Previously:

Sedangkan sekarang lihatlah, Sehun lebih sukses, mapan lebih dari apa yang bisa dikatakan. Dirinya harusnya tidak memberikan kesan seolah dia masih membenci Kyungsoo atau sejahat dulu. Atau mengoloknya seakan itu lucu. Dia menyesal saat seringai Kyungsoo mirip dengan seringai Jongin sewaktu menghajarnya dulu. Mengerikan.

Pada akhirnya, Sehun membiarkan dirinya untuk dipukuli sampai ia pingsan dan giginya terlepas.


Do Kyungsoo & Kim Jongin

Angst, Romance, Hurt/comfort

Boy x Boy

Rated M for Mature Contents and Bad Language

For Adult Only! I've warned you!

A Kaisoo Fanfiction

AFTER YESTERDAY

-Chapter 05: MEDICATION-

By: Light Kailan


Sisa-sisa dingin masih ada. Suara serangga kecil bersahutan, terdengar terlalu nyaring di tengah malam. Luhan terjaga tidak bisa terlelap. Dia memandang wajah lebam Sehun dengan frustasi. Luhan mengusap wajahnya kasar.

"Lu," suara lirih datang dari hadapan Luhan. Dia menatap Sehun yang sedang mengumpulkan kesadaran.

"Pelan-pelan," sahutnya. Luhan membantu Sehun untuk bersandar di kepala ranjang. Kamar itu hangat sehingga mereka tidak perlu menggigil kedinginan. Minseok menyiapkan kamar tamu yang cukup besar untuk mereka menetap.

"Ugh. Aw!" Sehun meringis saat menyadari kepalanya tak bisa digerakkan dengan bebas. Rahangnya kaku.

"Ini. Minum obatmu." Luhan memberikan segelas air putih dan beberapa pil. "Kau berhutang penjelasan kepadaku," tambahnya.

"Aku baru saja bangun, Lu." Sehun mengernyit lalu mendesah panjang. Sedangkan Luhan melipat tangannya di dada. Sungguh dia bingung dengan yang terjadi sore tadi.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian? Kau sadar tidak? Kalian mencoba membunuh satu sama lain! Lihat, ini gigimu lepas." Luhan memberikan sebuah kantung kecil berisi geraham milik Sehun. Sehun bergidik menyadari rasa anyir tersisa di mulutnya.

"Dimana dia?" Sehun tidak mengindahkan pertanyaan Luhan. Dia menenggak obatnya kemudian melarikan pandangan untuk mencerna dimana dia sekarang. Ia tahu bahwa mereka masih di rumah Jongin.

"Maksudmu Kyungsoo?"

"Ya. Dia. Kyungsoo." Lidah Sehun sedikit kelu menyebut nama itu. Sebab dia lebih familiar dengan kata 'freak'.

"Aku tidak tahu. Mungkin dia akan dipecat." Luhan mengusap wajahnya kembali. Dia belum mengerti problematika sebenarnya, tapi seharusnya Kyungsoo tidak kehilangan pekerjaannya secepat itu.

"Dipecat?" Sehun menautkan alisnya.

"Kyungsoo adalah perawat pribadi Jonginnie. Kalian baru bertemu malah langsung bertarung. Apa ada sesuatu diantara kalian, hah?"

Sehun membelalak. "Perawat? Astaga, yang benar saja! Kyungsoo bisa-bisa malah mencoba membunuhnya."

"Kau tidak mendengarkanku, Oh Sehun?" Luhan kali ini marah. "Aku tanya. Sebenarnya ada apa antara kalian?!"

"Jangan berteriak, Baby. Aku baru saja terbangun dari pingsan, ingat?" Sehun mengambil jemari Luhan kemudian menggenggamnya erat. "Nanti akan aku jelaskan, oke?" tambahnya. Luhan mengangguk patuh.

"Jadi, dimana dia? Aku harus bicara."

"Mungkin di kamarnya. Dia terlihat sangat kacau tadi. Ini sudah tengah malam. Kau bisa berbicara dengannya besok."

"Tapi―"

"Tenanglah, Sayang. Minseok tidak akan membiarkan Kyungsoo keluar rumah sementara diluar masih badai."

...

Ini adalah dering ke sekian kalinya sampai akhirnya Kyungsoo mengangkat ponselnya lalu mendekatkan ke telinga.

"Halo, Hyung?" Kyungsoo menggaruk matanya yang sakit karena terik matahari menerobos terlalu banyak dari jendela. Matanya sembab akibat terlalu banyak menangis, memori menyakitkan kembali mengusiknya secara bertubi-tubi. Selain itu, punggungnya semakin nyeri sebab semalam Jongin menambah lukanya, mencakarnya lagi ketika dia berusaha menenangkannya dari histeria.

"Apa kau baru bangun?" Suara dari seberang sana terlalu kencang sehingga Kyungsoo menjauhkan telinganya.

"Iya," sahutnya pelan.

Suho bisa mendengar suara Kyungsoo yang serak. "Aku akan menjemputmu sekitar satu jam lagi, tunggu aku oke?" Suho memastikan. Semalam, Kyungsoo menceritakan semua yang terjadi sore itu, dia merasa Suho perlu tahu bahwa dia dipecat detik itu juga.

"Tidak perlu, Hyung. Aku bisa sendiri."

"Lagi-lagi keras kepala."

Kyungsoo diam. Dia teringat sesuatu.

"Kyung?" tanya Suho.

"Ah, sebentar, Hyung. Aku harus mengurusnya dulu."

"Kim Jongin?"

"Iya. Ini sudah terlalu siang. Tidak ada yang mengurusnya selain aku."

"Baiklah. Kau seharusnya tidak usah peduli lagi dengannya. Mereka membuangmu, Kyung."

"Tidak. Ini memang salahku. Ohya, jangan merepotkan dirimu untuk menjemputku."

"Kau bukan hal yang merepotkan."

"Akan aku kabari lagi setelah urusanku selesai. Sampai nanti."

"Astaga. Iya-iya baiklah."

Kyungsoo terkejut karena jam telah lewat jauh dari angka sembilan. Dia bisa melihat Jongin masih terlelap di tidurnya. Dia menyibakkan tirai lalu membuka jendela lebar-lebar. Matahari pagi masih bagus untuk Jongin, serta udara sangat segar karena bekas hujan semalam. Kyungsoo menghampiri tubuh itu lalu menepuk pelan pipinya.

"Jongin. Bangun."

Kyungsoo meniru bagaimana cara Minseok membangunkan Jongin. Dia menepuk pelan pipinya lalu mengusap-usap sampai mata Jongin membuka dan mengerjap pelan.

"Here you go." Kyungsoo mengambil bathrobe lalu mengganti pakaian Jongin dan menyelimutinya dengan itu. Jongin masih mengerjapkan matanya lucu. Ada kantung mata yang menghitam disitu.

Kyungsoo tiba-tiba diam. Ingatan berputar-putar kembali. Jantungnya terkadang berdegub terlalu kencang dan membuat dia bertanya,'bagaimana bisa takdir membawanya lagi kesini' Namun, dia tidak pernah menemukan jawabannya.

Tapi sebentar lagi dia harus pergi. Sesungguhnya kenyataan ini sangat keterlaluan. Dia mengira sebentar lagi dia bisa membayar semua hutang-hutangnya. Tetapi jika dipecat seperti ini, dia harus mengembalikan semua uang muka.

Kyungsoo menggigit bagian dalam pipinya, dia gelisah dan menjadi sedih seketika. Kisahnya sangat menyedihkan. Kapan dia sekali saja bisa tenang? Kyungsoo menghela nafas panjang lalu menatap wajah tanpa ekspresi di depannya. Dia berpikir jika nasibnya jauh lebih baik dari Jongin. Dia masih lebih beruntung.

"Jongin, apa kau menderita?" lirih Kyungsoo. Dia mengusap pipi itu kemudian menyisir surai putih Jongin dengan telapak tangan. Tentu saja dia tidak akan mendapatkan jawabannya. Lalu Kyungsoo tersenyum, kecut.

Kyungsoo memapahnya pelan. Kemudian mendorong kursi roda itu untuk memasuki kamar mandi. Dia mengulangi apa yang dilakukannya kemarin. Memandikannya, membersihkannya, dan membantunya buang air. Setelah ia melakukan semua itu, dia meletakkan kembali Jongin di ranjangnya.

Koloid antara debu dan udara basah terlihat jelas menyentuh permukaan kulit Jongin yang polos. Sinar matahari pias membentuk siluet tubuhnya. Kyungsoo membawa sebuah kotak obat lalu mengambil salep untuk dioleskan ke luka Jongin. Dia mengeringkan tubuh Jongin perlahan dengan handuk putih kemudian mendekat padanya. Luka-luka itu sebagian sudah mengering, tapi belum semuanya. Kyungsoo merawatnya dengan teliti. Dia teringat, dulu Jongin pernah merawat bekas lukanya, ini tampak seperti balas budi.

"Jongin, ada banyak yang ingin aku tanyakan padamu. Cepatlah pulih sehingga aku bisa meminta jawaban yang bisa memuaskanku."

Kyungsoo membuka sebuah wardrobe untuk mengambil pakaian Jongin. Wardrobe itu terlalu besar sehingga tubuhnya serasa tenggelam. Dia mencari-cari sebuah shawl yang sekiranya bisa membuat Jongin hangat. Tapi ketika dia terlanjur masuk sampai terlalu dalam, ada sebuah pintu geser dari kaca di ujungnya. Mungkin sebagian orang tidak menyadari pintu itu, tapi Kyungsoo menyadari sebab engselnya sedikit tergeser. Material kaca terlihat sangat mencolok diantara furniture berbahan kayu yang tersebar mendominasi kamar. Kyungsoo hendak membuka pintu itu, tetapi sebuah shawl terjatuh dan apa yang dicarinya sudah dia dapatkan. Kyungsoo mengurungkan niatnya kemudian menghampiri Jongin.

"Jongin, apa kau akan baik-baik saja jika kutinggalkan?" Kyungsoo memasangkan celana lalu sweater hangat serta melilitkan shawl pada lehernya.

"Oh, tentu saja kau akan baik. Mereka akan mencari penggantiku secepatnya. Aku bahkan baru beberapa hari disini." Kyungsoo nampak sangat sedih. Dia kira ini akan mudah tapi tentu saja kenyataannya sulit. Apalagi mengembalikan uang muka sama artinya dia akan berurusan dengan para lintah darat itu lagi.

"Jangan mencakar dirimu lagi, mengerti?" Kyungsoo mengambil tangan Jongin. Ia mengoleskan lotion pada jemari itu agar lembab. Dia memijat tangan dan kaki Jongin, sebab ototnya tidak pernah digerakkan. Kyungsoo pernah melakukannya dulu pada Lee Harabeoji. Pijatan itu berarti banyak bagi orang yang lumpuh.

Di kamar itu telah ada sebuah troley berisi makanan. Mungkin sewaktu Kyungsoo memandikan Jongin, Minseok meletakkan troley itu disana. Kyungsoo menemukan makanan dengan menu yang sama dengan kemarin. Dia mengambilnya dan menghela nafas pendek.

"Apa aku harus... ah, ini percuma."

Kyungsoo melakukannya lagi. Dia merelakan bibirnya bersentuhan dengan bibir Jongin untuk menyuapinya. Deguban jantungnya sangat sulit diantisipasi. Kyungsoo tidak pernah melakukan hal ini kepada siapapun sebelumnya. Memberikan bibirnya untuk orang lain tak terpikirkan sedikitpun. Bahkan satu-satunya yang pernah menciumnya adalah orang yang dihadapannya ini dulu.

Dia melakukannya suap demi suap hingga sarapannya habis dan bagian tersulit adalah menyuapi beberapa pil obat. Kyungsoo harus menahan rasa pahit beberapa tablet. Dia menahannya sejenak sebelum memberikan suapan satu persatu. Namun, ketika ia hendak menyuapinya kembali dia tersentak dengan suara pintu yang tertutup keras. Kyungsoo terkejut dan tidak sengaja menelan beberapa obat sekaligus.

...

"Sehun, apa yang kau lakukan?" Luhan menepuk bahu Sehun dan membuat lelaki dengan kulit yang sangat putih itu terperanjat. Dia segera menutup pintu kamar Jongin. Tadinya ia ingin masuk ke kamar itu untuk melihat keadaan Jongin. Tapi dia malah disuguhi pemandangan luar biasa. Dia melihat Kyungsoo yang merawat Jongin dengan cara yang menurutnya sangat 'intim'.

"Ya! Baby! Kau mengangetkanku saja!" Sehun menjitak pelan pucuk kepala kekasihnya.

"Kau mengintip apa?" Luhan memicingkan matanya.

"Ti-tidak."

"Aku ingin masuk."

"Ja-jangan! Ayo kita kebawah saja. Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Sehun menarik lengan Luhan dan membawanya ke kamarnya.

...

Kyungsoo merasa janggal dan masih penasaran dengan sesuatu yang mengusiknya itu. Setelah dia selesai mengurus Jongin maka dia menuju kembali ke depan wardrobe yang sangat besar. Kyungsoo mengunci pintu kamar sebab ini sedikit terlihat bodoh jika dia tidak menemukan apapun. Kemudian dia membuka wardrobe sampai pintu ganda dari kayu dengan ukiran floral itu menganga. Kyungsoo menyibak deretan jaket dan sweater, ia menggeser kaca diujungnya. Benar saja, kaca itu bergeser meski Kyungsoo harus agak kesusahan karena sepertinya kaca itu sudah lama tidak dibuka. Ada suara decitan ngilu saat kaca digeser pelan.

Kyungsoo hanya bisa membelalak sambil terbatuk kemudian, sebab ia melihat ruangan yang sangat menjulang nyata di hadapannya. Baru satu kali itu Kyungsoo berada dalam sebuah ruangan dengan langit-langit yang sangat amat tinggi dan jajaran rak buku yang luar biasa banyak. Namun, sayangnya ruangan itu sangat berdebu. Kyungsoo memastikan mungkin saja tidak ada orang lain memasuki ruangan itu lagi. Atau, bisa jadi ini ruangan rahasia Kim Jongin –yang sekarang bukan rahasia lagi sebab ia mengetahuinya.

Saking tebalnya debu itu, tapak kaki Kyungsoo tercetak di lantai dan beberapa kali ia bersin serta terbatuk. Jaring laba-laba ada dimana-mana dan beberapa buku sudah termakan rayap. Mungkin saja semenjak dua tahun yang lalu, sejak Jongin kecelakaan, tidak ada yang menyentuh benda-benda di ruangan itu.

Ruangan itu sebenarnya tidak terlalu besar, mungkin sekitar lima puluh meter persegi dengan denah berbentuk bulat. Tapi tingginya jangan ditanya. Kyungsoo bahkan merasa sekarang berada di dalam sumur karena ruangannya seperti tabung dengan rak melingkari ruangan dan tangga putar di sisinya.

Kyungsoo tertarik dengan sebuah meja yang terlihat seperti area kerja. Meja itu adalah satu-satunya yang langsung tersinar matahari. Ruangan itu tidak memiliki jendela, hanya roster beton dengan celah rapat. Cahaya matahari masuk melalui glassblock yang tersusun rapi di dinding. Diatasnya masih ada laptop yang terbuka. Untuk seukuran 'Tuan Muda' Kim Jongin laptop itu terlalu ketinggalan jaman jika dipakai sekarang, sebab itu adalah laptop keluaran dua tahun yang lalu. Kyungsoo mengambil satu buku yang bahkan masih terbuka. Ketika mengangkatnya, sebuah foto terjatuh. Dia memungutnya dan terdiam.

Itu adalah masa yang sudah lama sekali, foto dirinya dengan Jongin yang dicetak seukuran telapak tangan. Ada senyum tulus dari diri Kyungsoo karena hanya dengan Jongin dia bisa berekspresi lepas –sebelum bertemu dengan Jongin, dia lupa caranya untuk tersenyum. Itu masa indah jika diingat, tapi Kyungsoo bahkan sudah lupa momen itu jika saja foto itu tidak ada.

Andaikan hari itu berhenti sampai disitu mungkin dunia tidak akan terlalu buruk. Andaikan sebuah kematian tidak membuatnya membenci orang lain sampai seperti ini. Nyatanya hari terus berjalan hingga rusak. Kyungsoo tidak lagi menemukan dirinya sebahagia di foto itu. Itu pertama kalinya dia memiliki teman, bahkan mereka berangkulan dengan kepala saling mendekat. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi dia buru-buru menengadahkan kepala.

"Debu sialan," decihnya.

Saat dia menatap keatas dia baru sadar satu hal yang mengejutkan. Dia alihkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil menilai dan menyidik. Lalu, ia bergidik dan memotret ruangan itu. Selagi dia sibuk mengabadikan gambar ruangan dengan handphone-nya, sebuah panggilan masuk dan menyentak Kyungsoo. Nyaris saja handphone itu terjatuh.

"Iya halo, Hyung?" sapanya.

"Aku sudah di depan untuk menjemputmu. Bisakah kau keluar sekarang?"

"Sudah kubilang untuk tidak menjemputku, Hyung."

"Aku sudah disini. Berhenti mengeluh dan keluar sekarang."

"Arraseo!"

Kyungsoo keluar dari ruangan itu lalu mengambil kopernya dengan perasaan yang berkecamuk. Dia benci perasaan seperti ini. Dia juga tidak tahu mengapa dia bisa merasa jengkel. Oh, mungkin gara-gara pertemuannya dengan Sehun atau masalah pemecatannya. Namun, sebenarnya bukan itu. Dia melirik Kim Jongin dengan tatapan pias.

"Sungguh menyebalkan," batinnya. Ia mendekat kepada sosok itu yang dihadapkannya pada satu jendela besar. Dia memutar kursi roda milik Jongin lalu seperti biasa –menyejajarkan dirinya untuk berbicara. Dia tak kunjung bicara malah matanya menatap dalam kepada mata kelam Jongin. dia membuka telapak tangan Jongin yang menghangat karena sinar matahari kemudian meletakkan sebuah benda; foto yang ditemukannya tadi. Kyungsoo tidak ingin tampak sentimentil tapi ia melakukannya.

Dia pergi setelah sebelumnya membenarkan juntaian rambut perak Jongin. Kyungsoo mendengus dan keluar dari rumah itu.

Kyungsoo memasukkan sebuah koper yang sama dengan saat dia datang ke rumah itu ke dalam bagasi milik Suho.

"Apa kau sudah pamit dengan orang-orang di rumah itu?"

"Sudah." Sungguh. Kyungsoo tidak berniat untuk berbicara saat ini.

"Benarkah?" Suho tampak sedikit konyol dengan pertanyaannya.

"Tidakkah kau lihat sekarang aku sedang apa?"

"Maksudku, bukankah kau sudah buat kontrak dengan Kim Taeyon?"

"Masalahnya dia sedang tidak ada, Hyung. Aku tidak tahu apakah mereka memberitahunya atau tidak. Aku bahkan tidak peduli lagi sekarang!" Kyungsoo agak kasar dan baru kali itu Suho melihatnya menyebalkan. Itu sangat berat bagi Kyungsoo dan Suho mau tidak mau harus memaklumi itu.

"Sudahlah tidak apa, Kyung. Kau masih bisa mengandalkanku jika butuh," Suho berkata dengan tulus.

Mereka melaju dengan kecepatan sedang untuk menuju kembali ke rumah sederhana milik Kyungsoo. Kyungsoo bahkan mengira dirinya tidak akan kembali secepat itu, tetapi yang terjadi sudah terjadi. Dia miris ketika sadar rumahnya seperti kandang anjing jika dibandingkan mansion mewah Jongin.

"Terimakasih sudah repot mengantarku," kata Kyungsoo begitu mobil Suho sampai depan rumahnya.

"Kita ini sahabat kan? Tidak perlu sungkan."

Kyungsoo tersentak dan matanya membola tanpa sadar. Dirinya sama sekali tidak pernah menganggap Suho sebagai orang yang disebut 'sahabat', tetapi lelaki itu sudah menganggapnya penting. Dia bahkan menyembunyikan banyak hal dari Suho. Dia tidak tahu apa bagusnya dirinya dan merasa sangat menyesal tidak menganggap Suho spesial; seperti halnya Suho menganggap dia. Suho sangat berharga dan Kyungsoo tidak tahu akan jadi bagaimana tanpa sosok itu. Dia memeluk Suho dengan erat kemudian. Matanya kembali berkaca dan ia teringat sesuatu.

Suho mengacak rambut Kyungsoo sebagai balasan dari pelukan hangat yang ia terima. Suho selalu gemas dengan tingkah orang di depannya itu. Jika saja boleh, ingin rasanya dia menjadikan Kyungsoo sebagai adik angkatnya. Tapi rasanya itu tidak mungkin, mengingat betapa keras kepalanya anak itu.

Sebelum mereka berpisah Kyungsoo menarik lengannya dan menampakkan raut aneh.

"Bisakah kau mampir sebentar. Ada yang ingin kutanyakan, Hyung," ujarnya lirih.

Suho menghentikan langkahnya dan memberikan tatapan bertanya. Kemudian Suho memutuskan untuk singgah sembari Kyungsoo merapihkan kopernya kembali.

"Bukannya kau tertarik dengan psikologi seperti halnya diriku?" tanya Kyungsoo tiba-tiba ketika mereka duduk berhadapan pada sofa di ruang tengah.

"Ya, begitulah," Suho mengernyit karena belum tahu apa inti dari pembicaraan Kyungsoo.

"Apa menurutmu ini OCD?" Kyungsoo memberikan sebuah foto yang tadi diambilnya dari ruang rahasia Jongin. Suho memperhatikan dengan seksama lalu berdecak kagum.

OCD adalah kelaianan psikologis dimana penderitanya memiliki pikiran obsesif dan menyebabkan perilaku repetitif atau kompulsif. Dalam kasus Jongin, sepertinya lelaki itu memiliki obsesi dalam menyusun benda sesuai urutan warna dan presisi. OCD berbeda dengan perfeksionis. Bagi penderita OCD, apabila benda tersebut tidak tersusun sesuai keinginanya, maka dia akan merasa ada sesuatu yang kurang dan menimbulkan perasaan cemas dan tindakan kompulsif yang berulang-ulang, dalam kasus parah bisa mengakibatkan depresi. Sepele kedengarannya. Tapi bagi penderitanya ini hal serius. Dan melihat ruang rahasia, ruang bagi diri Jongin sendiri yang begitu rapih dan tersusun siku kelihatannya sangat janggal bagi Kyungsoo yang mengerti sedikit banyak ilmu psikologi.

"Dari mana kau dapatkan ini? Well, ini sangat amat tidak wajar Kyungsoo," Suho menggelengkan kepalanya, "kau lihat deretan buku ini terlalu rapi dijajar dengan warna dengan gradasi sempurna yang menurutku mengerikan. Lihat pula susunan meja dengan benda-benda dengan letak yang terlalu rapi dan siku."

Kyungsoo mengangguk sepaham lalu ia menimpali, "aku juga berpikiran sama denganmu. Aku hanya memastikan. Ini ruangan milik Jongin."

"Ah, tidak heran. Dia memang tidak waras 'kan? Tapi selama aku dirumahnya dulu aku tidak pernah sekalipun melihat ini."

"Kurasa itu ruangan rahasia."

"Huh?! Bagaimana kau bisa masuk kesana?"

"Tidak sengaja," balasnya singkat. Mendengar jawaban yang singkat, maka Suho tidak lanjut bertanya tentang ruangan itu, sebaliknya dia mengernyit heran melihat ekspresi Kyungsoo yang aneh. Peluh meleleh dari pelipis Kyungsoo. Wajahnya memucat dengan mata yang kosong.

"Apa kau baik-baik saja?"

"I-iya."

"Kau terlihat tidak baik-baik saja."

"Bisakah aku minta tolong sekali lagi."

"Anything, Kyungsoo."

"Antarkan aku ke suatu tempat."

...

Disinilah ia berada. Ada gedung yang tidak terlalu besar. Orang-orang menyebutnya pemakaman, tetapi tak ada kuburan atau gundukan tanah satu-pun. Ini adalah krematorium. Hanya guci-guci berisi abu yang berjajar rapi pada etalase. Beberapa orang berpakaian hitam berlalu lalang sebagai tanda baru saja ada yang meninggal. Bangunan itu merangkap sebagai rumah duka. Tatapan Kyungsoo memanas sebab ia teringat tentang banyaknya kehilangan yang ia rasakan akibat kematian.

Kyungsoo tiba-tiba saja rindu dengan sosok itu. Dia memandangi satu bingkai dengan wajah paling bahagia. Ada Sohyun yang cantik dengan gaun putih yang dikenakannya di dalam bingkai. Ingatannya kembali menerawang rasa bersalah yang mendarah daging. Kyungsoo bukan kekasih yang baik, seharusnya dulu dia bersungguh-sungguh mencari keberadaan Sohyun sebelum terlambat. Pada akhirnya Kyungsoo menyesal tiada tara. Dia mencari-cari letak celah yang terjadi di masa lalu. Andai dia tidak seperti itu atau andai dia tidak seperti ini. Dia hanya bisa berandai, tetapi yang dia temukan hanya kesalahan dirinya. Sehingga setiap dia melihat foto gadis itu, rasa penyesalan itu semakin memuncak dari tahun ke tahun.

Suho dibiarkannya pulang terlebih dulu sebab ia tidak ingin lelaki itu melihat sisi terapuh darinya. Mungkin setiap orang yang mengetahui dirinya akan sadar seberapa murungya ia, tapi tak akan dia perlihatkan kepada siapapun sisi kehancurannya. Kyungsoo menangis terisak dengan raungan tertahan. Etalase kaca dihadapannya itu berembun dengan hembusan nafasnya yang terlewat kasar atau sidik jarinya yang tercetak akibat gapaian yang kosong. Setelah rasanya ia puas dengan rasa sakit yang tidak ada obatnya, maka ia terjatuh di lantai yang dingin.

Pandangannya berputar seperti gasing. Deguban jantungnya memburu dan ia merasa kegelisahan yang parah. Dia ingin menggapai apapun tetapi yang ia gapai malah udara. Ia terjatuh secara pelan dan orang-orang berpakaian hitam mulai berkerumun.

...

Di sebuah ruangan Intensive Care Unit –ICU ia berada sebab ia melihat banyak jajaran bed dengan orang-orang tanpa sadar di sekitarnya. Kyungsoo mengingat kembali. Terakhir ia pingsan di pemakaman dan tidak seharusnya dia berada di ICU karena dia tidak sesakit itu. Kepalanya terasa melayang ketika ia mencoba bangkit. Lalu dokter jaga menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh.

"Apa yang Anda rasakan?" Dokter itu mengukur tekanan darahnya lalu memeriksa selang infus.

"Pusing," lirih Kyungsoo.

"Anda tidak sadar selama seminggu karena mengalami OD―Over dosage."

Mata Kyungsoo membulat dan rahangnya mengeras. Seingatnya dia tidak melakukan apapun. Oh, dia tiba-tiba ingat dan tersentak. Dia ingat jika saat menyuapi Jongin, dia tidak sengaja menelan obat milik Jongin. Tetapi bukankah dia tidak akan separah ini?

"Kondisi Anda sudah berangsur normal. Kami akan memindahkan Anda ke ruang rawat inap. Tapi apakah Anda ingat memakan obat atau sesuatu? Sebab hasil laboratorium akan sampai sekitar seminggu lagi," Dokter lelaki itu kelihatannya sangat ramah dan pintar sehingga Kyungsoo merasa akan baik-baik saja.

"Saya tidak sengaja menelan obat milik pasien neurosis, Dok." Kyungsoo menatap Dokter itu lemah. Dia ingin melihat rautnya.

"Benarkah? Tetapi seharusnya tidak separah ini."

Kyungsoo mengangguk setuju. Dia bergidik. Kemudian bagaimana dengan Jongin yang melahap obat itu setiap hari. Sebenarnya itu obat atau malah racun?

...

Waktu berjalan lambat dan Kyungsoo merasa sendirian. Sore menjelang semenjak kesadarannya tetapi tak ada satupun yang menjenguknya, bahkan Suho. Apakah lelaki itu tidak tahu keadaannya? Namun, begitu keras ia berpikir sehingga mengabaikan suara ketukan. Seseorang masuk dan ia terkejut tatkala melihat sosok yang semula ia kira itu Suho.

"Luhan?"

Luhan tersenyum sambil mengangkat satu keranjang buah kemudian meletakkan di sisi ranjang.

"Aku meneleponmu berulang kali tetapi tidak diangkat. Aku sempat khawatir dan akhirnya seseorang mengangkat panggilan kemudian memberi tahu keberadaanmu," jelasnya panjang lebar. "Kalau tidak salah namanya Suho," lanjutnya.

Kyungsoo sedikit lega karena ia mengira Suho melupakan ia. Mungkin saja lelaki itu sedang sibuk dengan thesis menyebalkannya itu.

"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Luhan khawatir.

"Aku tidak sengaja menelan obat milik Jongin dan itu membuatku... OD."

Luhan terkejut dan Kyungsoo menantikan ekspresi itu.

"A-apa?!" Luhan menganga.

"Bagaimana dengan Jongin?" Kyungsoo mengepalkan tangannya. Dia takut lelaki itu mengalami hal mengerikan.

"Di-dia tidak baik-baik saja," Luhan tak berani menatap Kyungsoo. "Kurasa keadaannya memburuk sejak kepergianmu. Mereka memintamu kembali. Dan..." kata-kata Luhan terpotong.

"Dan?" tanya Kyungsoo penasaran. Dia menahan napas.

"Dan Sehun bilang dia minta maaf."

Kyungsoo membatu. Itu mustahil melihat bagaimana Sehun tumbuh dan kembali dengan tatapan menjengkelkan seperti yang dilihatnya pada pertemuan kedua. Dan sekarang lelaki itu minta maaf? Yang benar saja.

"Kau akan memaafkannya, 'kan?" tanya Luhan kembali. Dia menanti jawaban dan yang ia temukan adalah helaan nafas.

"Ada masanya sesuatu bisa kadaluarsa, Luhan. Dan permintaan maaf Sehun tidak berarti banyak sebab itu sudah tidak penting lagi. Masa lalu kami sangat buruk. Apa dia menceritakan semuanya?" jelas Kyungsoo panjang lebar yang diakhiri dengan tanya. Kyungsoo menelisik ekspresi Luhan. Dia yakin Sehun tidak menceritakan bagian krusial dari masa lalu mereka.

"Aku harap Sehun meminta maaf secara langsung, bukan melalui dirimu. Jika dia bisa merubah sikapnya maka akan lebih baik bagiku saat ini," Kyungsoo mengambil tangan Luhan dan menggenggamnya. Jika Luhan tahu betapa buruknya sikap Sehun dulu, mungkin itu bahaya untuk hubungan mereka.

"Terimakasih sudah menyempatkan waktumu untuk menjengukku."

"Apa kau akan kembali?"

"Tentu. Aku merasa aku tidak bisa meninggalkan Jongin."

...

Kyungsoo merasa dirinya kehilangan banyak waktu. Tidak sadarkan selama seminggu membuat ia masih bertransisi dari rasa kebingungan. Namun, bukan itu yang membuat dia cemas. Menerka keadaan Jongin adalah satu hal yang memenuhi pikirannya sedari tadi. Sempat ia berpikir untuk tak kembali lagi karena mungkin setelah ini dia akan berakhir di keadaan yang sama. Tapi setelah dia menimbang banyak hal, tidak ada salahnya untuk kembali karena dia tidak tahu mengapa dia sangat ketakutan sekarang. Kyungsoo menggigiti kukunya seraya kakinya bergetar, itu adalah tanda bahwa dia memikirkan sesuatu dengan kencang.

Kyungsoo memutuskan untuk kembali. Terlalu banyak kejanggalan yang harus dia ketahui. Kim Taeyon benar, ada seseorang yang ingin mencelakakan Jongin. Andaikan Jongin yang menenggak obat itu, mungkin saja dia sudah meninggal sekarang. Kyungsoo harus kembali.

Kyungsoo bingung ekspresi apa yang akan dikeluarkan nanti di hadapan Minseok, dia curiga dengan laki-laki itu. Saat dia dan Luhan sampai di dalam mansion, dia tidak disambut Minseok melainkan Kim Taeyon.

Taeyon mendengar sebuah suara mobil yang memasuki halaman mansionnya. Dari kamar Jongin dia menengok ke bawah lalu ia berlari menuruni tangga kemudian sampai pada ruang tamu dimana Luhan dan Kyungsoo berada. Dia memeluk Kyungsoo dengan tiba-tiba.

"Apa kau tidak apa-apa?" Taeyon memeriksa tubuh Kyungsoo, cemas dengan keadaan dia. "Aku dengar kau masuk rumah sakit?" lanjutnya.

Kyungsoo mengangguk. Dia memberikan tatapan bertanya pada Luhan.

"Aku mengabarinya. Dia yang memintamu kembali," Luhan berbisik pada Kyungsoo.

"Taeyon-ssi, terimakasih memintaku kembali," ucap Kyungsoo pada Taeyon.

"Tidak-tidak. Seharusnya aku yang berterimakasih. Justru meminta maaf, Kyung." Taeyon memberikan tatapan menyesal. "Sudah kubilang kau harus berhati-hati," bisiknya.

"Aku tidak apa-apa. T-tapi Jongin?" Bibir Kyungsoo bergetar.

"Kau harus melihat keadaanya." Taeyon menarik lengan Kyungsoo untuk membawanya ke kamar Jongin.

Kyungsoo harap-harap cemas. Dia menatap lantai. Kata Luhan keadaan jongin tidak baik-baik saja sehingga Kyungsoo tidak berani melihatnya. Dalam hidupnya tidak ada yang pernah berakhir dengan baik.

"Lihat dia, Kyung." Taeyon mendorong kursi roda Jongin. Kyungsoo mendekat dan akhirnya berani menatapnya. Kyungsoo terdiam dan tidak bisa berkata-kata.

"Kenapa kau malah menangis?" Luhan melihat lelehan di sudut mata Kyungsoo. Telinga lelaki itu memerah.

"Kau bilang dia tidak baik-baik saja tadi!" Kyungsoo menatap tajam pada Luhan dan terkesan merajuk.

"E-eh... kejutan!" jawab Luhan terbata-bata.

Airmatanya keluar bukan karena dia bersedih, pula bukan karena dia bahagia. Ini sebuah ironi bagaimana semua orang yang pernah penting di dalam hidupnya perlahan hilang satu-persatu. Pada awalnya Kyungsoo mengira Jongin bertambah buruk. Dia takut, dia sudah berpikir bahwa Jongin akan bertambah kurus kering dan kembali kepada kondisi awal mereka bertemu. Dia takut apabila memang dia pembawa sial untuk semua orang yang pernah ada di hidupnya. Tapi, ternyata kenyataan untungnya tidak seburuk yang ia kira. Luhan berbohong tentang keadaan Jongin yang tidak baik-baik saja. Jongin lebih baik, sangat baik malah.

Kyungsoo mendekat pada Jongin setelah ia menyeka air di sudut matanya. Mata Jongin berkedip. Dia menatap Kyungsoo dengan cara yang berbeda karena dia menatapnya dalam. Kyungsoo menyadari bahwa pipi Jongin tidak lagi tirus, tubuhnya mulai berisi, meskipun di bawah matanya masih ada lingkar hitam.

"B-bagaimana mungkin?" tanya Kyungsoo sembari menatap Taeyon.

"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu, Kyung. Dia benar-benar berubah dari awal aku meninggalkannya bersamamu. Saat aku kembali, dia sudah bisa makan dari mulutnya." Taeyon menggenggam tangan Kyungsoo dengan mata yang berbinar.

"Aku menelepon Taeyon segera setelah kau pergi, Kyung. Kami menghentikan pengobatannya saat kami tahu kau masuk rumah sakit. Dia belum bisa berbicara, tapi setidaknya merespon perkataan kami," jelas Luhan.

"Aku baru saja selesai menyuapinya sup. Lihat." Taeyon terlihat sangat senang. Dia bahkan menunjukkan mangkuk sup yang isinya sudah habis.

Kyungsoo tersenyum tulus. Perasaan bahagia dari Taeyon sampai padanya. Luhan juga terlihat senang dengan perkembangan Jongin. Kyungsoo memperhatikan bagaimana Jongin menatapnya sedari tadi. Kyungsoo mengambil tangannya kemudian menggenggamnya.

"Hai, Jongin."

...

Saat ini pekerjaan Kyungsoo akan lebih berat karena Minseok dipindah tugaskan ke Mansion yang lainnya. Kyungsoo baru tahu jika keluarga Kim memiliki tiga mansion mewah, satu di Gangnam, dan dua di Yongsan. Yang mereka tempati ini adalah mansion di Gangnam. Minseok dipindahkan ke Yongsan karena Taeyon tidak percaya dengan lelaki itu, sama halnya dengan Kyungsoo. Jadi, sekarang tugas Kyungsoo ditambah harus mengawasi semua makanan dan obat Jongin.

Kyungsoo duduk pada pinggiran ranjang. Dia membetulkan letak beanie Jongin. Di luar sedang terjadi topan, pertanda sebentar lagi musim gugur tiba. Kyungsoo menutup semua jendela di kamar itu dan menyalakan musik instrumental dari ponselnya untuk memberikan suasana tenang.

Rasa benci Kyungsoo pada Jongin hilang sama sekali, dia juga sulit untuk mempercayainya. Dia berpikir, terus berpikir dan mencapai kesimpulan. Sebenarnya, dia hanya menyalahkan Jongin atas semua yang terjadi. Jongin pasti tidak berniat mencelakakan seorangpun. Jongin hanya melakukan satu kesalahan saja meskipun itu sangat menyakitkan. Kyungsoo yakin, pasti ada sesuatu hal yang menyebabkan Jongin melakukan kekerasan seksual itu padanya dulu. Apa Jongin benar-benar cemburu terhadap Sohyun? Tapi bukankah mereka sahabat? Seharusnya Jongin tidak merusak kebahagiaannya. Seharusnya Jongin ikut bahagia.

Kyungsoo menggelengkan kepala dan mengusir ingatan masa lalu. Bukankah semuanya telah berakhir dan sekarang adalah hal yang harus dihadapi.

Kyungsoo mengangkat tubuh Jongin dan mendudukkannya di ranjang. Dia terasa lebih berat dari sebelumnya. Ini baru seminggu, tapi tubuh Jongin sudah mulai berisi.

"Apa kau mengingatku?" tanya Kyungsoo sembari menatap matanya. Jongin tidak membalas. Matanya tidak lagi kosong. Dia membalas tatapan mata Kyungsoo seolah berbicara, tapi balasan yang ada hanya kedipan mata ringan. Kyungsoo menghela, ini akan memakan waktu yang lama sampai lelaki di hadapannya pulih. Namun, setidaknya Jongin sudah lebih baik.

"Aku akan memasak untukmu. Ayam? Apa kau masih menyukai ayam?" Kyungsoo mengusap rambutnya. Tanpa menunggu jawaban, Kyungsoo kembali berkata, "Baiklah. Aku akan memasakkanmu ayam."

Kyungsoo berada di dapur, mengambil beberapa bahan makanan mentah dari kulkas. Dia terlihat sangat sibuk. Apron berwarna biru dia kenakan. Kyungsoo terlihat bingung saat mencari dimana letak alat-alat seperti blender dan pisau.

"Kau ingin memasak, Kyung? Kenapa tidak suruh Ahjuma saja?" Kyungsoo terkejut dengan suara tiba-tiba yang berasal dari belakangnya. Kyungsoo menoleh kemudian tersenyum.

"A-ah, Taeyon-ssi. Iya. Aku ingin memasakkan sesuatu karena Jongin sudah bisa makan."

"Wah, kau suka memasak? Daebak. Aku sebagai wanita jadi merasa hina." Taeyon mengerucutkan bibirnya.

"Maksudku bukan begitu, Taeyon-ssi."

"Hahaha, tidak apa, Kyung. Aku hanya bercanda. Dan tolong jangan panggil aku Taeyon-ssi. Panggil aku Noona seperti Jongin memanggilku. Noona okay?" Taeyon mendekat pada Kyungsoo sambil tersenyum.

"B-baiklah, Noona." Kyungsoo menjawab sambil tersipu.

"Oh, ya ampun kau imut sekali. Lihat pipimu memerah." Taeyon mencubit pipi Kyungsoo, tapi Kyungsoo malah terlihat sedih. "Maafkan aku. Aku terlalu gemas denganmu. Kau menggemaskan seperti Jongin," katanya hati-hati.

"T-tidak apa-apa, Taeyon Noona. Aku hanya teringat dengan Noona-ku," jawab Kyungsoo.

"Lalu sekarang dimana Noona-mu?" tanyanya dengan penasaran.

"Noona-ku menghilang sekitar setahun yang lalu." Gara-gara banyaknya hal yang dia alami, Kyungsoo lupa untuk mencari kakak perempuannya. Saat teringat tentang itu lagi, membuatnya miris. Dia sudah mencoba mencari kemana-mana tetapi nihil.

"Oh, maafkan aku, Kyung. Aku akan membantumu mencarinya. Aku sudah memutuskan akan tinggal lebih lama di Seoul. Aku bisa membantumu."

"Terimakasih. Kau sangat baik, Taeyon Noona." Kyungsoo tersenyum tulus. Dia bersyukur karena satu lagi orang baik masuk di kehidupannya.

"Mulai sekarang jangan pernah sungkan padaku. Aku menganggapmu seperti adikku sendiri. Kau sangat membantu Jongin. Dan sekarang aku akan membantumu memasak." Taeyon mencubit kembali pipi Kyungsoo lalu membantu Kyungsoo mencari peralatan yang ia butuhkan, kemudian mereka malah berakhir memasak bersama.

...

Satu bulan berlalu dan semuanya berjalan mulus. Kondisi Jongin mulai membaik. Tubuh lelaki itu semakin berisi, rambutnya tumbuh menghitam, dan kata Taeyon Jongin sudah berbicara padanya. Namun, pada Kyungsoo tidak meskipun Kyungsoo yang sering bersamanya.

Kyungsoo selalu mengurus Jongin nyaris dua puluh empat jam. Saat lelaki itu tidak bisa tidur, Kyungsoo menggenggam tangannya supaya Jongin tenang. Ketika Jongin berteriak tanpa sebab, Kyungsoo selalu ada untuk memeluknya. Kyungsoo melakukan tugasnya dengan sangat baik. Bahkan Jongin akhir-akhir ini beraroma floral karena Kyungsoo memakaikannya body lotion. Kyungsoo mengurus Jongin seperti mengurus bayi.

Saat itu malam hari. Kyungsoo sudah memandikan Jongin, menyuapinya makan malamnya, dan memberinya obat serta vitamin. Dia bersiap untuk menunggu Jongin tertidur. Jadi, ini menjadi kebiasaan. Setiap malam sebelum tidur, Kyungsoo akan duduk di samping Jongin sambil membaca buku. Sedangkan Jongin berbaring di sisinya. Dia selalu menatap Kyungsoo sampai matanya lelah kemudian tertidur sendiri. Jongin masih memiliki ketakutan terhadap kegelapan, oleh sebab itu terkadang dia masih suka histeris tiba-tiba meski tidak separah dulu. Tapi, Kyungsoo selalu ada disana. Dia tidak pernah meninggalkan Jongin. Jongin akan menggenggam tangannya erat.

Malam itu lampu mati, Jongin yang belum tertidur langsung berteriak. Buku yang Kyungsoo pegang langsung terlempar ke lantai. Biasanya lampu emergency langsung menyala, tapi malam itu tidak. Jongin meremas lengannya dan membenamkan wajahnya di dada Kyungsoo.

"Ta-takut..." Suara lirih menyentak Kyungsoo. Dia mengusap punggung Jongin sembari mencari ponselnya.

"Halo, Ahjussi. Bisakah kau cepat periksa genset di belakang? Tuan Muda kumat. Ya. Terimakasih." Kyungsoo menutup ponselnya setelah dia menelepon kepala keamanan di rumah itu. Kyungsoo tidak bisa meninggalkan Jongin sendirian. Dia menyalakan lampu senter dari ponsel dan berkata pelan pada Jongin, "tenang. Ada aku disini."

Tubuh Jongin bergetar, dia ketakutan. Kyungsoo merasakan bajunya basah karena Jongin menangis. Jongin berhenti berteriak, tapi menangis sampai napasnya tersengal-sengal. Kyungsoo menatapnya lirih. Sampai detik ini belum ada yang menceritakan mengapa Jongin bisa sebegitu takutnya dengan kegelapan.

Saat lampu kembali menyala, Jongin masih menangis. Hidungnya basah oleh ingus, matanya membengkak, napasnya tersendat, dan pipinya memerah. Kyungsoo sedih melihatnya.

Dering ponsel mengganggunya, "Halo. Ya, Taeyon Noona? Tidak apa-apa. Jongin sudah tenang. Iya, baiklah." Lalu dia menutup telepon itu.

Kyungsoo menghela napas lelah. Saat ini nyaris tengah malam dan Jongin masih terjaga dengan wajah seperti bayi sehabis menangis. Kyungsoo mengambil selimut. Dia sangat mengantuk, jadi dia ikut berbaring di samping Jongin.

"Jongin. Aku akan selalu ada di sampingmu," bisik Kyungsoo dengan nada sepelan mungkin.

Kyungsoo menutup kedua mata Jongin dengan tangannya perlahan. "Saat kau menutup mata, aku ada di sampingmu."

Kemudian Kyungsoo membuka membuka tangannya. "Lihat, saat kau membuka mata, aku masih ada di sampingmu." Setelah itu Kyungsoo mengeratkan tubuh mereka berdua.

"Jadi, jangan takut."

...

Pertengahan musim gugur sangat indah, langit berwarna biru cerah, dan udara tidak terlalu panas. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Kyungsoo dapat melihat daun Pohon Ginko berguguran dan memberi kesan dramatis yang indah. Dari jendela mobil yang terbuka, dia bisa menghirup udara yang sangat damai.

Kyungsoo meminta izin untuk melihat rumahnya karena terakhir kali dia menginjakkan kaki dirumah itu adalah sekitar sebulan yang lalu. Kyungsoo khawatir jika rumah mungil itu menjadi lebih tidak terawat. Dugaannya benar, saat dia sampai di rumah itu debu sudah menebal dan sarang laba-laba dimana-mana. Kyungsoo hendak membuka pintu rumahnya, tetapi dia dikejutkan dengan sebuah surat yang terselip dibawah pintu. Kyungsoo mengambilnya dan mulai membaca.

Keningnya berkerut. Kyungsoo membaca surat itu sampai dua kali untuk memastikan bahwa yang dibacanya benar adanya. Kyungsoo membolak-balik surat itu, kemudian membalik amplopnya. Beberapa foto berhamburan. Kyungsoo menutup mulutnya seraya tidak percaya. Surat itu berasal dari Beijing. Seseorang yang mengaku sebagai ketua panti asuhan disana mengabarkan bahwa mereka menemukan bayi terlantar di dekat panti asuhan tersebut dengan alamat Kyungsoo yang tertera pada sebuah kertas.

Kyungsoo mengernyit dan jantungnya berdegub. Dia melebarkan mata bulatnya, melihat foto bayi yang begitu mirip dengan wajahnya. Seorang bayi perempuan yang bahkan belum satu tahun. Tidak. Kyungsoo tidak pernah menghamili siapapun. Jadi, bayi siapa ini? Dia teringat sesuatu, dia tersentak dan tidak sengaja memekik,

"Noona!"

...

Kyungsoo bahkan tidak sempat memasuki rumahnya. Dia langsung menyuruh supir untuk kembali ke mansion Jongin. Kyungsoo menggigiti kuku jempolnya sambil masih berpikir. Ketika sampai di mansion tersebut dia langsung berlari ke ruang tamu dan menemukan Taeyon disana.

Kyungsoo meraup oksigen sebanyak-banyaknya karena dia berlari terlalu cepat. Dia ingin segera mengabarkan tentang kakaknya. Tapi, ruang tamu itu suasananya terasa berbeda. Ada seorang lelaki duduk di sofa itu. Mungkin itu adalah tamu Taeyon. Namun, saat lelaki itu berbalik, Kyungsoo merasa familiar.

"Hey, Kyungsoo. Kenapa kau terburu-buru?" Taeyon tersenyum ramah padanya sambil memperhatikan napas Kyungsoo yang terengah-engah dan melambaikan tangan. Sedangkan Kyungsoo mematung melihat pemandangan di depannya.

"Kemarilah, Kyungsoo-ya. Kenalkan, dia adalah sepupu jauh kami. Namanya Kim Jongdae."

Amplop yang Kyungsoo pegang berceceran di lantai.


-Chapter 05: Medication End-

To Be Continued

Author's Note:

Aku minta maaf karena baru update sekarang. Ga tau kenapa aku ga pede banget publish chapter ini. Bener-bener ga pede :( aku sampe writer's block dan guling-guling di lantai. Sebenernya aku sudah menyelesaikan setengahnya sejak setahun yang lalu tapi baru benar-benar selesai seminggu yang lalu. Aku ga sempat edit typo dsb. Aku mau muntah sekarang karena aku kelamaan liat laptop. Aku serius.

Btw, apa kalian bisa nebak alur cerita ini bakal gimana? Hehe aku udah ngeluarin semua tokohnya. Maapin kalo panjang kek sinetron. XD

Aku berterimakasih sama semua yang riview, favorite, dan follow cerita ini. Aku baca satu-satu riview kalian dan itu membuat aku senang. Biasanya tuh aku update fanfic sebelum hari pentingku karena riview kalian membangkitkan semangat. Makasih buat author-author kaisoo lainnya yang udah baca dan riview cerita ini. ILY.

Dan untuk yang menagih ff ini di pm ffn, di grup, dm instagram, dan bahkan sampe nge chat di line, aku sangat hargai kalian. Makasih sudah mengingatkan dan menunggu aku yang pemalas ini. Dan khusus buat EMI yang sering neror aku.. awas aja kalo kamu gak riview panjang-panjang ya..harus panjang pokoknya. sepanjang... jalan kenangan...hm

Mianhae, saranghae, gomawo. Spesial 5K buat kalian. Semoga gak kecewa sama chapter ini. Aku tunggu riviewnya.

See ya

28/03/2017 00:47