Cheers
Cast(s): Jeon Jungkook / Kim Taehyung
Rating: T. Karena saya polos.
First of all, I'd like to say sorry.
Taehyung duduk di antara sederet bangku yang kosong. Telinganya tersumpal earphone putih, mengabaikan suasana ruang tunggu Bandara Internasional Beijing yang ramai. Matanya begitu fokus memandang layar smartphone di genggamannya.
Di sana, Taehyung melihat Jungkook. Ia mengenakan jersey hitam dengan nama club kebanggaannya tertera di bagian depan, berjalan di pinggir lapangan. Dadanya bergerak naik turun secara teratur sementara tatapan matanya terpatri pada bola basket yang baru saja dipegang wasit.
Keringat memenuhi sekujur tubuhnya; beberapa tetesan jatuh dari ujung poninya, bicepnya tampak berkilau karena lampu di arena yang begitu benderang, pakaiannya tampak basah dan lengket, membentuk garis-garis tegas tubuh atletisnya.
Taehyung beberapa kali mendesahkan kekecewaan. Ia lebih banyak memekik pelan ketika Jungkook dan timnya berhasil mencetak angka, begitu ribut dengan pertandingan di belahan dunia yang lainnya hingga beberapa orang sempat meliriknya. Taehyung menggumamkan permohonan maaf. Ia diam beberapa detik lalu berusaha meredam ekspresi sukacitanya di detik selanjutnya.
Taehyung tanpa sadar menggigit ibu jarinya ketika peluit timeout ditiup. Kuarter ketiga baru berjalan enam menit dan selisih poin saat ini begitu tipis. Tim Jungkook unggul 5 angka dan Taehyung berharap pacarnya itu bisa terus mempertahankan keunggulan sampai akhir permainan.
"Come on, Babe. You can make it... You should make it...," gumamnya penuh harap dan resah. Repetitif dan refleks setiap kali Jungkook berada di area ring lawan. Satu setengah kuarter terasa seperti satu setengah tahun baginya hingga akhirnya suara peluit panjang yang menggema menandakan kemenangan bagi tim dukungannya, tim Jungkook.
Taehyung melonjak senang di tempat duduknya. Ia berusaha meredam pekikannya dan juga keinginan untuk memeluk siapapun di dekatnya. Earphone masih terpasang dan Taehyung mendengar suara komentator yang pecah dan menggema; suasana riuh rendah karena kemenangan tim Jungkook menjadikan kedudukan satu sama dengan tim lawan. Itu artinya masih ada satu pertandingan lagi. Besok, pertandingan penentuan. Win or die.
Smartphone di tangannya bergetar, mengambil alih sebagian besar perhatiannya ketika nama Jungkook tertera di layar. Taehyung berlari kecil ke toilet sebelum akhirnya menjawab panggilan di dering kelima.
"Jungkook!" Pekiknya begitu lepas karena toilet saat ini kosong.
'Hai,' suara di ujung telpon membuat senyuman Taehyung semakin mengembang. Ia bisa mendengar dengan jelas deru napasnya dan membayangkan betapa hangatnya Jungkook saat ini. Penuh keringat dan cengiran yang sumringah.
"Oh, astaga, Jungkook," Taehyung menggigit bibir. Ia perlu berpikir bagaimana cara mengekspresikan kegirangannya dengan kata-kata. "Kau tadi sangat, sangat keren."
Jungkook terkekeh. 'Kau menonton, Tae?'
"Tentu saja! Jimin menghubungkanku lewat Skype. Ia reporter eksklusifku malam ini," tuturnya begitu antusias.
'Besok pertandingan penentuan,' ujar Jungkook. Nada bicaranya jadi sedikit lebih halus. 'Kau akan menonton, kan?'
"Iya," jawab Taehyung. Ia membentuk pola abstrak di bagian wastafel yang berlapis marmer. "Aku pasti menonton."
'Seperti hari ini?'
Taehyung memandang refleksinya di cermin, mengulum senyum dan berusaha tidak terkikik. "Maaf," ucapnya pelan dengan penuh penyesalan.
'Jahat,' rajuk pemuda di ujung sambungan. Taehyung terkekeh, mengganggapnya sebagai gurauan meskipun ia bisa mendengar segores kekecewaan.
"Maafkan aku, Kook-ah. Aku terlanjur berjanji pada sepupuku jauh sebelum aku tau pertandingan ini."
Jungkook menghela napas. 'Yah. Lagi pula pertandinganku tidak bisa dibandingkan dengan grand opening perusahaan baru sep—'
"Jangan berbicara seperti itu," rengus Taehyung, buru-buru memotong perkataannya. "Aku selalu mendukungmu."
Tidak ada jawaban sama sekali.
"Jungkook-ah," gumamnya tepat ketika Jungkook memanggil namanya dengan nada lelah. "Istirahatlah," tukasnya. Ia mengetuk-ngetukkan kakinya karena perubahan suasana yang menjadi sedikit mellow. Taehyung berharap ia bisa ada di samping Jungkook saat ini.
Kalimat Jungkook selanjutnya tidak terdengar dengan jelas karena terkaburkan oleh suara ribut di ujung telpon. Taehyung mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Omong-omong, aku harus pergi sebentar. Daehyun Hyung mengajakku makan malam. Aku akan menghubungimu lagi, oke?"
Taehyung memutus sambungan telpon setelah ritual kalimat 'bye', 'love you', serta ciuman virtual yang membuat Taehyung melirik ke sekeliling. Merasa malu kalau-kalau ada orang yang mendengar. "Maafkan aku, Jungkook-ah," gumamnya di hadapan refleksi dirinya sembari merapikan helaian rambutnya. Ia mencuci tangannya lalu bergegas keluar area toilet. Tepat sebelum pengumuman mengenai boarding pesawat menuju Korea yang akan ditumpanginya berkumandang.
'Tae, pertandingannya akan dimulai setengah jam lagi.'
"Aku tau, Sayang," balas Taehyung. Ia meletakkannya ponselnya di tempat tidur dengan mode loudspeaker lalu berjalan ke lemari sebesar pintu gerbang istana. Taehyung tidak mendengar jawaban apa-apa dari ujung telpon. "Jungkook, kau masih di sana?"
'Yeah.'
"Um... Tidak pemanasan?" Taehyung membuka dua pintu lemari pakaiannya sekaligus. Melihat tumpukan baju-baju yang tampak seperti stok di gudang department store; karena banyaknya, tapi tidak untuk kerapiannya. Ia meringis. Ia harus menghentikan kebiasaan mengambil pakaian dengan serampangan.
'Sudah.'
"Baiklah. Aku akan tutup telponnya. Mungkin kau har-"
'Tidak. Jangan. Maksudku tunggu. Aku masih ingin mendengar suaramu.'
Taehyung menaikkan sebelah alisnya. "Nervous, Kook-ah?" Taehyung kembali mengambil ponselnya, mematikan loudspeaker, dan menempelkannya ke telinganya. Ia tidak bisa melihat Jungkook secara langsung tapi ia bisa merasakan kegugupan dari suaranya.
'Ini pertandingan ketiga dalam kurun waktu tiga hari, Hyung,' hela Jungkook. 'Aku... lelah. Dan tidak yakin bisa melakukannya sebaik kemarin.'
Taehyung merasa hatinya mencelos seketika. Tidak biasanya Jungkook memanggilnya demikian. Ia mencoba mengkonklusikan; Jungkook memakai panggilan honorik ketika ia tertekan, sedang berusaha menggoda, atau terlalu tertekan saat menggoda. Dan desah napas Jungkook cukup menunjukkan alasannya saat ini. "Aku yakin padamu, Jungkook-ah," ujarnya penuh support. "Aku pasti akan memelukmu saat kau memegang piala," Taehyung menaikkan nada suaranya, berusaha menularkan semangat pada pemuda di ujung koneksi.
'Seandainya aku bisa memelukmu sekarang.'
Taehyung tidak bisa menjawabnya. Rasanya lucu ketika suara seseorang yang terpaut belasan kilometer jauhnya bisa membuat telinganya terasa panas dan pipinya memerah. "Kau punya tim. Peluk mereka dulu," candanya, meskipun tidak lucu bagi Jungkook. Sekali lagi ia mendapatkan helaan napas gugup.
"TAEHYUNG~,"
Taehyung sontak menutup microphone ponselnya dengan telapak tangan. Ia melotot dan memasang raut jangan-bicara-dulu pada seseorang yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu kamarnya. Ia segera menutup mulut dengan kedua tangannya dan menaikkan sebelah alisnya.
"Uh, maaf, tadi kau bilang apa?" Tanya Taehyung dengan sedikit gusar.
'Apa aku tadi mendengar suara Jim-'
"Bukan, itu tadi suara burung pelikan yang baru saja dibeli Daehyun Hyung. Haha," dusta Taehyung. "Sepertinya kau harus pergi sekarang. Aku bisa mendengar suara pelatihmu dengan jelas, Sayang... Akutidakinginkaudimarahijadigoodluckloveyoubye," celotehnya kemudian buru-buru menutup telpon.
"Kau hampir saja menggagalkan kejutanku, Jimin!" Taehyung menjitak sahabatnya yang kini ikutan duduk di sudut tempat tidurnya.
"Sakit, sialan!" Keluh Jimin sambil mengusap pelipis kirinya. "Apa kau sudah siap?"
"Apa aku terlihat siap?" Tanya Taehyung balik seraya menunjuk penampakan dirinya dengan gesture mata serta tangannya; hanya mengenakan celana pendek biru juga kaus hitam kedodoran milik Jungkook.
"Astaga, Taehyung. Pertandingan mulai 20 menit lagi."
"Kau 'kan pembalap ulung," jawab Taehyung santai. Ia membuka pintu lemari pakaiannya sedikit, tidak mau Jimin melihat betapa berantakan isinya karena Taehyung yakin seratus satu persen Jimin akan mengomelinya lebih dari setengah jam.
"Kalau aku berubah pikiran, kau—"
"Kau tidak akan melakukannya," Taehyung meliriknya tajam dan Jimin hanya menghela napas.
"Aku tunggu di basement, oke?" Jimin bergegas bangkit. "Oh, dan jangan lupa tiket VIP-mu aku letakkan di meja tadi," celetuknya sebelum melenggang meninggalkan kamar tidur Taehyung.
"Meja mana?"
"Meja belajarmu, di atas tumpukan kertas coret—"
"Coretan mana?" Taehyung mengerutkan kening karena tidak mendapati lembaran yang tampak seperti tiket, atau bahkan kertas coret-coret yang disinggung Jimin. "ASTAGA!"
Jimin melongok dari balik daun pintu, memandangnya dengan sedikit was-was.
"AKU MEMBUANGNYA. TIGA JAM LALU TEPAT SEBELUM PETUGAS KEBERSIHAN MEMBAWA SAMPAH-SAMPAH... dari apartment ku..."
Di sini Taehyung duduk. Di barisan paling belakang, di antara suporter tim rivalnya Jungkook. Seluruh sudut tribun sudah penuh. Nyaris tidak ada tempat kosong. Jika ia terlambat lebih dari 15 menit mungkin Taehyung akan berakhir berdiri sampai akhir pertandingan.
Jimin menolak menemaninya dengan alasan 'aku membayar 10 kali lipat untuk bisa melihat pacarku dengan jelas, Taehyung. Dan aku juga sudah membayar untukmu. Aku tidak akan membayar tiket lagi hanya untuk jauh dari Yoongi Hyung.' Sebagaimananya pun ia merengek dan mengatakan Jimin egois, sebenarnya Taehyung sadar ialah yang egois. Taehyung benar-benar merutuki keteledorannya di saat seperti ini. Ia tidak bersorak sepanjang pertandingan karena gedung olah raga itu didominasi oleh teriakan supporter tim rival hingga akhir kuarter pertama. Skor sementara 2-25, ketertinggalan yang sangat jauh bagi tim Jungkook. Dan tidak ada yang lebih buruk baginya daripada melihat Jungkook dari kejauhan, di hadapan pelatihnya yang tampak emosi.
Taehyung memilih untuk pergi ke toilet. Ia sedang membasuh tangannya dengan wajah tertekuk kesal, ketika beberapa orang masuk ke ruangan itu.
"Hyung?" Tanya seseorang di sebelahnya. Taehyung terkejut dan hampir mencipratkan air padanya. "Aku kira Hyung di Beijing," sapanya ramah. Ia meletakkan ransel di atas wastafel kemudian mengeluarkan sepasang pakaian berwarna hitam yang cukup menarik perhatian Taehyung.
"Aku baru saja pulang tadi malam."
"Jungkook bilang kau tidak menonton pertandingannya. Aku juga tidak melihatmu. Hyung duduk di mana?" Pemuda itu masuk ke kabin paling ujung dengan sedikit tergesa-gesa.
"Aku duduk di sebelah...," Taehyung mencoba mengingat-ingat tempatnya tadi. "Barat," katanya ragu-ragu. Ia menggerak-gerakkan tangannya, mencoba membuat denah untuk dirinya sendiri.
"Bukankah itu area supporter GOO, Hyung?"
Taehyung tertawa kikuk. Yoogyeom benar; jadi setidaknya Taehyung juga tidak salah dalam memberi informasi. Ia sebenarnya tidak mengerti arah mata angin. Selama ini Jungkook selalu menjadi kompasnya, dalam konteks romantis dan juga realistis. "Ah, Yoogyeom," Taehyung mengobservasi pemuda yang baru saja keluar dari kabin toilet. Ia mengenakan kaus hitam dengan aksen emas dan merah di bagian lengan dan juga di bawah lambang 'All Star'. Celana panjang pensil dengan dua garis vertikal berwarna emas di bagian samping juga segaris merah yang melingkari paha sebelah kanannya tampak pas pada kaki jenjangnya. Yoogyeom sibuk memasukkan barang-barangnya kembali ke tas dan tidak menyadari perubahan raut Taehyung yang seketika jadi cerah.
"Aku duluan-"
"Eh, tunggu," Taehyung menarik ujung ranselnya. "Aku ingin ikut."
"Ke mana?"
"Cheers," jawab Taehyung, masih memegang ransel Yoogyeom. "Aku ingin memberi surprise untuk Jungkook tapi aku menggagalkannya dan berakhir di sudut paling terpencil dari tribun. Aku ingin bertemu Jungkook. Aku ingin memberinya support. Aku ingin melihatnya dari dekat," kicaunya dalam satu tarikan napas. "Kumohon, Yoogyeom-ah," pintanya. Ia meremas ujung kausnya ketika Yoogyeom hanya meresponnya dengan ekspresi bingung.
"Aku tidak—"
"Yoogyeom-ah, cepatlah!" Seseorang membuka pintu toilet. Atau lebih tepatnya membanting pintu hingga Taehyung sedikit terlonjak. Ia mengomelkan sesuatu yang Taehyung tidak mengerti pada Yoogyeom lalu menarik pergelangan tangannya tanpa memperdulikan Taehyung. Seolah-olah ia tidak ada.
Taehyung sendirian lagi. Ia berdecak kesal dan menghentak-hentakkan kakinya keluar toilet. Pulang dan berpura-pura kalau ia masih di Beijing mungkin ide yang bagus. Jungkook tidak akan mengetahuinya dan Taehyung tidak akan membuatnya kecewa. Ia berjalan ke pintu keluar yang kebetulan dekat dengan kamar kecil. Tangannya sudah menyentuh pintu kaca yang dingin ketika pergelangan tangannya yang lain digenggam oleh seseorang.
"Hyung, ayo ikut!"
Taehyung berdiri di belakang tubuh bongsor Yoogyeom. Ia merasakan suasana yang berbeda di pinggir lapangan. Selain ketegangan karena suasana pertandingan basket, Taehyung merasakan adrenalin mengalir deras di sepanjang pembuluh darahnya. Ia mengusap garis horizontal emas di ujung roknya yang terasa lebih halus daripada yang ia perkirakan. Badannya terasa panas sekaligus dingin. Mungkin arena croptop sleeveless yang mengekspos sejengkal area perutnya, juga rok super ketat yang hanya menutupi sepertiga pahanya. Taehyung berpikir, Jungkook mungkin akan memelototinya nanti. Dominasi warna hitam tampak kontras dengan kulitnya. Aksen warna emas dan merah di croptopnya lebih berkilau daripada pakaian Yoogyeom. Ia bahkan mengenakan lipstik semerah ceri.
Taehyung bukannya jarang berada di depan banyak orang. Ia menikmati perhatian audiens; ketika semua mata tertuju padanya dengan berbagai cara, ketika ia bisa memindai setiap ekspresi wajah yang mengelilinginya, hingga suara tepuk tangan membahana untuknya. Biasanya Taehyung menikmati setiap suasana di atas panggung. Tapi kali ini sepertinya ia merasakan demam panggung lagi.
"Hyung, apa kau yakin?" Pertanyaan Yoogyeom membuyarkan lamunan Taehyung. Ia menatapnya dengan penuh perhatian. Taehyung membalasnya senyum tipis disertai anggukan pelan. Tenggorokannya terasa kering seketika.
"Kau harus yakin, Kim Taehyung. Kau menggantikan flyer terbaik kami. She used to be the main of the show. Dan sekarang, kau menempati posisinya," Jackson memegang pundaknya dari belakang. Suaranya penuh determinasi, mengingatkan Taehyung pada alasan mengapa ia bisa berada di tengah-tengah barisan cheerleader ini. Salah satu flyer mereka kecelakaan saat hendak menuju lokasi. Taehyung tidak tau harus bersyukur atau merasa tidak enak. Detak jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Taehyung hanya mengangguk.
Lima menit selanjutnya, pertandingan kuarter kedua selesai. Taehyung sempat melirik papan LED di seberang lapangan tapi tidak ingat peraihan nilai sementara. Otaknya mengulang-ulang setiap detail koreografi yang dipelajarinya selama setengah jam yang lalu, efek lain dari demam panggungnya. Tangannya sedikit bergetar ketika ia berjalan menuju tengah lapangan, kepalanya tertunduk. Dia bahkan tidak berani melirik Jungkook sama sekali.
Jackson berdiri di samping Taehyung, memegang pundaknya kanannya. "Aku yakin kau pasti bisa, Tae. Kita tampil sebagai tim. Kau tidak sendirian," katanya dengan nada yang lebih halus. Cengkeraman di bahunya mengendur dan sudut bibirnya membentuk senyuman yang menghantarkan kepercayaan pada Taehyung. Ia kemudian berlari ke ujung barisan yang lain, mengambil posisi ketika musik mulai menggema.
Taehyung menghirup napas dalam dan mengangguk dengan lebih pasti. Ia harus fokus pada pertunjukannya, setidaknya dalam waktu lima menit ke depan.
Satu menit berlangsung, Taehyung bisa menikmati pertunjukannya. Ia bersorak, melompat, mengingat setiap koreografi, bahkan melakukan beberapa gerakan tumbling dasar dengan sempurna. Ya, setidaknya untuk pemula. Taehyung tidak begitu ingat nama dari setiap gerakan ataupun teknik yang dimainkannya. Yang pasti, ia selalu berada di puncak formasi, menampilkan senyum perseginya dengan penuh percaya diri. Taehyung bahkan takjub pada dirinya sendiri. Ia menyempatkan diri untuk menatap lurus ke arah Jungkook. Pacarnya itu menahan senyuman, memasang ekspresi beribu arti. Taehyung mengerling padanya.
"Taehyung, aku lupa satu formasi terakhir tadi," seru Jackson. Ia berdiri di belakang Taehyung, tangannya di pinggang Taehyung. Mereka berdiri di samping area bersama empat orang lain sementara cheerleader lainnya melakukan advance tumbling di tengah lapangan.
"APA?" Taehyung menoleh seketika padanya. Ia membelalakkan matanya ngeri.
"Jangan menatapku begitu," Taehyung tidak percaya Jackson masih sempat tergelak ketika nyawanya dipertaruhkan. "Kita akan membuat formasi pyramid tiga tingkat. Apa kau bisa back flip?"
"Aku tidak yakin."
"Kalau begitu forward flip saja." Taehyung masih menatapnya tak percaya dengan raut paling horor sepanjang hidupnya. "Dengarkan instruksiku dengan baik. Dan kau akan selamat," Jackson menepuk pinggulnya. "Go!"
Taehyung mungkin lupa semua teknik-teknik dasar yang baru saja dia hapalkan kalau saja Jackson tidak memberinya panduan dari bawah. Sialan, formasi ini penuh resiko dan terlalu berbahaya untuk orang yang baru saja bergabung dengan grup cheerleader, dan menjadi flyer dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Ia menggigit bibirnya, hampir menangis.
"Stiff, Tae! Balance! Forward flip dalam hitungan keempat!" Seru Jackson begitu nyaring.
Taehyung melihat penonton di hadapannya yang begitu ramai dan meriah di sela-sela hitungan yang singkat. Area pandangnya lebih luas ketika ia berada di atas dua bases sekaligus. Ia sebisa mungkin mengunci seluruh persendian kakinya, menahan napas, dan mencengkeram bahu bases di bawahnya. Sepasang matanya terpaku pada wajah Jungkook yang berubah cemas. Taehyung tersenyum gugup. Persetan dengan rasa takutnya. Ia harus menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.
"Empat!"
Dan Taehyung menekuk tubuhnya ke depan tanpa sempat berpikir apakah posisinya benar. Ia memeluk lututnya lalu kembali meluruskan badannya. Matanya terpejam, kakinya melemas, rongga dadanya terasa begitu nyeri, seolah-olah jantungnya masih tertinggal di atas.
"I got you!"
Taehyung membuka matanya seketika, melihat Jackson mengerling nakal padanya. Lengan-lengan yang melingkari bahu dan pinggangnya menahan tubuhnya beberapa sentimeter dari dinginnya lantai lapangan. Ia sendiri secara refleks berpegangan pada bahu kedua spotters yang menangkapnya. Jackson salah satunya. Butuh beberapa detik hingga Taehyung sadar, tubuhnya masih utuh dan jantungnya masih berdegup —kencang karena habis melompat dari ketinggian 3,5 meter lebih. "Well done, Tae!" Puji Jackson dengan sudut bibir yang terangkat membentuk seringai khas. Ia kemudian mendorong Taehyung pelan, membantunya berdiri.
Taehyung mencuri pandang ke arah Jungkook. "And I got a problem," desahnya. "Well done, Tae."
"Jadi bagaimana?" Jackson menyenggol lengan Taehyung.
"Apa?" Tanya Taehyung balik. Ia tidak melepaskan pandangan dari para dancer yang sedang tampil di tengah lapangan.
"Apa kau berminat menjadi flyer?"
Taehyung menoleh dan tanpa ragu menjawab, "Aku tidak mau mempertaruhkan tubuhku untuk dilempar-lempar orang lagi." Ia tersenyum masam yang justru malah mengundang tawa pemuda sampingnya.
"Jadi, tidak mau bergabung dengan tim cheers?"
"Entahlah."
"Tapi kau terlihat manis dengan itu." Jackson menunjuk pita merah di kepala Taehyung. Ia belum melepaskannya karena sejujurnya Taehyung juga menyukainya. Warnanya kontras dengan surai cookie dough Taehyung, juga tampak berkilau karena manik-manik kristalnya.
"Apa itu sebuah gombalan?" Taehyung menjulurkan lidahnya. "Terima kasih tapi aku berharap pacarku yang memujiku," guraunya.
"As your wish," bisik Jackson. Taehyung hanya membaca gerak mulutnya karena suaranya kalah dengan dentuman musik yang menggelora. Pemuda berambut blonde itu menaikkan alisnya. Tatapannya melewati Taehyung seolah memberi sinyal mengenai keberadaan sesuatu di belakangnya. Taehyung berbalik dan mendapati Jungkook berdiri di pinggir lapangan, memberinya isyarat untuk mendekat.
"Hai," sapa Taehyung canggung. Ia mengaitkan jari-jarinya di belakang punggung karena grogi.
Jungkook mengusap pipinya dengan lembut. Taehyung tidak berani menatapnya. Panik meliputi dirinya seketika. Meskipun saat ini breaktime kuarter ketiga, Jungkook harusnya tidak melakukan apapun yang hendak ia lakukan di tengah-tengah pertandingan. Tidak di hadapan ratusan penonton yang mungkin saja sebagian besar dari mereka adalah fans Jungkook.
"Ganti bajumu, Tae," Jungkook mencubit pipinya dengan gemas, menuai pekikan protes pacarnya itu.
"Ah-ah sakit!" Taehyung menepak pergelangan tangan Jungkook dan memberengut seketika. "Kau tidak suka, ya?" Tanyanya setengah berbisik. Ia tidak menyembunyikan intonasi kecewanya, toh suasana ribut di gedung olahraga itu mengaburkan ucapannya.
"Aku suka, kok," balas Jungkook cepat. Telapak tangannya meraih lekuk pinggang Taehyung yang ramping, memberinya remasan ringan sementara ibu jarinya mengusap permukaan kulitnya. Jungkook mencondongkan kepalanya hingga bibirnya bersentuhan dengan daun telinga Taehyung yang memerah. "Sangat suka, tapi-"
"Jangan–," Taehyung meremas jemarinya yang terjalin satu sama lain. "Jangan diteruskan," lirihnya. Gema teriakan penonton menahan rasionalitasnya tetap bekerja.
"Kau membuatku tidak fokus, Tae," bisikan Jungkook terdengar begitu jelas. Terselip nada geli yang membuat Taehyung mengutuk segala pemikirannya beberapa detik lalu.
"Sialan," Ia memukul dada Jungkook sembari tertawa, berusaha menyimpan rasa malunya dalam-dalam. Ia melepaskan jari-jari tangan Jungkook dari pinggangnya lalu menggenggamnya. "Berjanjilah padaku kau akan menang," pintanya. Taehyung mendongakkan wajahnya sehingga ia bisa memandang mata hazel Jungkook dan menyiratkan berbagai kata yang tak mampu diucapkannya.
"Tentu, Manis," Jungkook mengedipkan mata. Kecupan singkat mendarat di bibir Taehyung tepat sebelum tanda kuarter keempat dimulai. Jungkook berbalik lalu berlari ke tengah lapangan sementara Taehyung terpaku di tempatnya.
Taehyung tidak tau apa yang harus dilakukannya selain menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perasaan yang bercampur aduk memenuhi dadanya. Member tim cheers di hadapannya begitu ribut dengan canda serta siulan kurang ajar ketika Taehyung kembali ke tempat duduknya. Para penonton di tribun pun begitu riuh menyorakinya. Ada sebagian yang menatapnya tidak suka, sekelompok remaja perempuan yang ia yakini merupakan penggemar Jungkook. Bahkan para komentator pun sempat membeo tentang kapten tim basket bernomor punggung 20 yang mengecup seorang anggota pemandu soraknya. Taehyung ingin membenamkan wajahnya di dada Jungkook sekaligus memukulnya dengan sepatu cheers saat itu juga.
Timeout pertama di kuarter keempat diminta oleh pelatih tim Jungkook pada menit ketiga. Taehyung melirik sekilas, melihat pelatih tim tampak uring-uringan pada Jungkook. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ketika pelatih itu menatapnya tajam seolah ingin mengulitinya. Tapi setelah itu Taehyung melihat Jungkook terkikik di ujung lapangan, menatapnya geli.
Taehyung meremas ujung kaosnya dengan resah. Ia sudah mengganti croptop cheers dengan kaos merah yang ia kenakan sebelumnya, tapi masih mengenakan rok mini. Duduk di barisan paling belakang tim cheers karena masih merasa malu, apalagi dengan tulisan "JK's" berfont arial black dan size super besar di dadanya. Ia masih bisa merasakan tatapan mematikan para fans Jungkook dari kejauhan.
Menit-menit permainan selanjutnya terasa cepat karena rasa antusias Taehyung begitu membuncah. Tim Jungkook berkali-kali menjebol ring lawan dengan tembakan-tembakan yang mencengangkan. Menipiskan ketertinggalan bahkan hingga perolehan nilai sama. Taehyung merasa tenggorokannya sakit tapi ia tidak pernah berhenti bersorak setiap kali Jungkook mendapat kesempatan membawa bola.
Tiga puluh detik terakhir, Jungkook menerima passing dari Yoongi. Ia hampir kehilangan bola, tapi berhasil mengatasi situasi, dan mencetak three point yang sangat apik di sela-sela kondisi yang mendesak. Skor berubah menjadi 62-59 untuk tim Jungkook. Taehyung bisa melihat senyum puas tidak hanya terpampang pada wajah lelah Jungkook namun juga pada seluruh anggota tim, kru teknik, pelatih, bahkan para supporter di bangku penonton. Detik-detik selanjutnya mereka hanya perlu menjaga perolehan nilai hingga akhir pertandingan, bermain dengan lebih santai namun tetap waspada.
Lima detik terakhir, Jungkook berhasil melakukan rebound dan tepat ketika peluit panjang berbunyi, ia mencetak tambahan dua poin lagi untuk timnya. Euforia penonton semakin gegap gempita karenanya, sementara Jungkook justru limbung di dekat ring. Seluruh timnya berlari memeluknya, menggusak kepalanya, memukul bahunya. Taehyung menonton seluruh momen itu sambil tersenyum lembut. Memperhatikan setiap ekspresi kemenangan yang begitu berharga di tengah lapangan itu dan merasakan perasaan hangat menguar memenuhi dadanya. Ia berjalan menjauhi kerumunan tim cheerleader yang juga larut dalam euforia, berdiri sendirian di pinggir lapangan dengan tangan memeluk pinggangnya sendiri.
Jungkook muncul dari kerumunan pemain basket, menatap tepat ke arahnya. Pandangan mata mereka yang terkoneksi seolah mengalirkan sengatan listrik yang menyenangkan ke sekujur tubuh Taehyung. Ia berusaha mempertahankan senyumnya tetap tenang, menahan air mata haru agar tidak jatuh, karena Taehyung belum pernah mendapati Jungkook menatapnya sedemikian halus. Seharusnya ia yang bangga pada Jungkook, pada prestasinya yang teramat gemilang. Tapi Jungkook menatapnya sangat dalam, seolah-olah menyampaikan siratan bahwa ia jauh lebih berharga dari apapun.
Detik selanjutnya Jungkook berlari dan melompati papan sponsor yang menjadi pembatas antara lapangan dengan deretan kursi untuk cheerleader. Tawa Taehyung berderai begitu ia menghambur ke pelukan Jungkook. Kedua kakinya melingkari pinggang Jungkook, tangannya memeluk leher kekasihnya tanpa mempedulikan betapa berkeringatnya Jungkook. "Aku bangga padamu," Taehyung membenamkan wajahnya di bahu Jungkook ketika air matanya tak sanggup terbendung lagi. Bahunya sedikit terguncang dan Jungkook merengkuh tubuhnya dengan semakin erat, membiarkannya menyembunyikan isak tangisnya dalam dekapannya.
"Don't cry, Baby," Jungkook mengusap punggungnya.
"Aku benar-benar sangat, sangat bangga padamu, Jungkook," isaknya serak. "Aku membuang tiket VIP-ku tadi siang. Aku hampir saja pulang sebelum pertandingan berakhir. Aku hampir saja tidak mampu memenuhi janjiku."
"Aku tau. Dasar teledor," canda Jungkook yang membuat linangan air mata Taehyung semakin deras. Ia tergelak ringan. "Aku juga hampir kehilangan pertandingan ini, Tae," Jungkook mengecup bekas air mata yang tampak berkilau di pipinya. Ia memandang mata dan bibir Taehyung bergantian sementara Taehyung memilin meremas jerseynya seperti anak kecil yang meminta permen.
"Jungkook, jangan cium ak-"
Jungkook tidak mengindahkan kata-kata Taehyung, memotong perkataannya dengan sebuah ciuman telak. Giginya menarik bibir bawah Taehyung dengan gemas, mendapatkan gerutuan yang justru membuat senyumnya merekah begitu lebar. Taehyung meresponnya dengan sama antusiasnya, membuat Jungkook melupakan suasana kemenangannya dan tenggelam dalam ruang dan waktu yang ia khususkan hanya untuk Taehyung. Menciumnya dengan begitu sungguh, dengan gerakan lambat namun sarat akan emosi. Ketegangan karena pertandingannya, rasa lelah, serta rasa rindunya seolah menguap karena sentuhan Taehyung yang begitu halus dan manis.
"Uh, maaf tapi bisakah kalian...," desah Jimin di belakang punggung Jungkook. "Setidaknya jangan di sini."
Taehyung kemudian menarik diri. Napasnya masih cukup stabil. Ia terkikik sambil menyisir poni Jungkook yang hampir menusuk mata. Mengusap butiran keringat di keningnya lalu menciumnya sekali lagi. Menangkupkan kedua pipi Jungkook penuh kasih dan mesra.
"Come on, guys," erang Jimin.
"Dasar perusak momen. Sana, hampiri Yoongi Hyung," tangan Taehyung mengalung di leher Jungkook dengan manja ketika pacarnya itu menurunkannya lalu memutar badan menghadap Jimin.
Jimin memutar matanya malas. "Ada seseorang yang menunggumu di sana," Jimin menunjuk ke deretan bangku VIP di sudut lapangan yang lain, pada seseorang yang duduk sendirian dengan tenang. Ia melambai dan tersenyum singkat. Jimin membalasnya dengan membungkuk sopan. "Dia terlalu sungkan untuk mengusik kalian. Tapi kalian terlalu asyik dan terlalu lama," sindir Jimin. "Dia bilang dia tidak punya banyak waktu."
"Siapa dia?" Tanya Jungkook. Melirik lagi pada orang yang berpakaian kasual itu. Postur tubuhnya lumayan, wajahnya oke, dan ia memiliki senyum yang cukup menawan, kalau Jungkook boleh akui.
"Aku juga tidak tau pasti tapi ia dari club cheerleader tadi. Ia sepertinya ingin mer–"
"Tidak," sela Jungkook cepat. Ia menarik pinggang Taehyung dengan posesif ke arahnya. "Aku tidak suka Taehyung dipegang-pegang orang lain."
Hai haiii. Ada yang suka baca author's note nggak? Hehehe. Ini ff terpanjang sepanjang sejarah penulisan saya xD semoga menghibur fetishnya kak ichizenkaze. Cheerleader! Tae kakak... Buat kakak-kakak vottom juga. Maaf tapi ini nggak jelas banget. Nggak kayak prompt awal...
Semoga menghibur reader(s)-nim pula. Seperti biasa, saya sadar ff ini tidak sempurna, jadi saya berharap respon kritik dan sarannya. RnR juseyooo~ Happy reading everyone. Luv luv.
Oh, ya, tengkyu sekali buat respon Bad Day kemaren. Baru mau dibales reviewnya soalnya aku ngga bisa bales via smartphone dan sekaligus jarang pegang laptop. Huhu.