Siang ini, kota dihujur hujan musim panas yang cukup deras.
Jisoo menghela nafas sambil menyandarkan tubuhnya di balkon kelasnya, memandangi anak Klub Basket yang malah hujan-hujanan sambil bermain bola di lapangan. Seungcheol jelas ambil bagian, membuat Jisoo tersenyum tipis. Temannya sedari kecil itu—bersama Jeonghan juga—memang sangat suka menghampiri masalah. Padahal dia Ketua OSIS dan juga memegang posisi pemain yang lumayan penting di Klub Basket.
Seungcheol mengadahkan kepalanya, bertemu pandang dengan Jisoo yang memandanginya. Pemuda dengan senyum yang selalu memperlihatkan gusi itu melambaikan tangannya ke Jisoo, dan Jisoo melambai balik sambil tersenyum lebar. Seungcheol kembali bermain futsal bersama teman-temannya.
Jangan tanya kenapa anak basket malah bermain bola. Pada dasarnya, mereka tetaplah anak laki-laki.
Jisoo menghela nafas, melirik arlojinya. Masih dua puluh menit lagi sebelum jam masuk, pantas saja Seungcheol dan teman-temannya tampak tidak peduli sekolah—lagipula mereka tidak akan berani hujan-hujanan jika tidak membawa seragam cadangan. Jisoo sebenarnya tergoda untuk ikut bermain, tetapi ia tidak membawa seragam selain yang ia pakai dan sepertinya hampir semua orang tahu Hong Jisoo sangatlah payah dalam olahraga selain berenang, tenis, dan bulu tangkis. Dia hanya akan merusak dinamika permainan jika ikut permainan.
Ia baru akan menempelkan pipinya pada kayu pagar balkon yang dingin, sebelum seseorang menepuk bahunya dengan ringan. Sontak, Jisoo menoleh dan menemukan Wonwoo berdiri di hadapannya. Ekspresinya datar dan kaku seperti biasa, membuat Jisoo baru akan bertanya ada apa jika saja tangan Wonwoo tidak terjulur.
"Untukmu."
Sekaleng susu cokelat hangat—pasti dibeli dari mesin penjual minuman depan ruang guru—terjulur ke arahnya dari tangan besar Wonwoo, membuat Jisoo menerimanya lalu melempar tatapan penuh tanda tanya ke arah pemuda yang lebih tinggi darinya.
"Untukku?"
Wonwoo tidak menjawab, ia hanya ikut menyenderkan tubuhnya ke balkon kelas dan memperhatikan anak-anak yang masih bermain bola di lapangan. Dia mengeluarkan satu kaleng kopi dari saku blazer miliknya, membuka tutup kalengnya dan mulai meminum isinya. Dilihat dari uap yang keluar dari botolnya, kopi itu pastilah kopi panas.
Merasa tidak mendapat respon dari pertanyaannya, Jisoo menghela nafas lalu membuka tutup kaleng susu hangat pemberian Wonwoo.
"Terima kasih." Ucapnya pelan, lalu mulai meneguk susu hangatnya. Manis, tipikal susu cokelat.
Jisoo melirik pemuda aneh di sampingnya yang tampak asyik menonton sekumpulan murid kurang kerjaan yang masih hujan-hujanan. Wonwoo itu selalu mengejutkan dengan caranya sendiri, Jisoo tidak pernah mengira bahwa akan ada satu hari di mana ia meminum minuman hangat kalengan sambil menikmati hujan di balkon kelas bersama Si Juara Paralel. Ini jelas-jelas di luar khayalannya.
Tidak buruk juga, sih. Jisoo memang sedang membutuhkan sesuatu yang hangat dan seorang teman. Wonwoo datang di saat yang tepat, meskipun cukup tidak terduga.
Mata Jisoo bergerak untuk melirik Wonwoo lagi, dan dia lumayan terkejut begitu menyadari pemuda tinggi itu sudah menatapnya lebih dulu. Jisoo langsung membuang pandangannya, kembali menyesap susu hangatnya seolah tidak ada yang terjadi beberapa saat lalu.
"Kau tahu…," suara berat Wonwoo terdengar, membuat Jisoo mau tak mau menoleh untuk bereaksi. Rasanya tidak adil, setiap kali Wonwoo berbicara ia selalu memberi respon yang baik. "Tadi pagi ada seorang gadis kelas XI-A datang ke lokerku."
Jisoo kini memperhatikan Wonwoo, menopang wajahnya dengan satu tangannya. Wonwoo sendiri tetap memandang lurus ke depan. Dia senang, setidaknya Wonwoo sudah sedikit membuka dirinya kepada Jisoo. Mereka mulai mengobrol, meski masih dalam taraf yang sedikit. Jisoo senang menambah teman baru, dan Wonwoo terbilang cukup unik. Dan aneh.
"Lalu?"
"Dia menyatakan perasaannya padaku," terjadi jeda yang lumayan panjang. Jisoo memperhatikan bagaimana air muka Wonwoo sedikit berubah menjadi gelisah, tidak sedatar biasanya. Cukup mengejutkan, melihat adanya emosi di wajah sekaku itu. "Dan aku menolaknya."
Dugaan Jisoo tidak meleset. Ia sudah tahu orang seperti Wonwoo tidak akan memedulikan mengenai masalah percintaan remaja, mereka akan mengesampingkannya sebisa mungkin. Jisoo menghela nafas, lalu kembali meminum susu hangatnya. "Kenapa?" tanya Jisoo, tidak terlalu mengharapkan jawaban, sebenarnya. Wonwoo akan menjawabnya dengan singkat, menjelaskan bahwa hubungan semacam itu tidak penting.
Akan tetapi, jawaban yang ia terima dari Wonwoo benar-benar di luar prediksinya.
"Aku menyukai orang lain, laki-laki. Aku gay, dan sekarang tengah menyukai seseorang," kemudian Wonwoo menatap Jisoo. Tatapannya sangat tenang dan matanya sangat gelap, membuat Jisoo seakan tengah melihat ke pelosok hutan pinus di sore menjelang malam. "Aku mengatakannya pada gadis itu, dan gadis itu menerimanya dengan baik. Dia bahkan berkata bahwa ia akan tetap mengirimkan surat ke dalam lokerku."
Fakta bahwa Tuan Sempurna Jeon Wonwoo adalah gay itu mengejutkan, tidak ada 'cukup mengejutkan' atau 'lumayan mengejutkan'. Benar-benar mengejutkan Jisoo, tetapi ia hanya meminum susunya lagi. Memangnya kenapa dengan gay? Ia sendiri biseksual, dan Seungcheol jelas-jelas mendeklarasikan dirinya sebagai gay. Ia tidak seharusnya terkejut.
Dia seharusnya lebih terkejut bahwa Tuan Sempurna Jeon Wonwoo tengah jatuh cinta pada seseorang, dan itu sedikit memberi sensasi menggelitik pada diri Jisoo.
"Aku akan menyatakan perasaanku padanya dalam waktu dekat," dan Wonwoo menyesap kembali kopi hangatnya. "Aku sudah tahu bagaimana aku akan menyatakannya, tetapi aku tidak tahu kapan. Dia selalu terlihat ceria dan tanpa beban, aku takut memberinya beban lebih karena perasaanku padanya."
Untuk kali ini Jisoo tidak tahu harus membalasnya dengan apa.
Yang ia tahu, saat Wonwoo kembali menatapnya lurus tepat di matanya—ia merasakan wajahnya memanas, sebelum tersenyum kikuk dan kembali memandang ke arah lapangan.
Jisoo tahu itu konyol, tetapi bolehkah ia merasa cemburu kepada siapapun yang berhasil merebut hati Wonwoo?
Karena—sepertinya—ia sudah jatuh ke pesona Tuan Sempurna Jeon Wonwoo hanya dengan melihat beberapa keanehannya.
Di Sebelah Jeon Wonwoo
.
.
Inspired by manga 'Tonari no Seki-kun' © Morishige Takuma
.
.
Semua orang sudah tahu kalau Jeon Wonwoo itu aneh, tetapi Jisoo tidak pernah menyangka bahwa dia akan seaneh itu.
Membuat miniatur istana dari kartu? Bermain hoki sendiri dengan uang logam? Merubah meja menjadi papan rancangan? Jisoo sudah melihat semuanya.
.
Rancangan Pesawat yang Diderai Hujan
.
.
Jisoo selalu merasa seperti cacing kepanasan saat pelajaran Sastra berlangsung.
Dia menyukai Sastra, sangat menyukainya. Sekalipun terkadang ia masih kesulitan mengartikan beberapa bahasa Korea—dia bahkan baru fasih membaca hangul tepat saat kenaikan kelas XI. Dia menghabiskan hidupnya di Los Angeles dan baru kembali lagi ke Korea saat jenjang SMA, membuatnya pertama kali terlihat seperti orang Korea yang berkhianat karena membaca hangul pun tak bisa.
Beruntungnya, ia mengenal Seungcheol dan Jeonghan yang merupakan anak dari kolega ayahnya. Mereka pernah bertemu beberapa kali sewaktu masih kecil, dan berteman jarak jauh. Setidaknya, Jisoo memiliki teman yang mengerti dirinya dengan baik sehingga ia tidak merasa terlalu terbebani.
Sekarang hidupnya sudah lebih baik, dan Jisoo memutuskan untuk mempelajari Sastra Korea dengan serius. Maka dari itu, Sastra merupakan pelajaran yang ia suka.
Tiap-tiap kata bermakna yang keluar dari mulut Ahn ssaem selalu Jisoo catat, membuat catatannya paling lengkap di antara murid-murid lainnya. Ahn ssaem juga menyukai Jisoo karena keaktifannya dalam pelajaran yang ia ajarkan, membuat nilainya selalu menjadi yang paling tinggi di pelajaran Sastra. Bahkan, Wonwoo pun kalah untuk pelajaran ini.
Jisoo cukup gelisah untuk mata pelajaran yang satu ini, ia takut Wonwoo melakukan hal-hal ajaib dan malah membuatnya tidak fokus pada pelajaran. Jisoo melirik ke samping—dan langsung menyesali perbuatannya.
Sudah tergelar satu kertas lemas berwarna biru yang besarnya menutupi meja sekolah ini. Di atas meja tergeletak banyak benda; beberapa jenis pensil, penggaris besi, penghapus, jangka, dan kaca pembesar. Di kertas tersebut juga sudah ada beberapa coretan samar, membuat Jisoo menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas.
Rancangan suatu benda yang mirip… Pesawat.
Oh, Jisoo mengatupkan bibirnya. Dia ingat sesuatu. Setahun yang lalu—saat mereka semua masih menjadi anak baru dan saling mengenalkan diri di depan kepas, Wonwoo menyatakan bahwa cita-citanya menjadi insinyur. Tidak banyak yang ambil pusing soal itu, karena murid-murid lain lebih tertarik dengan cita-cita konyol Seungcheol yang ingin menjadi pelatih Timnas Basket Korea Selatan.
Terdengar bunyi buku terjatuh, membuat Jisoo langsung mengembalikan atensinya ke depan kelas. Buku Jihoon terjatuh, ia buru-buru mengambilnya dan menyuarakan permintaan maaf ke seisi kelas. Ahn ssaem sendiri kini tengah memutar satu video mengenai materi mereka di proyektor kelas, membuat Jisoo menghela nafas lega.
Hal yang Wonwoo lakukan kali ini sebenarnya cukup normal ketimbang yang lalu-lalu. Mejanya tidak terlalu berantakan dan dia hanya menggambar di kelas. Ahn ssaem bisa mengira ia sedang mencatat, jika saja mengabaikan fakta bahwa media yang digunakan Wonwoo untuk mencatat adalah kertas biru.
Dan Jisoo langsung menyesali pemikirannya begitu Wonwoo mengeluarkan satu kotak kecil dari bawah mejanya. Wonwoo membuka kotaknya, menuangkan isinya dengan bunyi yang tidak pelan. Jisoo meringis, beruntunglah seisi kelas tengah fokus ke video yang diputarkan.
Ada beberapa rangka besi ringan berukuran kecil, kabel-kabel, papan rangkai listrik, baterai berukuran sedang, dan satu obeng kecil. Jisoo menopang dagunya, bertanya-tanya apa yang akan Wonwoo lakukan dengan benda-benda tersebut. Ia juga bertanya-tanya kenapa Wonwoo membawanya ke sekolah. Memangnya ia tidak punya waktu luang di rumah?
Dengan telaten, Wonwoo memasang kabel-kabel itu ke papan rangkai listrik. Sekali-kali, ia melihat ke kertas birunya dan kembali merangkai kabelnya. Setelah beberapa kali rangkaian, ia meletakkannya dan beralih ke rangka besi ringan yang sudah dihaluskan permukaannya. Besi itu ada yang dibentuk menjadi oval dengan rongga tengah kosong dan ada yang dibentuk pipih. Tiap-tiap rangka memiliki semacam pengait di ujung-ujungnya.
Jisoo hampir meloncat dari tempat duduknya begitu Ahn ssaem membuka mulutnya, memerintahkan mereka untuk membuka halaman 95 dan merangkum isinya. Ia menggigit bibirnya, kembali menatap Wonwoo yang masih sibuk dengan kegiatan merangkai rangkanya. Ah, ia seharusnya mementingkan pelajaran.
Ia memutuskan untuk merangkum, seperti yang diperintahkan Ahn ssaem. Hanya saja, begitu ia menyelesaikan empat poin rangkuman, ia penasaran sudah sampai mana pekerjaan Wonwoo.
Sebuah miniatur pesawat terbang kini sudah tergeletak manis di atas meja Wonwoo. Sang Pembuat tampak puas, ia memegang baterai berukuran sedang itu di tangannya. Jisoo mengernyitkan kening. Mengapa butuh kabel dan baterai untuk membuat miniatur?
Jisoo harus menahan pekikannya begitu Wonwoo menyambungkan kabel dari baterai di tangannya ke kabel yang menggantung di bagian bawah miniatur pesawatnya. Rangka pesawat itu mengeluarkan cahaya dari lubang-lubang kecil yang dibentuk menyerupai jendela pesawat. Di bagian depan pesawat pun juga diberi jendela dan ikut mengeluarkan cahaya dari dalam.
"Sejak kapan kau membawa bohlam lampu?" tanya Jisoo pelan. Ia harus mengakui Wonwoo benar-benat membuatnya bingung sekaligus takjub.
Wonwoo menoleh ke arahnya, tangannya masih menahan sambungan kabel antara baterai dan lampu. Ia menatap Jisoo dengan tatapan dingin yang berhasil membuat Jisoo merinding sendiri. Akan tetapi, perlahan ekspresi Wonwoo berubah menjadi lebih lunak.
"Lampu neon."
Bukan lampu bohlam, melainkan lampu neon kecil.
Dan Wonwoo melayangkan senyum tipis, dan Jisoo kembali menatap buku catatannya dengan wajah memerah.
Bagaimana bisa senyuman tipis dari seseorang berhasil membuatnya merasa begitu malu sekaligus senang?
Bel jam pergantian pelajaran pun terdengar. Ahn ssaem bangkit dari tempat duduknya, mengatakan jam pelajarannya hari ini sudah usai. Dengan senyum manisnya, guru muda itu meninggalkan kelasnya—berhasil menimbulkan helaan nafas lega dari banyak murid.
Begitu ia menoleh ke Wonwoo, meja pemuda itu sudah kembali bersih. Buku pelajaran Kimia—pelajaran selanjutnya—sudah tergeletak manis di atas meja, tetapi ada satu hal yang tidak disingkirkan oleh Wonwoo.
Miniatur pesawat yang ia buat masih tetap ada di atas mejanya. Jisoo memandang Wonwoo, mendapati bahwa Wonwoo sudah menatapnya lebih dulu. Wajahnya kembali memanas, tetapi ia tidak langsung mengalihkan pandangannya.
Jeon Wonwoo benar-benar sulit ditebak.
.
.
"Aku tidak bodoh, aku tahu bahwa sepanjang pelajaran kau terus memperhatikan Jeon Wonwoo."
Sontak, Jisoo langsung menghentikan pekerjaan membereskan lokernya begitu mendengar suara Jihoon begitu dekat dengan dirinya. "Maaf?" tanya Jisoo, kini berbalik untuk menatap Jihoon karena tidak sopan berbicara dengan seseorang tanpa menatap matanya.
"Sepanjang pelajaran Ahn ssaem, kau terus memperhatikan Jeon Wonwoo. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan, tali sepertinya hal yang sangat menarik sampai-sampai kau tidak fokus."
Otomatis Jisoo merona. Ia tahu Jihoon itu pengamat yang baik dan cerdas, tetapi ia tidak menyangka bahwa Jihoon akan mengamatinya di dalam kelas. Padahal ia duduk di barisan depan. "Bagaimana kau tahu aku memperhatikan Wonwoo?" desis Jisoo sambil menyembunyikan wajahnya di telapak tangannya. Habislah riwayatnya.
"Bukuku terjatuh, kau ingat? Aku mengambilnya," jawab Jihoon tenang, sekalipun ekspresinya adalah ekspresi menyelidik. "Dan sehabis kau kaget, kau langsung kembali menatap Jeon Wonwoo. Kau hampir tidak pernah teralihkan di pelajaran Sastra."
Jisoo menggigit bibirnya. Ia tidak mungkin mengakui kepada Jihoon bahwa ia mulai menyukai Wonwoo, karena Jihoon pasti akan menertawainya lalu menyuruhnya untuk mencuci muka. Tidak akan ada yang percaya, dan Jisoo pikir rasa ini sebaiknya musnah saja. Wonwoo bukan siapa-siapa untuknya, hubungannya juga mungkin belum terlalu baik untuk bisa disebut 'teman'.
"Kenapa, Soo?" tanya Jihoon lagi. "Kau menyukai Jeon Wonwoo?"
"B-Bukan!" refleks, Jisoo memekik. Ia langsung menutup mulutnya sendiri, wajahnya memerah. "Bukan seperti itu. Dia hanya melakukan hal yang di luar dugaan dan aku tertarik. Ya tertarik. Kau tahu? Itu sedikit menggan—"
Tanpa Jisoo duga, Jihoon menepuk bahu Jisoo dengan pelan. Pemuda bertubuh mungil—fakta yang sangat dibenci sang pemilik tubuh—di hadapannya tersenyum simpul. "Tidak apa-apa kalau kau menyukai Jeon Wonwoo, tidak ada masalah," ujar Jihoon, meremas pelan bahu Jisoo. "Hanya saja, aku tidak suka jika kalian mulai belajar bersama dan saling kejar-kejaran nilai."
Sontak, Jisoo melebarkan matanya karena bingung. "Apa?"
Dan Jihoon kembali tersenyum. Bukan senyum simpul seperti tadi, ini adalah senyum yang selalu ia layangkan saat tengah mengancam Jeonghan yang lebih mementingkan 'gadis cantik kelas sebelah' ketimbang latihan Klub Vokal atau mengancam Seungcheol yang terus-terusan mengatainya 'kurang hormon pertumbuhan'.
"Anak yang sudah jenius dari lahir dan anak yang memiliki semangat belajar tinggi akan menjadi musuh utamaku jika mereka berpacaran, oke?"
Ada api membara di mata Jihoon, membuat Jisoo menelan ludah. "O-Oke?" maksud Jisoo adalah untuk bertanya balik, tetapi tampaknya Jihoon cukup puas dengan balasan Jisoo.
"Baguslah," katanya, melepas tangannya dari bahu Jisoo. "Aku senang melihat Jeon Wonwoo akhirnya bisa terpikat kepada seseorang, tapi aku juga tidak senang bahwa grafik nilainya terlalu mengerikan untuk bisa kukejar."
Tunggu.
Jadi semua pembicaraan Jihoon tadi hanya mengenai masalah persaingan nilai?
Ketika Jihoon mengibaskan tangannya pelan ke Jisoo sebagai tanda ia pergi, Jisoo hanya bisa mengerjapkan matanya—bingung akan kelakuan teman sekelasnya sekaligus Ketua Klub Vokal yang satu itu.
.
.
Hari ini hujan masih mendera, sama seperti kemarin. Itu membuat Jisoo menghela nafas, hujan di pertengahan musim panas terkadang bisa jadi sangat merepotkan.
Sebenarnya ia membawa payung, tetapi ia tidak mau dicecar oleh ibunya sesampainya dia di rumah karena basah kuyup. Payung kurang berfungsi melindungi tubuh jika hujannya sederas ini. Dan Jisoo tidak memiliki jas hujan.
Jadilah sekarang ia terjebak di depan gerbang sekolahnya, duduk manis menunggu Seungcheol yang tengah ada rapat singkat antar Klub Basket. Seungcheol membawa motor dan juga jas hujan lebih, membuat Jisoo meminta tolong pada sahabatnya yang menyebalkan itu—lagipula Seungcheol tidak akan keberatan.
Kalau boleh memilih, Jisoo sebenarnya ingin pulang bersama Jeonghan yang juga membawa motor ke sekolah—karena Jeonghan adalah pengemudi tahu rambu-rambu, tidak seperti Seungcheol yang menarik gasnya sampai 60 km/jam. Sayang sekali, Jeonghan tidak masuk sekolah hari ini karena terkena flu dan Jisoo harus menerima nasibnya untuk dibonceng pembalap MotoGP gadungan bernama Seungcheol.
Sekolah sudah lumayan sepi, membuat Jisoo menghela nafas berat. Ia meraih ponselnya dari saku celananya, berniat untuk mendengarkan musik sejenak. Jisoo kembali menghela nafas dan merapalkan rintihan pada Tuhan begitu menyadari ia lupa membawa earphone-nya.
"Jisoo."
Refleks, Jisoo mengangkat wajahnya dan menemukan Wonwoo berdiri di hadapannya berlatarkan hujan. Rambut dan seragam pemuda itu sedikit basah, Jisoo yakin Wonwoo sempat menerobos hujan sebentar.
"Hai, Wonwoo," Jisoo menggeser sedikit tubuhnya dari kursi panjang yang ia duduki, memberikan Wonwoo tempat untuk duduk. Akan tetapi, tampaknya Wonwoo tidak memedulikan isyarat tersebut. Pemuda itu tetap berdiri sambil menatap lurus Jisoo. "Tidak pulang?"
Ada jeda sejenak sebelum Wonwoo membuka mulutnya. "Menunggu Mingyu," jawabnya pendek. Jisoo pun ingat bahwa Mingyu—sahabat baik Wonwoo—merupakan anggota Klub Basket. "Kau menunggu Seungcheol?"
Jisoo mengerjapkan matanya, lalu mengangguk perlahan. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanya balik Jisoo, sedikit kaget mendengar pertanyaan dari Wonwoo.
"Kau tidak pernah pulang sendiri saat hujan. Jeonghan tidak masuk. Hanya Seungcheol yang bisa kau tunggu." Jawab Wonwoo, seolah-olah itu merupakan hal yang lumrah diketahui orang.
Namun tidak bagi Jisoo. Ia mengerutkan keningnya, agak bingung pada fakta bahwa Wonwoo bisa mengetahui kebiasannya. Mereka tidak pernah dekat sebelumnya, dan Wonwoo mengetahui bahwa Jisoo tidak pernah pulang sendiri saat hujan?
"Aku mengamati sekitar," Wonwoo kembali buka suara, menjawab pertanyaan di benak Jisoo. "Kau pasti bingung, mengapa aku bisa tahu." Tambah Wonwoo, melempar pandangannya ke tetesan air hujan.
Harus Jisoo akui, Wonwoo merupakan pengamat yang baik.
Selama beberapa waktu, tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Jisoo tahu Wonwoo kurang suka berkomunikasi dengan orang lain, dan Jisoo juga kurang pandai dalam mengawali percakapan. Hening adalah pilihan terbaik, sekalipun menciptakan suasana canggung di antara mereka. Meski begitu, Jisoo menyadari bahwa sedari tadi tatapan mata Wonwoo kembali terkunci ke dirinya, membuat Jisoo merona merah. Untunglah suhu udaranya dingin, Wonwoo mungkin mengira ia kedinginan.
"Jisoo."
Wonwoo kembali memanggil namanya, membuat Jisoo menoleh. "Ya?" sahut Jisoo pelan, tidak begitu yakin dengan tujuan Wonwoo memanggilnya kembali. Mungkin ia ingin pamit dan beranjak pergi?
Untuk kesekian kalinya, Jisoo kembali menyadari bahwa dilihat secara baik-baik, seorang Jeon Wonwoo benar-benar tampan. Bukan tampan sejenis Seungcheol, Junhui, atau Mingyu yang hanya dengan tersenyum pun dapat menakhlukan hati para gadis. Wonwoo tidak akan terlihat begitu tampan jika dilihat dari sudut pandang yang biasa saja. Auranya juga dingin, tetapi akan berubah menjadi hangat begitu menatap matanya.
Tangan Wonwoo terangkat satu, menyentuh pelan pipi Jisoo dengan jari telunjuknya. Jari Wonwoo hangat, lebih hangat dari suhu badan Jisoo sendiri. Jisoo tidak tahu apa yang sedang Wonwoo lakukan, tetapi sentuhan Wonwoo cukup untuk membuat Jisoo menggigit bibirnya.
"Aku sudah menyukaimu dari tahun lalu."
Satu kalimat dari Wonwoo cukup untuk membuat Jisoo menahan nafasnya.
Kejadian selanjutnya seperti terjadi dalam kejapan mata. Wonwoo mendekatkan wajahnya—rasanya Jisoo bisa menghitung jumlah bulu matanya, menubrukkan bibir mereka dengan pelan. Mata Wonwoo terpejam, tetapi Jisoo masih membuka lebar matanya dengan syok mendera.
Begitu Wonwoo memangut bibir bawahnya dengan sangat lembut, dari situlah Jisoo mulai memejamkan matanya dan mulai berhenti memikirkan apa yang tengah dilakukan pemuda di hadapannya.
Bibir Wonwoo sedikit terasa kasar di atas bibirnya, mungkin karena faktor bibir Jisoo yang terlalu lembut. Nafasnya seharum permen mint yang dijual di kantin, dan kulitnya mengeluarkan aroma maskulin yang Jisoo tahu dari merk parfum remaja laki-laki yang tengah digandrungi—tentu saja dengan sedikit campuran keringat.
Mendapati bahwa Wonwoo bisa menjadi sama normalnya seperti remaja seusianya, Jisoo pun membalas ciuman Wonwoo dengan lembut dan sebisanya.
Mata Jisoo kembali terbuka begitu menyadari jari-jari hangat Wonwoo menyentuh pinggangnya. Ia melepaskan tautan mereka, mengambil nafasnya yang terkuras lalu menatap Wonwoo yang ekspresi wajahnya tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Itu bukan ciuman pertama Jisoo, tetapi Wonwoo berhasil memberinya kesan yang… Aneh.
Wonwoo sempat ingin membuka mulutnya, sebelum ia kembali menutupnya.
"Maaf," ucap Wonwoo seketika, bangkit dari duduknya dan berdiri dengan kaku. "Lupakan yang telah terjadi."
Kemudian Wonwoo bergegas keluar dari gerbang sekolah, menerjang hujan begitu saja dan mengabaikan panggilan Mingyu dari koridor masuk gedung sekolahnya.
Bahu Jisoo ditepuk. Seungcheol sudah selesai dari urusan klub basketnya.
"Ji—?"
Tangan Seungcheol langsung menangkup kedua pipinya. "Kau kenapa?!" tanya Seungcheol, sedikit panik. "Jangan menangis!"
Jisoo meraba pipinya. Ada air mata di sana.
"…Aku bahkan tidak tahu mengapa aku menangis."
.
.
A/N : Agak sedikit drama di bagian ini—KARENA JISOO DENGAN RAMBUT PINK ADALAH SESUATU YANG SANGAT IMUT DAN MENGGODA IMAN DAN MINTA DI-RAPE/? DJDLSBX
Aju Nice is beyond my expectation. Gak mengira bahwa my future husband Lee 'Dino' Chan akan ngerap bareng Hansol, oh tidak OTP-ku #kebanyakanOTP. Gak mengira bahwa Jisoo akan terlihat semakin uke—sampai-sampai doi-ku bilang "Dia imut kayak kucing" ke Hong Joshua AAAA.
Melihat mereka comeback tanpa Wonwoo sedikit membuat hatiku patah/?, tapi tak apa. Aku sedih ngeliat foto teasernya Wonwoo, dia keliatan kurus banget)): Tapi gantengnya sama aja sih hahaha.
Oiya, selamat Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin ya (: Sudah berapa toples kue yang kalian habiskan? Aku sih sudah jalan 3 toples XD
Mind to review? :9
.
.
Bonus #1
Jeon_Wonwoo : Aku mengacaukannya. (21:48)
KMGyu97 : Mengacaukan apa, hyung? (21:50)
Jeon_Wonwoo : Hong Jisoo. Aku menyatakan perasaanku dan menciumnya, tadi. (21:53)
KMGyu97 : AKHIRNYAAA! (21:54)
KMGyu97 : BAGAIMANA REAKSINYA? ;A; (21:54)
Jeon_Wonwoo : Dia menangis. Aku sangat berengsek. (21:58)
KMGyu97 : … Hyung mau aku berbicara dengannya besok? (21:59)
Jeon_Wonwoo : Tidak perlu. Aku akan menyelesaikannya sendiri. (22:10)
.
.
Bonus #2
Wonwoo kembali menenggelamkan wajahnya ke bantal menyadari hujan masih belum berhenti turun sejak tadi.
Kepalanya terasa pening, tetapi bukan karena hujan-hujanan saat pulang sekolah. Ia memikirkan sesuatu, ralat, lebih tepatnya memikirkan seseorang.
Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya, mungkin sebutir parasetamol atau aspirin akan membantunya untuk meredakan pusing di kepalanya. Wonwoo berjalan gontai keluar dari kamarnya, menemukan seisi rumahnya gelap dengan pencahayaan hanya dari ruang makan.
Ia menghela nafas. Ini merupakan hal yang biasa.
Dia tinggal seorang diri, entah sejak kapan, ia pun tidak ingat. Dia bukan yatim-piatu dan hidup sebatang kara, tetapi terkadang ia merasa lebih baik jika seperti itu.
Orangtuanya sibuk dengan bisnis mereka, dan satu kakak perempuannya sudah tidak tinggal serumah dengan keluarganya lagi. Sebenarnya, Wonwoo tidak masalah jika ayahnya memiliki pekerjaan di luar negeri dan menjadikan ibunya sebagai sekretaris pribadi. Sama sekli tidak masalah, lagipula ia masih menikmati hasil dari jerih payah mereka.
Rumahnya sederhana, hanya terdiri dari satu lantai dengan loteng sebagai kamar dari Wonwoo. Rasanya memang sangat sepi, tetapi Wonwoo sudah biasa sehingga tidak ada lagi rasa takut. Tiga tahun lalu, orangtuanya memperkerjakan satu asisten rumah tangga untuk menemani Wonwoo—agar ia merasa tidak terlalu sendiri. Akan tetapi, sekarang Wonwoo sudah besar dan ia merasa tidak butuh asisten lagi.
Hidup sendiri itu menyenangkan. Sejak usia delapan tahun, Wonwoo sudah tahu cara mengolah telur menjadi berbagai macam makanan lezat dan bisa membuat sup sederhana. Dan saat usianya dua belas tahun, ia sudah bisa melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendirian.
Kini Wonwoo tengah membuka kulkasnya, mencari parasetamol atau aspirin yang bisa ia minum. Wonwoo adalah anak yang mandiri, ia selalu ingat suplai makanan di rumahnya dan tidak pernah kehabisan. Dia bukan orang yang teledor.
Dengan perlahan, Wonwoo menegak sebutir parasetamol—karena ia juga khawatir pusing di kepalanya akan menyebabkan demam. Ia tidak punya siapa-siapa untuk merawatnya saat sakit, hanya Mingyu saja yang biasanya berbaik hati menemaninya semalam penuh dengan sup buatan Nyonya Kim.
Ya, ia dan Mingyu bertetangga sejak dulu dan itulah yang membuat mereka akrab.
Wonwoo sendiri tahu bahwa Mingyu mempertaruhkan harga dirinya untuk berteman dengan Wonwoo. Tidak ada yang mau menjadi teman dari Jeon Wonwoo yang pendiam, aneh, tetapi cerdas. Dan Mingyu mengambil resiko itu, mengatakan pada Wonwoo bahwa dia akan belajar keras untuk bisa akselerasi satu tingkat agar ia bisa seangkatan dengan Wonwoo.
Mingyu menepati janjinya—begitu Wonwoo menyadari bahwa sahabatnya sejak kecil juga masuk ke SMA di tahun yang sama dengannya dan di sekolah yang sama pula, Wonwoo berulang kali mengucapkan terima kasih pada Mingyu.
Jeon Wonwoo begini bukan karena kemauannya. Mungkin dia menjadi pendiam dan aneh karena ia selalu sendiri di rumah, dan menjadi cerdas karena ia tidak melakukan apapun selain membaca buku atau bermain game di waktu senggang. Atau berkhayal.
Wonwoo mendudukan dirinya di meja makannya yang tanpa debu berkat usahanya untuk membersihkan seisi rumahnya hampir setiap hari. Meja makan itu jarang tersentuh selain untuk dibersihkan. Pencahayaan di sinilah yang paling terang.
Hong Jisoo.
Pemuda itu manis, juga menarik dan baik. Wonwoo sudah mempelajari profilnya sejak mereka pertama kali sekelas setahun yang lalu, dan saat itulah Wonwoo yakin ia mengalami hal yang bernama 'Cinta pada pandangan pertama'.
Tutur kata pemuda itu sehalus ekspresinya. Suaranya merdu dan matanya yang mirip kucing seolah berkilauan saat tertimpa cahaya matahari.
Wonwoo menyukainya, tetapi ia tahu bahwa Jisoo tidak pernah mempedulikannya. Jisoo hanya menganggapnya sebagai teman sekelas biasa, mereka hampir tidak pernah berbicara satu sama lain saat sedang menjalani piket bersama.
Bibir Wonwoo membentuk senyum lembut begitu mengingat Jisoo mulai menyadari bahwa dia ada. Dia mulai hadir di kehidupan Hong Jisoo, entah menjadi figuran keberapa, tetapi setidaknya ia ada.
Dan tanpa sadar, Wonwoo mulai terlelap dengan kepala beralaskan meja makan—kepalanya mendadak kembali pening saat mengingat pujaan hatinya menangis karenanya.