Naruto belong © Masashi Kishimoto


Violinist © Lany deMusica


Chapter 1


Intro

Hinata POV

Aku adalah anak seorang musisi terkenal—pemain biola. Ayahku berbakat; terkenal di seluruh kota tempatku tinggal sekarang. Dia meninggal saat perjalanan tur ke Yokohama, bersama anggota band-nya tiga tahun yang lalu akibat kecelakaan bus di kilometer sepuluh sebelum sampai ke tempat tujuan mereka.

Aku mewarisi bakat Ayahku, mulai bermain biola sejak umurku tujuh tahun. Aku masih ingat Cello ungu pertamaku yang Ayah belikan untukku. Aku masih menyimpannya di studio musik samping kamarku.

Ayahku buta sejak ia masih muda. Bola matanya rusak akibat terkena string—yang putus saat dia mainkan. Ayah bilang otot matanya terluka atau semacamnya, matanya sudah putih setelah selesai operasi.

Aku tak sehebat seperti Ayahku. Dia bermain layaknya orang normal lainnya. Jarinya seperti bernyawa, bergerak lincah pada string biola. Aku selalu mengamati Ayah saat bermain di teras rumah menjelang sore hari, saat aku masih kecil. Sonata in C Major melantun, menghantarkan tidurku di pangkuan Ayahku.

Aku sudah terbiasa dengan musik klasik instrumental sejak kecil. Ipod unguku penuh dengan karya-karya Niccolo Paggini dan Ludwig Van Beethoven. Aku sering mendengarkannya saat menunggu dosen di kelasku. Aku bosan menunggu—itu aktifitas yang sangat tidak benefit.

Temanku semasa sekolah menengah bilang aku seperti muncul dari buku pelajaran sejarah. Mungkin karena sikap introvert—ku dan kegemaranku yang terkesan aneh dan tua. Mereka menghabiskan akhir pekan menonton konser musik di tengah kota. Sedangkan aku lebih memilih mengambil kursi paling depan di Gedung Theater untuk menikmati pertunjukan Opera.

Aku—Ayahku sebelum meninggal—tinggal di sekitar Kanto dekat dengan Universitas Tokai tempatku belajar saat ini. Rumah bergaya eropa yang di desain sendiri oleh Ayahku. Banyak sekali alat musik yang menggantung di sisi tembok dan dipajang di dalam rumahku. Dan figura-figura foto Ayah semasa hidup bersama dengan anggota Band-nya.

Ini satu-satunya tempat favoritku; studio dan galeri Ayahku di lantai dua. Cello unguku di sudut kiri di atas meja kecil samping sofa. Hampir semua jenis alat musik ada disini. Ayah seringkali berlatih dengan anggota ensemble-nya disini. Aku hanya duduk mengamatinya dari sofa dekat dengan pintu dan kadang sampai tertidur disana.

Semua barang tersusun rapi disini. Hanya beberapa alat yang baru digunakan dan terlihat masih tergeletak di karpet. Itu gitar Sasuke, dia sudah tertidur di sofa. Suamiku; dosen jurusan seni Universitas Tokai. Dia mengajarkan arransemen di kelasku. Dia membuat banyak Arransemen untukku.

Sasuke adalah murid ayahku, dulu sewaktu ayahku masih hidup Sasuke sering datang kemari. Belajar arransemen lagu dan bermain biola di Studio Ayahku. Ya.. dulu Sasuke juga seorang pemain biola namun kini dia tak lagi memegang biolanya. Kini dia beralih bermain gitar yang memang keahliannya sejak dulu. Walaupun aku tahu permainan biola sasuke juga sangat indah seperti ayahku.

Sudah 3 tahun ini aku membina rumah tangga dengan sasuke. Namun jangan berpikir hubungan kami sama seperti hubungan rumah tangga pada umumnya. Tidak.. hubungan kami hanya sebatas tinggal di satu atap yang sama. Kami memang menikah tapi hubungan kami tak seperti apa yang seharusnya. Kamar kamipun berbeda dan kami tak pernah mengganggu privasi masing-masing.

Sasuke melamarku tak lama setelah kepergian ayahku. Entah mengapa ia menikahiku, kupikir mungkin dia kasihan padaku. Namun aku tak ingin memikirkannya, yang kuinginkan hanyalah menjadi pemain biola terkenal seperti ayahku. Dan tentunya untuk mencapainya aku membutuhkan wali seperti Sasuke. Dulu ada ayahku namun semenjak ayahku pergi Sasukelah yang menjadi wali sekaligus suamiku. Hubungan ini tak ada yang mengetahuinya. Bahkan siswa dan siswi kampusku tak ada yang mengetahui kalau sasuke adalah suamiku.

Aku menatapnya dalam diam, dia terlihat benar-benar lelap. Aku mencoba mendekatinya, kini aku berjongkok didekat sofa dimana sasuke berbaring sekarang. Aku duduk sambil memeluk lututku memperhatikan wajahnya dalam diam. Suamiku ini memang tampan, namun aku tak bisa mengerti jalan pikirannya. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya namun pertanyaan itu selalu tertahan di mulutku. Sasuke tak seperti pria kebanyakkan, dia seorang penyendiri sama sepertiku. Sikapnya dingin kepada semua orang, namun hanya kepadaku ia bersikap lembut.

Tanganku membelai surai ravennya yang sedikit menutupi matanya. Penampilannya memang berantakan, t-shirt dan celana jeans yang sudah robek di bagian lutut. Tapi ia pandai merawat diri tak seperti kebanyakkan pria lainnya, rambutnya lembut. Bahkan ia sangat wangi, aku bisa mencium aroma mint dari tubuhnya. Perlahan tanganku berpindah ke wajahnya. Jari telunjukku menyusuri hidungnya yang mancung, lalu turun menyentuh bibirnya yang tipis, kemudian rahangnya yang kokoh.

"Kau harus berterima kasih kepada tuhan-karena telah memberimu wajah yang sempurna sasuke" bisikku

"Hn" Gumamnya.

Aku tersenyum mengetahui bahwa suamiku sudah terjaga dari tidurnya. Kini aku menarik lenganku dari wajahnya. Namun ia menahan pergelangan tanganku.

Matanya membuka, kini aku bisa melihat iris Onyx-nya menatapku intens. "Aku baru menyadari, jika istri kecilku ini mempunyai kebiasaan menyentuh orang yang sedang tidur."

"Kau kan suamiku, apa ada yang salah bila aku menyentuh suamiku?" tanyaku

"Kupikir kau tak menganggapku suamimu." Sasuke bangkit untuk duduk. Namun tetap tak melepaskan pegangannya dari pergelangangku.

Aku tertawa mendengar ucapannya "Untuk apa aku memasak dan mengurusi semua keperluanmu jika aku tak menganggap kau suamiku? Hmm?" ucapku setelah menghentikan tawaku.

Sasuke tersenyum. Sungguh dia terlihat lebih baik jika senyum itu selalu tercetak di wajahnya. Tanpa kusadari kini sasuke menarikku untuk duduk dipangkuannya. Aku sedikit terkejut dengan tindakannya, namun aku hanya diam menurutinya.

Normal POV

Sasuke memeluk pinggang hinata, dan menempelkan dagunya pada pundak istrinya. "Kalau kau menganggapku suamimu, berarti kau tak keberatankan jika aku menyentuhmu"

Hinata mengernyit "Jika yang kau maksud adalah ini, itu tak masalah bagiku? Namun jika yang kau maksud adalah sesuatu yang berhubungan dengan ranjang.." Hinata menggantungkan kalimatnya dan membalik posisinya hingga kini ia duduk menyamping dipangkuan sasuke. Kemudian ia menelusupkan tangan kirinya dipinggang sasuke dan tangan kanannya di bahu sasuke. Ia menyandarkan kepalanya di dada sasuke. "Bukankah kau tau keinginan terbesarku sasuke, kuharap kau bisa menungguku. Aku belum menyerah akan keinginan itu. Aku tak ingin sesuatu nanti muncul dan menghambat keinginanku." lanjutnya.

"Kau tak ingin hamil anakku"

"Bukan begitu.. aku ingin.. hanya saja aku belum siap Sasuke, bahkan aku belum menyelesaikan Study-ku."

"Ini memebuatku gila" Sasuke menghela napas " Tiga tahun kita menikah tapi kau tak pernah mengizinkanku menyentuhmu, sedangkan hampir setiap hari kau selalu menari dipikiranku.. sampai kapan kau mau menyiksaku? Aku normal hinata." Kembali menghela napas

Hinata menatap Sasuke intens, "Aku tahu Sasuke." Ia membelai surai Raven suaminya. "Pertunjukan rutin dan tugas-tugas Arransemen membuatku gila."

"Yaa. Aku selalu kalah dengan ambisimu Hinata. Kau seperti Ayahmu." Sasuke beranjak dari duduknya, mengambil gitar yang tergeletak di karpet. Kemudian duduk di kursi menghadap tablature di depannya.

Hinata masih duduh di sofa mengamati Sasuke yang sudah tenggelam dengan gitarnya, memainkan Arransemen yang ia tulis semalaman. "Sasuke." Suara speaker menggema menyamarkan suara Hinata. "Sa-su-ke!" Teriak Hinata menekankan setiap penggalan kata pada namanya.

"Hn." Sasuke menoleh. Jemarinya berhenti memainkan string gitar.

"Kapan terakhir kali kau menyentuh biolamu?" Tanya Hinata sambil menunjuk Viola yang digantung di samping lukisan figur Niccolo Paggini.

Sasuke mengedikkan bahunya, "Entahlah, aku hanya memainkannya jika kau memintaku."

Hinata tersenyum, kemudian beranjak mengambil Viola yang digantung di tembok. "Baiklah, aku memintamu!" Ujar Hinata sambil menyodorkan Viola di tangan kirinya.

Sasuke meletakkan gitarnya ke karpet, kemudian mengambil Viola di tangan Hinata. "Sonata in C Major?" Sasuke mulai memasang kabel pada Viola-nya, kemudian mulai menggesek string Viola yang sudah ditahan di bahunya.

Hinata mengamati permainan Sasuke, ia duduk di sofa. Mengingatkannya pada sosok Ayah yang sering memainkan lagu itu hingga tertidur di pangkuannya. Hinata mulai merebahkan tubuhnya di sofa. Perlahan matanya menutup, menikmati alunan lagu yang Sasuke mainkan. Sasuke menatap tersenyum ke arah Hinata yang sudah lelap dalam tidurnya.


Minggu

Hinata POV

Hari ini gila. Pertunjukan rutin di Gedung Theater dan kuharap Sasuke sudah menyelesaikan Arransemen-nya untukku. Aku mengendap masuk ke studio. Sasuke tertidur di atas sofa, alat musik tergeletak di karpet. Suara hembusan AC memenuhi ruangan. Sudah dua hari AC nyala, dan Sasuke belum beranjak dari tempat ini. Aku berlari ke kamar mengambil selimut. Kemudian menutupi tubuh Sasuke yang tertidur di sofa. Aku tidak ingin pulang ke rumah dan melihat tubuhnya yang terbujur kaku.

Aku mengambil tablature yang Sasuke kerjakan kemarin. Mengecek sebentar, kemudian memasukkan ke dalam tas. Aku berjongkok di samping Sasuke, "Terimakasih." Bisikku. Mengecup dahinya dan beranjak keluar studio. Aku berjalan melewati tangga, menengok jam dinding di atas pintu. Aku terlambat, sial. Aku mengambil kunci mobil di saku celanaku. Berlari menghampiri mobilku yang terparkir depan. Aku bergegas, memacu mobilku cepat membelah jalanan sekitar Kanto.

Beberapa menit aku sudah sampai di halaman parkir Fakultas Seni, memarkir mobilku di samping mobil sport berwarna jingga. Aku melirik sekilas, kemudian berlari menuju gedung theater. Mereka semua mengamatiku, aku tidak peduli penampilanku sudah berantakan. Hah, napasku hilang. Hah, aku bisa mati. Aku hampir sampai. Aku membelok di lorong dan menabrak seseorang di depanku.

"Maaf," aku menatap orang itu.

"Hinata!" Ini Sakura. Dia seniorku di kelas drama. Rambutnya pink mencolok, dia sangat tomboy dan kasar kepada setiap laki-laki, khususnya di kelas drama.

"Apa sudah dimulai?" Ucapku tersengal-sengal. Napasku masih memburu.

"Cepatlah mereka menunggumu." Ucapnya. Sakura ikut panik menatapku yang juga panik.

"Baiklah aku pergi, Sakura. Terimakasih."

Aku kembali berlari menuju Gedung theater. Beberapa sedang mempersiapkan dekorasi panggung dan merapikan bangku penonton. Teman-temanku sudah menunggu di atas panggung, mereka menatapku. Kami mendapat tugas untuk mengiringi drama. Dengan membentuk kelompok Orkestra. Aku memegang peran penting untuk mengatur Arransemen musik. Dan aku terlambat, sial.

"Maaf aku terlambat." Ucapku. Aku membagikan tablature yang sudah di copy, kemudian mengambil duduk di antara mereka. Aku memegang Cello. Mereka menatapku. Aku hanya tersenyum.

Kami melakukan pelatihan terakhir untuk pertunjukan malam ini. Berjam-jam kami tenggelam dalam lantunan musik-musik arransemen untuk drama. Mereka nampak serius memainkan alat musik masing-masing. Memainkan setiap halaman-halaman pada tablature yang kubawa. Mereka mampu membaca, dan memainkannya tanpa kesalahan. Aku masih melakukan beberapa kesalahan di beberapa not.

Sekilas aku menatap ke depan. Seseorang melambaikan tangannya dari bangku penonton. Rambutnya kuning, dia tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya. Aku mendecih mencoba untuk tidak menggubrisnya. Dia selalu menggangguku saat latihan. Siswa kelas theater/drama selalu seperti itu, mereka semua sama.

Kami sudah selesai dengan lagu terakhir. Dua jam lagi sebelum pertunjukkan. Cukup untuk beristirahat sejenak. Aku membereskan alatku, meletakkkannya kembali pada besi stand.

"Ne.. Hinata. Apa kau ingin ke kantin?"

Aku menoleh ke arah suara. Itu Shion dia berada di posisi Viola di kelompokku. Rambutnya pirang, matanya lavender pucat. Dia sangat menggilai si Kuning yang selalu menggangguku. "Ah maaf, Shion. Sepertinya aku harus bertemu ketua." Aku menoleh ke arah bangku penonton. Dia masih menatapku, si kuning. "Shion? Lihat." Aku mengedikkan bahu ke arah bangku penonton. "Dia akan mengajakmu ke kantin. Temui dia." Tukasku.

Shion menatap ke arah si kuning di bangku penonton. "Benarkah?" Shion menepuk bahuku. "Terimakasih, Hinata!" Kemudian berlari ke arah si kuning.

Aku tersenyum tipis ke arah si kuning. Dia menatapku heran, kemudian menatap Shion yang sudah ada di sampingnya. Aku melambaikan tangan ke arah mereka. Sebelum mereka beranjak meninggalkan bangku penonton. Hah, hari ini aku selamat. Sasuke bisa membunuhnya jika tahu tingkah si kuning itu yang selalu menggodaku. Aku harus menemui ketua, sepertinya dia marah kepadaku. Aku selalu terlambat di saat-saat penting.


TBC


Chapter ini saya tulis bersama Author LovelyLany.


Terimakasih