"Hyung, tidakkah sebaiknya kau istirahat sampai hari pertandingan?" tanya Mingyu sambil memperhatikan Wonwoo yang sibuk menyeka keringatnya.

Sudah seminggu sejak tutor yang diberikan Seungcheol untuk Wonwoo. Selasa, Kamis, dan Sabtu pun dia tidak pernah absen untuk berlatih bersama sekolahnya. Ditambah lagi Wonwoo masih tidak berhenti padahal ini hari Minggu. Pertandingnya hari Selasa. Bukankah lebih baik beristirahat.

"Pertandingannya sudah di depan mata. Aku tidak bisa bermalas-malasan."

Wonwoo mengambil bolanya dan kembali ke tengah lapangan. Mingyu berdiri dan mengekorinya, mencoba memberi pengertian pada pemuda itu.

"Tapi lebih baik kau beristirhat. Ini juga untuk menghindari cidera jika kau terlalu keras berlatih."

Wonwoo mengindahkan nasihat Mingyu. Dia mendrible bolanya beberapa kali, lalu membawanya berlari mendekati ring, melakukan pivot dari kanan ke kiri lalu diakhiri dengan lay up.

"Aku sudah pemanasan dengan benar, tidak akan cidera jika aku berhati-hati." Wonwoo berteriak dari kejauhan.

"Apanya yang berhati-hati? Kau dari tadi berlari seperti orang kesetanan." Mingyu menggerutu mendengar jawaban Wonwoo. Siapapun yang melihat juga tahu kalau Wonwoo berlatih seperti sudah tidak ada hari esok. Berlari dari ujung ke ujung sambil mendrible bola, lalu diulangi lagi dan lagi.

"Pulanglah lebih dulu jika tidak ingin menungguiku."

Mingyu menghela napas. Yang bergerak Wonwoo, yang lelah dia. Lelah pikiran.

Ketika Wonwoo kembali ke tengah lapangan, Mingyu mencekal tangannya dan menariknya kuat. Membuat bola di tangan Wonwoo menggelinding begitu saja.

"Lepaskan!"

Mingyu mengabaikannya. Dia malah menatap tajam mata Wonwoo. "Istirahat atau kukurung di kamar sampai hari pertandingan."

"Lakukan jika kau bisa."

Tanpa berkata apapun lagi, Mingyu melepaskan tangan Wonwoo lalu mejentikkan jarinya dengan cepat di depan mata pemuda itu. Membuatnya jatuh tak sadarkan diri saat itu juga.

"Tinggal telpon Seungcheol hyung dan Jihoon hyung."

. . .

"Kanan ke kanan, kiri kiri, mundur, awas jangan sampai terantuk pintu. Turunkan hati-hati."

Seungcheol mendesah lega setelahnya. Tidak disangka ternyata 'Mingyu' seberat itu. Punggungnya hampir bergeser sekarang.

"Kau baik, Hyung?"

"Tidak sama sekali. Oh, punggungku. Jihoon sayang, tolong."

Mingyu berdecak. Laki-laki yang lebih tua itu kentara sekali menghinanya. Tubuhnya lebih tepat.

"Apa saja dosa yang kau perbuat, huh? Tubuhmu membunuhku."

Benar kan, Seungcheol menghina tubuhnya.

"Tubuh besarmu itu hanya lemak? Pantas tidak ada gunanya."

Yakin, itu bukan Mingyu yang menjawab, dia sekarang bahkan hanya tertawa terpingkal-pingkal di lantai. Coba kalau yang mengatkan itu bukan kekasihnya.

"Tentu saja ada. Buktinya setiap malam kau selalu puas, Sayang."

"Hentikan Choi Seungcheol!" Jihoon dan Mingyu berseru bersama. Wajah Jihoon memerah, antara malu dan kesal. Sementara Mingyu ingin menghajar Seungcheol jika dia tidak ingat akan ada pertandingan dalam waktu dekat.

. . .

"Hyung." Mingyu menatap ke dalam mata Wonwoo. Tatapannya menyiratkan rasa cemas yang berlebihan. Dan Wonwoo menyadarinya.

Pemuda dengan seragam basket itu tersenyum lembut. "Aku tidak akan terluka jika itu yang kau takutkan. Kami akan membawa kemenangan untukmu."

Mingyu mengangguk, tapi tidak yakin. Wonwoo itu ceroboh dan keras kepala. Dia tidak akan segan melukai dirinya sendiri demi tujuannya.

"Aku akan menyeretmu keluar dari lapangan jika kau terluka dan nekad melanjutkan pertandingan," ancam Mingyu.

Wonwoo terkekeh. Dia maju selangkah dan memeluk Mingyu. "Ah, aku tidak akan bisa bersikap gentle setelah kembali ke tubuh asliku."

Mingyu melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup pipi Wonwoo dan mengarahkannya ke bawah. Kembali saling bertatapan, "Aku mencintaimu, hyung" dan dilanjutkan dengan sebuah ciuman lembut.

Wonwoo menutup mata, kedua tangannya kini berada di bahu Mingyu. Dia menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang menganggap Mingyu adalah bagian yang hilang dari hidupnya. Mingyu adalah sesuatu yang berharga.

Mingyu melepaskan bibir mereka tanpa membuat jarak yang berarti. "Berjuanglah, Hyung. Menanglah."

Wonwoo tersenyum, Mingyu sudah percaya padanya. "Aku akan menang untukmu."

. . .

Fokus Wonwoo terpecah saat berada di lapangan. Ingatan-ingatan itu kembali muncul di kepalanya. Bahkan teriakan teman-teman satu timnya hanya terasa seperti dengungan. dia juga hampir rubuh saat musuh dengan sengaja menubruk bahunya.

Seharusnya Wonwoo ingat, setelah mereka berciuman ingatannya akan kacau. Tapi tidak ada gunanya menyesali itu ketika sudah terjadi seperti ini. Yang bisa dia lakukan hanya bertahan agar tidak pingsan di tengah lapangan.

"Jangan sakiti Wonwoo hyung! Dia tidak tahu apapun!"

"Aku hanya ingin jawaban darinya, kau tahu kan keturunan keluarga Kim bisa membaca pikiran orang lain?"

"Mingyu, aku takut."

"Ingat namaku, Hyung. Ingatlah aku sebagian dari hidupmu. Ingatlah aku akan selalu menyukaimu. Aku akan selalu menjagamu. Tapi aku akan mengunci ingatanmu sekarang. Aku akan membukanya suatu saat nanti. Tunggu aku, Hyung."

Semuanya hanya potongan. Tidak ada yang lengkap. Wonwoo seperti orang linglung di tengah lapangan. Dari sana dia bisa melihat Mingyu yang mencoba menarik perhatiannya meski samar. Sampai suara peluit yang menggema ke seluruh lapangan menyadarkannya.

Seungcheol yang sadar akan kondisi Wonwoo meminta timeout pada pelatihnya. Dia menghapiri Wonwoo yang masih terdiam dan menuntunnya ke luar.

"Apa yang mengganggumu?" Seungcheol berbisik.

Wonwoo menunduk sambil tangannya memijat keningnya sendiri. Beruntung dia tidak pingsan seperti terakhir kali mendapat ingatan itu. Dia merasa sedikit lagi semua ingatannya akan kembali. Tapi yang terlintas di ingatannya hanya potongan yang tidak lengkap. Sekali lagi Wonwoo dapat melihat raut cemas di wajah Mingyu.

"Maaf, hyung."

"Perlu kucadangkan? Kau tidak terlihat baik?"

"Tidak, jangan. Aku baik-baik saja. Aku akan tetap bermain."

"Baiklah. Jika kau merasa tidak sanggup segera beritahu aku."

Timeout itu akhirnya diisi dengan strategi dari Seungcheol untuk merebut skor yang tertinggal. Mereka semua membentuk lingkarang. Menatap serius pada kapten tim dan sesekali mengangguk. Time out singkat itu diakhiri dengan saling memberi semangat satu sama lain.

"Hyung, berusahalah."

Wonwoo berhenti sejenak, dia menatap Mingyu yang menatapnya penuh pengharapan. Wonwoo tersenyum cerah membuat Mingyu ikut tersenyum. Dia yakin sekarang semuanya akan berjalan sesuai yang mereka ingingkan. Sebelum menuju lapangan, Wonwoo mengangguk semangat sambil mengepalkan tangannya.

"Kami pasti menang."

Pertandingan berjalan sengit. Setelah tim Seungcheol membalikkan skor, tim lawan menekan mereka agar tidak bisa memperlebar jarak poin. Semua pemain tampak sudah mencapai batas kekuatan mereka. Dan itu dijadikan kesempatan oleh tim lawan untuk menyamakan kedudukan.

Tersisa dua menit sebelum pertandingan babak ke empat benar-benar berakhir. Dari tribun penonton Mingyu dapat melihat jika Wonwoo mulai tidak fokus pada permainannya karena kelelahan. Dia menggigit bibir bawahnya dan bahkan hampir berteriak ketika tim lawan mendorong Wonwoo yang akan memasukkan bola hingga terjatuh.

Wasit meniup peluit pelanggaran. Beruntung karena pelanggaran itu terjadi di daerah three point lawan, sehingga tim Seungcheol mendapat dua kali free throw. Namun karena kejadian itu setelah ini Wonwoo harus digantikan pemain yang lain karena kakinya terkilir.
Wonwoo bersiap. Teman dan lawan berjajar di kanan kirinya menunggu bola jika saja dia gagal. Lemparan pertama gagal, tersisa satu kesempatan. Jika bisa masuk, skor mereka akan seri dan teman-temannya bisa membalikkan keadaan.

Mungkin jika tidak menang, Wonwoo sudah berusaha. Dia sudah berjanji pada Mingyu untuk tidak terluka.

. . .

Akhirnya pertandingan itu berakhir dengan kemenangan dari tim Seungcheol dengan selisih dua poin berkat tiga poin di detik terakhir yang dilakukan Seungcheol. Setelah saling memberikan penghormatan, kedua tim meninggalkan lapangan dan pergi ke ruang ganti pemain.

"'Mingyu'."

Wonwoo yang masih berusaha berjalan menoleh, mendapati Mingyu yang berjalan ke arahnya. Oh, tatapan cemas itu. Setelah berada di sampingnya, Mingyu memgambil alih tubuh Wonwoo yang dipapah Seungcheol.

"Aku sudah bilang padamu untuk berhati-hati."

Wonwoo terkekeh mendengar kalimat Mingyu. Sesekali dia masih meringis ketika kakinya terasa sakit digunakan berjalan. "Paling tidak aku sudah keluar dari lapangan kan?"

Mingyu menghela napas. Tidak mudah memang menasehati orang keras kepala.

"Maaf, bukan aku yang memberikan kemenangan."

Mingyu agak mendongak menatap Wonwoo yang menunduk. Dia tersenyum lalu mengecup pipi pemuda di sampingnya.

"Basket adalah permainan tim, hyung. Jika kau tidak ada mungkin permainan juga akan kacau. Kau sudah berusaha. Sudalah, lupakan. Ayo pulang dan istirahatlah. Nanti malam aku ingin mengajakmu kencan."

. . .

Sesampainya di apartemen, Wonwoo segera bergegas untuk mandi. Dia ingin segera tidur. Setelah sekian lama tidak bermain basket, rasanya benar-benar melelahkan meski menggunakan tubuh Mingyu sekalipun.

"Hyung, kau ingin makan apa?" Tanya Mingyu setengah berteriak dari dapur.

"Apapun, aku tidak masalah dengan apa yang akan kau masak."

Mingyu membuka kulkas, melihat ada apa saja yang bisa dimasak. Nyatanya kosong, hanya ada beberapa minuman soda, beer, dan telur satu butir. Mingyu lupa mereka belum belanja bulanan.

Sesekali menyenangkan Wonwoo hyungnya dengan memeberinya junk food seperti hamburger atau pizza sepertinya tidak masalah. Haha.. yang penting Mingyu sekarang bisa bersenang-senang.

Bersenang-senang.

. . .

Bulir-bulir air dingin dari shower bagaikan guyuran air terjun bagi Wonwoo saat ini. Tubuhnya lelah, masih terasa aneh berada di tubuh Mingyu. Sudah lama juga dia hengkang dari hobinya merebut bola berwarna oranye itu. Meskipun lelah, tapi rasanya menyenangkan.

"Tidak buruk juga berada di tubuh ini."

Bulu roman Wonwoo seketika berdiri ketika terasa hembusan napas di lehernya dan sepasang lengan memeluk erat pinggangnya. "Jadi hyung suka dengan tubuhku?"

"Mingyu! Lepas!"

Namanya juga Mingyu, mau bagaimanapun yang dilakukan Wonwoo dia tidak akan melepaskannya dengan mudah. Paling tidak sebelum dia sendiri puas dengan hasil kerjanya menjahili Jeon Wonwoo. Jadi bukannya melepas pelukannya, Mingyu malah meniup telinga Wonwoo dengan satu tangannya menjelajahi tubuh telanjang didekapannya.

Dengan sekuat tenaga Wonwoo menahan suara-suara aneh yang sekiranya akan keluar dari mulutnya. "Sshh.. jangan macam-macam."

Mingyu terkekeh tepat di samping telinga Wonwoo. Napasnya terdengar berat di sana. Dan Wonwoo tahu semuanya terasa tidak beres sejak Mingyu masuk ke dalam kamar mandi.

"Mingyu, hentikan!"

"Kenapa hmm? Mau bilang kita belum kembali? Tapi aku bisa sedikit membuatmu mendesahkan namaku, hyung. Bagaimana? Tertarik?"

Mingyu dan bisikan gilanya.

Wonwoo mencoba tenang dan berpikir. Jika tetap seperti ini, tidak akan berakhir. 'Jangan dengar, tetap tenang, bernapas, dan...'

Dengan sisa keberaniannya Wonwoo membalikkan tubuhnya untuk menghadap Mingyu. Menatap pemuda yang kini berada di tubuhnya. Sedikit membungkukkan tubuhnya, Wonwoo berbisik di telinga Mingyu. "Bagaimana jika aku yang membuatmu mendesahkan namaku, Kim Mingyu? Dengan tubuh ini aku bisa memperlakukanmu sesuka hatiku." Dan diakhiri dengan tiupan menggoda.

Tampak dari luar Wonwoo tersenyum miring penuh kemenangan melihat Mingyu yang terkejut dan hanya mampu membuka mulutnya. Tapi jika dilihat dari dalam dia harap-harap cemas jika Mingyu mengiyakan dia harus berbuat apa.

"H.hyung.."

Ting Tong

Mingyu segera tersadar dari dunianya. Wonwoo menghela napas lega. Terima kasih pada bel pintu.

"Cepat sekali pesanannya datang."

"Kau memesan apa?"

"Makanan. Aku pergi kalau begitu. Selesaikan mandimu atau aku kembali dan menerima tawaranmu."

Wonwoo merinding mendengarnya. Mingyu gila maksimal.

. . .

Bel apartmennya berbunyi beberapa kali. Sepertinya tamunya tidak sabaran.

"Apa jasa antar sekarang bersikap semaunya? Sebentar!"

Mingyu mendengus. Padahal dia hanya mampir ke kamarnya untuk mengganti bajunya yang basah sebentar. Tidak ada dua menit.

"A.."

Kalimat yang akan dilontarkan Mingyu berhenti di tenggorokan melihat yang datang bukanlah pesanannya. Napasnya juga terhenti beberapa saat. Dia tahu orang di hadapannya. Orang yang menyebabkan semuanya terjadi.

"Hmm.. siapa ini? Aku rasa pernah melihatmu dulu."

"k. kau.."

TBC

Halo~ maaf baru bisa update setelah hampir satu tahun T-T maaf karena kesibukanku yang ngga habis habis.. tapi aku usahain fict ini tetep akan selesai, cuma ngga tau kapan :")

Happy New Year guys~ maaf kalau ditahun 2017 ini aku banyak php in kalian wkwk

See you next chap~