STACIE KANIKO©

Proud to be Present

Beautiful Mosaic; PRELUDE

Disclaimer : Plot and Story is mine, all of cast is Masashi Kishimoto's.

Pair : SasuHina x GaaHina

Author's Feel Inside

No copycat and Plagiarize, because its Sinning


Chapter 8 : Hangat Hatinya vs Panas Tubuhnya

Hari itu cerah. Udara tidak sedingin hari-hari lalu, mungkin karena para siswa-siswi tengah panas-panasnya membahas topik; perlombaan olahraga di gymnasium Tokyo International School menjadi berita hangat.

Dari deretan nama perlombaan, tentu saja yang sedang gencar-gencarnya dibicarakan adalah baseball dan bola basket. Baseball adalah olahraga yang sangat disenangi dan popular di Jepang, baik pria maupun wanita. Sedangkan karena sekolah itu berbasis internasional, maka bola basket menjadi runner up di hati para siswa-siswi di sana.

Oh, selain karena olahraga bola basket sangat digemari oleh siswa asing, kenyataan bahwa lima orang pemain inti tim basket SMA Internasional benar-benar memilik visual yang memukau kaum hawa. Mereka merupakan topik hangat yang dibahas sepanjang hari.

Tim inti terdiri dari Uzumaki Naruto, sang ace, yang merupakan blasteran Swedia-Jepang–cowok hottie; Uchiha Sasuke, si casanova muda yang berasal dari keluarga terkaya no. 3 di Jepang; Akatsuna Sasori, pemain basket tingat prefektur yang digilai banyak wanita karena seringai khasnya; Otsutsuki Toneri, pemuda dengan perawakan tenang dan gesit; serta Shimura Sai, yang senyumnya ramah dan memikat.

Menggaet mayoritas pemuda bervisual menawan di Tokyo International School membuat siswi-siswi ramai memperbincangkannya. Tentu saja Hinata mendengarnya.

Hyuuga Hinata, Hinata panggilannya. Kini, gadis itu tak bisa tenang belajar di kelas hari ini. Selain kenyataan bahwa lomba itu akan berlangsung nanti sore dan ia sudah terlibat akan janjinya pada Sasuke.

Ugh.

Perutnya tak nyaman dan rasanya bikin mual. Ia belum mempersiapkan apa-apa—dan tak tahu apa yang seharusnya disiapkan, selain dari mental dirinya sendiri.

Beberapa gadis di kelas kalkulus—kelas yang Hinata ambil saat itu—sampai membuat kerumunan disekeliling Hinata. Beberapa diantaranya menarik kursi untuk mengobrol lebih dekat.

Tentu saja siapa yang tak tahu kalau putri dari keluarga Hyuuga ini sedang santer-santernya didekati oleh Uchiha Sasuke. Bahkan rumor kencan mereka saja sudah menyebar luas.

Hinata bingung menampiknya. Toh, ia memang jalan dengan Sasuke, tanpa status. Mendengar nama Sasuke tiba-tiba menerbangkan ingatannya pada kemarin malam—memori yang ingin ia lupakan.

Ia menyentuh pipi kirinya, merasa wajahnya mulai memanas. Ia tak pernah menduga akan kecolongan sesering itu.

Mari kita putar sebentar beberapa kejadian yang baru-baru ini terjadi. Hinata mendapati dirinya telah diserang secara bertubi-tubi oleh Sasuke; kecupan di dahi dan di pipi.

Well, Kehilangan kata-kata adalah respon paling tepat. Dasar Uchiha itu, benar-benar jago mencari kesempatan.

Hinata tak ingin ayahnya tahu. Bila ketahuan, bisa-bisa malam ini juga ayahnya akan mengadakan pertemuan, antara keluarganya dan Uchiha, untuk membahas masalah—besar, bagi bangsawan Hyuuga—ini ke ranah yang lebih formal.

Yah, sebuah pertunangan, misalnya.

Ia bahkan belum menginjak 17 tahun dan sekarang bukanlah era yang lazim untuk pernikahan muda di Jepang. Hinata menghela nafas dan memusatkan perhatiannya pada keadaan disekitarnya, ruang kelas dengan siswi-siswi yang ribut.

Berbeda dengan kebanyakan drama televisi, yang menunjukan kondisi sosial sekolah akan terganggu bila pangeran sekolah tersebut dekat dengan seorang gadis. Dalam drama, akan muncul sebuah persitegangan antara kaum penggemar dengan sang pacar—atau sang teman kencan—yang sangat jelas berbeda dari kehidupan nyata.

Nyatanya, siswi-siswi sekolah internasional lebih berpikiran terbuka dan kisah-kisah seperti itu hanyalah kisah lawas. Menggemari bukanlah harus memiliki—mengencani boleh jadi.

Alih-alih bertengkar, mereka malah asyik mewawancarai Hinata, apakah ia akan menghadiri pekan olahraga hari ini, dimana kekasih—atau teman kencan—nya akan turun ke lapangan untuk bermain.

Hinata agaknya malas menjadi pusat perhatian beberapa kaum perempuan dikelasnya. Tapi toh dia tetap menanggapinya dengan tenang.

"Um, ya, aku mungkin akan hadir."

"Oh really? Should we looking for a seat for you? aku dan Mitty udah booking beberapa." Sahut Alice antusias.

"Well, im not sure. Sebenarnya aku tak tahu harus apa disana." Hinata terkekeh kalem. Menundukan pandangannya karena malu.

"Ayo ikut saja, aku penasaran sama Sasori, by the way." Sahut Tenten, kemudian melanjutkan ketika melihat tatapan Hinata, "easy, gurls. Neji tak pernah mempermasalahkannya." Lanjutnya sambil nyengir.

Hinata memainkan pensil mekaniknya sangsi.

"Oh kamu harus datang Hinata. Memangnya kamu mau lihat Sasuke digandrungi sama Haruno Sakura? Itu loh, gadis berambut merah muda. Kamu sekelas dengannya di kelas mandarin." Sahabatnya Shion terdengar sedang berdiplomasi.

Sekumpulan gadis lain disana tertawa dan melanjutkan obrolan maupun sesi wawancaranya. Hinata tak benar-benar memperhatikan. Pikirannya melayang-layang, tentang apa yang akan ia lakukan sore nanti.

Mungkin aku harus browsing sedikit tentang permainan bola basket.


*** Stacie_Beautiful Mosaic ***


Hinata tertunduk lesu. Ia benar-benar tak siap untuk sekedar nonton olahraga basket. Ia tak suka olahraga. Ia makin cemas dengan reaksi teman-teman Sasuke.

Pengalaman menerima beberapa catcalling membuat Hinata sedikit malas berada diantara sekumpulan pria. Meski ia tak yakin teman-teman Sasuke nekat melakukannya terang-terangan di depan… temannya itu.

Hinata melambatkan langkahnya dan berpikir lebih dalam tentang statusnya dengan Sasuke. Jelas-jelas Sasuke menyukainya dan mungkin dirinya sendiri mulai bisa menerima kehadiran Sasuke. Tapi bagaimana dengan status hubungan mereka?

Benar-benar acak—random, dan tak jelas. Namun indah.

Hinata mengangguk-angguk.

Dasar, kamu dan aku jadi seperti rangkaian mosaic; beautiful mosaic.

Hinata mengangkat bahu, mana mau ia menyatakan perasaan pada Sasuke. Dia ini dari kalangan bangsawan loh, darah biru! Bagaimana bisa ia rendahkan dirinya dengan melamar seorang laki-laki.

Hinata terkekeh sendiri membayangkannya.

Menyadari perpustakaan telah dekat, ia kembali mengontrol air mukanya. Bisa dicap aneh dirinya, jika ketahuan senyum-senyum sendiri.

Hinata menyapa Mrs. Hellen, seorang pustakawati, ketika melewati mejanya dan dibalas dengan sapaan ramah. Setelahnya, gadis itu dilanda kebingungan. Kira-kira, topik apa yang enak untuk dibaca siang itu?

Rak demi rak ia susuri dan berakhir menyerah.

Hinata tak dalam suasana hati yang baik untuk belajar apapun saat ini—di tengah rasa cemas yang mengaduk-aduk perutnya. Setelah sekian banyak rak, ia berhenti pada rak bertanda 'Seni'.

Ia melihat judul-judul buku dan hasil penelitian seputar seni rupa, musik, sastra, dan masih banyak lagi. Menghela nafas, lagi-lagi ia harus kembali pada musik.

Well, Mungkin aku harus belajar ilmu teater, soon. Pasti menarik.

Ia melihat beberapa kumpulan partitur dan mungkin saja memilih musik perayaan natal dapat meringankan beban pilirannya—malahan ia berharap pikirannya akan seutuhnya teralihkan.

Semoga saja.

Dibawanya satu map besar bertanda 'Christmas' yang memuat beberapa lembar partitur, mulai dari lagu tradisional, anak-anak, hingga modern. Meski sebenarnya kegiatan ini sedikit sia-sia karena ia telah memilihnya sebelum hari ini datang.

Hendak melangkah ke meja favoritnya, ia malah menemukan pemuda tinggi bersurai merah. Bercangkung memandangi rak bagian bawah, masih satu lajur dengan rak 'Seni'.

Hinata mulai heran, mengapa ia selalu bertemu dengan Gaara ketika sedang bersantai dengan hobi klasik—dan membosankan—nya ini.

"Hai, Sabaku-san."

Gaara mendongak untuk menemukan sang empu suara. "Oh," perlahan ia bangkit dan menatap Hinata tenang, "Hai."

Pembawaan tenang Gaara merupakan obat untuk Hinata, yang sejak pagi kelelahan, dikerubungi oleh gadis-gadis antusias dengan mata ingin tahu.

Gaara melihat map yang kini berada dipelukan Hinata dan bergumam tenang, "Mencari musik lagi?"

"Lagi?" Hinata melangkah mendekat.

Gaara mengangkat bahu asal, "Kupikir beberapa lembar kemarin telah mewakilkan pilihanmu."

Hinata teringat tentang pertemuannya dengan Gaara di ruang musik dan mengangguk, "Sebenarnya, aku sedang kurang kerjaan, kamu tahu."

Gaara tersenyum tipis mendengarnya. "Mungkin kau bisa membantuku." Katanya, lalu mengalihkan pandangan pada rak disampingnya. "Aku butuh beberapa pustaka untuk kelas sastra Jepang."

"Oh, tentang apa?" Tanya Hinata antusias.

"Teknik penulisan seniman Jepang terhadap karya tulis ilmiah modern." Gaara sedikit mengerutkan dahinya, "Aku tak terlalu paham tentang Sastra Jepang."

Hinata tertawa maklum dan pergi ke sebuah rak. Ia menatap rak buku tinggi disana, sembari jari telunjuknya diletakan di bibir; tanpa sadar. Ia membaca pelan judul-judul yang tertera disana.

Gaara mengamati dalam diam, tak berniat untuk bergeser dari tempatnya berdiri saat itu.

"Ah! Lihat." Hinata menarik beberapa buku dan menunjuk ke salah satu deretan yang tinggi, "Tolong ambilkan yang itu."

Gaara hanya menurut dan mengambil buku itu dengan mudah. Lalu menerima beberapa buku dari Hinata.

"Coba bacalah. Kupikir ini bisa jadi bahan referensimu." Hinata menahan senyumnya ketika mendapati wajah Gaara dipenuhi tanda tanya. "Tulisan mereka tidak terlalu sulit untuk dibaca, bahkan untuk orang awam yang baru belajar bahasa Jepang."

"Terima kasih."

Hinata mengangguk lalu meninggalkan Gaara, berjalan menuju meja favoritnya. Belum sampai lima langkah ia berhenti dan menengok kebelakang. "Uh, Sabaku-san, kamu mau belajar bersama? Kita bisa berbagi meja."

Alih-alih menjawab, Gaara berjalan dan butuh dua langkah dengan kakinya yang panjang untuk tepat berada dibelakang tubuh Hinata. Hinata lantas tersenyum dan menunjukan meja favoritnya.

Meja favoritnya berada di sudut ruangan membaca, dekat dengan jendela kaca besar, yang panjangnya nyaris menyentuh lantai granit ruangan baca.

Setelah duduk dengan nyaman, Hinata memakai kacamatanya dan membuka lembaran map itu satu per satu. Gaara mengamatinya sesaat sebelum memilih kursi tepat disisi Hinata.

"Well, mari kita lihat, mungkin aku perlu menambahkan Christmas Snow-nya Xiao Ke. Not baloknya menggambarkan melodi yang indah." Hinata bergumam pelan pada dirinya sendiri, kemudian mengeluarkan memo kecil dan mencatat judul lagunya, serta memisahkan lembar partitur itu.

Setelah beberapa waktu terlewati dalam diam, Hinata menarik nafas dalam. Kebosanan mulai muncul. Mencari objek menarik, Hinata diam-diam mencuri pandang, menatap pemuda di sampingnya.

Jari-jarinya panjang dan kurus. Benar-benar jari seorang pemusik.

Semakin penasaran, Hinata membiarkan matanya beralih, dengan hati-hati ia mengamati wajah Gaara. Kulitnya putih bersih, sedikit pucat. Lehernya dililitkan syal tipis bewarna abu-abu. Bahunya lebar dan badannya tegap.

Irisnya—Hinata berusaha untuk tidak terhanyut oleh fantasi dadakannya—sedang memindai halaman buku dihadapannya dengan tenang. Iris mata Gaara tampak seperti jade; permata giok, hijaunya cerah dan terlihat sangat jernih.

Penampilan Gaara rasanya tak kurang sedikitpun. Bahkan dengan tinggi dan proporsi tubuh seperti itu, rasanya Gaara bisa menjadi model majalah fashion.

Hinata terheran dan berakhir bertopang dagu. Matanya memandangi jendela kaca di seberang meja baca dengan sorot kosong. Dari sana, terlihat pemandangan taman sekolah; dengan pepohonan yang mulai rontok daunnya.

Bagaimana bisa—atau bagaimana ada—pemuda seperti Gaara, yang sangat suka duduk di perpustakaan?

Tubuh Gaara cukup atletis dan dia terlihat seperti laki-laki tulen. Memikirkan karakter yang tepat untuknya sedikit sulit, mungkin ia tampak seperti penasehat muda kerajaan Inggris—karena terlihat sangat pintar dan berbakat—atau bahkan dia adalah pangeran muda.

Hinata sontak mengernyit atas sekelebat fantasi yang mengisi kepala. Putri Hyuuga itu mendesah sesaat, "Gaara,"

Gaara mengangkat wajahnya dan menatap Hinata sebagai jawabannya.

"Apa yang kamu pikirkan tentang musim dingin?"

Pemuda itu memperhatikan wajah Hinata sesaaat, membaca maksud dari pertanyaannya. Nihil. Hinata tampak seperti bertanya asal, "Salju." Gaara tersenyum. Mata Gaara tampak sangat hidup dan membuatnya semakin nyaman untuk dipandang.

"Aha," Hinata mendesah pelan,—mengabaikan kenyataan bahwa Gaara memiliki ekspresi yang menarik—.Pemuda itu betul-betul ya, jawabannya. Ia menahan giginya gemas, "Selain itu, selain salju dan rasa dingin!" ia melirik Gaara untuk memperingatkan kecil.

Gaara tergelak pelan lalu berhenti untuk merenung, "The Four Seasons-Winter, gubahan Vivaldi."

"Oh Tuhan!" Hinata menegakkan duduknya dan menatap Gaara penuh minat. "Aku pernah mendengarnya ketika nonton konser orkestra di Italia tahun lalu. Itu benar-benar luar biasa."

"Benar."

"Kamu menyukai musik konserto?"

"Entah." Gaara mengangkat bahu, berniat kembali membaca.

Merasa wajahnya ditatap tanpa henti membuatnya mendesah pelan sebelum membalas pandangan Hinata. Ia berujar tenang, "Semua jenis musik ada warna khasnya. Toh aku kadang memainkan rangkaian The Four Seasons sendiri di rumah, tanpa orkestra." Gaara tersenyum remeh, menganggap itu lelucon.

Hinata menatapnya heran.

"Oh well, aku tak punya tim orkestra pribadi." Gaara kembali tergelak, kemudian menjelaskan. "Ya, mungkin saat menonton konser, konserto seperti the four seasons baiknya diiringi oleh orkestra, lebih nikmat jika ditemani soneta yang dinyanyikan merdu."

Menyadari maksud Gaara membuatnya mengangguk-angguk. Tiba-tiba rasa kagum dibuatnya, ternyata Gaara bisa memainkan rangkaian the four seasons, pasti jari tangannya gesit sekali. Hinata benar-benar kagum.

"Nanti tunjukan padaku, ya, permainanmu." Hinata tampak berharap.

"Jika kita bertemu."

Hinata tergelak. Bersama Gaara membuat sedikit kecemasannya lenyap.

Berbeda rasanya ketika Hinata duduk bersama sang Uchiha; rasa was-was muncul, sebagai respon dari kegiatan dadakan Sasuke yang di luar ekspektasi Hinata.

Sasuke sering membuat jantungnya berdetak tidak teratur. Bersama dengan Sasuke terkadang membuat ia lupa akan beberapa hal dan hanya fokus pada pemuda itu seorang.

Terlebih, belakangan ini Hinata jadi ingin menyentuh pemuda itu tanpa sebab.

Rasanya, Gaara lebih tenang—gerak tubuh, suara, serta pola pikirnya—dibanding Sasuke yang berapi-api dan berjiwa sangat bebas. Jika bersama Sasuke, tubuhnya jadi panas dingin. Sedangkan bersama Gaara ia menemukan ketenangan dan kenyamanan.

Bertemu Gaara merupakan sebuah kejutan. Pemuda itu membuatnya sering tergelak oleh hal remeh. Ia merasa Gaara semacam obat penenang untuk syarafnya.

Ah, hiruk-pikuk lingkungan dan orang-orang disekitar Hinata agaknya membuat gadis itu stress tanpa sadar.

Sebelum ini, Hinata berusaha keras untuk mengubah kepribadian diri, dari introvert menjadi ambivert, agar menjadi pribadi yang lebih baik. Ia ingin memiliki pola pikir dan respon sosial yang lebih seimbang. Ia ingin menjadi putri Hyuuga yang berhasil dan tidak mengecewakan ayahnya.

Namun, ada kalanya ia mencapai batas dan merasa sangat lelah untuk berubah. Ada hari dimana ia ingin bersembunyi dibalik selimut karena rasa sedih tak bertuan, ataupun rasa cemas yang mengerikan. Di hari lain, ia juga ingin menyendiri saat menghabiskan bekal ataupun belajar di perpustakaan tanpa gangguan.

Tapi menyendiri bukanlah ide yang bagus.

Ia harus bisa menjalin relasi dengan baik kepada orang lain; seperti sosok ayahnya. Ia adalah seorang Hyuuga, bagaimana bisa ia mendiamkan teman-teman dari keluarga terhormat ketika berada dalam pesta ataupun jamuan makan?

Itu tidaklah sopan dan ia tahu.

Hinata tak ingin berlaku buruk, tapi jantungnya berdetak sangat keras ketika ia ingin melempar topik dan tiba-tiba ia bertingkah seperti orang gagap.

Ia sangat takut untuk melihat wajah ayahnya ketika ia tergagap, sehingga Hyuuga Hinata hanya menunduk ke bawah karena rasa bersalah dan malu.

Bagaimana bisa ia hanya berdiam diri, disaat orang-orang dengan status sosialnya yang sama malah lebih aktif dalam sebuah diskusi; menunjukan intelegensi mereka masing-masing. Sementara Hinata hanya bisa berdiri di sudut ruangan, sambil menunduk, menahan rona pipinya dan menggerakkan tangannya asal.

Memikirkan semua itu membuat Hinata menangis tiap malam. Ia sungguh tak ingin menjadi seorang Hyuuga yang gagal. Ia ingin ayahnya bangga memiliki Hinata sebagai putrinya.

Bukan membiarkan ayahnya merasa malu karena memiliki putri yang tak bisa apa-apa sepertinya, Hyuuga Hinata, yang pemalu dan tak bisa berbicara dengan baik.

Setelahnya, Hinata pergi ke toko buku dan menemukan bacaan ilmu psikologi. Ia tersadar dan lambat-laun mulai mengenali karakter dirinya sendiri. Beberapa waktu berlalu, Hinata kemudian membeli setumpuk buku dan belajar mengenai pengembangan diri dan memfokuskan untuk menjadi lebih imbang; karakter ambivert.

Perjalanan itu lama sekali ia lakukan sampai berada di tahap ini. Dimana ia lebih mudah bergaul bersama teman-temannya, menginggalkan status kurang pergaulan yang pernah ia kalungi saat sekolah dasar dan sekolah menengahnya dulu.

Memori itu berlalu-lalang di kepala Hinata.

Hinata tersenyum getir, merasa lelah dengan keadaan yang tanpa sadar menekan mentalnya. Pun ketika ia bersama Sasuke, ia merasakan sebuah tekanan yang baru.

Lebih gila daripada lingkungannya sekarang. Benar-benar Sasuke itu! Ia selalu membuat jantungku berdetak tak karuan.

Ia harus bertahan untuk melindungi dirinya dari serangan Sasuke yang mulai bermunculan—dan ia mulai kesulitan untuk mengontrolnya.

Hinata menolehkan wajahnya dan menatap Gaara yang kini tengah membaca bukunya. Lantas saja, Hinata memejamkan mata sambil bertopang dagu.

Gaara membuatnya sering tergelak. Aneh. Ia merasa Gaara adalah semacam obat penenang untuknya.

Mungkin karena kebiasaan Gaara adalah mendengar musik klasik, sepertiku. Kita berada di satu pola pikir yang sejalan. Pola pikir Sasuke lebih berani, liar dan bebas, membuatku sedikit pusing akan langkah-langkahnya.

Hinata melamun sendiri.

Gaara berdehem untuk menarik kesadaran Hinata.

"Hei—."

"—Hyuuga Hinata,"

"Nah, Hyuuga-san," Gaara diam, menggaruk tengkuknya dengan ekspresi ragu.

Perut Hinata tergelitik. Ini pertama kali ia mendengar Gaara memanggil namanya—meski hanya nama keluarga.

"Ya?"

"Ini…" pipi Gaara samar-samar merona dan itu membuat Hinata gemas sendiri. Tak pernah terbayangkan jika pemuda pendiam seperti Sabaku Gaara bisa menggemaskan itu.

"Ya?"

"Apa ini?"

Gaara sedikit sangsi ketika menunjuk ke satu huruf kanji dengan guratan yang sangat banyak. Hinata harus mendekatkan badannya lebih dekat dengan Gaara untuk melihat tulisan itu dengan jelas.

"Oh yaampun, tak kusangka kanji ini akan muncul." Hinata menatap Gaara sedikit iba. "tertulis Honnou. Ini kanji yang cukup sulit loh, lebih dari 100 guratan."

Gaara balas menatap Hinata skeptis, dengan bibir membentuk garis lurus. "Aku tak paham."

"Kanji honnou sama artinya dengan yokubou; keinginan, kedamaian, kepahitan, tergantung kalimatnya."

"Oh."

"Love-hate relationship ya, dengan kanji." Hinata masih bertopang dagu, menatap buku itu.

"Tepat."

"Nah, Sabaku-san, apa kamu tidak tertarik dengan lomba?"

Gaara masih membaca bukunya, tak tertarik menjawab.

"Maksudku, kamu dengar kan seisi sekolah tengah membicarakan lomba olahraga yang berlangsung sepekan ini?"

"Ya."

Hinata jadi ragu untuk bertanya. "Kamu tak suka olahraga?"

"Aku bermain anggar dan golf."

Tipe orang bangsawan begitu.

Melihat ekspresi Hinata yang tak bersemangat, ia melanjutkan, "Aku main sepak bola dan kriket—tapi kriket hanya saat kecil."

Ah, ternyata dia bisa main dalam tim. "Benarkah? Kamu mau coba ikut lomba sepak bola tidak?"

Gaara menolak dengan halus. "Sekolah ini punya tim yang baik—dari ekskul sepak bola. Aku hanya akan menonton."

"Ah begitu. Benar juga, pasti anak-anak klub sepak bola sangat menantikan event ini ya. Kudengar sekolah ini punya agenda tahunan; turnamen dengan sekolah lain." Hinata kembali bertopang dagu bosan.

"Kenapa?"

"Kupikir aku bakal dapat teman yang tak suka olahraga." Tukas Hinata asal, sambil memandangi jendela kaca itu lesu.

Gaara kembali tergelak.

"Oh kamu bahkan menertawaiku. Serius, aku tak pandai di bidang itu."

"Apa aku terlihat seperti tak suka olahraga?"

Hinata membalasnya cepat, tak acuh, "Tidak juga, kulihat tubuhmu—," dan secepat kilat ia menggigit lidahnya sebelum perkataannya menjadi masalah. "—Aw."

Gaara mengalihkan wajahnya menatap Hinata. "Tubuhku aw?"

"Bukan!" sergahnya panik. Hinata cepat-cepat membuang muka. Khawatir pipinya merona.

"Apa maksudnya?" kini pemuda itu menyenderkan punggungnya ke kursi dan menatap Hinata penuh perhatian. Mulai masuk kedalam obrolan kecil mereka.

Hinata berusaha memacu otaknya untuk menciptakan kalimat yang masuk akal. "Lidahku tergigit."

"Ya, lalu?"

Hinata mengetukkan jari-jarinya ke meja kelewat cepat, sampil pikirannya penuh dengan kalimat, memilahnya dengan seksama. Gaara memperhatikan gerak-gerik Hinata.

"Itu…" Hinata menelengkan kepalanya sebelum beralih menatap Gaara, "kamu tinggi dan tegap. Kupikir… kamu jogging."sahutnya canggung.

Sedetik kemudian Hinata merutuki apa yang ia ucap.

Kenapa aneh sekali sih kalimatnya. Aku malu, ya Tuhan beri aku tiga detik untuk mengulanginya.

Hinata melirik ke meja, terlalu malu untuk melihat reaksi Gaara—yang mungkin saja akan menatapku sinting.

Tak mungkin jika aku bilang tubuhnya tegap dan berisikan otot. Bukankah itu terlalu personal? Aku akan di cap wanita murahan setelahnya.

Tak mendengar suara Gaara, Hinata akhirnya melirik Gaara dengan sudut matanya.

Jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat senyum teduh di wajah Gaara yang tenang.

Ya Tuhan. Respon yang tak diharapkan. Membuat Hinata malah berdebar.

"Apa yang kamu pikirkan?"

Gaara memberinya senyum singkat, "Tak ada." Hyuuga Hinata benar-benar lucu. Tukasnya dalam hati.

Hinata berdehem dan menatap jari-jarinya yang sedang mengetuk-ngetuk meja dengan asal, "Kamu bilang kamu pernah main kriket?"

"Ya."

"Kenapa berhenti? Aku hanya pernah lihat sesekali, pas mengganti channel tv ke channel olahraga." Hinata mutar bola matanya ke sudut kanan atas, mengingat-ingat.

"Di Jepang tidak ada kriket, ya."

Hinata sontak menatap Gaara skeptis, "Ayolah, tidak semua negara memainkan kriket di cabang olahraganya." Merasa tersinggung jika negaranya dibanding-bandingkan seperti itu.

Gaara terkekeh, "Easy, lady."

Hinata mendesah dan ikut tersenyum, lalu mengikuti Gaara untuk bersender di sandaran kursinya dengan santai. "Jadi, mau cerita?" Hinata mentapnya dengan tatapan berbinar.

Gaara melihat itu dan tersenyum lembut, "Kurasa sulit untuk menolak."

Dan tak ada apapun. Harusnya.

Tapi Hinata tersentuh dengan senyum dan suara lembut Gaara. Suara Gaara benar-benar merdu dan memikat hatinya. Rasanya hatinya meleleh saat itu juga.

"Aku pemain kriket saat sekolah dasar. Di sekolahku, tim kriketnya hebat dan kita sering lolos lomba sampai ke tingkat kota."

"Wah, benarkah?"

"Tapi aku berhenti setelah tiga tahun. Jariku sempat cedera," Gaara mengangkat jari manis dan kelingkingnya, "Jadi orang tuaku menyuruhku berhenti."

"Oh ya Tuhan, aku turut berduka untuk jarimu," Hinata menatap dua jari itu iba, "Ah, tapi kamu tetap bisa bermain piano dengan baik, bukan begitu?"

"Ya, puji Tuhan." Gaara tersenyum dan mengangkat bahu, "Tulangnya sedikit bergeser dan aku perlu menjalani terapi tulang." Gaara tersenyum merenung.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Oh, tak banyak. Ibuku menyukai musik klasik sejak muda, ia ingin aku lahir untuk menghibur kegundahannya lewat musik."

Hinata tersenyum, teringat mendiang ibunya. "Ibumu orang baik. Ia khawatir kamu terluka."

"Memang."

"Memangnya kamu tak mencoba hati-hati? Kamu tampak seperti menyukai kriket."

Gaara terkekeh, "Kriket itu menyenangkan, ada banyak teman disana, tentu saja semua orang menyukainya." Dan Gaara terlihat sangat jujur ketika bercerita dan intonasinya mengalun tenang,

"Ya, aku tak hati-hati. Saat itu sedang musim semi dan kita sangat bersemangat karena tahun terakhir bermain. Kami ikut lomba antar kota dan masuk final.

"Kami mengikuti permainan dengan 4 Innings—babak—, jadi butuh 4 sampai 5 hari. Hari dimana aku menjadi pemukul adalah hari ke 5 dan timku nyaris kalah,

"Aku memaksakan untuk run setelah memukul agar bisa dapat skor, sehingga hasilnya seri. Tapi hari itu benar-benar terik dan semua penjaga lapangan sangat menggebu-gebu—," Gaara tergelak kala mengingatnya, "—jadi mereka berusaha menangkap bola itu seperti orang kesetanan,

"dan aku pun sama, lari seperti orang dikejar anjing. Sialnya aku tergelincir ketika mendekati pitch terakhir dan terjatuh dengan posisi tangan yang malang."

Hinata terperangah, setengah tak mengerti. Tapi mungkin sistemnya sedikit mirip dengan baseball, batin Hinata mengingat pemain harus berlari ke pitch satu ke pitch lainnya.

Setelahnya Hinata mengangguk-angguk dan berkata setengah maklum, "Dasar anak kecil."

Gaara benar-benar tertawa lepas mendengarnya dan Hinata harus menarik bahunya lalu mendesis, "Sssttttt." karenanya.

Setelah mereka terdiam, malah Hinata yang tertawa tertahan. Gaara menatapnya heran dan ikut tertawa bersama pada akhirnya.

"Oh, celakalah kita, menertawakan kemalanganmu." Hinata menghapus setitik air disudut matanya.

"Kenapa kau tertawa?" Tanya Gaara santai.

"Karena lucu saja, membayangkan kamu menertawai ucapanku. Maksudku, selera humormu itu terlampau cetek." Hinata mengangkat bahu dan tersenyum.

"Kupikir begitu." Gaara balas tersenyum menatapnya.

Hinata merasakan getaran yang bersumber dari saku almamaternya. Ia dengan sigap mengambil gawainya dan melihat ada 2 email masuk.

Masih menatap layar, tiba-tiba masuk satu email lagi. Total tiga email masuk dari orang yang sama.

Hinata mendesah lalu membukanya satu persatu.


From : Uchiha Sasuke

Subject : Pengingat

[Jangan lupa untuk hari ini. Aku sedang latihan sekarang, jadi tak bisa menemuimu di Perpus. Sampai nanti.] 12.03 p.m


From : Uchiha Sasuke

Subject : Buka dan Balas

[Aku akan menjemputmu nanti, kelas terakhirmu fisika, kan? Tunggu dan diam saja.] 12.55 p.m


From : Uchiha Sasuke

Subject : Balas sekarang

[Kau dimana sekarang? Aku baru selesai makan siang. Aku akan kesana.] 12.55 p.m


Hinata tampak berpikir sejenak. Waktu istirahatnya hanya tinggal sepuluh menit menit. Bagaimana bisa dia bersantai dengan Sasuke, bahkan berjalan melewati koridor bisa sampai dua menit.

Ah.

Hinata mendesah kecewa. Ia baru sadar jika harus masuk kelas lagi. Mau tak mau ia harus mengucapkan sampai jumpa dengan Gaara, padahal obrolan mereka sedang asik-asiknya.

Drrt.

Lagi, satu email masuk dan Hinata mendesah, kembali membacanya,


From : Uchiha Sasuke

Subject : Aku akan menelpon

[Aku beri waktu 1 menit untuk membalas] 12.56 p.m


Hinata harus memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit dan mengetik dengan cepat.


To : Uchiha Sasuke

Subject : maaf

[Aku ada kelas jam 1.05 p.m, Sasuke. Kita bertemu nanti sore, okay? Aku akan menunggumu di kelas fisika.] 12.56 p.m


Hinata menggigit bibirnya dan mengetik lagi,


Subject : Semangat!

[Semangat untuk latihanmu, jangan terlalu keras, nanti kamu bisa kelelahan…jangan bolos kelas bisnismu.] 12.56 p.m


Hinata menatap layar gawainya untuk terakhir kali sebelum akhirnya memasukan benda itu ke dalam saku. Lalu beralih menatap Gaara yang ternyata memperhatikannya penasaran.

"Ah, itu… temanku." Hinata menggigit bibir, "Ia ingin menemuiku tadi, tapi aku harus masuk kelas. Yah, berarti kita juga harus berpisah." Hinata tersenyum lemah.

Gaara mengangkat bahu, "Sepertinya temanmu marah-marah ya." Responnya, menatap wajah murung gadis itu. Gaara beralih menatap bukunya, "Aku masih disini, kelasku mulai setengah dua."

"Ah, tidak juga…" Hinata menunduk ragu.

Gaara bergumam, setengah melamun, "Kau tak pandai berbohong."

Hinata tertawa kecut. "Dia memintaku datang ke pertandingan sore ini—," Hinata menggigit bibir bawahnya karena cemas, "aku kurang pengalaman nonton pertandingan, jadi aku sedikit cemas."

Gaara mengangkat kepalanya, menatap lurus kedepan dengan pandangan melalang buana.

Tentu saja, pertandingan hari ini adalah bola basket pria.

Rasanya ia jadi tak ingin melakukan apapun siang itu. Suasana hatinya mendadak muram dan sorot matanya sedikit kecewa.

Gaara kembali mengalikan pandangannya, menatap Hinata dan tersenyum simpul. "Cobalah untuk datang. Bola basket itu menyenangkan."

Hinata berdiri dari kursi dan melepas kacamatanya, kemudian mengeluh. "Kenapa dia memaksaku untuk datang ya? Padahal sebelum ini biasa saja."

Gaara masih menahan senyumnya. "Pasti dia senang kalau didukung langsung olehmu."

Hinata tersenyum memikirkannya dan Gaara memutuskan untuk kembali menatap bukunya. "Nah, kalau begitu sampai jumpa, Sabaku-san. Aku mau ke kelas."

"Ya, sampai jumpa lagi."

Hinata meninggalkan Gaara, mengembalikan map tebal itu dan meninggalkan perpustakaan. Sedangkan Gaara mendapati dirinya kesulitan membaca dan hanya stuck disatu huruf kanji yang sedari tadi tak bisa dipahaminya.

Well, bukannya tak paham, tapi konsentrasinya hanya sedikit terganggu.


*** Stacie_Beautiful Mosaic ***


Kelas terakhir telah usai dan ruang kelas sekonyong-konyong sepi. Tentu saja.

Dominasi siswa-siswi itu kini tengah berbondong-bondong ke dua titik, antara gymnasium, untuk menonton pertandingan atau gerbang sekolah, untuk pulang.

Hinata masih duduk tenang dikursinya. Tangannya sewaktu-waktu bergerak, mengusap layar gawai dan terdiam setelahnya; membaca website seputar olahraga bola basket.

Permainan bola basket pada dasarnya sangat mudah dicerna. Sejauh ini permainannya menyenangkan namun melelahkan. Ia pikir menyediakan irisan lemon dalam madu memang cocok untuk mengembalikan energi.

Sayangnya, ia terlanjur mengiyakan perintah Sasuke, untuk tetap diam menunggu pemuda itu menjemputnya.

Mana sempat ia meramu minuman seperti itu sekarang. Yah, kecuali kalau ia menelpon sopirnya untuk membawakannya irisan lemon dan madu itu sendiri.

Hinata tersenyum dan melakukannya dengan cekatan.

Beres.

Setelah menelpon sang sopir keluarga, kini ia tinggal menunggu Sasuke dengan tenang.

Sedikit curang, sih, toh bukan dia yang buat. Tapi, alasan Hinata menyiapkannya, kan, bukan karena mau mencari perhatian Sasuke, melainkan memberinya suplemen agar Sasuke tetap fit.

Tak lama, gadis itu mendengar derap kaki menuju kelasnya. Hinata berpaling menatap pintu dan benar saja, wajah Sasuke sedetik kemudian muncul.

Hinata sontak berdiri dan meraih tasnya, lalu berjalan ke arah pintu kelas. Kepalanya disambut oleh telapak tangan Sasuke yang hangat.

"Menunggu lama?"

Hinata merona merasakan sentuhan Sasuke di rambutnya, lalu menggeleng, menghindari tangannya dan menjawabnya. "Ah, tidak juga."

"Ayo." Sasuke berjalan santai, menarik tangan Hinata.

Ayolah, Hinata tak nyaman sekarang. Perutnya geli dan rasanya ada sensasi yang berbeda. terakhir kali Sasuke menggenggam tangannya—kalau ia tak salah ingat—adalah kencan pertama mereka di taman bunga. Sudah lama sekali.

Rasanya, respon tubuhnya sedikit berlebihan sekarang.

Hinata mengeluh dan menggerakan tangannya gusar, "Oh dear, aku gak bakal lari, kok, Sasuke."

Sasuke masih saja berjalan santai tanpa mau melepas tangan Hinata.

"Nanti dilihat orang-ora—."

"—Memangnya kenapa kalau dilihat?" Sasuke menoleh, menatap Hinata penasaran.

"Um. Well," Hinata menimbang-nimbang sebelum bersuara, "sekolah itu bukan tempat untuk bermesraan."

Sasuke masih meliriknya santai, "Memang pegangan tangan masuk katagori mesra?"

Hinata bersungut-sungut setelah mendengarnya dan menatap Sasuke tak setuju. "Kalau begitu, apakah wajar jika kamu menggenggam tangan… Shi-chan?"

"Dia temanmu, bukan temanku. Ngobrol saja tak pernah, bagaimana mau pegangan." Jawabnya santai.

"Sasuke~." Hinata sebal. Ia menggembungkan pipinya dan menahan kekesalannya.

Sasuke tersenyum, "Aku kan sudah janji untuk menemanimu kesana."

Uchiha Sasuke mudah sekali meluluhkan hati wanita jika sudah tersenyum dan berujar lembut begitu.

Walaupun sejujurnya Hinata ikut meleleh, ia masih bersikeras—melawan hasrat kalah dari dirinya—dan memilih untuk menekuk wajahnya.

Sasuke kembali menatap Hinata yang agaknya sedikit ngambek. Ia berdecak pelan sebelum akhirnya melepaskan tangan kanan gadis itu.

Gadis itu mendesah lega. Ia menyentuh bekas genggaman Sasuke ditangannya, lalu mengusapnya pelan.

Sekilas ia melirik sinis tangan jahil Sasuke, namun sedetik kemudian membisu. Matanya menangkap jam tangan kulit yang melingkar di lengan kiri—yang baru saja mencengkram Hinata seenaknya—Sasuke. Hinata menunduk, menatap langkah kakinya.

Diam-diam Hinata tersenyum simpul. Ia merasa senang sekali melihat jam pilihannya dipakai hari ini.

"Sasuke."

"Hn?" sahutnya tepat ketika mereka berbelok di ujung koridor. Lebih dekat dengan gymnasium.

Dari sana suara-suara supporter sudah mulai terdengar samar.

Tiba-tiba Hinata kembali gugup.

"Kenapa?"

"Ah, itu…" Hinata mendongak untuk menatap wajah Sasuke, "Apa kamu tegang?"

"Tidak."

"Benarkah?"

"Hn."

"Syukurlah. Kamu pasti bisa."

"Memang."

"Kenapa jadi percaya diri berlebihan begitu." Tukas Hinata heran.

"Karena ada kau disini."

Benar-benar, Hinata ingin berbalik pulang sekarang. Rasa malu bercampur kesalnya menjadi satu, melihat Sasuke terkekeh setelah mengatakan itu. Sasuke terlihat seperti buaya darat—tampan—yang sempurna.

Mereka berjalan menuju ruangan belakang, terus melaju sampai menemukan pintu yang menghubungkannya ke ruang loker barang dan pakaian.

Sasuke membuka pintu dan membuat perhatian para pemuda didalamnya teralih memperhatiannya.

Sebuah sahutan mulai muncul ketika menangkap sosok mungil di belakang tubuh Sasuke. Gadis mungil, bersurai indigo dengan mata lembayung muda yang cantik; teman kencan Sasuke—atau begitu yang digosipkan.

Sasuke berjalan santai dan kembali menarik pergelangan tangan Hinata, masuk ke dalam sana. Hinata benar-benar terkejut dibuatnya.

"Saa, Hinata, itu si kuning Naruto, lalu Sai, disana Sasori, ada Kabuto dan Deidara juga," Sasuke menunjuk satu per satu temannya yang sedang melakukan perenggangan kecil, lalu beralih menatap Naruto, "mana Toneri dan Shisui?"

Kabuto, Deidara, dan Shisui adalah pemain cadangan di tim.

"Ke toilet. Oh, Hai nona cantik." Naruto mengedipkan matanya pada Hinata, menggoda Sasuke—ya, menggoda Sasuke.

Sai tertawa melihatnya.

Sasuke mendesah dan memutuskan untuk mengabaikan Naruto. Sekonyong-konyong Sasuke jadi kesal, melihat respon Hinata yang tersenyum ramah—kelewat manis—untuk sebuah godaan sampah temannya satu itu.

"Abaikan saja orang bodoh itu." Sasuke melempar tatapan menegur pada Hinata.

Hinata lantas terkekeh pelan, lalu menatap seisi pemuda di ruangan itu dengan sopan. "Maaf mengganggu waktunya, aku Hyuuga Hinata."

"Mereka sudah tahu, tak usah kenalan lagi." Sasuke masih menyahut kesal, ia putuskan untuk berjalan ke loker dan meletakan tasnya. "Kau bisa duduk disana, Hinata." Ia menunjuk bangku putih panjang ditengah ruangan.

Naruto menyikut Sai dan saling melempar tatapan jenaka.

Bingung harus apa, Hinata memutuskan untuk menurut saja. Gadis itu akhirnya duduk disana dan menatap seisi ruangan itu bingung, lalu berakhir untuk memperhatikan gerak-gerik Sasuke.

Sasuke menarik kostum basket dari lokernya dan secepat kilat melepas kemeja seragam yang ia kenakan.

Hal itu membuat Hinata menahan nafas dan melirik asal ke sudut lain. Berusaha tenang. Walaupun semakin gusar ketika matanya sekelebat menangkap gambaran otot punggung Sasuke.

Sasuke benar-benar memiliki tubuh yang ideal.

Hinata malu mengakuinya. Pikiran itu membuatnya tanpa sadar merona.

Melihat itu semua, Sasori yang cuek bahkan sampai tergelak dibuatnya. Oh benar-benar pasangan yang lucu.

Hinata yang innocent membuatnya gemas dan ingin mengencaninya—sialnya Sasuke duluan yang menemukan gadis itu.

Sasuke tak ambil pusing dan diam saja mendengar tawa Sasori, lekas ia mengenakan bajunya. Sedangkan Hinata memutuskan untuk menunduk, menatap sepatunya canggung.

Tentu saja tahu sedang ditertawai oleh Sasori. Toh, Sasuke saja diam, masa dia harus merespon.

Kenapa aku harus berada di ruang ganti laki-laki, ya Tuhan. Hinata tersadar akan hal itu sedetik setelah ia menatap sepatunya.

"Hei Teme, sementara kau melepas celana, biarkan aku temani Hinata-chan, ya? Kau mau melakukan adegan porno?"

Hinata yang mendengarnya makin malu dan menunduk makin dalam, lalu memejamkan matanya secara tak sadar.

Pletak.

"Aw, sakit Teme~."

Ia mendengar langkah samar mendekatinya. Oh sungguh, ia tak butuh Naruto untuk menemaninya sama sekali. Sama sekali.

Puk.

Lagi-lagi sebuah telapak tangan mendarat dikepalanya, lalu mengelusnya pelan. Hinata benar-benar tak menyangka Naruto berani melakukannya, dihadapan Sasuke. Oh sungguh ini diluar perkiraannya. Ia tak siap.

Hyuuga Hinata mengepalkan tangan dipangkuannya dan tetap diam, makin rapat memejamkan mata, seraya berpikir respon terbaik apa yang akan ia keluarkan.

Telinganya mendengar kekehan kecil yang sangat ia kenali, sontak saja ia memuka mata. Hinata terbelalak mendapati wajah tampan Sasuke yang tengah berada tepat dihadapannya.

Sasuke tengah berjongkok dihadapannya dan tersenyum jail, lalu mengusap kepala Hinata sayang, "Kenapa?"

Tak ada yang bisa ia lakukan selain memukul bahu Sasuke dengan spontan dan menyipitkan mata, menatapnya kesal. "Kenapa kamu bawa aku kesini, sedangkan kamu sendiri malah ganti baju!"

Sasuke makin tergelak.

"Dia mengintipmu, Sasuke." Sindir Deidara jahil, disusul oleh gelak tawa Naruto, bahkan sampai terbahak-bahak.

Wajah Hinata jadi merah padam mendengar suara tawa Naruto dan merasa tersinggung. Ia bergumam lirih, "T-tidak… uh~."

Rasa canggung dan tertawaan Naruto terasa asing untuknya. Hinata menunduk untuk kesekian kali, menyembunyikan wajahnya dibalik poni ratanya.

"Oh ayolah bung, pergi ke court sana." Sahut Sasuke dengan nada memperingatkan, "Jangan goda gadisku."

Hinata masih menunduk.

Rasanya ia benar-benar malu dan kesal, serta tak tahu harus apa. Rasanya tubuhnya kaku dan tak ingin digerakkan. Ia ingin menunduk saja seharian.

"Hinata?" Bisik Sasuke, berusaha melihat wajah gadis itu tapi Hinata bersikeras untuk menunduk. Tak membiarkan seorang pun menatap wajahnya.

Sasuke berdecak kesal lalu melempar pandangan tak suka pada teman-temannya, "Sudah kuperingatkan kan tadi?" lalu menatap satu-satu disana dengan skeptis.

"Oh, ayolah man, kau buat Uchiha marah tuh," Sasori tersenyum, ia merenggangkan tangannya ke udara dan menatap teman-teman jahilnya disana, "Ayo duluan, biar Sasuke menyusul." Lalu berjalan duluan.

Teman-temannya mengikuti, hanya saja Naruto menjadi yang terakhir untuk keluar dari ruangan putih itu. Naruto berdiri sebentar di sisi Sasuke dan menatapnya tak enak.

"Oh, Hinata-chan, maafkan aku dan mereka ya. Sumpah kok kita hanya bercanda, jangan marah ya." Ia menggaruk tengkuknya, menatap pucuk kepala Hinata sangsi, merasa bersalah.

Hinata masih diam saja dan Sasuke seringai berisi perintah 'pergi sana' dengan jengkel.

Pemuda berkulit tan itu mengangkat barunya dan berseru, "Kutunggu kau di court, Teme. Jaa, Hinata-chan, nanti kita makan sama-sama ya." Kemudian menghilang dibalik pintu.

Sasuke mendesah pelan.

Onyx-nya memandangi Hinata yang masih setia menunduk dalam.

"Lehermu bisa sakit nanti."

"…"

"Angkat kepalamu, Hinata."

"…"

"Maaf. Mereka sudah kuingatkan untuk tidak aneh-aneh. Mereka hanya bercanda."

"…"

"Aku bawa kau kemari agar bisa berkenalan dengan teman-temanku."

"…"

Sasuke melihat Hinata yang agaknya amat betah untuk menunduk. Ya, bagaimana ya, saat latihan tadi siang dan sebelum menjemput Hinata, pemuda itu sudah memperingatkan teman-temannya untuk tidak melakukan kegiatan yang mengganggu Hinata.

Hanya saja, kalau masalah tadi sih, kan hanya bercanda, toh Sasuke juga tak menimpali dengan serius. Namanya juga candaan remaja laki-laki. Malah Uchiha muda itu pikir, candaan tadi masih lumrah-lumrah saja.

Bukan sesuatu sejenis catcalling atau candaan fisik—seperti rangkulan atau sentulan usil—yang biasanya malah lebih sering mereka lakukan ketika menemui wanita.

Uchiha Sasuke memutuskan untuk duduk bersila tepat didepan Hinata. Diulurkan kedua tangannya untuk menangkup pipi Hinata dan terkejut ketika merasa tangannya sedikit basah.

Ia putuskan untuk mengangkat wajah Hinata perlahan dan sekarang munculah wajah mungil Hinata dari balik tempat persembunyiannya.

Sebulir air mata jatuh dan Hinata cepat-cepat mengusapnya. Ia terlanjur malu dan malah tertangkap basah sedang menangis.

Ah, betapa cengengnya aku.

Sasuke menatap iris sayu itu, lalu menghapus setitik air mata disudut mata Hinata dengan ibu jarinya. "Maaf."

"Uh, t-tidak kok." Hinata melirik ke sudut lain, menghindari sepasang mata yang menatapnya lurus. "Kamu gak ke lapangan? Temanmu menunggu."

Kini, Sasuke yang diam, masih merengkuh wajah Hinata dengan lembut.

"Sas—."

"Mereka tak bermaksud buruk."

Hinata mengulum bibirnya.

"Padahal kemarin aku janji akan membuatmu nyaman… untuk datang."

"Ah, itu." Hinata melirik Sasuke dan nyatanya, iris gelap Sasuke masih menatapnya.

"Maaf ya."

"Ini bukan salahmu, kok." Hinata berusaha meyakinkannya dengan suara parau. "Akunya saja yang—."

"Mau kuantar pulang?"

"Eh," Hinata berjengit. "K-kenapa?"

Sasuke merasa ia benar-benar gagal membuat gadisnya nyaman. "Tak ada." Ia lalu menyapukan ibu jarinya dengan hati-hati ke pipi Hinata, "Kalau kau tak nyaman, kita bisa pergi."

"Tidak. Tidak mau." Tegasnya.

Sasuke mengangkat satu alisnya, "Kenapa?"

Hinata mendesah, lalu mengambil satu tangan Sasuke dari wajahnya, menggenggamnya. "Pertama, aku tak masalah dengan pertandingan bola basketmu, toh aku disini, kan, sekarang? Kedua, kamu bahkan sudah latihan sejak kemarin untuk pekan olahraga ini. Ketiga, teman-teman dan penggemar timmu sudah menunggu disana, aku percaya Uchiha Sasuke yang kukenal ini orang yang bertanggung jawab."

Sasuke masih menatap Hinata dengan tatapan yang sama, seakan tak pernah mendengar tiga alasan itu.

"Sasuke,"

"Hn."

"Mau menuruti permintaanku?"

"Apapun." Tukasnya pelan tapi pasti. Tangannya yang tersisa kembali mengelus pipi Hinata.

"Aku mau kamu menang hari ini."

"…"

"Kamu bilang tadi, 'apapun'. 'your wish is my command', Isn't it?"

Sasuke mendesah.

Hinata berpikir sesaat, lalu tersipu oleh pikirannya sendiri.

"Kenapa?"

"Ah… aku hanya berpikir sebuah… hadiah."

"Tentang?"

"Jika kamu berhasil menang."

"…"

"Kamu…" Hinata berdehem, ia tak habis pikir akan mengucapkannya demi menghibur Sasuke. "Boleh menciumku disini." Jari telunjuknya sedikit gemetar kala menunjuk pipi kirinya, yang kosong.

Pipinya makin merona.

Sasuke tertawa melihatnya. Tak habis pikir.

"Well, waktumu tak banyak. Kamu harus pergi untuk pemanasan dan coba lapangan sekarang."

Sasuke tersenyum tipis, sukses membuat Hinata berdegup cepat. "Hinata, dengar."

"…"

"Aku bisa menciummu kapan saja, kau tahu? Tapi terima kasih untuk tawaran hadiahmu. Sangat menggiurkan."

Hinata menggigit bibirnya sebal.

Sasuke terkekeh, jari telunjuknya menyentuh bibir Hinata, membuat gadis itu mematung dalam sekejap. "Jangan digigit sendiri." Lalu dengan lembut menyentuhnya, membebaskan bibir ranum Hinata terlepas dari gigitan kecilnya.

Sasuke lantas berdiri, tak melepaskan genggaman tangan Hinata pada tangan kanannya. "Ayo."

Hinata yang merona benar-benar mengganggu iman Sasuke. Tambah-tambah dengan mata sayu dan suara paraunya, membuat pikiran pemuda itu mulai tak sehat.

Hinata ikut berdiri, lalu membiarkan Sasuke menuntunnya. Mereka berada tepat di depan pintu ruangan putih, kala Sasuke memutuskan untuk berhenti dan membisu; hanyut dalam pikirannya sendiri.

Heran, Hinata mengangkat kepalanya dan menatap Sasuke bingung, "Sasuke?"

Pemuda itu mengusap rambutnya asal, tampak risi. Ia berbalik menatap Hinata dengan tatapan gusar, "Sejujurnya, aku benar-benar terganggu."

"Hee? Kamu harus fokus." Hinata menatapnya cemas. "Apa yang mengganggumu?"

"Kau." Sasuke mendesah dan membungkukan tubuhnya tepat di hadapan Hinata, lalu menatapnya intens. "Hyuuga Hinata."

Lagi.

Tatapan itu membuat perutnya geli, seolah-olah terisi oleh sekumpulan kupu-kupu yang tengah mengepakkan sayapnya.

Wajah Sasuke benar-benar dekat dengannya dan Hinata tak bisa berbohong jika tatapan matanya yang berbeda itu membuat tubuhnya sedikit begetar. Sasuke benar-benar menatapnya selekat itu.

"Apa…yang kamu mau?" Hinata berusaha menatap Sasuke. Menampilkan wajah innocent-nya dengan bibir sedikit terbuka.

Tatapan mata Sasuke jatuh tepat ke bola matanya, intens dan memikat hati Hinata, lalu turun ke bibir ranum Hinata yang terlihat lembab.

Ia menunjuk bibir Hinata dengan jarinya, lalu menyentuhnya pelan dan menekannya lembut. "Ini."

Hinata merasa melayang sekarang. Jantungnya berdetak dengan tempo acak-acakan, menerima sentuhan sensual Sasuke dibibirnya.

"Umh!" Ia mengatupkan mulutnya, menghadang masuk jari telunjuk Sasuke yang memainkan bibirnya.

Sasuke lantas menatap Hinata dengan tatapan sayu dan penuh harap. "Bolehkah?" lirihnya pelan.

Hinata meneguk salivanya, lalu menggigit lidahnya. Tentu saja ia harus menolaknya—andai saja bisa.

Sentuhan jari Sasuke beberapa saat lalu membuatnya merasa tak normal, ia takut dan jantungnya berdetak amat keras. Di lain sisi, tatapan mata Sasuke seolah-olah melucuti semua harga dirinya.

Sekonyong-konyong, Hinata juga menginginkannya. Atas alasan personal.

Uchiha Sasuke haus. Namun, ia berusaha bertindak sopan dengan meminta persetujuan Hinata, sehaus apapun Sasuke saat itu. Hal itu membuat suaranya lirih dan Hinata benar-benar ingin memeluknya sekarang, memberikan kenyamanan untuknya dan untuk diri sendiri.

Terdiam lama, Hinata merasa telapak tangan kanannya diremas pelan oleh Sasuke. Ia kembali menatap Sasuke sangsi, namun Sasuke terlalu indah dan hasratnya semakin kuat untuk menyentuhnya.

Hinata balas menatap Sasuke dengan lembayung muda yang sayu, lalu memejamkan mata, "Kemari, Sasuke."

Oh, hati Sasuke gemetar saat itu juga.

Tanpa basa basi ia menempelkan bibirnya ke bibir Hinata yang lembut dan selama berbulan-bulan mengisi mimpinya di malam hari.

Tangan kirinya yang kosong ia gunakan untuk menyanggah rahang Hinata, memposisikan agar Hinata lebih mendongak kearahnya.

Sebuah kecupan manis yang membuat perut mereka berdua serasa asing.

Cup.

Sasuke menarik wajahnya, lalu menatap wajah merah Hinata yang benar-benar menggoda. Matanya sayup-sayup menatap kearahnya malu. Oh demi Tuhan, ia hanya ingin mengecupnya saja, sebelum ia melihat sayupan mata gadis itu yang membakar hasratnya.

Sasuke melepaskan gandengan tangannya lalu menyentuh kedua bahu Hinata, memutarnya sehingga kini Hinata dapat bersandar pada daun pintu. Gerakan itu sangat cepat sampai-sampai Hinata linglung, belum-belum ia paham, bibirnya telah dilahap oleh Sasuke, lebih dalam.

Bukan, bukan lagi sebuah kecupan manis seperti niat diawal—dan telah ia lakukan beberapa waktu sebelum ini.

Sasuke membungkukan tubuhnya, memiringkan wajahnya, lalu menangkap bibir bawah Hinata dengan miliknya. Menyesapnya pelan lalu seiring berjalannya waktu memperkuat sesapannya.

"Mmmh." Hinata pusing. Ia tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Kenyataan bahwa kini dirinya berada di ruangan yang tak ia kenali, berdua saja dengan Sasuke, dalam posisi yang—begitu privasi membuat ia was-was dan melayang, pada waktu bersamaan.

Pernah sekali ia mencoba mendorong dada Sasuke untuk menjauh, namun nihil, Sasuke masih saja menciuminya tanpa ampun. Tangannya akhirnya menyerah dan bertengger pada kaos basket hitam yang pemuda itu kenakan, meremasnya halus.

Tak kenal ampun, Sasuke menginvasi kedua bibir Hinata secara bergantian dan terkadang menjilatnya. Sedangkan Hinata, yang merupakan pengalaman pertamanya, hanya bisa pasrah dengan apa yang Sasuke lakukan sekarang.

Terkadang ia merasa kehabisan nafas dan mulai memukul dada Sasuke karena panik. Sasuke lantas menepi, kemudian mengecupi dagu Hinata sesaat, sebelum kembali ke sana untuk memberinya gigitan kecil.

Hyuuga Hinata hampir merosot jatuh saat itu, ia merasa tungkainya tak berfungsi dan berubah menjadi jeli. Sasuke dengan sigap melingkarkan lengannya ke pinggang Hinata dan menahannya tanpa menghentikan aktivitasnya.

Bagi Uchiha Sasuke, yang memperjuangkan Hinata nyaris dua tahun—momen ini benar-benar sebuah penghargaan untuknya, buah kesabaran yang selama ini ia jalani.

Dalam pelukannya, kini Hinata tak banyak diberi kesempatan untuk berbicara, lantas hanya terdengar desah tertahannya dan potongan kata yang—tak jelas apa maknanya—tapi terdengar amat sensual di telinga Sasuke.

Oh ia tak sadar sudah berapa lama mereka saling berpangutan disana.

Sasuke menjauhkan wajahnya, menarik nafas dalam sambil menatap Hinata yang megap-megap. Wajahnya merah, semanis buah tomat kesukaannya. Humor itu membuat Sasuke terkekeh sendiri. Puas sekali melihat Hinata sekarang, yang kini tampil sangat menarik karena perlakuannya seorang.

"Sasuke~, ungh." Hinata merasa bibirnya sedikit bengkak.

"Hn?" dengan tangan kirinya, ia mengelus pipi Hinata manja, lalu memainkan jari-jemarinya ditelinga Hinata dengan jahil. Menggodanya.

"Uhhhh Sasukeee~."

Sasuke terkekeh dan berhenti, lalu menatap Hinata penuh perhatian. "Hn?"

"Aku pusing. Berhenti~." Hinata benar-benar berharap ia bisa merosot sekarang dan berbaring di lantai. Kepalanya terlalu berat untuk memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang.

Gadis itu menggerakkan kerah kemejanya gusar, merasa kepanasan. Sontak saja Sasuke melihat tahi lalat yang selalu ada disana, kesukaannya.

Oh demi Tuhan, ia merasa harus berhenti sekarang atau tidak sama sekali. Mengapa Hinata selalu bertindak—tanpa sadar—yang memprovokasi keinginannya.

"Hina—."

Tok tok tok!

"Sasuke? Uchiha Sasuke, kau disana?"

Hinata menjengit kaget dan menatap Sasuke ketakutan. Sebaliknya, Sasuke hanya menatap pintu dengan tenang.

Sial. Pelatihnya datang menjemput.

Sampai segitunya. Memang sekarang jam ber—oh. Sasuke lanjut mendesah melihat jam ditangannya.

Siapa sangka bersama Hinata yang rasanya hanya lima detik ternyata membuatnya terlambat lima menit. Pertandingan quarter 1 sudah mulai.

"Sasuke?"

"Ah, ya, sebentar, coach."

"Sedang apa kau?" pelatihnya menyahut dengan nada kesal.

Hinata mengulum bibirnya, tak tahu jawaban apa yang akan Sasuke lempar.

"Aku sedang mencari wrist band-ku tapi tidak ketemu."

"Lupakan benda itu. Cepat lari ke lapangan! Aku akan menunggumu dalam waktu 3 menit." Sesaat setelahnya terdengar langkah kaki menjauh, lalu sunyi senyap.

Sasuke mendesah lega lalu mengamati gadis dihadapannya; Hyuuga Hinata, yang selama ini ia nanti dan inginkan.

Sasuke memperhatikan gerak-gerik Hinata. Deru nafasnya yang tak stabil, ekspresi malunya, pipinya yang merona; sesuai dengan khayalannya setiap malam. Semua itu membuat Sasuke menyeringai senang.

Lihat, kancing teratas Hinata sampai terbuka. Mungkin tak sengaja terbuka saat Hinata merasa kegerahan tadi.

Secepat kilat Sasuke merapikan kancing itu, menutupnya dan tersenyum manis pada Hinata, mengelus kepalanya sayang. "Terima kasih. Tadi itu sangat berharga."

Hinata masih terlalu lelah untuk mencerna, tapi toh ia hanya mengagguk malu.

"Ayo, kuantar kau ke kursi penonton."

"Tapi pelatihmu bilang—."

"—Tak masalah, hanya sebentar. Sudah kucarikan tempat kok, untukmu."


TSUZUKU


Wah, chapter ini selesai juga. Word-nya hampir 7k. lol.

Semoga suka dengan bagian lime ini hohoho, maaf karena ini ratingnya jadi berubah. Kuharap tidak ada yang kecewa ya dengan perubahan ratingnya.

Semoga chapter ini memuaskan pembaca untuk Sasuhina dan Gaahina. Ingat, ini tahap prelude, jadi fokus kita sekarang adalah pada Uchiha Sasuke, sepakat? Sip.

Semakin banyak review semakin semangat untuk cepat up. And well, aku baru sadar kalau aku hobi posting fic di malam sabtu dan malam minggu.

Sudah sepanjang ini, masa sih, aku tidak diberi feedback dari review kalian? Kutunggu yaa! Oh iya, kalau kalian penasaran untuk lanjutannya, jangan lupa untuk centang Follow story ya, biar kalau update kalian dapat notifnya ^^

Oh ya, yang rindu SasuHina, aku baru post oneshoot Sasuhina terbaru, named Ventriloquist, may to visit and review, guys?

MIND TO REVIEW? THANK YOU

October, 05th 2019

Regard me,

Xia Stacie Kaniko