Haikyuu! milik Furudate Haruichi
Kacamata
Oleh Ayahina
.
.
.
"Ukai-kun, apa menurutmu penampilanku aneh?"
Adalah kalimat pertama yang dilontarkan Takeda ke Ukai saat berpapasan di muka ruang olahraga. Pria nyaris kepala tiga yang merangkap tugas menjadi guru literatur Jepang modern serta penasehat Tim Karasuno itu tampak tidak tenang. Kendati menanyakan opini Ukai, dari wajahnya ia sepertinya tidak ingin mendengar jawaban negatif. Ukai, yang belum paham sepenuhnya maksud pertanyaan barusan, menyeret Takeda ke kursi panjang dan menyamankan pantat di sana. Beberapa murid memasuki ruangan tanpa menyapa mereka, tidak mau menggali kuburan sendiri berkat atmosfer tidak menyenangkan menjajah tubuh Ukai.
"Kenapa Sensei berpikiran seperti itu? Apa ada yang menghinamu? Siapa namanya? Mau kuhajar dia untukmu?"
Dihantam pertanyaan bertubi-tubi tanpa nada santai serta wajah beringas, Takeda dibuat melempem duluan. "B-Bukan begitu! Aku hanya ingin menanyakan pendapatmu."
"Oh ya?"
"Jawab saja!"
Berpikir. Ukai sampai tidak sadar kepalanya miring beberapa derajat. Mengamati setiap detil pria itu. Jaket hijaunya terpasang rapi merangkapi kemeja putih serta dasi hitam. Rambut hitamnya berantakan seperti biasa. Kacamatanya bertengger melapisi iris cokelat. Penampilan rapi seorang Ittesu Takeda. Tidak ada kecacatan berarti di mata Ukai.
"Tidak ada."
Seharusnya roman muram itu sudah disingkirkan oleh pelangi manis, setidaknya terdapat kegembiraan mengetahuinya. Kecuali telah terjadi sesuatu pada pria berzodiak Capricorn itu lantaran helaan napas berat meluncur. Seakan pendapat Ukai tadi hanya angin musim semi yang lewat di antara ritme napas konstan. Awalnya Takeda menolak menanggapi paksaan Ukai, enggan mengeluarkan isi otaknya. Menunjuk Hinata yang perlu diberi bantuan demi servis yang lebih baik sebagai pengalih. Tentu Ukai cepat sadar. Dan tawaran mentraktir nikujaga sepuluh porsi menjadi penyerangan yang sukses, guru itu menurunkan pertahanan.
"Sekarang, apa menurutmu kacamataku aneh?"
Alis Ukai naik sebagai reaksi pertama. "Tunggu. Kacamata ...?" Anggukan meyakinkan dan kernyitan kebingungan. Seketika, setitik pencerahan menghampiri. "Pasti ada yang merendahkan kacamatamu. Ayo, aku mendengarkan."
Takeda jadi lebih kikuk. "Um ... a-ada seorang murid yang mengatakan kacamataku sangat tidak keren. Aneh. Yah, semacam itu. Jadi, aku ingin tahu pendapatmu—"
"—biar kuhajar murid itu. Siapa namanya, katakan!"
Andaikan Ukai bersungguh-sungguh akan melakukannya, botol minum akan menghajar wajahnya.
"Tapi, kalau dipikir-pikir tidak ada salahnya mengganti yang baru, 'kan?" Takeda mengarahkan tatapannya pada Ukai, tersenyum. "Mau menemaniku, Ukai-kun?"
"Tidak mau."
"... kenapa?"
Ukai lantas menghadap pada Takeda dan menyentuh kacamatanya dengan telunjuk. Terdapat senyum tipis bersama keseriusan roman. "Dengar, Sensei. Dengan atau tanpa kacamata, kau tetap terlihat seperti Takeda-sensei yang kukenal. Tetap terlihat sama menakjubkannya di mataku. Aku suka kacamatamu, Sensei. Tidak usah peduli omongan orang lain. Ini kacamatamu, dan ini pilihanmu sendiri."
Ibarat Takeda mengulurkan tangan berisi harapan, Ukai meruntuhkannya dengan satu kali hempasan. Menginjaknya sampai rata bersama bumi lantas menawarkan tangannya sendiri. Mengajaknya bangun kembali menuju langit bersama harapan baru.
"Ah, terima kasih. Terima kasih, Ukai-kun."
Lihat, betapa mudah guru itu merona merah bersama air muka bahagia.
"Dan sebuah kacamata tidak akan menghalangi kalau aku menciummu, 'kan?"
Sepertinya mereka lupa kalau tim bolavoli Karasuno tengah memerhatikan.
.
.
.
.
.
.
Tamat