orang penting yang nyawanya terancam oleh musuh yang berniat membunuhku. Kau terlalu banyak menonton film action, Kak"
Sasori mendengus. "Aku hanya belum rela adik kecilku ini menikah terlalu cepat. Bahkan kau belum kuliah, Sakura"
"Aku tahu" Sakura menghela napas. Tubuh mungilnya bersandar pada kursi dan tangannya bersedekap, menengadah lalu menatap langit-langit kamar. "Sejujurnya aku juga belum siap. Bayangkan, anak SMA sepertiku harus menikah di usia yang bahkan baru menginjak 18 tahun beberapa hari lalu. Aku masih ingin bersenang-senang dan menikmati masa mudaku seperti yang dikatakan temanku Lee. Merasakan berpacaran dulu selama beberapa tahun lalu menikah, seperti orang-orang pada umumnya.
Dan kau tahu, aku tidak sepolos itu, Kak. Walau Mama dan Papa berusaha memberikanku gambaran tentang kehidupan pernikahan, tapi aku terlalu tahu bahwa ikatan suci yang namanya pernikahan tidak semudah itu untuk dijalankan. Akan banyak rintangan dan permasalahan yang sulit diselesaikan tanpa kepala dingin. Banyak sekali, aku tahu itu. Tapi aku berusaha terlihat polos agar setidaknya wajahku tidak menampakkan raut keberatan sama sekali. Tangga kedewasaan yang seharusnya kujajaki satu persatu dan mencicipi asam manis di tiap pijakannya, kali ini harus kulompati agar bisa langsung sampai pada titik teratas. Konyol"
Sasori mendengar semua perkataan Sakura dengan baik. Dan ia mengerti, bahwa sebenarnya Sakura belum terlalu siap dengan pernikahan ini. Memiliki darah yang sama membuat Sasori tahu bagaimana perasaan adiknya. "Lalu kenapa kau tidak menolak kalau belum siap? Aku akan senang hati membantumu, karena juga kurasa belum waktunya kau berumah tangga"
Sakura menghela napas panjang. Terdiam beberapa saat, lalu maniknya beralih pada iris hazel sang Kakak. "Aku melihat bagaimana senang dan bahagianya Mama Papa. Pandangan berbinar Bibi Mikoto, tatapan mendamba Paman Fugaku, senyum Kak Itachi, dan.." wajah Sakura sedikit merona, "mata hitam Sasuke yang menatapku dengan tatapan memuja. Haruskah kuhancurkan itu semua?"
Sasori mengurut keningnya. "Tapi kenapa kau tidak memikirkan perasaanku juga?"
Sakura diam.
"Aku sangat menyayangimu, bahkan melebihi diriku sendiri. Aku tidak rela melihatmu berdiri di altar terlalu cepat. Aku masih ingin menjagamu, bersamamu, membelaimu hingga tertidur, menyanyikan lagu favoritmu, mengusilimu, mendengar keluh kesahmu, membuatmu tersenyum, menggendongmu saat kau lelah, dan aku masih ingin melihat kau menumpahkan segala kekesalanmu padaku, memukulku, merayuku, mencubitku, cemberut padaku, tertawa akibat ulah konyolku.." Sasori menutup kelopak matanya. "Aku masih ingin menjadi pusat duniamu. Dan saat kau menikah nanti, maka aku harus rela menyingkir dan membiarkan Sasuke mengambil tempatku. Membiarkan Uchiha itu mengalihkan duniamu kearahnya. Maka saat itulah, aku tidak akan diperlukan lagi"
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak ada yang bisa menggantikan Kakak walau itu Sasuke sekalipun. Kau selalu punya tempat tersendiri bagi kehidupanku, dimana tidak ada seorangpun yang bisa mengusiknya"
"Begitukah?" Sasori membuka kelopak matanya. "Lalu kenapa kau menyetujui pernikahan konyol itu? Memikirkan perasaan orang lain tanpa memikirkan aku. Membiarkan orang lain bahagia tapi kau sendiri tidak"
"Aku tidak bilang aku tidak bahagia" bungsu Haruno ini menatap intens Kakaknya. "Aku hanya bilang bahwa aku belum siap. Tapi dengan seiringnya waktu berjalan, maka kesiapan itu akan muncul dengan sendirinya. Aku sangat mengerti apa yang kau rasa, tapi aku juga harus memikirkan perasaan Mama Papa dan keluarga Uchiha"
"Terserah kau sajalah. Aku lelah bicara denganmu" Sasori berdiri diikuti tatapan Sakura. Pemuda itu melangkah keluar dengan manik sang Gadis yang setia menatap punggung tegap kakaknya. Sebelum membuka pintu, Sasori membuka mulut dengan posisi tetap memunggungi Sakura.
"Tapi kau tahu bagaimana aku, kan? Aku penuh dengan keputusan mutlak"
Dan setelahnya pemuda berambut merah itu membuka pintu dan keluar kamar.
Blam!
Sakura menatap hampa pintu kamarnya yan tertutup. Helaan napas terdengar di ruangan pribadi milik bungsu Haruno ini. Ia mengenal Sasori sepanjang hidupnya, imbisius dan tidak bisa dibantah, persis Sasuke. Jika sang Kakak sudah berucap seperti itu, maka hanya ada satu hal..
Sasori tidak akan berhenti sampai keinginannya terwujud.
•~•••~•
"Hahh.. Hari ini aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan malam" Ino menyandarkan tubuhnya ke kursi restoran yang empuk. Didepannya terdapat Naruto yang hanya bisa mencebik unyu, ditemani Hinata yang meringis geli.
"Jahatnya kau padaku.." ucap Naruto dramatis.
"Siapa suruh kau merahasiakan hubunganmu dengan Hinata" Ino menjulurkan lidahnya.
Naruto hanya bisa menghela napas dan Hinata mengusap lembut pundak sang Kekasih. Salah sendiri menyembunyikan hubungannya dengan gadis Hyuuga itu. Ia harus mentraktir ketiga sahabatnya sebagai permintaan maaf karena berani diam-diam berpacaran dengan Hinata tanpa memberitahu sahabat yang lain. Walau Sasuke tidak masuk hitungan karena pemuda itu yang membantu Naruto mendekati Hinata, tetap saja Uchiha ini tak mau rugi dan tetap minta ditraktir juga. Hitung-hitung imbalan membantu, katanya. Dan berakhirlah mereka berlima makan malam di salah satu restoran mewah yang terletak di pusat kota, sekaligus menikmati indahnya malam minggu sebelum rentetan ujian dan try out yang menyita waktu serta menyiksa batin datang.
"K-kalau Naruto-kun merasa keberatan, biar aku saja yang membayar" Hinata tersenyum lembut.
"Eehh? Tidak, biar aku saja" Naruto menggelengkan kepalanya. Hell, dia tidak akan takut uangnya habis karena mentraktir sahabat-sahabatnya. Jangan lupakan bahwa ayahnya seorang pejabat tinggi negara dan ibunya membuka usaha butik yang sudah memiliki anak cabang di beberapa kota. Belum lagi Naruto anak tunggal yang mana amat dimanja oleh kedua orangtuanya. "Aku hanya bercanda, Hinata. Biar aku yang mentraktir mereka dan kau" tangannya iseng mencubit pipi sang Gadis hingga rona kemerahan terlihat jelas di wajah cantik Hyuuga.
"Jangan bermesraan didepanku, bodoh" Ino mencibir. Tangannya mengambil gelas yang sudah berisi air dimeja dan meminumnya seteguk. "Mana Sakura dan Sasuke?"
"Sakura-chan bilang, dia dan Sasuke sedang dalam perjalanan kesini" Hinata menjelaskan. Ino hanya mengangguk.
"Dari awal aku memang menyangka bahwa mereka akan berpacaran saat waktunya tiba. Mereka cocok" tutur Ino. Ia menempelkan gelas di pipi, lalu berpikir. "Semua sahabatku sudah mempunyai pasangan. Tinggal aku yang belum"
"Mau kubantu?" tawar Naruto. "Aku ada kenalan seorang anak Konoha Art School Academy. Um, menurutku dia masuk dalam tipemu. Tampan, tidak banyak bicara, jujur, apa adanya, dan yang paling penting dia setia. Tapi kulitnya sedikit —maksudku sangat pucat. Yah, setidaknya dia tidak bertaring"
Ino sedikit tertarik. "Oh ya? Namanya siapa? Dan kenapa kau bisa tahu dia setia? Bisa saja itu hanya penampilan luarnya"
"Namanya Shimura Sai. Yah, menurutku dia setia karena aku tidak pernah melihat atau mendengarnya pacaran. Mungkin karena dia sedang mencari perempuan yang cocok"
"Che" Ino mencibir. "Mencari perempuan yang cocok? Kalau mendengar dari ceritamu, dia sosok lelaki mendekati sempurna. Pasti banyak cewek mengincarnya. Tapi kenapa dia tidak pernah pacaran? Jangan-jangan dia gay?"
"Entahlah" Naruto mengendikkan bahu. "Aku harap tidak"
Obrolan ringan terus berlanjut hingga tak lama kemudian sepasang kekasih yang dinanti datang.
"Lamanya kau" cibir Ino saat Sakura mengambil tempat disampingnya. Gadis Haruno itu meringis.
"Maaf. Tadi perjalanan terhambat karena ada kecelakaan lalu lintas"
Ino mengangguk maklum.
"Yasudah, kalian pesan makanannya sekarang. Aku, Hinata-chan, dan Ino sudah memesan"
Sakura dan Sasuke mengangguk. Setelah memesan, obrolan demi obrolan mengalir diantara mereka berlima selagi menunggu makanan datang.
"Ehem" deheman Sasuke membuat atensi keempat remaja didepannya mengalihkan atensinya pada pemuda raven itu. Manik kelam Sasuke menatap penuh isyarat pada Sakura, yang dibalas anggukan pelan dari adik Sasori itu.
"Um.. Aku ingin bicara penting dengan kalian" melihat raut serius dari wajah pasangan kekasih ini, membuat Namikaze, Hyuuga, dan Yamanaka ini turut memasang mode serius mereka.
Sakura nampak gelisah. Matanya terus menatap Sasuke tanpa henti. "Err.. S-sebenarnya.. Ah bukan, m-maksudku aku dan Sasuke a-akan.. Um, setelah lulus akan.."
Ketiga remaja didepannya menatap Sakura bingung. Ada yang aneh disini. Hinata mengernyit, merasa ada yang ganjil. Otak cerdasnya berputar cepat.
"J-jangan bilang Sakura-chan dan Sasuke mau.." Hinata tak melanjutkan ucapannya namun maniknya tak lepas dari Haruno dan Uchiha secara bergantian.
"Ya" Sasuke mengangguk tegas.
"Astaga!" Hinata menutup mulutnya tak percaya. Ino dan Naruto yang tidak mengerti hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Sebenarnya ada apa sih? Aku tak mengerti" Naruto mengusap tengkuknya, bingung.
"Aku dan Sakura.. Setelah lulus nanti akan.. Menikah" jelas Sasuke.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Empat de—
"APA?!" teriakan nyaring duo pirang itu sontak membuat pengunjung lain menoleh kearah mereka.
"K-kalian gila?" Ino memandang sahabatnya tak percaya. "Demi Tuhan, Sakura. Kau bahkan baru merayakan ulang tahun ke-18 beberapa hari lalu!"
"Ya, mau bagaimana lagi" Sakura tersenyum kikuk.
"Ah. Kalian dijodohkan ya?" tebak Hinata. Sasuke dan Sakura mengangguk bersamaan.
"Bisakah kalian menunggu setidaknya sampai wisuda?" Ino menggelengkan kepalanya. Tentu saja ia heran dengan rencana pernikahan mereka yang tergolong konyol.
"Tidak bisa" Sakura menggeleng lemah. "Ini sudah keputusan orangtuaku dan orangtua Sasuke-kun"
"Atas dasar apa?" suara berat Naruto mengalun ditelinga keempat remaja tersebut. Ah, Naruto sepertinya sangat serius sekarang.
"Kau tahu bahwa keluargaku dan Haruno sangat ingin menjadi keluarga besar" tutur Sasuke.
"Kenapa kalian tidak menolak?"
"Bagaimana bisa aku menolak, Naruto?" Sakura mendesah lelah. "Keputusan mereka mutlak"
Naruto terdiam, mulai berpikir serius. Mungkin bagi yang tidak mengenal Naruto terlalu dalam, maka akan mengira bahwa pemuda pirang itu cemburu, tidak suka, masih menyimpan perasaan, dan lainnya. Pada faktanya, ada sebersit kekhawatiran dalam diri Naruto mengingat usia kedua sahabatnya yang terlampau muda. Ayolah, hubungan antara Naruto-Sasuke-Sakura lebih dari sekedar sahabat. Mereka bertiga mempunyai hubungan khusus yang tidak bisa dimasuki bahkan oleh Ino dan Hinata sekalipun.
"Jadi.. Kalian benar-benar akan menikah setelah lulus? Tidakkah kalian berpikir ini terlalu awal? M-maksudku, kalian —kita terlalu muda" Naruto memandang kedua sahabatnya dengan khawatir. Walau ia seringkali dicap bodoh oleh teman-temannya, tapi dia tahu bahwa kehidupan pernikahan tidak akan semulus kulit Orochimaru-sensei.
"Ya. Aku pikir ini juga terlalu awal" Sasuke menyenderkan tubuhnya pada kursi. "Tapi semakin cepat, semakin baik kan? Aku dan Sakura akan sah menjadi suami istri, dan apapun yang kami lakukan tentu halal-halal saja" senyum smirk terukir di bibir Sasuke.
"Sialan" Ino memukul lengan Sasuke. "Jangan mencoba berbuat mesum sebelum waktunya, Uchiha. Atau kau kucincang sama rata dan kujadikan pakan ayam"
Semua tergelak. Sasuke hanya memutar bola matanya.
"Jadi, kalian mau meminta restu?" tanya Hinata. Seiring dengan ucapan Hinata, pesanan datang dan pelayan meletakkan makanan di meja dengan hati-hati.
"Dengan atau tanpa restu kalian, aku dan Sakura tetap menikah" Sasuke menjawab cuek.
"Tapi kalian tetap membutuhkan restu, ayam" Ino mulai menggerakkan garpu dan pisaunya. "Bagaimanapun kami juga sahabatmu"
"Ya ya ya" Sasuke berujar malas. "Terserah kau, pirang"
"Jadi, bagaimana?" Sakura menatap satu persatu temannya. Gadis itu bertopang dagu. "Ino?"
"Huh, aku tak bisa berbuat banyak. Sekalipun aku bilang tidak, toh kalian akan tetap menikah" cibir gadis Yamanaka itu.
"Hinata?"
"A-ah. Aku tidak bisa melarang" senyum manis terpatri di bibir gadis Hyuuga itu. "Itu pilihan kalian. Yang bisa kulakukan hanya mendukung apapun keputusan Sakura-chan dan Sasuke"
"Naruto?" Sakura memandang pemuda pirang itu dengan ragu. Putra Minato itu terdiam beberapa saat.
"Kalau kau meminta restuku sebagai sahabat, maka aku tak bisa berbuat banyak. Sama seperti Hinata-chan, apapun keputusan kalian akan kudukung" Naruto menghela napas. "Tapi jika kau meminta restuku sebagai Kakakmu, maka jawabanku tidak. Ini terlalu cepat, Sakura-chan. Kau cerdas, tahu segala resiko dan konsekuensi menikah muda"
Sakura menghembuskan napas berat. Naruto sudah seperti kakak kedua baginya, dan pendapat pemuda itu sangat penting. Kebijaksanaan Naruto setiap mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan diwariskan dari sang Ayah, belum lagi pola pikir panjang pemuda itu. Pantas jika Sakura menganggap Naruto sebagai kakak keduanya.
"Jadi? Kau tak ingin aku dan Sakura menikah?" Sasuke mengangkat sebelah alisnya.
"Bukannya begitu" Naruto menatap pemuda Uchiha itu dengan serius. "Hanya saja.. Kau tahu, setiap langkah dan tindakan tak boleh hanya karena keinginan semata. Harus ada pemikiran matang dengan memahami konsekuensi disetiap langkah yang diambil. Pernikahan bukan setahun dua tahun, tapi seumur hidup. Aku mempercayai kau untuk menjaga Sakura-chan, tapi aku belum yakin kau cukup berwibawa untuk memimpin rumah tangga kalian"
Sasuke menghela napas. "Aku sedang dalam tahap belajar, Naruto. Memang ini butuh waktu, tapi akan kuusahakan menjadi pemimpin yang baik untuk keluarga kecilku kelak"
Hening. Tak ada yang membuka mulut. Naruto menghembuskan napas berat, tak berucap apapun lalu mengambil gelas dan meminumnya seteguk. Sasuke memilih untuk memakan makanannya, dan Sakura hanya bertopang dagu dengan mata terpejam. Ino serta Hinata cukup tahu diri dengan tidak ikut campur dan meneruskan makan mereka.
"Hei, kalian hanya memikirkan pernikahan Sakura dan Sasuke. Kenapa kalian tak menghiraukanku yang harus sendiri sedangkan kalian sudah punya pasangan?" Ino cemberut. Cara yang lumayan ampuh untuk mencairkan kembali suasana.
"Ah, kau sepertinya akan seperti Kakashi-sensei, pig. Takkan punya pasangan hingga tua" goda Sakura.
Ino mendecih. "Sialan. Aku butuh bahu seseorang untuk bersandar kala kusedih"
"Bersandar saja pada bahu jalan"
"Jidat!"
Tawa memenuhi meja yang berisikan lima remaja itu. Setidaknya, suasana kembali cair dan hangat seperti biasanya.
~•••~••~•~
"Terimakasih, Sasuke-kun" Sakura melempar senyumnya pada Sasuke yang mengantarnya pulang hingga rumah. Pemuda itu tersenyum.
"Memang sudah seharusnya. Toh nanti aku tidak hanya mengantarmu pulang, tapi ikut pulang bersamamu ke rumah kita" Sasuke menyeringai, yang sialnya nampak hot lantaran timpaan cahaya lampu jalan sedikit banyak menerangkan garis wajah tegas Sasuke. Sakura merona.
"Aku antar sampai depan pintu" bungsu Uchiha itu turun dan membukakan pintu mobil penumpang. Sakura turun dengan senyum kikuk. Mereka pun bergandengan tangan menuju pintu utama kediaman Haruno. Wajah gadis itu entah sudah seperti apa.
"Baiklah. Aku pulang dulu" Sasuke tersenyum. Dikecupnya lembut dahi Sakura cukup lama, dan gadis itu hanya menutup matanya. Tak ada perlawanan dari adik Sasori itu, membuat sang Pemuda berani untuk menurunkan ciumannya. Dari kening mulai turun ke batang hidung, semakin turun dan turun hingga ujung bibir Sakura bisa dirasakan Sasuke. Bungsu Uchiha itu menyeringai. Sedikit lagi dan—
"EHEM!"
Shit. Sasuke buru-buru menjauhkan wajahnya dan mendongak ke asal suara. Nampak Sasori dan Itachi sedang menonton mereka dari balkon atas. Balkon kamar Sasori memang terletak di sebelah kanan pintu utama, sehingga siapapun yang masuk dari depan bisa terlihat jelas dari sana. Termasuk sepasang kekasih yang berdiri tepat didepan pintu.
"Jangan macam-macam!" teriak Sasori dari atas. Itachi memutar kedua bola matanya. Hell, apa yang dilakukan Itachi disini?
"Lanjutkan saja otoutou, imoutou. Akan kuurus merah satu ini" ujar Itachi. Tangannya lalu mencekal lengan Sasori lalu berusaha menariknya kedalam kamar. "Jangan ganggu mereka, baka. Biarkan saja, wajar lah calon pengantin" Itachi menyeret Sasori masuk. Susah payah ia berusaha hingga pemuda merah itu berhasil diseret masuk kamar.
"KALAU KAU BERANI MACAM-MACAM, KUTEBAS KEPALAMU UCHIHA!" Sasori berteriak dari dalam. Sakura meringis.
"Mau dilanjutkan?" seringai tipis terpatri di wajah Sasuke. Gadis itu menggeleng takut.
"Tapi aku masih ingin" pemuda itu mendekat dan membuat Sakura mundur perlahan, hingga tubuhnya menabrak pintu yang tertutup. Sasuke menyeringai lalu mengukung sang Haruno dengan lengan kekarnya.
Tak membuang banyak waktu, adik Itachi ini mendekatkan wajahnya kearah wajah pasrah Sakura yang menutup matanya. Mungkin bibir mereka sudah bertemu dan bertaut andai saja—
Ceklek
BRUK!
—pintu tidak dibuka dari dalam. Sontak tubuh keduanya jatuh kebelakang dengan posisi Sasuke menimpa Sakura.
"Kyaa!"
Pemuda itu dengan cepat mengendalikan suasana dan menyingkir dari atas Sakura. Dan pemandangan didepannya membuat Sasuke sedikit pucat.
Mikoto, Fugaku, dan Kizashi yang sedang duduk diruang tamu dengan tatapan melongo. Mebuki yang berdiri didepan pintu dengan raut geli. Dan tak lupa Sasori yang berdiri di tangga dengan tatapan tajam dan raut horror, serta Itachi yang berdiri disamping sulung Haruno dengan ekspresi senang.
Mampus. Dia bahkan tidak tahu keluarganya ada disini. Padahal ia tak melihat ada mobil keluarganya di halaman.
"Ah! Mereka cocok sekali!"
"Yaampun, tak usah malu bermesraan diluar, disini juga tak masalah"
"Nikahkan sekarang saja!" ucapan Itachi langsung disambut dengan tangan Sasori yang menoyor keras kepala sulung Uchiha.
"Sialan"
"Sabar. Pernikahan kalian kan tinggal beberapa bulan lagi"
Dan begitulah beberapa komentar orangtua disitu yang tertawa bahagia.
Mampus atau bagus, Sas?
•
•
•
•
•
•
Hika's note :
Thanks for reviewer, yang udah favorit dan alert. Entahlah ini bakal jadi atau dihapus seperti nasib MC-MC sebelumnya wkwk.
Hikari H. ❤
Big thanks for :
| teeneji | hani (guest) | Charlotte Puff | Michi D Rebels | Sasara Keiko | hanazono yuri | Yoshimura Arai | xxoxoo | silent readers | yang nge-alert atau nge-fav Letter of Heart.