*All I Need Is You*

Disclaimer: Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

NaruHinaSasusaku

Chapter23

.

.

.

.

Sasuke bergegas melangkahkan kaki jenjangnya memasuki Hyuga Mansion dengan tergopoh sore itu. Menyusul dibelakangnya si dokter bersurai pink yang tak kalah gusar, derap langkahnyapun kian berlomba dengan Sasuke yang mendahului beberapa langkah didepan. Tujuan mereka sama, sebuah kamar di ujung tangga, kamar Hinata. Kegusaran mereka bukan tidak beralasan. Kira-kira dua puluh menit lalu Sasuke menerima telepon dari maid dari kediaman Hyuga yang menyatakan bahwa Hinata masih tetap mengurung diri dikamarnya dan menolak berbagai macam bentuk makanan sejak kemarin.

Memang bukan kali pertama Hinata menolak makanan yang disiapkan oleh maidnya. Puluhan hari berselang sejak kejadian memilukan dirumah sakit. Puluhan kalipun penolakan untuk makan kerap kali terjadi.

Si nona besar Hyuga itu sudah banyak berubah.

Si nona besar itu kehilangan dirinya, seperti bumi yang kehilangan matahari.

Suram dan dingin.

Berkali ia mencoba disadarkan bahwa masih ada matahari dalam dunia nyata, yang masih bersedia menghangatkannya tapi iapun tetap memungkiri. Karena baginya hanya Naruto-lah satu-satunya matahari. Pusat dari seluruh jagad raya-nya, pusat dari pikirannya, pusat dari kesedihannya dan sekaligus kebahagiaannya. Tak ada yang lebih ia butuhkan selain Naruto.

Sudah terlalu banyak detik yang berlalu dengan airmata hingga ia mungkin lelah untuk menangis. Hinata akhirnya memilih untuk mengalihkan kecintaannya pada Naruto pada bakat seni rupa yang dimiliki.

Hinata tak pernah sedikitpun melupakan bakatnya sama seperti ia tak pernah melupakan Naruto. Bagi Hinata melukis, memahat, mengukir atau apapun yang bersubjek Naruto-lah yang kini ia maksud dengan 'hidup'. Ia pun akan tenggelam dengan pensil dan kertas untuk mensketsa, atau kuas dan kanvas untuk melukis, kadang iapun membutsir atau apapun yang bisa ia lakukan dengan kedua tangannya. Dan kesemua karya yang dibuatnya adalah refleksi perasaan pada Naruto.

Tentu saja ini adalah sebuah pengalihan yang positif pada awalnya. Tapi ternyata lama-lama Hinata melupakan jika ia masihlah seorang manusia. Semakin hari Hinata semakin lupa caranya memanusiakan dirinya sendiri. Ia bahkan lupa bahwa manusia butuh makan, istirahat, tidur dan yang lainnya. Kadang untuk menyelesaikan sebuah karyanya ia bahkan bisa menghabiskan berhari-hari tanpa makan, tidur atau bahkan mandi.

Cinta yang sangat teramat itu sudah tak lagi mampu menyehatkan tubuh ataupun menjernihkan otak siempunya. Cinta yang menyisakan kepedihan mendalam tertransformasi dalam bentuk tindakan yang melewati batas kewajaran. Dan pada tahap yang seperti Hinata alami sekarang mungkin bisa disebut gangguan kejiwaan.

PRAANNKKK

Baru saja terdengar suara benda terpecah dari dalam kamar itu, Sasuke dan Sakura pun semakin mempercepat langkahnya untuk segera sampai pada tujuan mereka. Segera saja Sasuke meraih kenop pintu dan memutarnya saat ia sampai disana. Dan sebuah pemandangan mengerikan pun kian tergambar di mata onixnya.

Kamar yang kini dilihatnya itu berubah seratus delapan puluh derajat dari apa yang mampu dingatnya selama ini.

Dulunya kamar berwarna pastel lembut itu selalu tampak nyaman dimana bantal-bantal kian tertata rapi dan terbungkus dengan sarung warna kesukaan Hinata. Ranjang bermodel klasik berhias tirai sutra ungu menjuntai dengan permadani lembut jadi alasnya. Tentunya jelas sekali jika bayangan tentang kamar itu sebelumnya seperti kamar milik putri raja di film bersetting abad pertengahan. Tapi, itu dulu, hanya dalam ingatan Sasuke. Kini tidak ada sedikitpun kemiripan dengan kamar sang putri raja. Kamar itu tampak seperti ruang pengasingan yang usang dan tak terawat.

Lembaran-lembaran kertas dengan guratan sketsa wajah terserak menutupi lantai pualam. Ranjang yang mestinya nyaman untuk bermimpi kini penuh dengan carut-marut aneka warna cat minyak yang tertumpah ruah disana. Dinding pastelnyapun sudah tertutupi oleh berbagai macam goresan artistik campur aduk buatan Hinata. Apapun yang ada disana sudah berhasil jadi media bagi Hinata untuk mengekspresikan perasaannya.

Perlahan Sasuke dan Sakura pun mencari keberadaan si pemilik kamar yang belum tampak saat mereka membuka pintu kamar itu. Mereka baru mendapati Hinata setelah beberapa langkah mereka lalui. Hinata ada disalah satu sisi kamar kamar, menghadap salah satu dinding dan mencoba menggosok-gosokkan salah satu tangannya. Sama seperti biasa, ia masih terus menuangkan perasaan melalui bakat seni. Jari jemari Hinata kian menari membentuk lekuk dan mempertajam bagian-bagian lukisannya sekaligus mempertajam empat mata yang tengah tercekat karena menyaksikan cara melukisnya.

Bagaimana tidak?

Miris rasanya menyaksikan sebuah luka tersayat dengan darah merah segar yang mengucur dari tangan Hinata menggantikan fungsi cat warna dalam lukisannya.

"HENTIKAN HIME-CHAAN!" Pekik Sasuke.

Segera saja Sasuke meraih tangan Hinata dan menggenggam pergelangannya untuk menghentikan aksi karya gilanya itu. Matanya menajam menyiratkan amarah dan mencoba memperingatkan untuk tidak bertindak demikian. Tapi dalam lubuk hati Sasuke kekhawatiran jauh lebih mendominasi dari amarahnya.

"Lepas!" Tolak Hinata.

Hinata nampaknya tak menyukai saat kegiatan melukisnya harus terganggu. Ia benar-benar mengabaikan kekhawatiran siapapun akan dirinya. Ia segera mengumpulkan tenanga untuk keluar dari cengkeraman Sasuke.

"Jangan ganggu aku,.. aku sedang melukis!" Seru Hinata serius,

Dan iapun kembali dengan kegiatan melukisnya setelah berhasil mendapatkan kembali tangannya terbebas dari cengkraman Sasuke.

"Hinata,..Hentikan! Lihat dirimu! Sadarlah! Kau menyakiti dirimu sendiri! Kau tidak boleh seperti ini!" Sasuke kembali memperingatkan dengan nada yang tegas.

Sasuke meraih tangan Hinata, ia masih mencoba memperingatkan dengan onix yang tajam dan ekspresi geram paling menakutkan yang bisa ia buat. Hinatapun tetap mencoba kembali melepaskan tangan Sasuke sekuat yang ia mampu. Hasilnya, Hinata malah mengacuhkan ekspresi Sasuke, dan tetap mengerjakan kegiatannya. Sepertinya ucapan, ekspresi atau tindakan Sasuke sama sekali tak memberikan efek apapun padanya. Bahkan rasa sakit ditangannya pun seperti sudah bukan lagi bagian darinya.

"Kau tidak lihat aku sedang melukis, Sasuke-ni!" Seru Hinata kembali tanpa perlu menatap balik lawan bicaranya. Otaknya hanya menugaskan tangannya untuk segera menyelesaikan karyanya, tak peduli pada siapapun yang menghalangi.

Lagi.

Sasuke kembali menghentikan tangan kecil berdarah yang digerakkan otak keras kepala Hinata yang kehilangan kendali itu. Tapi ternyata Hinata kembali berhasil menangkisnya. Entah darimana semua kekuatan untuk melawan dan terlepas dari cengkeraman Sasuke, Sasukepun heran.

Sasuke mengalihkan pandangannya pada manik hijau disampingnya yang juga tak kalah khawatir pada gadis yang tengah depresi karena kehilangan cinta itu. Tapi Sakura juga belum bisa memberikan penyelesaian apapun untuk Hinata yang sudah bertindak impulsif dan diluar batas kali ini. Karena ia tahu, jika ia beradu mulut atau pendapat dengan orang yang mentalnya sedang terganggu tidak akan membuahkan hasil apapun. Sakura masih mencoba memikirkan cara terbaik untuk menghentikan Hinata. Sakura mencoba menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskan nafasnya dengan kasar sambil menggelengkan kepala, ia tak menyangka Hinata jadi demikian. Sakura mencoba mengira-ngira tindakan yang bisa ia ambil selanjutnya. Mungkin ada satu cara yang bisa ia tempuh, tapi sepertinya tidak terlalu bagus untuk dilakukan. Ia sendiri tidak begitu yakin. Ia masih menimbang-nimbang cara untuk berkompromi pada Hinata. Sakura masih terus memutar otaknya, dalam diamnya ia terus berpikir.

Melihat kediaman Sakura yang tak menunjukkan tanda gerakan apapun semakin membuat Sasuke risau. Tak tahan lagi rasanya ia melihat kejadian semacam ini. Tentu saja ini kali pertama menghadapi orang terdekatnya depresi dan kehilangan akal sehat seperti Hinata. Jadi ia pasti akan melakukan apapun untuk mengembalikan kesehatan akal Hinata seperti sebelumnya. Tak sanggup lagi ia menunggu keputusan Sakura yang masih bungkam dan belum melakukan tindakan apapun sebagai seorang dokter. Sementara darah dari luka itu terus saja menghiasi lukisan yang tengah dibuat Hinata. Mungkin hanya ada satu jalan yang ada dalam pikiran Sasuke sekarang, tapi sungguh cara yang dipikirannya sungguh cara ekstrim dan menyakitkan. Satu cara terakhir dan pamungkas yang bisa dilakukan sebagai seorang pria yang masih peduli pada kesehatan mental Hinata. Apa boleh buat jika memang ia harus menghentikan hal ekstrim dengan cara yang ekstrim pula.

PLAAAKKK

Sebuah tamparan berhasil menjatuhkan tubuh kurus si surai indigo. Hanya dengan satu tamparan keras dari tangan Sasuke berhasil merobohkan Hinata. Sekaligus membuat tubuh itu tak lagi punya kekuatan untuk bangkit dan kembali melukis. Sungguh Sasuke sangat tak menginginkan tamparan itu mendarat di pipi Hinata. Iapun menyayangkan tindakannya sendiri. Onix matanya kian berkaca-kaca saat akhirnya ia melakukan hal itu. ia bahkan mengutuk dirinya sendiri yang sudah berani menggunakan kekuatannya sebagai pria untuk menyadarkan gadis lemah seperti Hinata. Sanubarinya bergetar dan merasakan iba saat melihat gadis itu tampak begitu mengenaskan. Amarah dan rasa ibanya beradu pada saat bersamaan, ia sungguh tak tahu lagi cara apa yang bisa ia lakukan untuk menghentikan kegiatan gila Hinata.

Herannya, tak ada kemarahan atau ungkapan rasa mengaduh kesakitan dari si gadis indigo yang kini jatuh terduduk itu. Manik bulan keperakan itu menyendu, namun tak ada air mata yang keluar darisana. Pandangannya kosong tanpa ekspresi apapun. Tubuhnya memang tak sanggup bangkit kembali namun sama sekali tak ada reaksi yang bisa ia ungkapkan melalui kata. Sama sekali tak ada guratan tidak terima atau kesakitan yang mungkin tergambar dari ekspresinya.

"Sasuke,...Sabarlah! Emosinya labil, kita tidak bisa ikut terpancing dengan tindakanya." Bisik Sakura mencoba menenangkan Sasuke.

Ia menatap onix Sasuke dengan penuh pengharapan. Tak lupa menyematkan jarinya kedalam jari Sasuke yang masih bergetar karena menampar Hinata dengan spontan. Mencoba menghapus perasaan tak nyaman yang dirasakan Sasuke melalui kehangatan yang bisa ia berikan selama beberapa detik. Ia pun menatap kedalam onix yang masih berkaca-kaca itu dan mencoba menenangkan Sasuke dengan tatapannya yang lembut dan sendu. Sakurapun mengangguk penuh arti mengisyaratkan sesuatu. Ia meminta agar Sasuke percaya kepadanya dan juga menahan emosinya sendiri. Dan Sasukepun mengerti, kali ini ia akan memberikan kesempatan bagi Sakura.

"Hinata,..." panggil Sakura perlahan.

Kini Sakura menekuk lututnya berlutut menepis jarak tingginya dengan gadis yang tediam tanpa ekspresi itu. Mencoba menatap kedalam mata Hinata yang kosong tanpa harapan.

"Kau mau bertemu dengan Naruto, bukan?" Tanya Sakura sambil tersenyum kecil kearah wajah seputih susu yang kusut karena beberapa hari tidak mandi dan sedari kemarin menolak makanan.

"Naruto?" Ulang Hinata perlahan, matanya tampak berkilat dan ada segaris ekspresi yang ditampakkan ketika nama itu disebut Sakura.

Sakura mengangguk penuh keyakinan.

Mata Hinata berbinar, ekspresinya mendadak berubah. Sebuah senyum merekah kini tergambar di bibirnya.

"Apa kau tahu jika baru saja Naruto menelpon Rumah Sakit dan menanyakan keadaanmu? Dia ingin bertemu denganmu, jadi bagaimana kalau kau bersiap-siap?" Sakura mencoba menawarkan bantuan.

"Yah,... tentu...! Aku... aku harus berdandan... aku harus tampak cantik didepan Naruto-kun!" Ucap Hinata kegirangan.

"Sini! Biar kubantu, aku bawa beberapa make-up! Akan kuambilkan ya!" Sakura mencoba menuntun Hinata untuk berdiri dan mendudukkannya ke sisi ranjang.

Mata Hinata berbinar, wajahnya menunjukkan kegembiraan yang teramat. Setelah hari-hari panjang penantiannya akhirnya ia akan segera bertemu dengan Naruto. Sama seperti keyakinannya selama ini, ia akan bertemu dengan Naruto kembali.

Onix dan zamrud kembali saling bertemu dan berbicara tanpa kata. Sasuke hanya bisa terus mengikuti pergerakan Sakura yang mungkin sudah menjalankan strategi baru sekarang. Mungkin cara yang Sakura lebih baik secara medis, jadi Sasukepun tidak akan melakukan protes atau menginterupsi tindakan Sakura. Dari pandangannya ia melihat Sakura memberikan sebuah tas make up pada Hinata sambil tersenyum dan berpura-pura membantu mendadani gadis itu. Sementara tangannya yang lain tampak dengan sigap bergerak memasukkan sesuatu dengan menancapkan suntikan kecil ke lengan Hinata tanpa sepengetahuannya.

Tak lama kemudian, pandangan Hinatapun mengabur. Tubuhnya terasa begitu ringan dan mengantuk, tak bisa lagi ia menampikkan perasaan lelah ditubuhnya dan iapun perlahan tertidur.

Efek sedatif dari suntikan Sakura berhasil menenangkan Hinata. Sakurapun sadar bahwa rencananya masih belum selesai. Masih ada langkah penyelesaian dari strateginya kali ini.

"Aku akan segera menelpon Ino untuk mengirimkan ambulans, kita tidak bisa menundanya lagi, Sasuke." Seru Sakura serius.

Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan Sasuke. Tidak ada lagi kata atau cara lagi untuk menyelamatkan Hinata. Mungkin memang hanya ini caranya. Membawa Hinata untuk ditangani secara medis. Mungkin terapi obat-obatan yang tepat akan memberikan proses penyembuhan yang lebih baik. Sasuke akhirnya memberikan anggukan, sekalipun ia masih tampak ragu.

"Aku akan menelpon Oji-sama dan memberitahukan jika kita membawa Hinata kerumah sakit." Ucap Sasuke.

Psikoterapi, mungkin adalah satu-satunya prosedur yang bisa dilakukan untuk membawa kembali Hinata yang mereka kenal sebelumnya. Membawa akal sehat yang sudah berhari-hari ditinggalkan Hinata.

.

.

.

.

.

Sasuke terlihat gelisah. Berkali-kali ia menilik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul tujuh belas lewat dua menit, dan sudah satu jam empat puluh delapan menit ia berdiri di salah satu koridor rumah sakit. Belasan bahkan mungkin puluhan kali ia melirik satu-satunya lift yang jaraknya sepuluh meter dari tempatnya berdiri dengan wajah penuh pengharapan. Sudah puluhan orang keluar-masuk melalui pintu lift tapi tidak satupun berhasil menjawab harapannya.

Ya, selama enam tahun lamanya Sasuke selalu datang dan menunggu orang yang sama, ditempat yang sama, dirumah sakit Konoha. Ia bahkan mengesampingkan tugas dan pekerjaannya yang sibuk hanya untuk bertemu seseorang.

Bosan? Sepertinya tidak.

Lelah? Juga sepertinya tak pernah ada dalam kamus Sasuke untuk bertemu si pujaan hati.

Ia bahkan tidak pernah absen sekalipun selama enam tahun tanpa keluhan.

TING

Tanda pintu lift rumah sakit itu terbuka.

Kali ini dari semua penantian Sasukelah yang keluar dari sana. Seorang wanita dewasa tigapuluhan dengan balutan jas warna putih dan rambut panjang sepinggang melangkah dengan anggun kearahnya. Surai merah jambu dan manik hijau itu semakin menambah kecantikan yang teramat dirindukan oleh Sasuke setiap harinya.

Tak bosan rasanya, ia melihat sosok yang selama enam tahun ditunggunya itu jadi semakin anggun dan dewasa. Tak terbantahkan pula perasaannya pada si dokter cantik yang kini sudah menjadi salah satu dokter bedah anak di rumah sakit itu.

"Sakura-Senpai!" Seorang dokter muda keluar dari lift dan berhasil menghentikan langkah kaki Sakura yang tadinya tertuju kearah Sasuke itu. "Ada berkas yang belum senpai tanda tangani!"

Sakura tersenyum pada dokter muda itu dan membuka obrolan kecil dengan candaan ringan ala dokter. Sakura pun melupakan tujuan awalnya menemui si jaksa diujung koridor karena obrolan itu untuk sesaat. Sepertinya Sasuke harus menunggu lebih lama lagi untuk bertemu dengan si dokter cantik. Atau.. tidak jika ia yang memilih mendekat kearah merka yang tengah sedang sibuk mengobrol.

"Senpai, besok hari libur kan? Bagaimana jika kita nonton? Kudengar di bioskop ada film yang bagus sedang rilis!" Seru si dokter muda.

"Hemm benarkah? Aku sudah lama sekali tidak nonton bioskop, sepertinya akan sangat menyenangkan!" Sahut Sakura sambil tersenyum.

Sepertinya pembicaraan Sakura dan si dokter muda itu berhasil terdengar oleh Sasuke yang sudah berdiri disamping Sakura. Dokter muda itu menawari sebuah ajakan kencan dan Sakurapun tampak senang dengan ide kencannya. Tapi Sasuke justru sebaliknya, ajakan kencan itu menyulutkan suatu perasaan tidak nyaman dalam hati Sasuke. Mungkin tepatnya sebuah perasaan yang bisa disebut dengan cemburu.

Dahi Sasuke berkerut, hampir saja ia bisa menggabungkan kedua alisnya yang tebal jadi satu garis lurus.

Ia tidak akan, dan tidak akan pernah membiarkan Sakura pergi dengan pria lain selain dirinya. Ia tidak akan pernah membiarkan penantiannya selama enam tahun itu dilangkahi oleh dokter magang yang sedang mencoba meluluhkan hati Sakura itu.

"Permisi,...Tapi sepertinya besok kami ada janji untuk melakukan foto prewedding. Jadi,... dengan sangat menyesal aku yang menjawab bahwa dokter Haruno tidak bisa menerima ajakanmu! " Potong Sasuke yang mendadak hadir dalam percakapan kedua dokter itu.

Tak mau berhenti sampai disitu. Sasuke pun memilih langkah praktis dan efisien untuk memproteksi gadisnya dari pria yang nyaris mencoba bersaing dengannya. Tanpa segan lagi Sasuke melingkarkan tangan di pinggang Sakura dan membawa tubuh rampingnya dalam dekapan,mengeliminasi jarak antara dirinya dengan Sakura.

Sakura yang cukup merasa terkejut dengan gerakan cepat Sasuke hanya bisa membulatkan matanya, lalu menatap kedalam onix Sasuke yang hanya kini berjarak beberapa senti darinya. Tentu saja ia bisa mengerti arti tatapan si jaksa yang mendadak jadi angker. Tapi ia tidak suka jika Sasuke bertindak kekanakan dalam memamerkan hubungan yang terjadi diantara mereka. Yah, Sakura tidak bisa menyembunyikan perasaan tidak nyaman karena tindakan kekasihnya.

"Sasuke,.. kita sedang ada dirumah sakit. Aku sedang bekerja!" Bisik Sakura pada Sasuke dengan bibir yang terkatup.

Sasuke tak menjawab. Ia justru memilih memberikan senyuman termanis paling menawan pada dokter yang ada dalam pelukannya itu. Ia lebih memilih memandang si dokter muda dengan tatapan paling menyeramkan paling mengintimidasi yang bisa ia buat. Bahkan jika si dokter magang itu masih berani menantangnya untuk mendapatkan Sakura, Sasuke takkan segan-segan menerkam pemuda berondong baru lulus fakultas kedokteran itu.

"Jadi bagaimana menurutmu kalau kami mengambil pose demikian besok?" Tanya Sasuke dengan penuh penekanan pada si dokter muda yang mulai menangkap maksud Sasuke.

Tak lupa segaris senyum licik dan tatapan sinis Sasuke layangkan pada si dokter muda di hadapannya. Harusnya si dokter muda itu tahu jika matanya mengisyaratkannya untuk segera pergi. Baik pergi dari hadapannya sekaligus kehidupan Sakura.

Sakura jadi kebingungan dan salah tingkah menghadapi sifat overprotektif Sasuke yang demikian. Ia sendiri merasa tidak nyaman saat harus berpelukan di tempat umum dan saat ia masih menggenakan jas putih dokternya. Sakura hanya bisa membuat senyum terpaksa untuk menutupi kebingungannya dan berharap agar si dokter muda itu memaklumi perlakuan Sasuke.

"Hemmm,... sayang sekali Sakura-senpai, sepertinya kau memiliki anjing penjaga yang tidak ramah." Celetuk si dokter muda yang ternyata sama sekali tak gentar dengan perlakuan Sasuke. Siapa sangka si dokter muda itu malah berani mengucap hal demikian sambil melayangkan segaris senyum sinis pada Sasuke.

Siapapun bisa berubah karena cinta, begitupun Sasuke. Dia adalah orang yang cukup banyak berubah karena cinta. Jadi tolong lupakan jika dia masih menjabat sebagai jaksa dan sudah berusia tiga puluh empat tahun. Dia bisa jadi apapun, jika ada yang berani ikut campur dalam hubungannya dengan Sakura. Termasuk jadi anjing penjaga yang siap menyalak dan menerkam orang yang berani meledeknya seperti demikian. Jangan salahkan juga kepribadiannya yang jadi tempramen karena ucapan pedas yang dianggapnya sudah sangat keterlaluan oleh bocah ingusan dihadapannya.

"Apa kau bilang?" Tanya Sasuke yang mulai emosi.

Tangannya kini tak lagi memeluk pinggang Sakura, ia segera mengacungkan telunjuknya kearah si dokter muda itu. Bukan hanya api cemburu yang berhasil disulut oleh si dokter muda itu tapi juga api kemarahan bungsu Uchiha yang sangat berapi-api.

"Jaga bicaramu,ya... Aku bisa saja menuntutmu dan memenjarakanmu seumur hidup!" Ancam Sasuke yang sudah mulai kehilangan kendali.

Lagi. Selalu saja Sakura selalu jadi dinding penengah diantara dua orang yang sedang berkonflik. Sakura merasa dirinya harus melakukan seseuatu untuk menyelesaikan masalah ini. Entah siapa yang salah dan seharusnya ia bela. Yang satu sudah siap menerjang dengan penuh emosi dan yang satu lagi malah mengeruhkan keadaan dengan kalimat ledekan dan tak gentar oleh ancaman. Ia hanya bisa menghalangi orang yang ada didekatnya untuk tidak melakukan gerakan aneh atau lebih anarkis lagi dengan mencoba menariknya menjauh dari tempat mereka semula. Sepertinya dia harus menjinakkan anjing peliharaanya yang sudah kelewat marah itu dengan segelas es kopi dan rayuan maut di kafetaria. Sangat memalukan jika ia selalu jadi alasan dari tindakan bodoh dan kekanakan Sasuke. Cukup sekali saja Sasuke memecahkan kaca jendela rumah sakit untuk bertemu dengannya enam tahun lalu. Ia tidak mau jadi bahan pembicaraan lagi di tempat kerjanya.

"Kau!" Sergah Sakura pada si pemilik sharingan dihadapannya.

Sakura menekan tubuh Sasuke untuk duduk manis pada salah satu kursi di kafetaria rumah sakit. Sakura juga mulai mengambil posisi duduk sambil mencoba mengatur nafasnya kembali setelah kelelahan menyeret Sasuke duduk disampingnya seperti sekarang. Setelah merasa cukup mampu mengatur nafas, Sakura merasa iapun sudah siap memarahi sumber masalah hari ini. Kekasihnya sendiri, Sasuke.

"Berhentilah ikut campur pada pekerjaanku!" Tegas Sakura.

"Apa maksudmu?" Sasuke mencoba mencari penjelasan lebih baik. " Bocah baru lulus itu,... beraninya dia mengajakmu berkencan! Dia harus tahu kalau dia masih magang disini!" Seru Sasuke.

Sakura memijit dahi lebarnya dengan telapak tangan, pusing rasanya dia menghadapi si jaksa yang kelewat overprotektif itu.

"Dengar,ya... Bapak Jaksa yang terhormat, dia cuma mengajakku nonton dan itupun belum terjadi! Kau benar-benar tidak bisa mengijinkan kalau aku punya penggemar,..Menyebalkan." Rutuk Sakura.

"Kau bahkan berani membela pria bodoh itu,huh? Memangnya kenapa? Apa pentingnya penggemar buatmu?" Sasuke balas bertanya.

"Dia harus tahu jika aku dan kau sudah bersama selama bertahun-tahun,.. mana boleh dia menggodamu!" tambah Sasuke lagi.

" Justru karena kita sudah bertahun-tahun bersama! Kau harus percaya padaku!" Seru Sakura.

"Aku bisa percaya padamu jika kau sudah benar-benar menikah denganku!" Tandas Sasuke.

Lagi.

Kalimat ajakan kembali terdengar di telinga Sakura. Yah, gadis manapun pasti senang mendengar kalimat lamaran terucap dari orang yang paling mereka cintai didunia. Tentu juga Sakura demikian, ia sangat senang hingga merasa dirinya melambung kelangit saat Sasuke mengajaknya menikah. Tapi ada sesuatu yang masih harus ia pikirkan dan dicapai sebelum ia menikah dengan pria paling dicintai dan dikaguminya didunia.

Mungkin saking seringnya Sasuke mengucap kalimat ajakan itu, sehingga kalimat itu sudah tak lagi spesial ditelinga Sakura. Tapi bukan berarti jika Sasuke bukan lagi jadi orang spesial baginya. Bukan juga karena Sakura merasa bosan menjalani hubungan panjang enam tahun dan mengikis rasa cintanya pada si jaksa paling tampan sejagad baginya itu. Sungguh, perasaannya pada Sasuke semakin menguat setiap harinya. Sebenarnya, jauh dalam lubuk hatinya iapun juga ingin segera menikah hanya saja ia merasa punya alasan yang cukup kuat untuk menundanya. Jadi ia tetap memberikan pengertian pada Sasuke untuk terus bertahan dan bersabar padanya.

"Sekarang katakan padaku,... kapan kau bisa cuti?" Tanya Sasuke.

Sakura masih bungkam. Haruskah ia menjelaskan pada Sasuke alasannya yang sebenarnya? Ataukah sebaiknya dia menyerah saja pada Sasuke dan perasaannya yang memang sudah ingin menikah?

"Besok? Lusa? Minggu depan,... Bulan depan,..." Sasuke semakin menanyakan kepastian.

"Siapa bilang aku mau menikah denganmu?" Sakura bertanya balik.

Kini mendadak tenggorokkan Sasuke mengering karena umpan balik Sakura. Tapi ia yakin jika gadisnya itu tidak sedang sungguh-sungguh. Sakura memilih berekspresi tenang dan menyeruput jusnya serta mengacuhkan Sasuke yang terus meminta kejelasan.

"Hei,...Dokter Haruno! Berhentilah jual mahal padaku! Ingatlah usiamu sudah tigapuluh tiga tahun ini! Sekarang cepat katakan saja tanggalnya dan akan kusiapkan semuanya!." Bujuk Sasuke dengan nada menggoda.

Sakura tidak bergeming. Sasuke malah jadi panik karenanya. Sungguh ia tidak ingin kisah cintanya berakhir dengan perpisahan. Sebaliknya, Sakura menyembunyikan tawa cekikikan dalam diam diamnya.

"Wanita macam apa kau ini,..."Bisik Sasuke sambil menggeleng tak percaya. Ia nyaris kehilangan akal mengajak gadis pujaannya itu untuk menikah.

Sakura mengangkat pundaknya sambil tersenyum kecil, meledek si jaksa.

"Baiklah,... mungkin aku harus membongkar kasus penganiayaanmu padaku, Dokter Haruno!" Seru Sasuke.

"Penganiayaan?" Ulang Sakura meledek. " Bahasamu terlalu berlebihan, Pak Jaksa!"

Sakura harusnya berhati-hati dengan Sasuke. Dia masihlah jaksa yang terbiasa menganalisis sebuah masalah dan menemukan pemecahan berbagai kasus kriminal. Jadi jika Sakura terus saja jual mahal, mungkin sebaiknya Sasuke juga demikian.

"Baiklah,... Dokter Haruno. Jangan harap aku akan membawakan bunga dan cincin juga berlutut dan kembali memintamu menikah denganku lagi sekarang. Sudah cukup aku merendahkan harga diriku sebagai pria dihadapanmu,... sudah tiga kali malah. Mungkin sudah saatnya aku merelakan kepergianmu saja!" Seru Sasuke dengan nada pasrah.

Mendadak hawa dingin memenuhi paru-paru Sakura. Dadanya terasa sesak dan nafasnya menjadi berat karenanya. Mungkin kah sekarang Sasuke kehilangan kesabaran atas sikap dan penolakan Sakura selama ini? Sungguh, sebenarnya bukan ini yang diinginkan olehnya.

"Kau sungguh-sungguh?" Tanya Sakura, Sasukepun mengangguk membuatnya semakin tertegun.

Melihat ekspresi Sakura yang mulai berubah, Sasuke merasa harus lebih totalitas dalam melakukan aktingnya. Ia harus meyakinkan Sakura atas keputusannya, sehingga ia harus menambahkan alasan yang lebih menguatkan. Barulah saat Sakura menghalangi kepergiannya rencananya bisa disebut berhasil.

"Kau pikir pria mana yang tahan menunggu kekasihnya selama enam tahun tanpa kepastian? Lima tahun yang lalu aku melamarmu dan kau menolak, karena kau ingin menjadi dokter spesialis bedah anak. Dua tahun lalu aku melamarmu, kau menolak dengan alasan tidak siap. Dan akhir tahun kemarin aku mencoba melamarmu kembali dan kau masih berani mengatakan tidak siap! Sekarang kutanya kau baik-baik, apa maumu?"

Raut wajah Sasuke menegas. Ia meminta penjelasan atas semua tindakan Sakura yang menampikkannya berulang kali. Sakurapun bisa melihat keseriusan dalam kalimat Sasuke yang nyaris menyudahi hubungan mereka. Hanya saja Sakura tidak tahu jika ia sedang masuk perangkap permainan akting kekasihnya.

Jujur saja,Sakura merasa sangat bersalah. Sepertinya dia memang terlalu lama mempermainkan hati pria sebaik dan sesabar Sasuke. Sudah pastilah jika diluaran sana ada banyak wanita yang sangat ingin membina komitmen bersama pria mapan, tampan, baik dan kaya raya semacam kekasihnya. Tapi Sakura sepertinya berkali-kali melewatkan kesempatannya itu. Ia terus saja menggantung Sasuke tanpa ada kepastian tentang jenjang pernikahan. Mungkin Sasuke sudah lelah menantinya. Tapi ia sama sekali tidak ingin kehilangan pria paling dicintainya itu. Kini ketakutan mulai bergelayut pada hatinya. bagaimanapun ia teramat sangat mencintai Sasuke.

"Ja..ngan pergi,..!" Bisik Sakura,mulai memohon.

"Kalau begitu jelaskan semuanya! Apa kau sudah tak mencintaiku lagi?" Tanya Sasuke.

"Bukan! Tentu saja bukan!" Jawab Sakura.

"Kalau begitu katakan padaku,.. apa yang jadi penghalangmu meragukan lamaranku?"

"Dia,...!" Sakura menunjuk seseorang dari balik jendela tempat mereka sedang berbicara.

Kata itu merujuk pada satu gadis diluar sana. Seorang gadis bersurai indigo yang tengah sibuk bermain bersama anak-anak yang menjadi pasien Sakura.

"Hinata?" Seru Sasuke keheranan. "Ayolah, aku sudah tak bertunangan dengannya sejak lama bukan? Dan kau tahu itu!"

"Sasuke,.. dialah yang membawamu bertemu denganku!" Seru Sakura.

Sasuke bersiap mendengarkan penjelasan selanjutnya dari bibir kekasihnya itu.

"Kalau saja dia tidak meninggalkanmu dan datang ke Kamagasaki, maka kau takkan pernah mencarinya ke klinikku dan akhirnya menemukanku." Sakura kembali mengingat kenangan saat pertama kali ia dan Sasuke bertemu diklinik kecilnya dulu.

"Hubungan kita tak pernah pasti pada awalnya, kau terus saja masih goyah dengan dirinya. Tapi lambat laun kau terus menyadari dan menguatkan perasaanmu padaku. Tapi hubungan Hinata yang diyakininya sejak awal malah kandas dengan tragedi. Dan selama enam tahun, kabar Naruto sama sekali tak terdengar."

"Apa kau takut kita tak jadi menikah seperti Naruto dan Hinata?" Selidik Sasuke.

"Bukan,... Rasanya tidak etis jika kita menikah tanpa membawa kembali Naruto untuknya. Selama ini aku mendampinginya sebagai sosok kakak dan keluarga bersamamu. Kita menemaninya dalam hari-hari tersulitnya, masa dimana dia harus menjalani psikoterapi. Kita juga terus ada disisinya saat Hiroshi-sama tutup usia,... beliau juga memintaku untuk tinggal dirumah mewah mereka sebagai anggota keluarga dan berpesan pada kita untuk menjaga Hinata. Aku merasa sangat berhutang kepadanya,..jadi aku juga ingin membagikan kebahagiaanku kepadanya juga. Dia sudah seperti adikku sendiri."

Sasuke tersenyum mendengar alasan Sakura. Yah,.. begitulah hati si dokter bedah anak yang sangat dicintainya itu. Selalu memikirkan orang lain diatas dirinya sendiri. Semakin bangga rasanya ia memilih wanita itu sebagai calon pendamping hidupnya.

"Tapi kitapun tidak tahu kapan Naruto kembali padanya, sayangku..." Seru Sasuke.

"Kitapun tak pernah tahu dimana keberadaannya. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, dan akupun yakin banyak orang yang berubah selama enam tahun. Aku sendiri tidak yakin, apakah Naruto masih ingin kembali pada Hinata. Dia menghilang begitu saja dan meninggalkan Hinata dalam keadaan terpuruk dan nyaris saja gila." Tambah Sasuke dengan menatap manik hijau Sakura, ia berusaha meyakinkan gadisnya.

"Tapi, sama seperti yang Hinata yakini. Aku merasa yakin jika Naruto pasti akan kembali. Dan aku sungguh sangat ingin melihat mereka bahagia. Aku ingin mereka berdua menghadiri pernikahan kita dan menjadi pendamping kita."

"Sakura,..." bisik Sasuke sambil mengecup jemari Sakura yang kini berada dalam genggamannya. " Hinata pasti akan sangat bahagia jika kita menikah. Dia akan ikut berbahagia dengan pernikahan kita, jadi kau tidak perlu kuatir, kita juga tidak akan pernah meninggalkannya. Jadi kumohon kali ini percayalah kepadaku,...ayo kita menikah!" Seru Sasuke meyakinkan.

Segaris senyuman merekah dibibir merah jambu milik Sakura. Tanpa perlu dijelaskan lagi jika ia memang sangat ingin bersanding dengan pria dihadapannya. Pria yang sejak pertama kali bertemu dengannya telah berhasil mengalihkan dunianya, yang dikagumi dan dicintainya selama ini. Sakura sangat bersyukur mendapatkan hati dan jiwa pria itu. Pria yang bersedia menjalani komitmen untuk menikahinya dan menghabiskan sisa usia bersama.

"Jadi bagaimana? Apa minggu bulan depan terlalu cepat untuk mengajukan cuti?" Tanya Sasuke.

"Bagaimana,...kalau akhir tahun saja ya?" Tanya Sakura masih mencoba memundurkan acara.

Sasuke meneguk air liurnya sendiri, menambah lagi level kesabaran pada si dokter. Tapi sepertinya ia memang harus menolak tawaran sidokter karena ia merasa sudah tak punya cadangan kesabaran untuk menanti Sakura lebih lama.

"Bagaimana kalau aku membuatmu hamil saja supaya kita cepat menikah?" Usul Sasuke dengan suara yang keras.

Sontak saja seisi cafe menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. Sekaligus berhasil membuat pipi Sakura semerah kepiting rebus karena malu saat Sasuke mengucap kalimat vulgar dimuka umum.

"Kenapa memangnya? Kita sudah sering kok melakukannya! Kita bahkan sering tidur seranjang selama bertahun-tahun. Memangnya kenapa jika aku menghamilimu?" Sasuke sengaja meninggikan nada bicaranya agar seisi ruangan mengetahui betapa bahagianya dirinya karena Sakura akhirnya menyetujui lamarannya.

"Sasuke! Diamlah,... Aku malu!" Sakura membekap mulut berisik Sasuke dengan satu tangannya. "Ahhsshhh Sejak kapan kau berubah jadi semakin norak dan memalukan! Benar-benar kau ini!" Bisik Sakura menggerutu karena kelakuan kekasihnya itu.

Sasuke tersenyum. Memang benar dia bisa disebut norak, tapi ia tidak peduli. Apa yang perlu ia tutupi dari dunia yang ikut tersenyum bersamanya.

"Dengar ya,.. jangan harap aku akan menyembunyikan berita paling membahagiakan dalam hidupku! Aku akan terus membongkar semua yang sudah pernah terjadi diantara kita berdua pada seluruh isi ruangan ini,... pada seluruh dunia, supaya semuanya tahu bahwa kau sudah benar-benar akan menjadi pengantinku! Dan tidak ada satupun yang bisa menghalanginya!" Ancam Sasuke yang malah jadi semakin nekat.

Sasuke pun berdiri diatas kursinya. Entah apa lagi yang akan dilakukannya, Sakurapun tidak tahu. Rasanya Sakura ingin segera berlari dan bersembunyi, tidak tahan rasanya jadi subyek keonaran kekasihnya itu.

"Mohon perhatiannya, dihari yang indah ini aku ingin kalian ikut bergembira atas diterimanya lamaranku pada satu-satunya gadis paling kucintai didunia, sekaligus salah satu dokter dari rumah sakit ini Haruno Sakura. Untuk merayakannya kalian yang hadir disini bisa memesan apapun yang kalian mau." Sasuke mengakhiri pengumumannya dan kembali keposisi duduknya semula.

Terdengar riuh suara sekaligus tepukan yang ikut menyelamati hubungan mereka. Disertai doa-doa akan kelanggengan hubungan dan harapan-harapan baik lainnya. Tapi justru Sakura merasa bingung harus menampakkan ekspresi, antara bahagia dan malu iapun tak sanggup berkata-kata. Sasuke melayangkan senyum termanis untuknya dan ia hanya bisa pasrah atas kejadian yang tak bisa ia halangi itu.

Cium! Cium! Cium! Cium!

Seisi ruangan menyorakkan satu kalimat yang semakin menunjukkan dukungan dan semangat bagi mereka berdua.

Sasuke membentuk senyum yang lebih lebar dari sebelumnya, sembari mengulurkan tangan pada kekasihnya yang sudah kehilangan kata-kata. Sorot mata Sasuke menampakkan kebahagiaanyang teramat, dan tentunya diapun takkan mengecewakan permintaan orang-orang yang turut bahagia atas kebahagiaannya juga.

Tapi,...bagaimana dengan Sakura? Haruskah dia mengesampingkan profesi dokter dan rasa canggungnya serta menuruti seruan riuh itu?

Dengan ragu-ragu iapun menyambut tangan Sasuke yang terulur untuknya. Mungkin tak ada salahnya jika kali ini ia mengesampingkan semuanya.

Kembali onix sharingan dan zamrud jernih itu saling bertemu. Hanya ada Sakura dalam onix Sasuke yang menyendu, begitupun hanya ada Sasuke dalam zamrud milik Sakura. Sudah sekian kalinya mereka ada dalam keadaan demikian, keadaan dimana mereka saling tenggelam dalam tatapan mata masing-masing. Tanpa banyak kata yang terucap, mereka membiarkan mata mereka menggunakan bahasanya sendiri untuk berbicara.

Mereka kembali tenggelam dalam lembaran-lembaran kenangan yang indah saat mereka menghabiskan waktu bersama. Tak satupun luput dari ingatan keduanya. Bahkan degup jantung mereka masih sama tak beraturannya seperti saat mereka memutuskan untuk saling jatuh cinta. Getar-getar cinta diantara keduanya masih bertabuh dengan jelas memainkan musik yang mengiringi kisah mereka. Enam tahun lebih perjalanan cinta mereka akan memasuki babak selanjutnya dengan sebuah ikatan yang sudah mereka berdua putuskan.

Perlahan jemari Sasuke semakin mengerat membimbing Sakura untuk semakin mendekat arahnya. Kini biarkanlah mereka saling mengekspresikan wujud cinta mendalam mereka dalam sebuah pagutan mesra yang saling mereka rindukan satu sama lainnya. Biarkan tubuh mereka mengikuti nalurinya masing-masing karena sudah tak sanggup lagi membendung hasrat untuk saling mendamba satu sama lain. Biarkan keduanya saling menyesap kebahagian dengan cara mereka yang telah memutuskan menjadi satu.

.

.

.

.

"Hinata!"

Yang dipanggil namanya tampaknya tak mau menggubris yang memanggil. Ia terlalu sibuk untuk menoleh atau menjawab. Dia memilih untuk terus fokus pada kuas dan kanvas. Ia sedang mengejar waktu untuk menyelesaikan lukisan terakhirnya.

"Hinaaataa! Kau benar-benar tidak mau mendengarku, yaa!" Seru suara itu lagi dengan nada yang semakin meninggi.

Si gadis indigo itu tak punya pilihan menoleh saat namanya dipanggil kalau dia tak ingin punya masalah.

"Gomen,.. Sakura-ni! Aku sedang membuat garis lurus barusan,... maaf jika aku mengabaikanmu."

Hinat tersenyum pada Sakura sembari meletakkan pallete dan kuasnya, kemudian ia mendekat ke arah Sakura yang didampingi Sasuke.

"Kau sudah makan? Tidak lupa minum obat, kan?" Tanya Sakura memastikan.

Hinata tersenyum, "Sudah, jangan kuatir aku makan tepat waktu dan meminum obatku dengan rutin!"

Sasuke yang mendengar jawaban Hinata turut merasa senang. Meskipun Hinata dinyatakan sembuh setelah menjalani psikoterapinya, Hinata masih tetap harus mengkonsumsi obat-obatan penunjang kesehatan jiwanya pada saat-saat tertentu.

"Bagaimana persiapan pameranmu Hime-chan? Apa semuanya sudah siap?" Tanya Sasuke.

"Baik, semua berjalan lancar. Aku tinggal menyelesaikan satu lukisan lagi. Mungkin satu atau dua hari kedepan sudah selesai. Dan pastikan kalian datang di acara pameranku!" Seru Hinata.

Hinata memang sedang sibuk menyiapkan acara pameran lukisannya. Semua karyanya akan dipajang kemudian dilelang dan hasilnya didonasikan untuk anak-anak penderita kanker. Hinata yang sekarang adalah pribadi dewasa yang positif dan aktif dalam tindakan peduli kemanusiaan. Ia juga tidak lupa menjalankan kewajibannya sebagai heiress Hyuga dan bertanggung jawab atas aset-aset yang dimiliki atas nama besar keluarganya itu. Sangat berbeda dengan Hinata yang labil dan depresi karena ditinggalkan pria yang dicintainya enam tahun lalu.

"Kami juga ingin memastikan kau menghadiri ini!" Sakura menyerahkan sebuah amplop besar berwarna biru navy yang tampak glossy dan mewah.

Hinata segera membuka amplop yang ada ditangannya. Sebuaah nama yang sangat ia kenal tertulis disana. Haruno Sakura dan Uchiha Sasuke dipasangkan sebagai orang yang akan melangsungkan pernikahan dalam undangan yang tengah dibacanya itu.

"Kalian,..."Hinata menutup bibirnya dengan telapak tangannya, nyaris tak bisa berkata-kata karena saking bahagia.

"Kejutan!" Seru Sakura. Ia segera memeluk Hinata yang tak sanggup mengekspresikan kebahagiaan atas pernikahan keduanya.

" Kalian menyembunyikan rencana bahagaia ini dariku? Jahat sekali!" Gerutu Hinata yang meninju pelan dada Sasuke dihadapannya.

Sakura mengendurkan pelukannya pada Hinata, "Aku ingin kau jadi pendamping di pernikahanku, Hinata. Kau mau kan?"

Hinata tersenyum dan mengangguk keras mengiyakan. Ia kembali memeluk Sakura yang sudah dianggapnya sebagai kakak perempuannya sendiri. Ia pun turut merasakan kebahagian kedua pasangan yang hendak menikah dua minggu setelah acara pamerannya. Rasanya iapun turut tak sabar berdiri dan menyaksikan pernikahan dua orang terdekatnya itu.

"Selamat yaa,... Sasuke-ni, Sakura-ni, aku turut bahagia atas pernikahan kalian. Katakan padaku kalian ingin hadiah apa dariku? Rumah? Cottage? Jet pribadi atau paket bulan madu? Katakan! Akan kubelikan apapun yang kalian minta!" Seru Hinata.

Segaris senyum kecil terlukis dibibir Sasuke. Lucu rasanya melihat Hinata yang kini punya segalanya dan bersikap sangat loyal terhadap orang-orang terdekatnya.

"Kau mau merendahkan gajiku sebagai pegawai negeri, ya! Mentang-mentang sekarang perusahaan Hyuga sudah atas namamu,.. ckckckk" Canda Sasuke.

Hinata tersenyum geli. Tentu saja ia tidak bermaksud demikian dan iapun juga mengerti jika Sasuke sedang bercanda. Sasuke bukanlah orang yang menilai sesuatu dari berapa banyak yen yang bisa ia keluarkan.

"Hinata, kami tidak ingin meminta apapun darimu sebagai hadiah,..." Sakura mengucap kalimatnya dengan lembut. "Kami ingin agar kau juga bahagia dengan hidup yang kau jalani, sama seperti kami."

Hinata tertegun. Kalimat yang diucap Sakura berhasil membungkamnya. Ia tahu jika ia akan kembali beradu pendapat dengan wejangan-wejangan mereka berdua sebagai kakaknya.

"Hime-chan, enam tahun sudah berlalu... kuharap kau bisa melupakan kisah sedihmu dan memulai hidupmu yang baru." Seru Sasuke.

Hinata mengerti, kisah sedih yang Sasuke maksudkan adalah kisah cintanya yang berakhir tragis dengan Naruto enam tahun silam. Memang benar kata Sasuke, enam tahun sudah berlalu dan banyak sekali hal yang terjadi selama jangka waktu itu. Tapi, tidak sedetikpun ia melupakan pria pujaannya, Naruto.

Melihat Hinata terdiam, Sasuke kembali mencoba menjelaskan lebih lanjut maksud pembicaraannya

"Hime-chan,.. Mungkin saja Naruto tidak akan kembali kepadamu dan kuharap kau bisa mencoba untuk menemukan seseorang yang bisa menjaga dan mencintaimu. Mungkin itulah yang dia inginkan dengan meninggalkanmu,.. jadi..."

"Sasuke-ni,..." Potong Hinata, ia mencoba menginterupsi.

"Aku sudah memaafkan semua kesalahan orang yang pernah ada dimasa lalu dan menyakitiku. Aku bisa menghadapi semua trauma dan ketakutanku,... dan aku baik-baik saja sekarang. Tapi,... aku tidak bisa melupakannya. Kumohon, berilah kesempatan bagiku untuk bahagia dengan caraku. Dan juga kumohon, biarkan aku menyimpannya dalam hatiku,..." Seru Hinata lirih.

Sasuke dan Sakura saling berpandangan. Mereka jadi merasa bersalah harus membuka topik dan beradu pendapat setelah memberi kabar baik pernikahan mereka.

"Hinata,...Bukan begitu maksud kami,..." Sakura menggenggam tangan Hinata dan mencoba menjelaskan lebih halus lagi.

"Sakura-ni,...Kumohon. Aku janji aku tidak akan bertindak bodoh atau implusif seperti dulu lagi. Aku baik-baik saja dan aku mohon kali ini percayalah padaku. Aku punya jalan kebahagiaanku sendiri dengan ikut bahagia bersama orang-orang yang ada disisiku dan untuk urusan hatiku,.. kumohon biarkan sepenuhnya jadi urusanku. "Tandas Hinata meyakinkan kedua orang yang sangat menyayanginya sebagai sosok adik itu.

Tak ada gunanya berdebat dengan Hinata mengenai masalah ini. Hati manusia bukanlah besi yang dengan bantuan panas bisa dibentuk atau dibengkokkan. Hati butuh waktunya sendiri untuk menyembuhkan diri. Baik Sakura maupun Sasuke sangat memahami hal itu. Mereka berharap suatu hari Hinatapun bisa menyembuhkan luka hati yang ditinggalkan oleh Naruto. Menemukan kembali jalannya untuk bahagia dan menikah sama seperti yang mereka lakukan.

Tapi, hati manusia punya ruangan-ruangan tersendiri yang mereka bentuk dan mereka kunci untuk alasan mereka sendiri. Begitupun hati Hinata. Tak satupun bisa masuk dan menggantikan posisi Naruto di hatinya. Ia akan memilih untuk mengosongkan ruangan itu dan menjadikan ruangan tersebut sebagai ruangan dimana dia bisa mengingat semua kenangan tentang Naruto.

Dan bersama doa yang dia panjatkan untuk kedua calon mempelai itu iapun tak berhenti berharap untuk kembali dipertemukan dengan Naruto-nya. Karena dia percaya Naruto akan menepati janjinya, janji untuk kembali padanya. Dan ia akan meyakini janji itu sampai kapanpun. Bahkan jika seandainya waktu pun tak berpihak pada kesempatan yang bisa mengubah takdirnya, ia takkan pernah berhenti berharap dan percaya akan terwujudnya janji itu. Karena baginya hanya Naruto yang bisa menyembuhkan luka itu, dan hanya Naruto yang ia butuhkan.

.

.

.

.

Seorang pria tengah sibuk membaca kumpulan huruf demi huruf yang tertulis dalam serangkaian laporan kerja di tangannya. Iapun berusaha memahami informasi akan deskripsi suatu hal dari laporan itu. Memang demikian tugasnya sebagai perwira Japan Maritime Self-Defense Force yang juga tergabung dalam Defence Inteligence Headquarter, menerima laporan berkala dari bawahan atau mungkin laporan yang cukup mendesak tentang kejadian suatu hal. Ia pun di bawah kontrol langsung Menteri Pertahanan dan direktur sebagai personel DIH ia harus memberikan saran mingguan kepada Menteri Pertahanan.

Usianya memang sudah memasuki kepala empat tapi ia sangat berpengalaman dalam bidang kelautan. Iapun dikenal sebagai orang yang sangat berwibawa, cerdas dan memiliki intuisi kuat akan suatu hal. Orang-orang yang menjadi bawahannya adalah orang-orang yang dipilihnya sendiri berdasarkan intuisi yang dimilikinya. Hatake Kakashi, adalah orang yang bekerja dengan caranya yang unik.

"Kau yakin dengan laporanmu, Itto-kaii?" Kakashi menanyakan kejelasan laporan yang dibacanya pada bawahannya.

"Haik! Kaisho-sama!" Sahut si bawahan.

"Maaf jika saya lancang, Kaisho-sama! Menurut penyelidikan kapal tersebut adalah kapal pribadi milik seorang pengusaha pengalengan ikan. Dua minggu yang lalu patroli laut kita melihat kapal tersebut hilang disekitar semenanjung korea. Dan dua hari kemudian kapal itu kembali muncul dan berlayar di laut jepang kemudian menuju China. Bukankah kita tidak melakukan hubungan perdagangan dengan kedua negara tersebut? Dan jika memang seandainya kapal tersebut masuk tanpa izin ke negara dengan politik isolasi, bukankah seharusnya mereka mengambil tindakan tegas dan menahan kapal itu?" Jelas si bawahan merinci penjelasannya.

Kakashi sangat menyukai cara kerja anak buahnya ini. Dia memiliki tindakan tanggap yang cepat juga membuat laporan yang akurat dan prediksi yang sangat baik. Itulah alasannya mengapa Kakashi merekrutnya untuk bergabung dalam angkatan laut enam tahun lalu.

"Apa maksudmu?" Kakashi ingin penjelasan lebih lanjut.

"Saya merasa ada yang janggal. Menurat saya kapal tersebut bukanlah sekedar kapal dagang atau sekedar menjalankan produksi pengalengan ikan saja. Merujuk tanggal mereka melaut, merupakan tanggal yang sama saat kasus hilangnya puluhan siswa taman kanak-kanak di Korea pada saat mereka melakukan liburan bersama ke pulau jeju dan ditemukan tewas dilaut dua hari kemudian,saat kapal tersebut memasuki wilayah China."

"Kalau begitu terus pantau dan laporkan tentang perkembangan kapal itu padaku! Jika memang kau cukup punya alasan atau bukti yang kuat untuk menangkap mereka lakukan saja!" Seru Kakashi memberi perintah.

"Kaisho-sama, mungkin kita bisa menangkap gerombolan anak tikus yang sedang berkeliaran mencari makan tapi saya yakin induknya sedang bersembunyi disuatu tempat yang aman." Sela si bawahan pada Kakashi.

"Jadi apa rencanamu Itto-kaii?"

"Mohon agar anda berkenan melakukan kerja sama dengan pihak NPA. Saya yakin mereka akan cukup banyak membantu, karena merekapun pasti sedang melakukan penyelidikan atas kasus ini."

"Kalau begitu aku akan menghubungi pihak Kementrian Pertahanan dan meminta ijin kerjasama untuk menuntaskan kasus ini. Kau tunggulah perintahku dan ambillah cuti beberapa hari kedepan! ." Seru Kakashi memberi perintah.

Si bawahan berojigi pada atasannya, memahami perintah tunggu yang diberikan kepadanya.

"Ohya,...Naruto! Pergunakanlah waktu cutimu dnegan baik! Temuilah orang-orang terdekatmu,.. orang tua, kerabat atau pacar! Sudah enam tahun kau ikut denganku dan kau sama sekali belum pernah mengunjungi mereka bukan?" Sahut Kakashi lagi.

Senyum Letnan Satu itu merekah mendengar ucapan atasannya. Memang benar sudah enam tahun lebih ia mengikuti pendidikan dan melakukan tugasnya sebagai bagian angkatan laut jepang.

"Arigatou, Kaisho-sama, saya bisa mengambil cuti setelah kasus ini selesai." Tolak Naruto dengan halus.

"Kau ini manusia atau bukan,huh?" Tanya Kakashi dengan kalimat tidak formal. Ia sudah menganggap bawahan nya itu seperti anaknya sendiri, jadi kedekatan mereka bukan hanya sekedar atasan-bawahan saja.

"Berhentilah memandangi foto usang yang kau simpan di kamarmu! Temuilah gadis itu dan katakan kalau kau juga merindukannya selama ini! Jangan terus-terusan bersembunyi di sini! Pergilah berlibur sebelum misi penangkapan dan penyelidikan lebih rumit dan menyita waktumu! Ini perintah!" Tandas Kakashi.

"Baiklah jika anda memaksa, Kaisho-sama. Saya akan melaksanakan perintah anda dengan sebaik-baiknya." Jawab si Letnan yang kemudian memberikan penghormatan pada atasannya sebelum meninggalkan ruangan.

Yah, memang benar adanya jika enam tahun berlalu sejak ia meninggalkan Konoha. Selama enam tahun itu tak sekalipun ia muncul menampakkan diri atau mengirimkan kabar akan keberadaannya.

Enam tahun yang lalu Naruto direkrut oleh Hatake Kakashi untuk mengikuti pendidikan kemiliteran dan kini berhasil memposisikannya sebagai Letnan Satu di Angkatan laut Jepang. Bukan hanya itu, karena latar belakangnya yang mengetahui seluk-beluk yakuza dan juga keadaan sebatang kara, membuat Kakashi tertarik menjadikan Naruto sebagai salah satu agen yang bekerja untuknya dalam DIH.

Siapa sangka, pemuda mantan petinju bawah tanah dari Kamagasaki dan mesin uang yakuza itu kini tampak gagah dalam balutan seragam putih angkatan laut. Naruto memiliki karir cemerlang atas bakatnya dan juga dukungan Kakashi. Meskipun ia dididik untuk mengikuti serangkaian pendidikan militer dan juga menjalankan perintah Naruto tetaplah Naruto.

Seorang pria yang punya janji untuk diwujudkan pada gadisnya enam tahun lalu. Naruto masih ingat betul janji yang ia buat saat ia meninggalkan gadisnya di Rumah Sakit. Ia punya janji untuk segera kembali pada gadis itu sesegera mungkin setelah ia berhasil membuat jalan menuju dunia baru untuk dia dan gadisnya, Hinata.

Kini, ia mempunyai semua apa yang dibutuhkan untuk membuat gadis itu aman saat bersamanya. Ia punya pangkat, kedudukan, pekerjaan tetap dan ia siap menjadi orang yang selalu bisa Hinata andalkan. Tapi, sebuah pertanyaan besar yang terus menghantui langkahnya menemui gadis pujaannya itu. Masihkah Hinata menanti pria jahat yang meninggalkannya dengan janji enam tahun lalu?

Naruto hanya bisa berharap jika Hinata masih punya tempat untuknya. Sebuah maaf baginya yang tega meninggalkan Hinata tanpa kabar dan harapan kosong selama enam tahun. Hanya ada satu cara mendapatkan jawaban si Letnan dan memastikan sendiri keadaan gadis yang ditinggalkannya itu.

.

.

.

.

Hinata duduk manis disebuah kursi dan tampil dengan anggun dalam dress simpel dengan warna peach dan cardigan warna senada. Setelah tujuh hari ia menggelar pameran tunggalnya kini tibalah saat dimana ia menyaksikan acara lelang lukisannya. Seperti tujuan awal pamerannya, semua uang yang dihasilkan dari penjualan lukisannya akan didonasikan bagi anak-anak penderita kanker.

Sudah hampir dua jam acara lelang itu berlangsung, dan kurang lebih sembilan lukisan berhasil dilelang dnegan harga cukup tinggi. Tak kurang puluhan juta yen pun akan segera diterima untuk diserahkan sebagai amal. Tinggal sebuah lukisan lagi yang akan dilelang malam ini, sebuah lukisan yang cukup menarik perhatian.

Lukisan tentang perasaan rindu, kemarahan, dan kehampaan yang dituangkan dalam guratan warna-warni diatas kanvas. Lukisan terakhir yang diberi judul Kyuubi No Kitsune menampilkan sesosok pemuda yang diselimuti api dan juga gelombang warna-warni disekelilingnya membuat siapapun takjub akan permainan warna pelukis yang berani bermain warna dengan cantik. Ya, sebuah lukisan Hinata akan perasaan pada kekasihnya yang hilang.

"Kami akan membuka harga lukisan ini mulai dari lima juta!" Seru pembawa acara dan iapun siap mengambil kendali.

"Tujuh juta,..satu,..Sepuluh juta,... Lima belas juta,... Dua puluh juta,... Dua puluh tiga juta,... Tiga puluh juta,..satu... dua,... tiga puluh lima juta,... empat puluh juta,... empat puluh satu,...satu,... dua,..."

"Lima puluh juta!" Seru seseorang yang mendadak berteriak ditengah orang yang mengacungkan tawaran mereka.

"Baiklah, lima puluh juta yen satu...dua...tigaa! Selamat lukisan ini menjadi milik anda!" Seru pembawa acara diikuti tepukan riuh yang menghadiri acara lelang lukisan itu.

Lukisan Kyuubi No Kitsune itu berhasil terjual dengan harga lima puluh juta yen sekaligus menjadi harga tertinggi yang dicapai untuk sebuah lukisan yang terjual di malam lelang itu. Seluruh peserta lelang bertanya-tanya siapakah orang yang berani membeli sebuah lukisan dengan harga selangit itu. Bahkan mungkin orang tersebut tidak mengangkat papan dan menuliskan harga, itu berarti dia merupakan orang yang baru saja datang dalam acara itu.

"Silahkan tuan yang sudah membeli lukisan dengan harga lima puluh juta yen untuk maju berfoto dan mendapatkan tanda tangan dari pelukis." Seru si pembawa acara.

Pria dengan jas hitam dan sepatu kulit berkilat melangkah menuju podium dimana pembawa acara memberinya komando. Disebelah podium itu Hinata bersiap menyambut orang yang mengapresiasi lukisannya. Pria itu berjalan perlahan dari tengah peserta lelang, ia harus rela menjadi sorotan karena uangnya yang akan dikeluarkannya untuk membeli lukisan itu.

Seluruh peserta lelang takjub mendengar lukisan tersebut memiliki nilai jual yang tertinggi dari lukisan lainnya. Tapi sebenarnya mereka jauh lebih takjub pada setiap langkah yang dijejakkan oleh pria pembelinya.

Bagaimana tidak?

Pria pembeli itu memang rupawan, iapun memiliki wajah yang sama dengan objek dalam lukisan yang baru saja dibelinya. Pria itu melangkah dengan penuh percaya diri dan menjawab pertanyaan tentang mereka yang penasaran akan dirinya. Yang lebih hebat lagi, rasanya seluruh yang hadir terpukau atas objek nyata yang menghampiri penciptanya dalam sebuah karya. Membuat mereka kian terkagum atas kemampuan pelukisnya yang mampu melukiskan objek itu sama persis seperti aslinya. Seisi ruanganpun kian tersihir dan bungkam menyaksikan pria itu melangkah diantara mereka dan bersiap menaiki panggung.

Waktu seakan berhenti pada saat itu. Ketika Hinatapun menyadari bahwa pria yang sedang berjalan kearahnya adalah orang yang sama dalam lukisannya. Jantungnya berdetak tak karuan dan kian berlomba dnegan langkah pria yang semakin menepis jarak diantara mereka. Setiap langkah yang dibuat pria itu semakin memperjelas keyakinannya.

Pria itu memiliki tiga pasang goresan dipipinya dengan surai kuning jabrik yang dipotong cepak dengan rapi ala tentara dan safir yang jernih sebiru lautan. Masih sangat melekat betul dalam ingatan Hinata bahwa ia adalah orang yang selama ini ia nantikan. Orang yang selama enam tahun meninggalkannya, menghembuskan kerinduan panjang serta menyisakan janji yang masih sangat ia yakini akan terjadi. Orang yang berhasil memenuhi hidupnya dengan kenangan indah akan cinta sekaligus tangisan panjang saat kepergiannya. Bahkan ia sendiripun kesulitan menjalani hari-hari dimana ia harus menjalani terapi atas gangguan jiwanya. Sekarang pria itu tengah berdiri dihadapannya. Sedang bermimpikah dia sekarang?

"Hai... Hinata,.. Aku telah kembali!" Sapa Naruto.

Hinata yakin ia tidak sedang mengalami waham,delusi atau semacamnya. Ia masih sangat mengingat suara itu. Suara baritone serak khas dari kekasihnya yang telah lama hilang sekaligus membawanya kembali dari lamunan.

Jadi apa yang harus ia lakukan sekarang? Melanjutkan kisahnya kembali dengan pria itu? Ataukah memilih menjalani hidupnya sendiri seperti saat pria itu meninggalkannya bertahun-tahun?

.

.

.

.

.

Japan Maritime Self-Defense(Kaijō Jieitai ) = adalah nama dari pasukan maritim bersenjata dari Pasukan Bela Diri Jepang, yang bertugas melakukan pertahanan laut untuk Jepang. dalam bahasa Inggrisia dikenal dengan sebutan Japan Maritime Self-Defense Force

Defence Inteligence Headquarter (DIH)= merupakan badan intelijen terbesar di Komunitas intelijen Jepang dan kebanyakan dari mereka adalah perwira militer. DIH berada di bawah kontrol langsung Menteri Pertahanan dan direktur DIH memberikan saran mingguan kepada Menteri.

National Police Agency (NPA) adalah aparat intelijen yang paling berpengaruh dalam komunitas intelijen Jepang bertanggung jawab untuk keamanan bangsa dan melindungi terhadap spionase asing dan terorisme, yang mirip fungsi informasi NPA tergantung pada tidak hanya 300.000 kepolisian (yang lebih besar dari jumlah prajurit Jepang), tetapi juga pengumpulan informasi dari aparat intelijen lain.

Kaishō = Vice Admiral/Wakil laksamana/Laksamana Madya adalah pangkat perwira tinggidi TNI Angkatan Lautyang setingkat lebih tinggi daripada Laksamana Muda, dan setingkat lebih rendah daripadaLaksamana, setara dengan Letnan Jenderaldi Angkatan Daratdan Marsekal Madyadi Angkatan Udara.

Ittō Kaii= Letnan Satu

.

.

.

.

.

Haii... haii semua... apa kabar? maaf saya lama gak update?

Yah,... Naruto-Hinata aja pisahnya selama enam tahun hehehehe. Selain banyak banget pesaan kue bulan ini, anakku juga lagi belajar sekolah jadinya kalo biasanya pagi bisa ngetik ato update skarang jadi jadwal nganter si kecil ke sekolah.

terimakasih buat kalian yang sudah sabar menunggu dan sayang sama ff ini. saya akan berusaha konsisten pada garis besar cerita yang saya bayangkan dari awal penulisan. saya juga berterimakasih atas dukungan dan masukan atau bahkan kritik dari para reader. terimakasih sudah bersabar menanti update dari ff ini ohyaa Tinggal 1 final chapter untuk mengakhiri ff ini.

Dan buat kalian siapkan baju terbaik kalian untuk menghadiri resepsi akbar pernikahan Sasuke-Sakura di chapter depan,... hehehhee informasi mengenai badan intelejen dan juga kemiliteran jepang adalah hasil googling apapbila ada yang kurang tepat mohon koreksinya.

yang mau berteman sama saya lebih dekat, mungkin bahas soal naruto, drama korea atau masakan bisa follow ig saya naiiyyaa atau fb saya New Naiiyyaa,

Mohon maaf bila ada kesalahan, sekali lagi FF ini dibuat untuk hiburan dan merupakan karangan fiktif. dari segi penulisan, tata bahasa dan yang lain masih banyak kekurangan. . sekali lagi terimakasih atas doa dan dukungannya juga mohon maaf atas review yang belum sempet dibalas.
:D see you next chapter
:D