XingBubble Present:

Monster; (4) The Truth About Us

Main Cast: Sehun & Luhan.

Other Cast: EXO's member and Cameo(s) (Red Velvet's Seulgi).

Genre: Romance, Fantasy, Drama, Hurt/Comfort.

Disclaimer: I own nothing besides the plot.

Warning! Yaoi | BL | NC | AU | Typo(s) | Trigger Warning! | Contain Violence | Italic=Flashback

ENJOY!


I can't quickly forget, because I'm still
in the same place even when the pages of the calendar turns
Red Velvet

.

.

.

"Ada yang anda butuhkan lagi, Tuan muda?"

Detingan gelas di meja beserta suara maid itu menyadarkan Sehun. Dia hanya menggeleng tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Maid itu menunduk sekilas sebelum pergi meninggalkan dirinya.

Sehun menghela napasnya sambil melonggarkan dasi yang dia kenakan. Dia meminum cairan hitam pekat itu dengan perlahan-lahan. Lalu, dia menyandarkan dirinya di kursi. Setelah insiden kecil Luhan tadi, Sehun tidak berniat sama sekali untuk kembali ke kantor walaupun Jongin sudah meneleponnya berkali-kali.

Mata cokelat Sehun tak berhenti menatap deretan bingkai foto yang ada di meja kerjanya. Perhatiannya jatuh pada foto berbingkai putih itu. Foto yang berisi dirinya, Jongin, Baekhyun, dan Chanyeol ketika mereka baru saja masuk ke universitas. Dia tersenyum manis melihat foto itu.

.

.

.

Kaki panjang Sehun itu berlari menuju sebuah cafe. Sesekali dia melirik jam tangannya. Memastikan apakah dirinya sudah terlambat atau tidak. Dia merutuki dosen yang mengulur-ulur waktu.

Tangan Sehun menarik pintu cafe tersebut. Matanya berkeliaran mencari sosok jangkung yang memiliki janji dengannya. Dia tersenyum begitu menemukan orang itu tengah melambaikan tangannya. Dengan cepat dia menghampiri orang tersebut.

"Hey, Chanyeol!" Sehun menyapa lelaki jangkung itu terlebih dahulu.

Chanyeol tersenyum membalasnya. "Hey!"

"Maafkan aku, dosenku tadi mengulur waktuku."

Chanyeol menggeleng sekilas. "Tak apa. Aku juga baru sampai."

Sehun tersenyum. Dia mengambil americano milik Chanyeol dan meminumnya.

"Kau selalu saja begitu!" Chanyeol mengambil cangkir americano miliknya.

Dahi Sehun berkerut-kerut. "Hell. Aku hanya meminta sedikit."

"Beli saja jika kau haus. Jangan meminta punyaku!" Chanyeol meminum kembali americanonya.

"So, apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Tanya Sehun.

Chanyeol meletakkan americanonya di atas meja. "Kudengar kau akan bertunangan dengan Baekhyun. Apakah itu benar?"

Sehun mengangguk. "Ya."

"Selamat, bung! Kau mendahuluiku." Chanyeol menepuk bahu Sehun berkali-kali.

"Hei! Itu terdengar berlebihan." Jawab Sehun.

"Kapan?"

"Belum tahu. Kami belum membicarakan tanggalnya." Jawaban Sehun itu membuat Chanyeol tersenyum.

Sehun mengambil cangkir americano Chanyeol dan kembali meminumnya.

"Yang ingin kubicarakan adalah Baekhyun. Ini tentang Baekhyun."

Sehun mengangguk. "Ya, kenapa?"

"Aku mencintai dirinya, Sehun." Ucap Chanyeol.

Sehun mendongakkan kepalanya. Dia membalas tatapan Chanyeol. Dia tidak salah dengar, bukan?

"Kau?"

"Tapi, dia lebih mencintai dirimu," Suara Chanyeol memberat. "Kumohon jaga dia untukku."

Helaan napas terdengar berat dari mulut Sehun. Lelaki itu sungguh tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

"Yeol, jika kau lebih mencintainya, aku akan menyuruh ayahku untuk membatalkan perjodohan ini. Lagipula aku hanya menganggapnya teman tidak lebih."

Chanyeol menggeleng lemah. "Tidak, tidak usah."

"Aku tidak bisa seperti ini. Ini gila. Aku hanya menyakiti dirimu."

Chanyeol memaksakan sudut bibirnya untuk tertarik ke atas. "Sesuatu terjadi diantara kami dan kami tak akan bisa bersama sebesar apapun aku berusaha, Sehun. Jadi kumohon jaga dia walaupun kau tidak mencintainya."

"Ini gila. Aku tidak bisa." Sanggah Sehun.

"Kumohon. Dia sudah memilihmu dan aku hanya bisa memintamu untuk menjaganya."

Sehun mengusap wajahnya kasar. "Chanyeol aku—"

"Kumohon, Sehun." Chanyeol memotong ucapan Sehun.

Sehun terdiam begitu melihat genangan air dipelupuk mata Chanyeol.

"Kumohon..." Suara Chanyeol terdengar begitu putus asa.

Sehun menggigit pipi dalamnya. Kenapa Tuhan harus menempatkannya dalam posisi seperti ini?

"Sehun, ketahuilah ini. Kau tidak bersalah. Kalaupun ada yang harus disalahkan adalah aku." Chanyeol memaksakan dirinya untuk kembali tersenyum.

Helaan napas itu kembali terdengar dari bibir Sehun. "Baiklah jika itu maumu. Janji persahabatan kita tidak akan hancur karena ini?"

"Ya." Chanyeol mengangguk.

"Baiklah. Aku akan menjaganya untukmu."

.

.

.

Persahabatan mereka memang tidak hancur. Sehun dan Chanyeol kerap kali bertegur sapa apalagi Chanyeol menjabat sebagai wakil direktur yang mau takmau harus bertemu dengan Sehun. Namun, jarak seakan terlukiskan diantara mereka.

Chanyeol mulai menarik dirinya dari lingkaran persahabatan mereka. Dan jangan lupakan sikap Baekhyun yang terlihat acuh pada Chanyeol. Sehun tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari keganjilan pada kedua sahabatnya itu. Ditambah lagi absennya Chanyeol pada pesta pertunangan Baekhyun dan dirinya.

Sehun awalnya mengira Chanyeol bertingkah seperti itu karena terluka dengan pertunangan dirinya dan Baekhyun. Ia mengambil kesimpulan bahwa Chanyeol menjauhkan dirinya sementara waktu dari lingkaran persahabatan mereka. Namun, Sehun salah besar. Hal itu terjadi sampai sekarang. Sehun hanya bisa memaklumi hal tersebut.

Pandangan Sehun beralih pada foto dirinya dengan seorang wanita cantik. Wanita itu bernama Kang Seulgi. Wanita yang mengisi hati Sehun, wanita yang mengajarkan cinta yang tulus pada Sehun, dan lagi wanita yang menorehkan luka besar hingga membuat Sehun gila karena dirinya.

"Seulgi..."

.

.

.

Derap langkah itu terdengar begitu kuat dengan kesan tergesa-gesa. Pemilik langkah itu mengusap mukanya kasar ketika matanya menangkap sosok lelaki paruh baya tengah terduduk sambil menikmati teh. Tak lupa sosok tak asing tengah tertawa bersamanya.

Sehun menghela napasnya. Dia kira terjadi sesuatu dengan ayahnya setelah Baekhyun menelepon dirinya ditengah rapat. Ternyata tidak terjadi apapun.

"Sehun!" Baekhyun melambaikkan tangannya.

Sehun memaksakan dirinya untuk tersenyum pada tunangannya itu. "Hei."

"Anakku, Sehun." Ayahnya pun ikut menyapa dirinya.

Sehun mendudukkan dirinya disamping ayahnya. Dia meminum teh yang baru saja dihidangkan oleh maid.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Ayah Sehun.

"Aku baik-baik saja, Ayah." Jawab Sehun.

"Bagaimana dengan perusahaan kita?" Ayahnya itu kembali bertanya.

"Bagus. Sejauh ini sangat bagus."

"Wah. Tak salah aku mewariskan perusahaan ini padanya bukan, Baekhyun?" Ayahnya melirik Baekhyun.

Baekhyun tersenyum mendengar ucapan tersebut. "Tentu saja, Ayah. Sehun sangat berbakat seperti ayah."

"Aku tidak perlu khawatir sepertinya. Mungkin aku bisa hidup dengan tenang sekarang." Ucapan dari Ayah Sehun itu mengundang tawa dari Baekhyun dan Sehun.

"Tentu. Ayah bisa mengandalkan aku." Sahut Sehun.

Ayahnya tersenyum. Perlahan-lahan dia bangkit dari duduknya. "Baiklah, Ayah akan masuk ke dalam dahulu. Kalian tahu dinginnya sore tidak baik untuk orang tua, bukan?"

Baekhyun ikut berdiri dari duduknya. "Ingin aku antar ke kamar, Ayah?"

Ayahnya menggeleng. "Jangan. Kau harus tetap disini bersama Sehun. Aku bisa kembali ke kamar sendirian."

"Ayah..." Intonasi Baekhyun melembut.

"Kau harus disini, Baekhyun." Bersama dengan ucapan itu Ayahnya pergi menjauh dari mereka.

Sehun menatap lelaki mungil dihadapannya itu. "So, aku berhutang penjelasan, Byun."

Baekhyun kembali mendudukkan badannya. "Penjelasan apa?"

"Kau membuatku harus pergi dari rapat hanya karena ini? Maksudku kita bisa bertemu besok." Ucap Sehun.

"Apa maksudmu? Ayahmu sendiri yang memintanya dan aku bisa apa?" Baekhyun membalas tatapan mengintimidasi Sehun.

"Kau seharusnya bisa menolaknya, Baekhyun." Suara Sehun meninggi.

"Menolak apa, Sehun? Beliau adalah orang tuamu. Dia lebih penting dari semua pekerjaanmu itu." Baekhyun ikut meninggikan suaranya.

"Berhenti berkata seperti itu!"

"Berkata apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya!"

"Kau berlebihan. Aku masih sering menemui Ayah walaupun aku tinggal terpisah."

"Bullshit! Untuk apa ayah memintaku menelepon dirimu jika kau sering datang?"

Sehun terdiam.

"Apa yang terjadi padamu? Sejak kau mulai menjabat menjadi direktur, kau menjadi tempramen." Tatapan Baekhyun melembut. Dia menggenggam tangan Sehun.

Sehun masih terdiam.

"Apa kau masih menolak hubungan kita?"

Sehun membulatkan matanya. Dia menatap Baekhyun datar setelahnya.

Baekhyun tersenyum kecut. "Sepertinya aku benar."

Baekhyun melonggarkan gegamannya terhadap tangan Sehun. "Aku masih memaklumi hal tersebut. Ini sangat tiba-tiba apalagi kita tadinya hanya berteman."

"Aku akan tetap menunggu cinta itu tumbuh dihatimu. Walaupun itu akan memakan waktu hingga seribu tahun lamanya. Aku akan tetap menunggumu." Senyuman manis itu terpatri di wajah Baekhyun. Membuat seluruh hati Sehun memaki dirinya yang sudah berlaku kejam selama ini.

"Sehun, aku akan pulang. Sampai berjumpa lagi besok." Lelaki itu beranjak dari duduknya dan mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala Sehun.

"Aku mencintaimu." Bisik Baekhyun lembut sebelum meninggalkan Sehun.

Sehun mengusap mukanya kasar. Dia merasa bahwa dirinya menjadi orang terjahat di dunia setelah apa yang dia lakukan pada Baekhyun. Dia kira Baekhyun akan memutuskan pertunangan ini karena dia menjadi sibuk dan tempramen. Dia kira Baekhyun akan menyerah begitu saja dan kembali pada Chanyeol.

Namun, Sehun salah. Cinta yang dimiliki Baekhyun sangatlah besar. Melebihi cinta Sehun pada dirinya. Sehun tidak bisa berkata apapun selain menyesal. Andaikan dia bisa menolak perjodohan ini. Andaikan dia bisa sadar lebih awal. Sungguh tatapan pedih yang Chanyeol berikan ketika menangkap dirinya bersama Baekhyun cukup membuat Sehun merasa berdosa.

Air mata itu mengalir dari sudut mata Sehun. Dia menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya. Andaikan saja Baekhyun tidak mencintainya, semuanya akan terasa lebih mudah. Tidak akan ada perasaan yang harus dikorbankan bahkan tersakiti.

"Hei! Mengapa kau menangis?" Suara itu bertanya dengan lembut. Membuat Sehun mau takmau menatap pemilik suara tersebut.

Dahi Sehun mengernyit begitu melihat wanita dihadapannya. Dan Sehun jelas-jelas tidak mengetahui siapa orang tersebut.

"Kau—"

Wanita itu menghapus air mata yang mengalir dari pelupuk mata Sehun. "Jangan bersedih lagi. Banyak hal yang membuatmu bahagia, mengapa harus bersedih?"

"Aku lelah..." Suara Sehun terdengar begitu putus asa.

"Kenapa?" Wanita itu mengerjapkan matanya.

Sehun tidak menjawab. Wanita itu hanya tersenyum melihat respon Sehun. Dia menarik Sehun ke dalam pelukannya.

"It's okay. You will be fine."

Air mata Sehun kembali menetes dalam diam.

.

.

.

Kang Seulgi.

Wanita itu bernama Seulgi. Sehun mengetahuinya dua hari setelah dia berbincang dengan salah satu maid disana. Wanita itu bekerja sebagai salah satu tukang kebun di mansion keluarga Sehun, bukan sebagai maid yang Sehun asumsikan selama ini. Dan ya, siapa yang tahu bahwa wanita tersebut berhasil mengambil hati Sehun?

.

.

.

Sehun menatap seikat bunga hydrangea dalam pegangannya. Dia berniat untuk memberikannya pada Seulgi. Sehun tidak sebodoh itu untuk memberikannya langsung di mansionnya. Ia bisa saja dimangsa oleh Ayahnya. Karena itu, Sehun menunggu wanita cantik itu di persimpangan dekat mansion.

Sehun tersenyum begitu menemukan sosok Seulgi tengah berjalan meninggalkan mansion itu. Sehun melambaikan tangannya.

"Seulgi!" Sehun memanggilnya kuat-kuat.

Seulgi menoleh dan berlari menghampirinya.

"Tuan muda? Ah! Aku minta maaf atas kecerobohanku waktu itu. Aku sungguh minta maaf." Seulgi membungkukkan badannya berkali-kali.

Sehun tersenyum menatapnya. "Tidak apa-apa. Aku justru berterima kasih."

Seulgi menyeritkan dahinya. Apalagi begitu melihat Sehun menyodorkan sebuket bunga hydrangea padanya. Mata Seulgi mengerjap beberapa kali.

"I-ini apa?"

"Anggap saja sebagai ucapan terima kasih dariku."

Sehun tidak bisa menahan rasa bahagianya begitu melihat Seulgi menerima buket bunga darinya.

"Terima kasih, Tuan muda." Seulgi tersenyum manis menatapnya.

Debaran itu terasa tidak beraturan begitu Sehun melihat senyuman itu. Membuat Sehun mati kutu seketika itu juga.

"Y-ya!" Suaranya bahkan bergetar.

"Kalau begitu, aku akan pulang dulu! Sampai berjumpa lagi, Tuan muda!" Seulgi membungkuk sekilas sebelum pergi meninggalkan Sehun.

"Apa ini?" Tanya Sehun pada dirinya begitu Seulgi menghilang dari hadapannya.

.

.

.

Seharusnya Sehun sadar, itu adalah cinta. Seharusnya Sehun sadar bahwa dia mulai mencintai Seulgi bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Sehun menghembuskan napasnya dengan kuat.

Semua kenangan yang sudah Sehun pendam itu kembali ke permukaan. Membuat perasaannya menjadi campur-aduk. Dia merasa sedih, marah, serta ketakutan. Namun, dari semua perasaan itu, Sehun tahu bahwa dirinya sangat menyesal dengan apa yang terjadi. Seharusnya dia tidak menyatakan cintanya pada Seulgi.

Namun, dengan buta dan bodohnya dia melakukan hal tersebut.

.

.

.

"Seulgi..." Sehun memanggilnya dengan lembut.

"Ya?" Seulgi menghentikan kegiatannya. Dia menaruh gunting rumput itu dan menatap Sehun.

Sehun tersenyum. Tangan kanannya terangkat untuk merapihkan rambut Seulgi. Semburat merah itu tampak di wajah Seulgi.

"Hei, mukamu memerah." Ujar Sehun sambil tersenyum jahil.

Seulgi meninju lengan Sehun. "Berhenti menggodaku!"

Sehun terkikik-kikik mendengar ucapan Seulgi. "Kau senang, bukan?"

"Senang apanya? Kau hanya membuatku kesal." Cibir Seulgi.

"Aku bertaruh kau sangat senang sekarang."

"Berhenti berkata seperti itu, Tuan Sehun!" Seulgi melotot pada Sehun.

Sehun hanya mengangguk. Menonton Seulgi yang kembali meneruskan pekerjaannya.

"Kang Seulgi..."

Seulgi berdeham.

"Aku mencintaimu."

Seulgi terdiam membeku. Dia menatap Sehun dalam-dalam. "A-apa yang ka-kau katakan?" Suaranya bergetar hebat.

"Aku mengatakan aku mencintaimu, Kang Seulgi. Jadilah kekasihku!"

"Tuan muda. Kau bercanda, bukan? Kau tidak mungkin mencintai seorang tukang kebun sepertiku. Lagipula kau juga sudah bertunangan dengan Tuan Baekhyun."

Sehun berdecak kesal begitu mendengar ucapan Seulgi. Karena itu, Sehun membalikkan badan Seulgi sehingga mereka saling bertatapan.

"Seulgi-ya, aku tahu kau juga mencintaiku."

Seulgi menundukkan kepalanya. "Kita tetap tidak bisa bersama, Tuan muda."

"Seulgi-ya, sebuah status sosial itu bukanlah penghalang kita untuk bersama." Ucap Sehun dengan lembut.

Seulgi kembali menatap Sehun. "Bagaimana dengan Tuan Baekhyun?"

"Kau tahu aku mencintaimu, bukan? Kita akan tetap bersama. Baekhyun dan status kita bukanlah penghalang."

Seulgi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum lebar. Dia membawa Sehun ke pelukannya.

"Aku mencintaimu, Sehun-ah."

Namun, mereka tidak tahu. Seseorang tengah menatap mereka penuh kebencian disana. Semua orang mungkin berpikir demikian jika melihat orang itu. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya tatapan orang itu menyiratkan kesedihan yang amat mendalam.

.

.

.

Sehun dan Seulgi memilih berkencan secara diam-diam dibelakang Baekhyun. Hubungan mereka sangatlah indah. Terkadang mereka bertemu setelah Sehun selesai bekerja. Terkadang mereka juga menonton film di bioskop saat malam dan akan selalu berakhir dengan malam yang sangat panas karena Sehun bosan dengan film yang mereka tonton.

Sore itu, Sehun berjanji akan mengajak Seulgi makan malam di restoran Italia untuk merayakan hari jadi mereka. Namun, tidak ada kabar dari Seulgi sore itu sehingga Sehun berpikir bahwa wanita kesayangannya tersebut tengah lelah karena pekerjaannya. Sehun memakluminya.

Keesokan harinya sebuah kabar datang dari Seulgi. Bukan kabar bahagia yang Sehun dapatkan. Melainkan sebuah kabar buruk yang berhasil membuat Sehun berubah hingga sekarang.

.

.

.

Matahari bersinar sangat terik siang itu sehingga membuat Sehun kesilauan. Apalagi tidur siangnya menjadi terganggu karena hal tersebut. Namun, Sehun mengabaikan fakta itu dan kembali memejamkan matanya.

Brak!

Pintu kerjanya dibuka dengan cara dibanting. Sehun sangat dongkol dengan apa yang baru saja terjadi. Lelaki bersurai hitam itu menoleh dan menemukan sosok asing disana. Dia berdiri dari duduknya.

"Ada yang bisa ku bantu?" Tanya Sehun ramah sambil berjalan menghampiri lelaki mungil itu.

"Pembunuh." Lelaki itu berkata dengan sangat dingin.

"Pardon?" Sehun menyeritkan dahinya.

"Kau adalah pembunuh, Oh Sehun! Kau membunuh adikku!" Lelaki itu memekik kuat.

"Apa maksudmu?" Sehun menatapnya tak kalah tajam.

"Kang Seulgi, adikku sudah mati sekarang. Apakah kau puas?"

Mata Sehun membola. "A-apa?"

"Seulgi mati bunuh diri. Kau puas? Apa ini karena kau tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan adikku, huh? Kau lebih memilih statusmu sebagai tunangan dari orang kaya raya?"

Bagaikan petir di siang bolong, Sehun tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh lelaki itu. Seulgi sudah meninggal? Dan lagi dalam keadaan hamil?

"Ti-tidak! Seulgi tidak mungkin mati!" Sehun memekik.

"Ya! Dia sudah mati karena keegoisanmu! Dan sekarang dia sudah bahagia disana bersama anakmu itu, Sehun."

"Tidak mungkin!"

Lelaki itu kembali melayangkan tinjunya pada rahang Sehun.

"Kau memang pembunuh!"

Detik selanjutnya yang Sehun ingat hanyalah teriakan nyaring serta tinjuan membabi-buta.

.

.

.

Seulgi meninggal dalam sebuah kecelakaan kereta api atau lebih tepatnya bunuh diri. Ia meninggal dalam keadaan hamil dua minggu. Setidaknya itu adalah informasi yang berhasil Sehun dapat dari lelaki tersebut yang tak lain adalah Do Kyungsoo.

Kesedihan Sehun makin menjadi-jadi kala Kyungsoo menolak dirinya untuk mengunjungi pusara wanita kesayangannya itu. Kematian Seulgi juga berdampak pada sifatnya hingga sekarang. Sehun berubah menjadi pendendam dan dingin. Tak ada sifat hangat dan jenaka yang selalu ia tunjukkan. Semuanya berubah menjadi Sehun yang pendiam.

.

.

.

Jika saja Baekhyun memiliki keberanian untuk menampar Sehun saat ini, mungkin itu adalah yang dia lakukan saat ini. Ingin rasanya juga Baekhyun merobek-robek foto yang tengah Sehun pandangi sekarang. Apalagi begitu matanya menangkap senyuman manis itu terpatri di wajah Sehun. Namun, yang dia lakukan hanyalah mengepalkan kedua tangannya dan bersembunyi dibalik pintu ruang kerja Sehun.

Baekhyun cemburu. Ya, dia cemburu pada sebuah foto yang berisikan Sehun dengan Seulgi itu. Karena Baekhyun tidak pernah menjadi alasan tersebut. Setelah kepergian Seulgi, hubungannya dan Sehun selalu penuh dengan kepalsuan. Dia lelah, tentu. Namun, cintanya terlalu dalam untuk lelaki bersurai hitam itu sehingga untuk meninggalkannya terasa sulit.

Tangan Baekhyun membuka pintu ruangan kerja Sehun dengan cepat. Mata Baekhyun dapat menangkap dengan jelas Sehun tengah menatapnya dengan kebingungan.

"Baekhyun?"

Baekhyun tidak mengindahkan panggilan tersebut. Ia terus berjalan menghampiri Sehun. Dengan cepat dia merebut bingkai foto tersebut dari tangan Sehun.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Sehun dengan marah.

Dia masih terdiam membisu. Seakan dia sudah tuli dengan panggilan itu. Lantas ia membanting bingkai tersebut ke lantai. Dia berjongkok dan merobek foto tersebut hingga tidak berbentuk lagi.

"Apa yang kau lakukan?" Sehun kembali bertanya dengan nada tinggi. Dia menarik tangan Baekhyun untuk berdiri. Mata mereka bertemu untuk beberapa detik sebelum tangan kanan Sehun mendarat diatas pipi Baekhyun.

Sehun menarik napas dalam-dalam. Berusaha menetralkan emosinya yang tengah mendidih.

"Kau gila?"

Baekhyun menghela napasnya sesaat. "Ya, aku gila. Karena kau, Sehun."

Sehun menatap Baekhyun dengan tidak percaya. "Aku? Kau menyalahkanku?"

"Ya."

"Apa salahku, Baekhyun?" Suara Sehun merendah.

Karena kau menyakitiku. Karena kau mengabaikanku. Karena kau melupakanku.

Ingin Baekhyun berkata semua itu. Namun, Baekhyun tidak bisa berkata apapun. Melainkan hanya diam dan diam.

Sehun tertawa remeh. "Kau tidak berani menjawab, bukan?"

Baekhyun mengepalkan kedua tangannya. Mati-matian dia menahan air matanya untuk tidak meleleh.

"Kau tidak lebih baik dari Seulgi, Baekhyun. Hubungan kita hanyalah hubungan semu. Aku tidak mencintaimu."

Perkataan Sehun itu menohok hati Baekhyun. Lelaki mungil itu menggigit bibirnya gelisah. Dia bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Apalagi ketika Sehun mulai membalikkan badannya dan hendak meninggalkan dirinya.

Dengan cepat tangan Baekhyun langsung menahan lengan Sehun. Sehun membalikkan badannya dan menatap Baekhyun remeh. Sebuah tatapan yang sangat dibenci Baekhyun. Tatapan itu selalu membuatnya kalut.

Entah keberanian dari mana, Baekhyun menjinjitkan badannya dan meraih kedua pipi Sehun dengan tangannya. Dia memejamkan matanya dan mendaratkan bibirnya diatas bibir Sehun. Dia menggerakkan bibirnya perlahan-lahan. Namun, Sehun mengambil alih ciuman mereka. Lidah Sehun berhasil masuk ke dalam goa hangat milik Baekhyun sehingga lidah mereka saling membelit satu sama lain.

Ciuman itu selalu berhasil membuat Baekhyun kembali jatuh hati pada Sehun. Letupan itu kembali terasa begitu Sehun memperdalam ciuman mereka. Jantung Baekhyun makin berdetak kencang ketika otaknya meneriakkan bahwa dirinya sangat bodoh.

Karena itu Baekhyun memutuskan ciuman mereka. Mata mereka saling berpandangan. Satu sisi menyiratkan kebingungan yang amat dalam. Sedangkan satu sisi lainnya menyiratkan kesedihan yang amat mendalam.

Baekhyun memaksakan sudut bibirnya naik ke atas. Tangannya menggenggam tangan Sehun dengan lembut.

"Aku mencintaimu, Sehun-ah."

Baekhyun mengecup pipi Sehun dengan singkat sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Membuat Sehun terdiam membeku disana.

.

.

.

Keheningan siang itu hampir membuat Luhan terlelap kalau saja dia tidak mendengar bunyi debaman pintu ruangannya yang dibuka kuat-kuat. Matanya melirik sosok lelaki pucat yang tengah berjalan masuk itu. Sosok yang selalu membuatnya kebingungan dengan perasaannya sendiri. Dimana dia begitu mencintai lelaki tersebut. Namun, kejahatannya membuat dirinya lelah dengan tingkahnya.

Karena itu, Luhan hanya bisa terdiam begitu mata cokelatnya menangkap Sehun tengah berjongkok sambil menurunkan zipper celana miliknya. Apa yang bisa dia lakukan selain diam? Bersimpuh dihadapannya dan memohon untuk menghentikan semua ini?

Tidak.

Sehun adalah orang yang sangat keras kepala.

Memukulnya hingga mati?

Tidak.

Luhan tidak ingin kehilangan sosok itu untuk kedua kalinya.

Sudut bibir Luhan terangkat ke atas begitu melihat Sehun menatapnya dengan tajam.

.

.

.

Bunyi kaki-kaki kuda itu terdengar nyaring. Lelaki tampan yang tengah mengendarai kuda tersebut berhenti ditengah-tengah hutan. Dia tersenyum begitu melihat pohon yang rindang disana. Dia segera meloncat dari kudanya dan menaruh kudanya tak jauh dari pohon tersebut.

Dia menghembuskan napas bahagia ketika punggungnya berhasil mendarat diatas hamparan rumput. Matanya terpejam erat, menikmati hembusan angin yang membuatnya hampir terlelap.

"Pangeran!" Suara berat itu berhasil mengganggu dirinya yang hampir terlelap.

Mendengar panggilan tersebut lelaki itu langsung terduduk. Dia langsung berlari menjauhi pohon tersebut dan mendekati semak belukar. Kakinya melompati semak-semak tersebut dan bersembunyi dibaliknya.

"Pangeran! Pangeran Shixun!"

"Shixun! Dimana kau?"

Lelaki itu tertawa kecil dibalik semak-semak begitu melihat kumpulan orang tengah berlalu-lalang mencari dirinya. Apalagi begitu dia menangkap kakaknya, Baixian dan Chanlie tengah kebingungan serta ketakutan.

"Dimana Shixun? Aku takut terjadi sesuatu dengannya, Chanlie!" Lelaki mungil itu berkata dengan khawatir.

"Jangan khawatir, Baixian. Kita akan menemukannya." Chanlie menggenggam tangan Baixian.

"Cepat! Semuanya berpencar!" Suara teriakan itu terdengar dari mulut Chanlie.

"Ya, Pangeran Mahkota!" Semua pengawal langsung berpencar mencari dirinya.

Shixun yang bersembunyi dibalik semak-semak itu langsung beranjak dan berlari meninggalkan tempatnya. Namun, kakinya terselandung sebuah balok kayu sehingga ia terjatuh di atas rumput-rumput.

Shixun mendudukkan badannya sambil mengaduh kesakitan. Apalagi begitu dia melihat pergelangan kakinya yang sudah membengkak. Sungguh dia menyesal jika dia tahu hal ini akan terjadi padanya.

"Kau tak apa-apa?" Suara itu bertanya dengan lembut.

Shixun menoleh. Matanya membola setelahnya begitu melihat sosok berwarna oranye dengan sayap dibalik punggungnya.

"K-kau si-siapa?" Suara Shixun terbata-bata.

"A-aku i-tu—aku ha-hanya ingin membantumu." Sosok mungil itu menundukkan kepalanya.

"Membantuku?" Sosok itu mengangguk.

Shixun hanya terdiam. Tangan sosok itu terangkat dan menyentuh pergelangan kaki Shixun untuk beberapa detik. Setelah itu dia melepaskan tangannya dan menatap Shixun.

"Bagaimana? Coba kau gerakkan kakimu." Shixun menuruti ucapannya. Dia mulai menggerakkan kakinya.

"Ini hebat!" Shixun sama sekali tidak merasakan sakit pada pergelangan kakinya.

"Kau bahkan lebih hebat dari tabib istana!" Puji Shixun.

"Siapa namamu?" Tanya Shixun kemudian.

"Luhan."

Shixun tersenyum. "Senang berjumpa denganmu, Luhan. Aku Shixun."

Luhan ikut tersenyum manis ketika mereka saling bertatapan.

"Nah! Disini kau rupanya!" Suara itu membuat mereka memutuskan tatapan tersebut. Detik selanjutnya Shixun merasakan telinga ditarik kuat-kuat.

"A-ah! Gege!" Shixun berdiri dari duduknya dan menatap orang yang menjewernya dengan sebal.

"Kau ingin kabur lagi? Kau senang membuatku dan Chanlie diamuki ayah habis-habisan?" Sehun hanya menyengir mendengar ucapan Baixian.

"Ayo kita pu—" Ucapan Baixian terputus begitu melihat sosok aneh berwarna oranye itu.

"Ge?" Shixun kembali bertanya.

"Gya! Wu Chanlie!"

.

.

.

Mata Sehun menatap Luhan dengan penuh nafsu. Dengan cepat dia menyapu bibir Luhan tanpa ampun hingga Luhan kewalahan mengimbangi permainannya. Apalagi begitu lidah Sehun bermain-main didalam mulut Luhan.

"Enggh..." Desah Luhan tertahan.

Tangan Sehun mulai masuk ke dalam kaus Luhan. Dia mengusap-usap perut datar Luhan dengan sensual. Ia juga mulai bermain pada nipple Luhan.

Sehun memutuskan ciuman diantara mereka. Mata mereka saling bertatapan untuk beberapa detik sebelum bibir Sehun mendarat diatas leher Luhan. Lidah Sehun bermain-main diatas permukaan lehernya. Membuat Luhan memejamkan matanya karena menikmati permainan Sehun.

"Ahh... Shixun." Luhan kembali mendesah.

Sehun menghentikan kegiatannya sejenak. Dia menatap Luhan tajam-tajam.

"Siapa itu Shixun, Luhan?"

.

.

.

Pertemuan Luhan dan Shixun kala itu membawa keberuntungan dalam hidup Luhan. Wu Shixun atau Shixun itu membawa Luhan pergi bersamanya sambil mengancam kepada dua orang lelaki yang ia panggil gege tersebut. Ancaman lelaki itu adalah dia akan meninggalkan istana atau menjadi pembangkang seumur hidupnya. Akhirnya mau takmau mereka untuk menurut pada Shixun dan membawa serta Luhan ke kerajaan mereka.

Shixun bukanlah orang biasa. Dia adalah salah satu pangeran dari suatu kerajaan di daratan China. Dia juga memiliki banyak saudara sehingga Luhan tidak paham alasan Shixun mengajaknya ke istana ini. Shixun berkata bahwa dia kesepian dan mengancam akan kembali kabur jika mereka tidak membawa Luhan ke istana. Bagaimanapun Luhan tetap bersyukur lelaki itu membawanya pergi bersamanya.

Panah itu menancap pada tengah bidang datar itu. Orang yang berhasil membidik posisi itu tersenyum bangga. Luhan ikut tersenyum melihatnya.

"Kau semakin hebat saja, Shixun." Puji Chanlie sambil menepuk bahu adiknya itu dengan lembut.

"Terima kasih, Ge. Ini berkat Luhan yang selalu membantuku." Shixun melirik Luhan yang tengah terduduk di belakang mereka.

Jantung Luhan berdetak kencang begitu mendengar ucapan Shixun tersebut. Dia tidak bisa berbohong bahwa dia sangat senang dengan ucapan Shixun.

"Kau harusnya melihat kemampuan bergulatnya, Ge! Dia sama sekali tidak bisa bergulat." Luhan ikut menibrung pembicaraan saudara itu.

"Hei! Itu tidak benar!" Sanggah Shixun cepat.

Chanlie tertawa melihat tingkah kedua adiknya itu. Ya, Chanlie sudah menganggap Luhan sebagai adiknya sendiri sama seperti Shixun sejak kedatangannya hampir lima tahun yang lalu.

"Sudahlah! Kalian bertengkar hanya karena hal sepele seperti ini." Lerai Chanlie.

Luhan mengerucutkan bibirnya. "Kenyataannya seperti itu. Kenapa dia harus menyangkal juga?"

Shixun membalas tatapan Luhan dengan sebal. "Hei setidaknya aku hampir membantingmu kemarin!"

"Itu hanya hampir. Kau bahkan belum bisa membantingku." Luhan menjulurkan lidahnya.

"Sudahlah! Hentikan!" Ucap Chanlie.

Keduanya saling menatap sebal satu sama lain. Luhan melipat tangannya didada bersamaan dengan Shixun yang menajamkan tatapannya.

Chanlie tertawa terkikik-kikik melihat mereka. "Kalian seperti pasangan suami-istri yang sedang bertengkar jika kalian ingin tahu."

Semburat merah mulai terlihat diwajah Shixun. Dia memalingkan wajahnya dan menatap Chanlie. Ia berdeham sekilas sebelum berkata. "Ge, kapan aku bisa ikut berperang bersama kalian? Aku ingin sekali melakukannya."

"Secepatnya. Tetaplah latih kemampuan memanahmu."

Shixun mengangguk sekilas. "Baiklah. Aku juga akan mengajak Luhan jika itu terjadi."

"Aku yakin pasukan kita akan semakin hebat jika ada Luhan."

"Ya! Luhan sangat hebat. Aku yakin semua musuh kita akan mati hanya dengan kepakan sayap Luhan. Benarkan itu, Luhan?" Shixun melempar tatapannya pada Luhan.

Luhan hanya tertawa canggung mendengar ucapan Shixun. Diam-diam dia mulai khawatir dengan perilaku Shixun barusan. Apakah Shixun membencinya? Tidak. Tidak. Luhan menggelengkan kepalanya.

Pandangan Luhan terlempar pada sosok Chanlie yang tengah menatap Shixun dengan tatapan sangat aneh. Lelaki itu terlihat marah dan sangat membenci Shixun. Namun, kepala Luhan kembali menggeleng. Untuk apa seorang Chanlie yang sangat menyayangi Shixun itu marah kepada adiknya?

.

.

.

"Siapa itu Shixun, Luhan?" Suara Sehun terdengar begitu rendah. Membuat Luhan merinding mendengarnya.

Luhan hanya mengunci bibirnya rapat-rapat begitu mendengar perkataan Sehun tersebut. Dia meruntuki kebodohannya tersebut.

"Jawab aku!" Perintah Sehun.

Luhan menelan ludahnya dengan susah payah. "I-itu bu-bukan si-siapa-siapa, master."

Sehun menatapnya tajam. "Aku tidak sebodoh itu, Luhan. Katakan siapa dia!"

Dia adalah dirimu, Sehun.

Luhan hanya menggeleng. "Ti-tidak."

"Dengar, Luhan!" Sehun mencengkram dagu lelaki mungil itu dengan kuat. "Ini bukan pertama kalinya kau memanggil nama tersebut. Katakan siapa dia!"

Luhan kembali menggeleng. Membuat Sehun naik darah karena tingkahnya yang memuakkan.

"Kau membuatku kesal, Luhan."

.

.

.

Luhan sadar dia mulai jatuh hati dengan sosok tampan yang menjadi majikannya ini. Shixun, lelaki itu berhasil membuat jantung Luhan berdegup kencang hanya dengan menatapnya sebentar saja. Ditambah lagi sikap hangat Shixun yang terkadang kelewat batas. Lelaki itu sering kali membelikannya barang-barang.

Dan jangan lupakan ketika Shixun membela Luhan dihadapan orang-orang yang menghujatnya. Luhan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengagumi Shixun karena sifatnya yang hangat itu.

"Ini untukmu." Suara Shixun itu membuyarkan lamunan Luhan.

Luhan menoleh sambil tersenyum. Matanya menatap sebuah pedang ditangan Shixun.

"Apa ini?" Tanya Luhan sambil mengambil pedang tersebut.

"Pedang untuk perang kita besok." Jawab Shixun sambil mendudukkan badannya disamping Luhan.

Luhan hanya mengangguk. "Terima kasih."

"Ini tidak ada artinya dengan semua bantuanmu selama ini. Terima kasih, Luhan." Shixun mengakhiri kalimatnya dengan senyuman manis.

"Ya." Luhan menjawab singkat.

Keheningan menyelimuti mereka berdua setelahnya. Mereka menatap langit malam bertaburkan cahaya bintang.

"Shixun..." Luhan memanggilnya dengan Lembut.

Shixun menoleh. "Ya?"

"Apa kau yakin dengan keputusanmu?" Tanya Luhan.

Shixun mengangguk mantap. "Ya."

Jujur, sebenarnya Luhan takut dengan keputusan Shixun untuk mengikuti perang bersama Chanlie. Dia hanya takut jika terjadi sesuatu dengan Shixun. Banyak kemungkinan yang akan terjadi dan kemungkinan terburuknya adalah Shixun meninggal.

"Bagaimana jika kau mati?" Luhan kembali bertanya.

"Aku tidak mungkin mati, Luhan. Kita akan baik-baik saja." Jawaban Shixun itu berhasil menghilangkan kekhawatiran di hati Luhan.

"Hei, bisakah kau berjanji padaku?"

"Apa?"

Luhan tersenyum. "Berjanjilah untuk tidak pergi meninggalkanku apapun yang terjadi besok."

"Ya, aku berjanji. Aku tidak akan meninggalkan dirimu apapun yang terjadi. Aku akan tetap tinggal bersamamu." Shixun tersenyum setelahnya membuat Luhan mengangguk.

"Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Aku sangat lelah." Luhan bangkit dari duduknya.

Shixun berdeham setelahnya. "Hm. Istirahatlah yang cukup. Besok akan sangat melelahkan."

Luhan mengangguk dan berjalan meninggalkan Shixun yang masih terduduk disana. Luhan tidak bisa berhenti untuk mengingat tingkah Shixun barusan. Membuatnya salah tingkah.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan besok."

Luhan berhenti mendengar suara wanita itu. Dia langsung bersembunyi dibalik tembok sambil memerhatikan sosok wanita dan lelaki jangkung itu tengah berbicara.

"Aku tahu, Ibu." Lelaki jangkung itu menjawab.

"Bagus! Kau hanya harus membunuh Shixun dalam peperangan. Kau tahu dia sangat menginginkan takhtamu, bukan?"

Lelaki jangkung itu kembali mengangguk.

"Kau harus mematuhi ibu, Chanlie! Tidak ada seorangpun yang bisa kau percayai dalam kehidupan ini! Termasuk saudaramu sendiri. Kau dengar itu?"

Mata Luhan membulat sempurna begitu melihat siluet Chanlie tengah menatap ibunya dengan tatapan sangat tajam.

"Aku tahu, Ibu. Tidak ada seorangpun, termasuk Baixian dan Shixun."

.

.

.

"Ah-aah!" Desahan Luhan itu terdengar begitu nyaring.

Plak!

Sebuah pukulan mendarat diatas bokong Luhan itu. "Sudah kubilang berhenti mendesah!"

Luhan menggigit bibirnya kuat-kuat. "Maafkan aku, master."

Sehun tidak menjawab. Lelaki bertubuh jangkung itu melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda. Dia menjilat lubang anus Luhan sambil mengocok penis Luhan yang sudah diberi cock ring tersebut.

Luhan hanya bisa menggigit bibirnya kuat-kuat. Mati-matian dia menahan desahannya untuk tidak keluar. Dia hanya bisa mencengkram borgol tangannya.

Luhan bisa bernapas lega ketika Sehun menghentikan kegiatannya. Dia melirik Sehun yang berdiri dibelakangnya dari sudut matanya. Matanya membola begitu melihat Sehun mulai berusaha memasukinya tanpa penetrasi terlebih dahulu.

"Aaah!"

.

.

.

Luhan terdiam menatap pantulan dirinya pada cermin dengan jubah hitam yang menjuntai itu. Dia menggigit bibirnya ketakutan. Takut jika sesuatu akan terjadi nanti. Bahkan ia sendiri ragu pada kemampuannya yang melebihi manusia biasa.

Luhan mengusak rambut cokelatnya dengan kasar. Dalam diam dia berpikir, Apakah dia sebaiknya mundur saja dalam perperangan ini? ataukah dia tetap ikut saja?

Suara-suara dalam kepalanya itu berbisik pelan, 'Lebih baik kau menyerah, Luhan. Kau tidak akan bisa mengalahkan mereka. Kau bahkan tidak akan bisa melindungi Shixun dari Chanlie.'

Tangannya menarik rambutnya kuat-kuat sambil menghembuskan napas berkali-kali. Suara itu mememuhi kepalanya bagaikan semua orang tengah berkata kepadanya. Bahkan dia merasakan semua orang menatapnya dengan tajam.

"Hentikan! Hentikan!" Luhan kembali menarik rambutnya dengan kuat.

Namun, sebuah tangan itu menarik tangan Luhan. Mata Luhan menatap orang tersebut dengan sendu.

"Luhan..." Suara Shixun memanggilnya dengan lembut. Membuat seluruh suara itu menghilang dari kepalanya. "Kau tidak perlu takut."

"A-aku—"

Ucapan Luhan itu terpotong ketika Shixun memeluk dirinya erat-erat. Seakan takut untuk kehilangan dirinya.

"Jika kau tidak yakin dengan apa yang kau lakukan, kau bisa mundur. Aku tidak akan memaksamu dan Chanlie gege akan mengerti hal ini." Bisik Shixun.

Luhan melepaskan pelukan mereka sambil tersenyum.

Tidak, dia tidak akan menyerah. Dia akan mengambil resiko yang akan terjadi.

Mata mereka bertemu untuk beberapa detik sebelum Shixun mendaratkan sebuah ciuman dibibir Luhan. Ciuman yang berhasil membuat Luhan melupakan ketakutannya.

Shixun melepaskan tautannya. Dia menggenggam tangan Luhan.

"Aku berjanji, kita akan baik-baik saja."

.

.

.

"Berhenti!" Suara lantang Chanlie itu berhasil menghentikan semua orang. Tak hanya pasukan mereka, Luhan dan Shixun pun terdiam dibuatnya.

Luhan menggigit bibirnya begitu melihat musuh-musuh mereka yang berjarak tak jauh dari mereka. Tak hanya itu, badannya mulai gemetar ketakutan.

Shixun melirik lelaki mungil disampingnya itu.

"Luhan..." Shixun memanggilnya dengan sangat lembut.

Tak ada jawaban dari Luhan. Pandangan lelaki mungil itu masih terfokus pada jejeran orang dihadapan mereka.

"Luhan..." Shixun kembali memanggilnya.

"Y-ya?" Jawab Luhan.

Shixun tersenyum. Dia menggenggam tangan Luhan.

"Tidak akan terjadi apa-apa, Luhan. Kita akan baik-baik saja." Ujar Shixun menenangkan Luhan.

"A-aku—"

"Semuanya akan baik-baik saja, Luhan. Aku bersumpah."

Luhan menangguk patuh pada ucapan Shixun. Namun, seharusnya ia tahu. Janji itu ada untuk tidak ditepati.

.

.

.

Penis Sehun itu berhasil memenuhi lubang anus Luhan. Membuat Luhan merintih kesakitan menahannya. Sebuah pukulan kembali Sehun layangkan pada bokong Luhan.

"Aku harus berkata berapa kali agar kau mengerti huh? Berhenti mendesah." Ucap Sehun dingin.

Luhan hanya mengangguk patuh. Dia kembali menggigit bibirnya kuat-kuat ketika Sehun mulai menggerakkan pinggangnya.

Air mata Luhan menetes dalam diam. Berharap semuanya akan selesai begitu saja.

.

.

.

Tinjuan terakhir itu berhasil membuat musuhnya mati. Luhan mengedarkan pandangannya. Dia menemukan Shixun disana. Lelaki itu berhasil membunuh tiga orang lelaki hanya dengan panah miliknya.

Namun, seseorang berdiri dibalik Shixun. Lelaki itu mengeratkan pedangnya pada genggamannya. Bersiap untuk membunuh Shixun.

"Shixun! Awas!" Luhan memekik. Membuat Shixun langsung menoleh dan berhasil menyingkir ketika pegang itu mulai bergerak.

"Chanlie gege?" Tanya Shixun dengan terkejut. Apalagi begitu tatapannya berbenturan dengan tatapan tajam milik Chanlie.

"Akhirnya aku bisa membunuhmu tanpa ada yang curiga, Shixun." Suara Chanlie memberat.

"Apa maksudmu?" Shixun melotot mendengar ucapan Chanlie.

Chanlie tertawa remeh. "Kau berniat merebut tahtaku, bukan? Jangan berlagak bodoh."

"Aku tidak berniat seperti itu!" Pekik Shixun.

"Kau harusnya mati, Shixun. Kau hanya menyusahkan semua orang. Bahkan ibumu saja benci pada dirimu."

Shixun mengepalkan tangannya. "Kau saudaraku. Kau harusnya melindungiku."

"Persetan dengan semua itu!" Chanlie mendaratkan tinjuannya pada rahang Shixun hingga lelaki itu terjatuh ke tanah.

Luhan berlari mendekati mereka. Dengan cepat dia mengancungkan pedangnya pada Chanlie.

"Kenapa kau menyakitinya, Chanlie gege?" Tanya Luhan.

Sudut bibir kanan Chanlie terangkat ke atas. Membuatnya semakin terlihat angkuh. "Karena dia yang bermain-main denganku terlebih dahulu."

"Shixun tidak mungkin seperti itu!"

"Tahu darimana kau? Dia bahkan membencimu, Luhan."

"Shixun tidak—"

"Ya! Shixun membencimu!" Pekik Chanlie.

Luhan menggigit bibirnya kuat-kuat. Tangannya mengambil pedang yang dia sembunyikan dibalik jubahnya itu. Diarahkannya pedang tersebut pada dada Chanlie.

"Selamat tinggal, Chanlie—"

"Tidak!"

Shixun menghalangi Chanlie. Pedang Luhan tersebut tertanam pada dada kiri Shixun. Lelaki itu terjatuh ke tanah begitu saja.

Mata Luhan membulat melihat apa yang telah terjadi. Dengan cepat dia membawa Shixun ke pangkuannya.

"Shixun! Shixun!" Dia mengguncang badan Shixun.

"Shixun, apa yang kau lakukan?" Luhan bertanya dengan panik.

"Shixun jawab aku!" Pekik Luhan.

"Aku melakukan apa yang harusnya seorang adik lakukan pada kakaknya ketika bahaya menyerang." Jawab Shixun.

Jawaban Shixun berhasil membuat Chanlie terdiam membeku. Darah segar keluar dari mulut Shixun ketika lelaki itu terbatuk. Kesadaran Shixun pun mulai menghilang perlahan-lahan.

"Shixun, kumohon jangan pergi! Kau sudah berjanji untuk tetap tinggal bersama diriku, bukan?"

"Maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janji itu." Shixun berkata dengan suara yang sangat pelan.

"Jika kau pergi, aku harus bersama siapa? Aku tidak memiliki siapa-siapa selain dirimu." Air mata Luhan menetes.

"Maafkan aku, Luhan." Suara Shixun mulai memberat.

"Shixun! Dengarkan aku!"

Shixun tidak menjawab. Lelaki itu justru tersenyum menatap Luhan. Namun, perlahan-lahan kelopak matanya mulai menutup.

"Shixun!" Luhan mengguncang badan lelaki itu. Namun, tidak ada respon dari lelaki itu.

"Shixun! Jangan pergi!" Luhan menjerit kuat.

Jeritan itu cukup kuat sehingga membuat Chanlie hanya bisa menatap lelaki itu dengan sendu tanpa bergerak sedikitpun. Pedang itu meluncur jatuh dari pegangan Chanlie bersamaan dengan tubuhnya yang merosot ke tanah. Namun, mata Chanlie menangkap sosok manusia bersama sayap oranye disana. Bukanlah seseorang dengan tubuh oranye seperti cahaya maupun api. Membuat lelaki itu berdiri dan berlari menjauh.

"Shixun maafkan aku!" Suara jeritan Luhan kembali terdengar.

Hari itu, Luhan kehilangan sosok Shixun yang membuatnya bersumpah pada dirinya sendiri. Jika ia bertemu dengan sosok itu lagi, Luhan tidak akan pernah melepaskannya walaupun hanya sekali. Karena ia tidak ingin kehilangan Shixun untuk kedua kalinya.

.

.

.

Sehun menggerakkan pinggangnya terus menerus. Sambil sesekali memukuli bokong Luhan hingga memerah.

Luhan masih terdiam. Lelaki itu bungkam seribu bahasa. Apalagi begitu Sehun menghentikan permainan mereka begitu saja.

Kepala Sehun tertunduk dan jatuh diatas bahu Luhan begitu saja. Air mata Sehun menetes begitu saja tanpa Luhan ketahui.

"Tu-tuan muda?"

Sehun tidak menjawab. Lelaki itu justru memeluk badan Luhan.

"Kau baik-baik saja?" Luhan kembali bertanya.

Sehun menggeleng seraya mengeratkan pelukannya pada badan Luhan. Mati-matian ia menahan isakan untuk lolos dari bibirnya. Namun, isakan itu masih terdengar jelas.

Luhan menepuk punggung tegap Sehun dengan lembut.

"It's okay. Kau akan baik-baik saja."

Sehun justru semakin terisak kuat.

"Aku jahat... aku sangat jahat..."

"Tidak, kau tidak jahat."

Karena Luhan tahu itu semua adalah kedok untuk menutupi kesedihanmu.

"Aku jahat. Aku menyakitimu. Aku menyakiti Baekhyun. Aku menyakiti Chanyeol. Aku menyakiti semuanya."

"Aku baik-baik saja." Ucap Luhan lembut.

Sehun mengeratkan pelukannya pada Luhan. "I'm sorry. I'm fucked up. I'm a mess."

Luhan mati-matian menahan air matanya untuk tidak menetes. "Tidak,Tuan muda. Kau tidak seperti itu."

Sehun kembali memeluknya erat-erat seakan tak rela untuk kehilangan Luhan.

"It's okay. You will be fine." Bisik Luhan pada telinga Sehun.

Tangisan Sehun berhenti seketika itu juga. Kepalanya terangkat perlahan-lahan. Mata cokelatnya menatap Luhan dalam-dalam.

"Jangan bersedih lagi. Aku tahu semuanya sulit. Tapi, kau harus memaafkan apa yang telah terjadi." Ucap Luhan lembut.

Sehun tidak menjawab. Ia justru menangkup pipi Luhan dan mendaratkan bibirnya disana. Sebuah kecupan lembut tanpa nafsu yang berhasil membuat keduanya kembali meneteskan air mata. Yang satu memiliki arti kerinduan yang amat mendalam. Sedangkan yang lain memiliki arti penyesalan yang amat mendalam.

Luhan melepaskan tautan mereka. Matanya menatap Sehun dengan sendu. Begitupula Sehun. Dalam diam mereka berbisik dalam hati. Berharap semuanya akan menghilang begitu saja.

Keduanya saling berbisik tanpa suara. 'Maafkan aku.'

.

.

.

TBC


Halooo kita ketemu lagiii~~ maaf ya atas keterlambatannya:") dikarenakan beberapa alasan updatean chap kali ini harus ngaret:").

Jadi sekarang udah ketahuan ya shixun sama seulgi itu siapa. Yaps, sehun itu bisa dibilang reinkarnasi dari shixun. Dan ya semoga aja dichap selanjutnya sehun dah tobat ya:") aku juga kasian ama luhan(?). Aku juga minta maaf kalo chap ini ngecewain dan ngebosenin karena terlalu fokus sama masa lalu hunhan:"). Honestly aku juga ga pede sama chap ini jadi aku bener-bener butuh review kalian

Anyway thank you so much udah review, favorite, bahkan ngefollow ff ini dan chapter kemarin, terima kasih banyaaak~~

Last but not the least gimme review juseyooo~~ *bbuing bbuing bareng Baekhyun*

!balesan review!

Deerhun794: doain aja sehun di next chapter udah sadar, aku juga ga kuat liatnya:")

Guest: pertanyaan kamu kayanya kejawab nih di chapter ini ^^

Mr albino: tebakannya hampiiir bener~~ aku juga kasian sama mereka:")

Mischa baby: udah di update niih~~

Aaa: luhan hidupnya kenapa? Merana banget yaah?:")

Oh Baby Milky: makasih banyak sarannyaaa dan semangatnyaaa ^^, tenang aja momennya bakalan aku banyakin koook soalnya aku juga haus banget sama momennya hunhan:")

RusAngin: Kalo luhannya nyebur nanti sehunnya sendirian... kan kasiaaan sehunnya:(... doain aja next chap sehun udah gajahat lagi sama luhan:")

Guest (2): mianhaeee kalo chapternya emang ga bagus"... aku bakalan berusaha lagi buat konfliknya lebih klimaks dan greget lagi^^