Megane Oojou
Hanya Akabane Karma dengan obsesi gilanya terhadap gadis berkacamata. /"OH! KACAMATA!"/ "Kau membuatku takut." / "Aku akan selalu melindung gadis cantik berkacamata sepertimu."/
[Beyond the Boundary/ Kyoukai no Kanata parody]
Disclaimer: I didn't own anything beside the plotline.
Warning: Alur gaje, garing, typo detected and OOC
Okuda Manami menangis frustasi di dalam toilet perempuan. Debut SMAnya yang ia kira akan sukses gemilang, kandas oleh satu lelaki bersurai merah dan di juluki Setan Merah Cabul.
.
.
.
.
"OH! KACAMATA!"
Okuda Manami yang baru saja memasuki kelas barunya di 3 E itu sedikit terperanjat ketika tiba-tiba ada yang meneriakinya begitu. Membuat dirinya menjadi pusat perhatian di kelas.
Kemudian dalam hitungan detik, tiba-tiba tangannya di tarik oleh lelaki bersurai merah dengan wajah arogan tapi mesum(?).
Okuda menatapnya bingung.
Pertama, siapa lelaki sombong dan cabul ini? Ke dua, Okuda baru saja ingin menjalankan hari pertamanya sebagai murid SMA dengan normal. Tapi, yang laki-laki itu lakukan, kini malah menarik perhatian anak sekelas. Ke tiga, lelaki itu memegang tangannya dan menciumnya!
"A-a-apa yang kau lakukan?"
"Oh? Aku? Namaku Akabane Karma."
"Tidak, tidak. M-maksudku, a-apa yang kau lakukan, b-bukan siapa namamu." Okuda mengoreksi seraya menarik tangannya dari lelaki bersurai merah itu.
"Mencium punggung tanganmu?"
"Kau membuatku takut." Okuda memandangnya ngeri. Sementara lelaki bernama Akabane Karma itu tersenyum lebar—padahal kalimat Okuda tadi sama sekali bukan pujian.
"Kau sangat cantik dengan kacatamata! Ingat, jangan pernah mencabut kacamatamu dan-!" Kalimat ngawur itu terpotong ketika perempuan(?) berambut biru tiba-tiba menendang Karma hingga ia pingsan.
Okuda pucat. Siapa lagi ini? Kenapa di hari pertamanya ia harus bertemu orang-orang aneh ini?
"Hei, maafkan perlakuan temanku tadi, ya. Dia memang cabul kalau menyangkut gadis berkacamata," ujarnya seraya tertawa. Okuda hanya mengangguk dalam diam—bingung mau menjawab apa karena ini semua terlalu mengejutkan.
"Jadi, siapa namamu?"
"O-Okuda Manami." Okuda menjawab sedikit gugup, "kau?"
"Nagisa Shiota," ujarnya.
"B-baiklah, Nagisa-chan."
Mendengar jawaban Manami, tiba-tiba saja mata Nagisa mengilat marah. "CHAN? NAGISA-CHAN!?" teriak Nagisa tiba-tiba hingga membuat Okuda takut, "AKU INI LAKI-LAKI! PERLU KUPERLIHATKAN ANU-KU PADAMU AGAR KAU-!"
Sekali lagi, perkataan seseorang tiba-tiba terputus karena kini lelaki itu terpental jauh akibat tendangan perempuan berambut hijau. Kali ini, Okuda bisa memastikan kalau ia perempuan—meski lekukan dadanya tak terlihat alias rata.
"Biarkan saja dua laki-laki bodoh itu, Okuda-san," ujar gadis itu seraya tersenyum lembut. "aku Kayano Kaede, ayo, kutunjukkan tempat dudukmu."
Oh.
Okuda sembah sujud dalam hatinya. Akhirnya ada orang normal yang menghampirinya! Ia pun mengikuti Kayano untuk mencari bangku kosong.
Berhubung tadi Okuda datang terlambat, mau tak mau ia harus duduk di jajaran paling belakang karena itu satu-satunya tempat yang tersisa.
Setelah berbincang-bincang di bangku Okuda, Kayano pun pergi ketika bel tanda masuk berdentang. Di susul dengan murid-murid yang berhamburan menuju tempat duduk mereka masing-masing.
"Hh, pagi yang melelahkan," keluh Okuda. Ia pun menelungkupkan wajahnya ke meja. Berusaha untuk mendinginkan suaranya, hingga akhirnya sebuah suara mengusiknya.
"Okuda-san!?"
Oh, Tuhan, apa salahku? Okuda menjerit dalam hati. Tahu betul siapa pemilik suara ini meski baru tadi ia bertemu.
"Kita pasti ditakdirkan bersama, Okuda-san! Ah, ngomong-ngomong, kacamatamu sedikit jadul. Bagaimana kalau sepulang sekolah nanti kita kencan dan membeli kacamata baru?"
Tuhan, tolong cepat singkirkan lelaki bernama Akabane Karma ini...
.
.
.
.
.
.
Dan sekarang, di sinilah Okuda Manami. Bersembunyi di dalam toilet perempuan demi menghindari Karma. Begitu tadi bel tanda pulang berdentang, ia langsung melesat dan kabur.
Okuda tidak bisa membayangkan bagaimana setahun nanti duduk di samping lelaki cabul dan gila itu.
Berhubung Okuda sudah bersembunyi selama beberapa belas menit lamanya—dan ia mulai sumpek berada di toilet, Okuda pun memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.
Ia menjulurkan kepalanya dan mengintip.
Nihil.
Sejauh mata memandang tidak ada stoberi mengambang—maksudnya, tidak ada lelaki bersurai Merah itu. Tidak ada!
Okuda pun memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk pergi ke atap sekolah. Dan jangan tanya kenapa harus atap sekolah, karena Okuda pun tidak tahu. Ia hanya ingin menyegarkan pikiran di sana.
Cklek
Okuda membuka pintu menuju ke atap itu pelan-pelan, menimbulkan suara berderit yang cukup nyaring—berhubung pintu itu sudah tua.
Gadis itu melangkah pelan hingga ke ujung gedung. Menyandar pada pagar pembatas dan memandang keindahan sekolahnya dari atas situ.
Semilir angin musim panas berhembus dan menerbangkan anak-anak rambutnya yang berantakan. Menyegarkan, pikir Okuda. Ia memejamkan matanya untuk lebih merilekskan pikiran.
Hening.
Well,
Brak!
"OKUDA-SAN!"
Okuda terkejut mendengar teriakan tiba-tiba itu. Membuat keseimbangannya terganggu hingga tanpa sadar, ia tersungkur melewati pagar pembatas yang pendek itu.
Deg
Jantungnya mencelos ketika menyadari perubahan gravitasi dan mulai merasakan badannya melayang. Okuda menatap langit dengan pasrah menyadari mungkin hidupnya akan berakhir seperti ini.
Atau mungkin juga tidak.
Grep
Sebuah tangan memegangnya. Perlahan menariknya hingga ia kembali melewati pagar pembatas, kemudian terjatuh bersama dengan si penolong. Dengan posisi Okuda yang berada di atasnya dan wajahnya tenggelam pada dada si penolong.
Okuda mengangkat wajahnya, dan ketika itu juga pandangan matanya terkunci pada manik merkuri yang indah. Mengilat dan tajam, menatapnya bagai elang.
"Bodoh! Jangan bunuh diri!" Sentak Akabane Karma tiba-tiba. Ah, ya. Si penolong itu adalah Akabane Karma.
"Kau itu sangat cocok dengan kacamata. Menurutku, orang-orang berkacamata sangatlah cantik! Aku—aku menyukai Okuda-san yang memakai kacamata!" ujarnya lagi, dan Okuda bingung apa maksud dari kalimat itu.
"K-kenapa kau menolongku?" Okuda tidak tahu kenapa malah kalimat itu yang terlontar. Mengingat sebenarnya ia jatuh juga karena Karma. Tadinya, Okuda ingin menanyakan kenapa kau menolongku, padahal kau yang membuatku jatuh.
"Aku akan selalu melindungi gadis cantik berkacamata sepertimu."
Oh. Haruskah Okuda merasa tersanjung di saat seperti ini? Okuda benar-benar tidak bisa mengendalikan wajahnya yang memanas dan memerah karena malu.
"Kumohon, tetaplah hidup bersamaku dan jangan pernah lagi bunuh diri." Karma memeluk Okuda—masih dengan posisi mereka yang dapat membuat orang salah paham.
Okuda, hanya bisa mengangguk pasrah.
.
.
.
.
Sepertinya terjebak dengan lelaki bersurai merah bukan ide yang buruk.