Violinist

.

.

.

.

.

Naruto belong to Masashi Kishimoto

.

.

.

I don't take any profit with this fanfict.

.

.

.

.

.

Overtune!

.

.

.

Sasuke POV

Dua hari sejak kejadian sore itu. Aku masih belum mendapatkan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Hinata, karena seolah dia tak melihatku— aku tak pernah ada di rumah ini. Seperti orang asing, mencari diriku yang hilang—peranku sebagai suaminya selama ini.

Tak lagi kudapati sosok dirinya yang hampir tak pernah absen berbaring menungguku di sofa ruang tamu, ketika aku pulang dari kampus. Tak lagi kutemukan secercah kasih sayang yang terpancar melalui perhatian-perhatian kecil yang dia berikan—seperti saat menyapaku kemudian menatapku yang seolah mampu menghapus lelahku sepanjang hari. Aku benar-benar kehilangan diriku saat ini.

Tak ada lagi sosok yang menungguku di meja makan ketika pagi menjelang. Hanya sandwich telur dengan irisan tomat dan segelas susu yang dia tinggalkan untukku, sebagai tanda bahwa, dia tak benar-benar tak mempedulikanku setelah kejadian itu. Aku harus merasa sedikit lega atas hal ini

Semua terjadi begitu saja. Di sela lamunanku sembari menyantap hidangan sarapan seperti biasa—aku kembali memikirkannya. Kenapa begitu mudahnya aku kehilangan kendali atas diriku saat berdekatan dengannya, seperti saat di studio kampus sore itu. Seharusnya aku menyadari keberadaan Hinata, juga menjaga perasaanya dengan sikapku yang mungkin berlebihan terhadap Sakura.

Mengecap rasa hambar pada santapan di mulutku, bersamaan dengan perasaan yang campur aduk tak menentu. Meraih gelas susu di tangan kananku, lalu menenggak isinya hingga tandas. Sedikit menghentak gelas saat menaruhnya kembali ke atas meja. "Cih."

Aku seperti pecundang yang tak mampu memahami sendiri perasaanku. Begitu mudahnya merasa bimbang saat bertemu dengan gadis yang baru kukenal. Aku tak mungkin meninggalkan Hinata, tak pernah terpikir sedikitpun untuk menyakitinya. Tapi kenapa reaksiku berkata lain saat itu. Ada sebuah gejolak yang mendorongku untuk menyentuhnya—gejolak yang seperti membungkam otakku untuk berpikir dengan jernih.

Sejenak melirik dasi yang menggantung di leherku saat mulai berdiri dari tempat dudukku di meja makan. Penampilanku berantakan, sama berantakan dengan hatiku saat ini. Dan aku menyadari, seberapa besar pengaruh Hinata pada hidupku. Mungkin saja aku berlebihan. Ini hanyalah dasi, tapi ini cukup untuk menunjukkan kepribadianku.

Dia mengurusku selama ini. Dia mengatur segalanya untukku. Dia melakukan banyak hal yang tak bisa kulakukan hanya sendirian. Tidak cukup hanya dengan ucapan terima kasih... Dan perlindungan atau tanggung jawab untuk menjaganya selama ini. Bahkan cinta 'tak mampu membalas perlakuan Hinata kepadaku.

Sungguh terlalu banyak kebaikan yang keluarga ini berikan untuk hidupku. Bahkan tanpa kusadari, masa depanku bergantung pada keluarga ini. Lalu... Kenapa begitu mudahnya aku merasa bimbang seperti ini?

Aku tahu, apa yang harus kulakukan sekarang untuk memperbaiki semuanya. Masih belum terlambat untuk berdamai dengan situasi ini. Aku harus bertemu dengan Sakura, untuk mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya, sebelum semuanya menjadi semakin kacau.

.

.

.

.

.

.

.

Hari ini aku mengajar arransemen di kelas musik. Aku tak sabar untuk bertemu muka dengan Hinata. Dua hari ini, aku hampir tak pernah menatap wajahnya. Hanya sekali saat dia masuk studio di rumah untuk mengambil tablature saat malam kemarin lusa. Bahkan dia sama sekali tak menolehku yang tengah duduk tepat di sebelah besi stand tempat tablature.

Koridor kelas sudah terlihat sepi, hanya beberapa mahasiswi yang berkeliaran di beberapa sudut lorong. Aku berjalan dengan penuh keraguan menuju kelas musik yang hanya tinggal berjarak satu kelas lagi di depanku. Masih mencoba memikirkan, ekspresi apa yang bisa kutunjukkan ketika bertemu muka dengan Hinata. Aku benar-benar merasa bodoh.

Dan sekarang aku berdiri—berhenti— di depan pintu kelasku. Keheningan menyapa ketika aku mulai memasuki pintu. Mereka menatapku, tapi dia tidak. Seolah pemandangan di luar jendela lebih menarik dibandingkan denganku. Dan bisa kupastikan dia sedang mengenakan headset yang tersembunyi di balik sutai indigo-nya yang tergerai.

Biasanya aku akan mengganggu aktifitasnya sekarang, karena aku merasa sangat tidak dihargai ketika tidak didengarkan saat mengajar—seperti yang dia lakukan saat ini. Tapi aku hanya menolehnya sesekali di sela menjelaskan pelajaran yang kuberikan di kelas. Sekali dia menoleh ke arahku, tapi dia tak melihatku sebagai diriku. Aku tahu dari pancaran matanya. Dia menatapku sebagai orang lain, mungkin hanya sebagai dosen yang membosankan.

Kelas usai, dan aku pun memastikan kalau masalah ini benar-benar menjadi serius. Ini tidak akan selesai hanya dengan perdebatan panjang atau semacamnya, Hinata bukan tipe orang seperti itu. Aku mengenalnya, dia akan lebih memilih diam setelah merasa benar-benar baik.

.

.

.

.

.

.

.

Pertama kalinya dalam kehidupan pernikahan kami sejauh ini, di mana kami tak saling bicara satu sama lain. Mungkin jika beliau masih hidup akan membunuhku, karena telah melukai gadis kecilnya. Ini jauh di luar perkiraanku, ketika masalah ini menjadi semakin rumit. Ditambah dengan sikap diam Hinata sejak kejadian itu.

[Apa aku tak berhak untuk sekedar memberi penjelasan?

Sampai kapan ini akan berlanjut?]

Batinku mulai berargumen ketika memacu mobilku menembus jalanan malam sekitar Kanto.

Sore tadi, aku sudah bertemu dengan Sakura. Untuk menjelaskan maksud perkataanya dan mengutarakan bagaimana hatiku yang sesungguhnya. Dia terlihat bingung, tapi juga terlihat menerima segala ucapanku.

Flashback

"Sasuke sensei, ada perlu apa denganku?"

Di depan pintu kelas drama, aku berdiri menatapnya. Sejenak memeriksa keadaan sekitar, sekedar memastikan bahwa tidak ada mahasiswa lain yang masih bertahan di kelas atau di sepanjang lorong kampus.

"Tentang waktu itu," ucapku saat kami mulai berjalan menuju lobby.

"Maaf jika itu mengganggumu, sensei. Tapi aku tak bermaksud untuk itu."

Ya, mungkin akan lebih mudah jika aku tak harus menutupi hubungan pernikahan kami, seperti kesepakatan kami selama ini. Tapi aku sudah berjanji untuk meluruskan hal ini, untuk menjaga perasaan Hinata.

"Maaf, Sakura. Tapi aku tak bisa," ujarku.

Sakura menghentikan langkahnya, dan aku menoleh. Dia menatapku sebelum kembali berjalan. Dia terlihat kecewa dari ekspresi yang dia tunjukkan. Dia tersenyum tapi tak sampai menyentuh mata. "Tak perlu meminta maaf, sensei. Saat itu aku hanya ingin mengatakan apa yang aku rasakan."

Semua orang berhak mencintai siapapun tanpa terkecuali, di sisi lain, semua orang berkewajiban untuk memberi sebuah kejelasan. Dan di situlah kita berdiri sekarang ini. "Jalanmu masih panjang, Sakura. Fokuslah dengan karirmu. Dan suatu saat kau akan bertemu seseorang yang lebih dariku," ujarku menggurui.

"Tidak ada kesempatan kedua untuk mencintai seseorang, sensei."

Kami sampai di tempat parkir fakultas senin. Berhenti di samping salah satu mobil berwarna pink yang kuyakini sebagai milik Sakura. Dia mulai meraih kunci mobil do saku celananya. Dia terlihat kikuk, sedikit bergemetar di pegangan tanganya. Kemudian menjatuhkan kuncinya saat mencoba membuka pintu mobilnya.

"Sakura." Aku meraih saku celanaku, kemudian mengambil sapi tangan dari dalamnya. "Selalu ada kesempatan lain. Dan jangan berhenti mencintai," tukasku sembari menyodorkan sapu tangan kepadanya.

Dia menghentikan usahanya untuk kembali membuka pintu mobilnya. Dia menggeleng.

"Maaf, Sakura."

End of flashback.

Aku sudah menjelaskan semua kepada Sakura. Sekarang tinggal bagaimana menjelaskan semua kepada Hinata. Aku memarkir mobilku pada garasi di samping rumah. Tak kulihat mobil Hinata di sana. Jarum jam menunjukkan pukul 8 ketika aku melirik arloji di lengan kananku.

[apa yang dia lakukan? kemana dia pergi?]

Kepanikan mulai menjalar ketika aku mulai kebingungan mencari ponselku. Tiba-tiba saja hilang ingatan. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya, "brengsek!"

Mengobrak-abrik dashboard mobil dan tak ketemukan benda kecil itu di sana. Aku mulai beranjak dari mobilku, berlari menuju ruang tamu. Berhenti di telepon rumah yang menempel di dinding—di samping pintu.

Berulang kali mencoba menghubunginya dan tak ada jawaban sama sekali. Memang beberapa Hinata tak menghubungiku, sekedar mengirimkan pesan singkat seperti biasa tak kita lakukan beberapa hari ini. Tapi tak sekalipun dia pergi sampai selarut ini.

Aku pun berpikir untuk menunggunya sembari duduk di sofa. Kegelisahan semakin timbul ke permukaan saat kemudian aku menyalakan televisi dan mengganti channel beberapa kali. Dan tak menemukan hal yanh menarik untuk sedikit menghilangkan kegelisahanku.

.

.

.

.

.

.

Hinata POV

Sepertinya dia ingin menjelaskan sesuatu, tapi aku masih enggan untuk bicara dengannya. Tidak dengan perasaanku yang masih tak menentu seperti sekarang. Aku masih perlu waktu. Kejadian kemarin masih saja berputar di kepalaku. Bagaimana sikap Sasuke kepada Sakura. Dan bagaimana tatapan Sakura kepada Sasuke. Seperti ribuan pisau yang menghujam perasaanku tanpa permisi.

Aku tahu, Sasuke hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan seperti saat mengajariku di studio rumah. Tapi tidak dengan Sakura. Tidak dengan tatapannya yang seolah ingin mengambil Sasuke dariku. Aku juga tahu, Sakura tak sejahat itu. Dia hanya tak mengetahui hubungan kami yang sebenarnya. Dan aku tak bisa menyalahkannya begitu saja.

Mungkin sikapku yang terlalu kekanak-kanakan dan berlebihan saat menanggapi hal itu. Aku hanya takut jika hal buruk terjadi, karena entah mengapa, Sasuke menunjukkan gelagat aneh ketika berada di dekat Sakura. Aku tahu bagaimana tatapan yang hanya dia tujukan padaku, tapi saat itu dia tujukan pada Sakura.

"Kau bodoh!"

Tenggorokanku terasa kering. Napasku tersengal. Aku tak ingat berapa lama sudah bertahan di tempat ini. Aku tak peduli. Aku tak ingin pulang dan melihatnya. Tidak sekarang. Mungkin dia khawatir, tapi aku tak peduli. Bahkan aku tak peduli dengan diriku.

"A—ku memben—cimu!" terisak dan suaraku semakin serak.

Seseorang menghampiriku. Aku tahu dia memperhatikanku. Aku tahu dia siapa. Dan aku tak ingin dia melihatku seperti ini. "A—pa yang ka—u inginkan?" ucapku sembari mengatur napas yang berangsur membaik.

Dia tak menjawab, kemudian suara langkah kaki terdengar semakin mendekat ke arahku. "Kumohon, pergilah. Naruto."

Dia berhenti, lalu menyodorkan sapu tangan ke depan wajahku yang menunduk. Kemudian aku mendongak, lalu mengusap jejak air mata di pipiku yang terasa mulai mengering. Aku tak menggubris lengannnya yang masih terulur di depanku.

Dia tak menunjukkan ekspresi apapun, saat kembali menarik tangannya dan memasukkannya ke saku celana. Aku terus menatapnya yang kemudian mengambil duduk di sebelahku.

Dia tak menyapaku seperti yang biasa dia lakukan. Dia bersandar di bahu bangku dan menatap ke atas. Apa yang menarik di langit? Datang dengan tiba-tiba dan menghampiriku, lalu mengabaikanku eksistensiku—satu-satunya orang yang berada di taman ini selain dirinya. "Maaf kau sudah mengangguku, tuan," ujarku.

Bukan waktu yang tepat untuk berbasa-basi dan sebaiknya aku pergi. Tanpa berpikir dua kali. Aku langsung beranjak dari tempatku.

"Hinata."

Aku menoleh. Dia menatapku. "Maaf, Naruto. Aku harus pulang."

Dan kembali, dia menunjukkan ekspresi yang sulit kutebak. "Aku tahu, Hinata."

Dan sekarang aku mulai penasaran. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Aku harus pulang. Aku tak pernah pulang selarut ini. Dan aku yakin Sasuke pasti kebingungan mencariku. "Maaf, Naru—"

"—Sasuke," ujarnya menyahutku, membuatku tersentak begitu saja.

[Sampai sejauh mana dia tahu?]

"Maksudmu apa, Naruto? Ada apa dengan Sasuke-sensei?"

Dia menunjukkan senyuman di sudut bibirnya, "kita tidak sedang berada di kampus, Hinata." Dia mengedikkan kepala ke arah bangku sebelah.

Aku mengambil kembali tempat dudukku barusan. Baiklah, sekarang aku benar-benar ingin tahu apa yang dia tahu. "Darimana kau tahu?"

Dia kembali tersenyum. "Tak perlu harus diucapkan, maka sebuah perasaan akan terlihat dengan sendirinya, Hinata."

Dia terlihat berbeda, dari cara bicaranya sekarang. [Apa dia sedang berakting?] Terkadang dia terlihat bodoh dengan senyuman lebar yang dia tunjukkan, tapi sekarang aku tak melihat kebodohan itu padanya.

"Tapi aku tak tahu apa yang dia lakukan kepadamu."

Aku tak tahu. Apakah pantas aku menceritakan hal ini kepadanya. Tapi dia sudah melihatku. Tak perlu diceritakan, dia sudah tahu hal buruk yang telah terjadi.

"Mungkin saja, ada kaitannya dengan hal lain yang juga aku ketahui."

Dahiku mengerut menatapnya. "Maksudmu?"

Dia kembali menatap langit, dan aku juga mengikutinya. Mencari hal yang menarik di atas sana. Hanya rembulan dan bintang-bintang yang bertaburan di sekelilingnya. Beberapa sekon terlewat dalam keheningan. Menikmati udara malam yang berhembus hingga merasuk ke tulang.

"Apa kau ingat. Aku pernah bercerita tentang alasanku masuk kelas drama?" ucapnya. Sedetik kemudian tatapan kami bertemu, dan aku mengangguk. "Aku tahu dia menyukai, Sasuke," lanjutnya. Sukses membuatku tersentak untuk kedua kalinya.

Tapi kau berbeda, Naruto. Kau sudah menyukai gadis lain sebelumnya. Dan aku yakin kau tak merasakan apa yang kurasakan saat ini.

"Aku juga merasakan apa yang kau rasakan, Hinata."

Aku bingung, "tapi kau bilang menyukai gadis lain... Lalu kenapa?" Siapa yang dua maksud?

Dia kembali tersenyum, "aku tak perlu mengatakannya, Hinata. Karena aku hanya bisa melihatnya."

.

.

.

.

.

.

Bersambung...

.

.

.

.

.

A/n

Maaf update super lama—semi hiatus.

Silahkan review jika berkenan. Kritik dan saran sangat diterima.

Terima kasih.

Hama Hitam.