BTS's Fanfiction

.

Kim Namjoon | Kim Seokjin | Park Jimin | Min Yoongi

NamJin and MinYoon from llalallala

.

Warning: Some Namjoon x Yoongi in beginning but I swear to God nothings cute more than Namjin and MinYoon!

.

.

.

Your second love is the one who came along and saved your heart after it was smashed -Unknown


Namjoon yakin bahwa Min Yoongi akan membunuhnya kali ini.

"Jungkook, jangan terlalu lama di kamar mandi. Kita sudah terlambat!" Suara beratnya sudah menyapa udara pagi yang dingin. Tergesa-gesa dalam langkah yang ia ambil menuju dapur untuk menghangatkan sup ayam yang Yoongi kirimkan semalam.

Sedikit ragu, ia melirik jam dinding di ruang tengah. 07.50. Hell yeah, Min Yoongi benar-benar akan membunuhnya kali ini karena membuat anak lelaki mereka terlambat di hari pertamanya masuk sekolah dasar. Salahkan Jungkook yang dengan tampang memelas dan sleepy-nya selalu bergumam '5 menit lagi, dad' yang Namjoon dengan mudah turuti sampai lima kali. Lima dikali lima, hampir setengah jam waktu yang dibutuhkan Namjoon untuk akhirnya bisa menyeret si bocah kelinci ke kamar mandi. Mungkin nanti Namjoon akan menyalahkan Yoongi sedikit karena sudah menularkan penyakit malasnya sedikit-sedikit. Ah, juga untuk kejahatan terlalu cute di pagi hari hingga Namjoon kehilangan kuasa untuk marah. Yoongi dan Jungkook sama saja.

Jungkook keluar dua menit setelah teriakan Namjoon, tanpa mengenakan apapun hingga tetes-tetes air dari rambut hitamnya membasahi lantai yang ia lewati. "Aku sudah selesai."

Dan Namjoon menggeram lagi penuh frustasi saat menoleh dan mendapati keadaan Jungkook yang seperti itu. Ia tinggalkan mangkuk sup yang baru dikeluarkan dari microwave, menyambar handuk dekat kamar mandi, lalu kembali lagi ke arah Jungkook untuk melilitkan handuk tersebut ke tubuh sang anak.

"Bukankah sudah kubilang pakai handuk setelah selesai mandi, hmm?"

"Aku terburu-buru karena daddy memanggilku seperti tadi." Lengkap dengan bibirnya yang mengerucut.

Namjoon sudah kalah kalau begini caranya. Ia pernah membaca salah satu artikel di media online bahwa berbicara dengan nada tinggi atau berteriak pada anak bukanlah hal yang baik, sang anak bisa ketakutan dan yang terparah mendapat pembenaran untuk mempraktikannya di masa depan. Biar bagaimanapun caranya, Jungkook harus tumbuh menjadi orang baik yang berguna bagi sesama, itu adalah janji Namjoon dan Yoongi saat mendapatkannya. Meski keadaan keluarga mereka kini sudah berbeda dari sebelumnya.

"Maaf, daddy yang salah karena berteriak seperti itu." Handuk yang sedari tadi ia gosokan pelan ke rambut Jungkook untuk mengeringkannya, kini ia sampirkan di pundak sang anak, menenggelamkan tubuhnya dalam balutan handuk putih yang lembut. "Ayo, pakai seragammu lalu berangkat sekolah."

"Yey sekolah!"

Jika kebanyakan anak akan ketakutan di hari pertamanya masuk sekolah, tidak dengan Jungkook yang justru menunjukan antusias berlebihannya. Meninggalkan rasa takutnya pada Yoongi yang terlalu khawatir bagaimana Jungkook kecil mereka melewati hari-harinya di sekolah dengan orang-orang baru disekitar. Tapi malah ia tidak bisa ikut mengantar si anak di hari pertamanya karena urusan pekerjaan, jadilah Namjoon berjuang seorang diri pagi ini.

.

.

Setelah melewati beberapa rintangan lagi (seperti Namjoon yang kesulitan memakaikan seragam sekolah, atau Jungkook yang protes karena menu sarapan yang sama dengan makan malamnya semalam, atau kunci mobil yang Namjoon lupa letakkan dimana.), mereka akhirnya tiba di depan gerbang sekolah yang untungnya masih belum tertutup karena masih ada satu dua anak yang senasib dengan Jungkook.

"Alright, son. It's time to go~"

Jungkook, tanpa diduga langsung melompat turun sesaat setelah pintu mobil Namjoon buka. Masih dengan cengiran lebar yang menunjukkan gigi-gigi kelinci super menggemaskan kesukaan Yoongi. Tampak sangat bersemangat dengan langkah yang ia ambil lebar-lebar, ransel Iron Man yang selalu dipamerkannya pada Namjoon ikut bergerak-gerak bersama langkahnya.

Sepenuhnya melupakan Namjoon yang berdiri memperhatikannya di depan mobil. Baru saja Namjoon ingin berpikir bahwa ia mungkin memang bukan favorite-nya Jungkook hingga bisa di lupakan dengan mudah eksistensinya. Tapi saat sang anak berbalik dan berlari kembali ke arahnya, Namjoon menolak mentah-mentah pikirannya tadi.

Terlebih ketika Jungkook menerjangnya dengan pelukan, "Daddy, terimakasih sudah mengantarku. Love you."

Namjoon berlutut untuk menyamakan tinggi mereka, membalas erat pelukan yang diberikan. Ia bersumpah, untuk saat ini, di dunia ini, Jungkook adalah yang paling ia cintai.

"Daddy lebih mencintaimu, Kookie."

"Yoongi appa juga?"

"Tentu saja."

Tak perlu keraguan untuk pertanyaan Jungkook yang terakhir. Meski mereka telah berpisah, Namjoon tahu bahwa cinta Yoongi untuk Jungkook tak pernah berkurang sedikitpun. Memang tidak akan pernah ada alasan untuk tidak mencintai bocah kelinci hyperactive yang satu ini.

.

.

.

"Sialan!"

Mengumpat memang sepertinya sudah mendarah daging bagi Min Yoongi. Ia berani bersumpah bahwa ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai seorang produser musik, jadi umpatannya tidak ditujukan untuk apa yang ia sedang kerjakan. Lebih kepada keadaannya sekarang yang tak begitu ia sukai, sangat tidak Yoongi sukai lebih tepatnya.

Ia menenggelamkan wajahnya pada kedua tangan yang dilipat diatas meja, menyingkirkan sejenak mouse dan keyboard yang ada disana. Deadline memang akan menjadi alasan yang cocok untuk Yoongi jika ia mati muda. Semalaman ia tidak tidur, tapi hanya satu lagu yang berhasil ia selesaikan. Jadi saat ia menyadari jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi, Yoongi memutuskan berhenti sejenak berkutat dengan perangkat komputernya. Perutnya mulai berteriak minta diisi dan Yoongi terlalu malas untuk bergerak dari tempat duduknya saat ini.

"Yoongi hyung, kau belum mati kan?"

Mudah bagi Yoongi menebak si pemilik suara tanpa merubah posisi. Mengajukan pertanyaan yang tidak kalah sialannya dengan keadaan, disertai suara pintu yang tertutup pelan padahal Yoongi tidak mendengarnya terbuka tadi.

"Aku sedang dalam mood yang tidak bagus, Park. Menjauh dariku."

Kali ini sebuah dengusan yang terdengar dari si tamu tak diundang. Sebenarnya Yoongi sedikit berbohong disini, ia tidak sepenuhnya menginginkan tamunya untuk pergi.

Dan sang tamu sendiri sendiri sudah terlalu mengenal Yoongi untuk bisa mengartikan permintaan tersirat dari kalimat Yoongi tadi.

"Memang kapan kau dalam keadaan mood yang bagus, hyung?"

"Park Jimin, demi Tuhan.."

"Oke oke, aku akan diam. Tapi kau harus makan makanan yang kubawa." Park Jimin ini memang seringnya lebih mengerti Yoongi dibanding Yoongi-nya sendiri.

Tak ada jawaban berarti sebuah persetujuan. Jadi Jimin benar-benar diam kali ini, meletakkan bungkusan berisi jjangmyeon yang ia beli di jalan tadi. Memang bukan menu sarapan yang baik, tapi ia punya feeling bahwa Yoongi tidak akan memakan makanan apapun selain jjajangmyeon kesukaannya. Setelahnya Jimin kembali fokus pada eksistensi Yoongi yang masih tetap dalam posisi menenggelamkan wajah pada lipatan tangannya di meja.

Diawali dengan helaan nafas, Jimin mulai bersuara lagi. "Hyung.."

"Hmm." Yah setidaknya dapat dipastikan bahwa Yoongi sedang tidak tertidur.

"Ayo makan~"

Tapi dengan gerakan tiba-tiba Yoongi menegakkan posisi duduknya, seperti orang yang baru menyadari sesuatu. "Andwae." Gumamnya.

Kening Jimin berkerut menampilkan keheranan, meski tidak ada kalimat yang ia keluarkan untuk bertanya. Memberi waktu Yoongi dengan dirinya sendiri.

"Jiminnie, ambilkan ponselku disana."

Jari telunjuknya mengarah pada sudut meja di belakang Jimin, dilengkapi dengan tatapan yang menyuruh Jimin bergerak cepat menuruti perintahnya. Dan masih tanpa kata Jimin mengambilnya untuk langsung di berikan pada Yoongi. "Thanks."

"Namjoon hyung?" Jimin hanya menebak, meski sebenarnya ia sudah tahu bahwa ia benar.

Sejenak Yoongi sibuk dengan ponselnya, hingga akhirnya memutuskan menjawab pertanyaan Jimin dengan ponsel yang sudah menempel di telinga. "Ya. Kau tahu hari ini adalah hari pertama Jungkook sekolah kan? Namjoon yang mengantarnya, dan aku baru ingat belum mendapat kabar apapun darinya. Semoga si bodoh itu tidak membuat anakku terlambat."

Yoongi hanya melihat Jimin tersenyum penuh rasa pengertian, saat panggilannya mendapat jawaban dari sana.

"Yes, babe?"

Tuhan, tolong berikan Kim Namjoon pengganti Yoongi sesegera mungkin seperti Yoongi yang sudah menemukan Jimin sekarang.

"Please, Namjoon, aku sedang dalam mood buruk dan tidak ingin bercanda."

"Memang kapan kau punya mood yang baik, Min Yoongi?!"

Uh huh sepertinya Namjoon dan Jimin memang memiliki sedikit persamaan.

"Bagaimana Jungkook? Kau tidak membuatnya terlambatkan?"

"Hanya lima belas menit."

"Hanya?!" Yoongi memekik. Jimin yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan dari sisi Yoongi sampai terlonjak di tempat.

"Hyung, kau membuat keterlambatan lima belas menit terdengar sangat buruk."

"Kau membuat pencitraan anak kita buruk di hari pertamanya sekolah, bodoh!"

"Demi Tuhan, anak sekolah dasar mana yang memperhatikan pencitraan, hyung?!"

Perlahan tapi pasti Yoongi menenangkan diri dengan meraup udara di sekitar dan saat ia merasakan tangannya sudah berada dalam genggaman Jimin, rasa tenang itu datang sepenuhnya. Yoongi menemukan tatapan Jimin yang mengarah tepat kearahnya. Ada kekhawatiran disana, karena Jimin memang suka sekali mengkhawatirkan hal-hal kecil. "Aku tidak apa-apa, Jimin."

"Jimin disana?" Suara diseberang sana menyahut otomatis.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Kim Namjoon."

"Minta Jimin menciummu. Biasanya aku selalu berhasil meredakan amarahmu dengan cara itu, dulu."

Dulu. Namjoon memang suka sekali mengungkit masa lalu. Membuat perasaan bersalah Yoongi datang kembali tanpa diminta.

"Aku masih belum bisa bersama Jungkook hari ini, pekerjaanku belum selesai."

"Ya, aku tahu grup yang sedang kau tangani akan meluncurkan album baru. Jangan khawatir, Jungkook aman bersamaku. Aku ayahnya, hyung."

Yoongi tahu itu, sangat tahu. Tapi kekhawatirannya tetap saja ada. Selama ini mereka memang selalu bergantian untuk bisa bersama sang anak. Satu minggu dengan Yoongi dan minggu selanjutnya dengan Namjoon, begitu seterusnya. Tapi kali ini berbeda, ada momen penting hidup Jungkook yang Yoongi lewatkan. Ia sedikit tidak rela atau mungkin cemburu karena Namjoon ada dalam momen itu bersama Jungkook.

"Hanya jangan terlambat lagi saat menjemputnya nanti."

Jika Yoongi gila bekerja, Namjoon lebih gila lagi. Ia bisa tiga hari penuh mendekam dalam studio jika deadline lagu-lagu yang di tentukan sudah diujung tanduk. Jika bukan Yoongi yang mendrobak pintu studionya untuk membawakan makanan waktu itu, Namjoon benar-benar bisa mati kelaparan. Lalu Yoongi tidak yakin Namjoon akan ingat waktu untuk menjemput Jungkook saat sudah di dalam studio sialannya.

"Kau benar-benar meragukanku rupanya."

"Aku mengenalmu hampir sepuluh tahun, Namjoon, entah kenapa sedikit sekali kebaikanmu yang aku ingat."

"Hyung, itu jahat sekali."

Yoongi dibuat tertawa kali ini, melegakan untuk Jimin disana yang melihatnya. Sang pemuda berpikir kapan terakhir kali ia melihat Yoongi-nya tertawa seperti ini.

"Kau tahu aku hanya bercanda, bodoh. Berhenti mendramatisir."

Kebaikan Namjoon? Ada sangat banyak tentu saja, kalau tidak, Yoongi tidak akan pernah memutuskan untuk menikahinya dulu. Bahkan perceraian terjadi sama sekali bukan karena kesalahannya. Mereka hanya terlalu rumit untuk bisa terus bersama.

Setelah tawa yang juga terdengar dari sisi lain panggilan, Namjoon mulai bicara. "Aku tahu aku tahu. Sudah ya? Aku tiba-tiba saja mendapat inspirasi setelah di telepon olehmu."

"Itu artinya kau harus membagi royaltimu padaku jika lagumu nanti meledak di pasaran."

Namjoon tertawa lagi, "Apa? Memang royalti dari agensimu itu kecil ya? Lagi pula aku tidak punya kewajiban lagi menafkahimu, hyung."

Karena kewajibannya sekarang hanya Jungkook, Jungkook dan Jungkook.

"Sialan! Kututup teleponnya!"

"Baiklah, jangan lupa untuk makan, hyung."

"Hey seharusnya itu kalimatku untukmu!"

"Ah ya, aku lupa kau kan sudah punya Jimin yang memperhatikanmu. Jadi kutarik kembali kalimatku tadi."

Sialannya, wajah Yoongi memerah mendengar kalimat awal yang Namjoon ucapkan ditambah tatapan intens Jimin dihadapannya, berhasil membuat Yoongi bersikap layaknya anak remaja dengan cinta monyetnya.

"Berisik! Cepat temukan seseorang yang bisa memberimu perhatian lebih kalau begitu. Kau benar-benar butuh orang itu secepatnya."

Juga agar aku bisa berhenti merasa bersalah padamu, lanjutan kalimat yang hanya Yoongi ucapkan dalam hati.

Tanpa diduga terjadi keheningan setelah itu, Yoongi berpikir ia sudah salah bicara. Tapi saat Namjoon memberi jawabannya, sebuah senyum kelegaan bisa ia ukir sempurna.

"Aku akan segera menemukannya, hyung."

.

.

.

.

.

Kim Namjoon memang benar-benar gila dan mungkin dibunuh Yoongi adalah keinginan terpendamnya.

Kepanikannya bermula saat tanpa sengaja ia melihat jam yang tertera di sudut bawah monitornya, angka menunjukkan pukul tiga sore. Dan demi Tuhan Sang Maha Pengasih, Jungkook itu pulang jam satu siang. Ia terlambat dua jam! Bukan lagi lima belas menit yang ia sepelekan tadi pagi pada Yoongi.

Sekarang ia sedang memacu mobilnya dalam kecepatan di atas rata-rata, karena ditilang polisi atau mendapat kecelakaan dijalan adalah pilihan yang lebih baik ketimbang dibunuh Yoongi atau mendapati kabar bahwa bocah kelincinya diculik seseorang. Tidak tidak, orang bilang berpikirlah positif jika ingin hal positif yang akan terjadi. Tuhan, bahkan Namjoon tidak mengerti kenapa otaknya masih sempat membuat filosofi di tengah kepanikan seperti ini.

Dua puluh menit waktu yang ia butuhkan untuk bisa sampai di depan gerbang tempat terakhir kali ia dan Jungkook berpisah. Tidak mempedulikan mobilnya yang terparkir sembarangan, Namjoon segera keluar dari sana dan berlari memasuki gerbang. Ia menemukan seorang laki-laki yang dilihat dari seragamnya adalah petugas keamanan, "Permisi, apa masih ada murid di dalam?" Namjoon masih mencoba menunjukkan kesopanan ditengah kepanikannya.

"Maaf, tapi semua murid sudah pulang dan tidak ada siapapun di dalam."

Seketika Namjoon merasa kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya sendiri. Namun segera ingat peraturan sekolah yang di umumkan saat pendaftaran penerimaan murid baru.

"Bukankan sekolah akan menahan anak untuk pulang seorang diri dan membuatnya tetap berada di sekolah sampai walinya datang menjemput?!"

Namjoon tidak peduli dengan nada suaranya yang mulai meninggi. Ia sedang ketakutan setengah mati!

"Benar, dan hari ini tak ada murid yang di tahan karena semua walinya sudah menjemput."

Faktanya, tidak akan ada yang menjemput Jungkook selain dirinya.

Tidak mungkin Yoongi kan?

Terburu-buru Namjoon meraih ponsel di saku jaket kulitnya. Berharap saat ini Yoongi sedang mengerjainya dengan kedatangannya yang tiba-tiba menjemput Jungkook sepulang sekolah. Ia meninggalkan sang petugas keamanan untuk kembali berjalan menuju mobilnya sembari menempelkan ponsel ke telinga, jantungnya seolah meronta keluar saat menunggu Yoongi menjawab panggilannya.

"Hall.."

"Yoongi!"

"Ada apa?"

"Tolong katakan Jungkook ada bersamamu, tolong."

"Hell, Namjoon, apa yang terjadi?! Jungkook tidak bersamaku tentu saja!"

Kini Namjoon sungguh merasa tulang-tulang di kakinya menghilang, ia menyandarkan diri pada badan mobil miliknya. Nyaris menangis jika bisa, tapi Namjoon memilih untuk mengutuki dirinya sendiri saat ini.

"Kim Namjoon! Dimana Jungkook?!"

"Aku.. tidak tahu."

"Brengsek, Namjoon, kau memang brengsek! Dimana anakku?! God, aku akan mengirimmu ke neraka jika terjadi sesuatu dengannya! Namjoon jawab, dimana anakku?!"

Bahkan Yoongi tidak sudi menyangkutpautkan Namjoon dalam status kepemilikkan Jungkook. Namjoon.. saat ini benar-benar menyadari alasan semua orang pergi meninggalkannya. Ia ayah paling tidak berguna kan?

"Maaf, Yoongi, maafkan aku."

"Dammit! Oke, tenangkan dirimu. Sekarang katakan padaku dimana kau sekarang dan apa yang sebenarnya terjadi?"

Memang Yoongi yang harus bersikap tenang disini karena jika ia juga panik maka semuanya akan bertambah parah.

"Aku.. di depan sekolahnya. Aku terlambat dua jam menjemputnya dan, dan petugas keamanan bilang semua anak sudah pulang bersama walinya masing-masing. Yoongi.. siapa yang menjemput Jungkook?"

Airmata yang mulai turun sama sekali tidak Namjoon pedulikan, biarkan saja ia terlihat menyedihkan. Dunia memang pantas mengoloknya saat ini.

"Apa kau mengenal salah satu teman Jungkook disana?"

"Tidak. Kami tadi terlambat, jadi aku tidak sempat mengenal teman-temannya."

"Tenanglah, Namjoon, kumohon kau harus tenang dan berpikir jernih, oke? Aku dan Jimin akan segera kesana. Bisa kau lakukan sesuatu untukku?"

Meski tak ada jawaban, Yoongi tahu Namjoon di seberang sana sedang mengangguk mengiyakan.

"Baiklah, kau tahu ada taman di dekat sekolah? Bisa telusuri taman itu sementara aku menuju kesana? Jungkook kita sangat suka taman, bukan?"

Namjoon kembali pada dirinya sendiri setelah mendengarkan ucapan Yoongi dengan seksama. Ia menegakkan tubuhnya dan mulai berjalan menuju taman yang Yoongi maksud.

"Aku akan mencarinya disana. Thanks, hyung. Cepatlah datang."

Dan panggilan Namjoon putus secara sepihak. Ia sudah sadar dari serangan paniknya, sekaligus menyadari bahwa ia masih bergantung pada Yoongi dalam situasi terburuknya. Dan itu membuatnya merasa lebih buruk lagi.

Yang terpenting sekarang adalah menemukan Jungkook atau ia akan menyesali eksistensi kehidupannya di dunia.

.

.

.

.

.

Syukurlah taman yang Yoongi maksud tidak terlalu besar, berupa taman kecil pinggir jalan yang jarang dikunjungi orang karena minimnya fasilitas yang ada. Hanya tempat-tempat duduk panjang yang terbuat dari beton dengan warna abu-abunya juga pepohonan rindang yang hijau sebagai paru-paru kota. Gemerisik angin musim gugur yang menggesek dedaunan menyambut kedatangan Namjoon disana.

Namjoon melihat seseorang di ujung jalan setapak yang ia lewati, duduk di salah satu bangku taman yang ada. Tanpa pikir panjang, ia putuskan untuk menghampirinya. Mencari jawaban tentang keberadaan anak laki-laki berambut hitam dengan gigi kelinci yang mungkin pernah terlihat disekitarnya.

Langkahnya semakin cepat saat menyadari kalau laki-laki itu tidak sendiri, ada sosok yang lebih kecil berbaring di bangku dengan paha sang pemuda sebagai alas kepalanya. Namjoon kini berlari, mempercepat langkahnya berlomba dengan detakan jantungnya sendiri.

"God, please please please.." Gumamnya, berbagai doa yang ia ingat dirapalkan dalam hati.

Mereka saling berhadapan. Namjoon merasakan kekhawatirannya tadi meledak keluar bersama tangisnya. Ia berlutut, menarik tubuh Jungkook yang sedang berbaring-tertidur-untuk ia peluk erat-erat. Menghirup sisa aroma bedak yang tadi pagi ia balurkan keseluruh tubuh mungil itu. Ini Jungkook-nya, Jungkook-nya dan Yoongi. Si bocah kelinci yang memegang peran penting untuk hidup Kim Namjoon, dan Min Yoongi.

"Daddy?"

"Ya, sayang, ini daddy. Maafkan daddy meninggalkanmu terlalu lama, maaf."

Namjoon masih menangis disertai kelegaan luar biasa kali ini. Ia janji, akan melakukan apapun untuk membuat Jungkook tetap berada dalam pelukannya, memberikan sang anak perlindungan dari sialannya dunia.

"Emm, aku tidak marah padamu, daddy." Jujur, salah satu ketakutan Namjoon adalah Jungkook yang membencinya karena telah membuat dirinya sendirian selama dua jam lebih. Namjoon tahu Jungkook tak pernah suka ditinggal sendirian.

"Maaf, sepertinya saya telah membuat anda khawatir." Sebuah suara yang membuat Namjoon sadar sejak awal menemukan Jungkook anak itu memang tidak seorang diri. Ia tertidur dia atas paha seorang pria yang..

Tuhan, ini kah yang orang-orang sebut malaikat penjaga? Karena Namjoon dengar, anak kecil yang masih suci memiliki satu yang selalu ada di sisi mereka.

Namjoon tak bisa berkedip menatap satu sosok di belakang Jungkook yang masih dalam pelukannya. Rambutnya yang berwarna hitam pekat jatuh lembut menutupi keningnya, kulitnya putih tidak pucat seperti yang dimiliki Yoongi, dan setelan serba putih yang ia kenakan menjadi pembenaran sendiri soal teori malaikat penjaga yang ada dalam pikiran Namjoon.

"Saya benar-benar minta maaf, Tuan." Sang 'malaikat' kembali bersuara. Masih belum mampu menyadarkan Namjoon dari day dreamingnya.

Sampai Jungkook menarik diri dari pelukannya. Menatap heran sang daddy yang berubah seperti patung, lalu beralih menatap satu lagi orang dewasa disana yang sedang menundukkan kepala begitu dalam, Jungkook bertambah heran karena telinga Dokter Kim-begitu ia mengenalnya- yang mulai memerah.

"Daddy, jangan marahi Dokter Kim. Ia menjagaku selama daddy belum datang."

Suara Jungkook yang terdengar sedikit bergetar berhasil mengambalikan Namjoon pada dunia yang sesungguhnya. Sekali lagi ia menarik Jungkook untuk berada dalam lingkar tangannya.

"Tidak, Kookie, daddy tidak marah pada siapapun." Sebutan apa yang tadi Jungkook berikan untuk mal.. maksudnya laki-laki berjas putih di hadapannya ini? Dokter Kim? Baguslah, fakta ini membuat Namjoon tidak jadi gila karena memikirkan hal-hal yang terlalu mustahil.

"Tadi siang saat jam istirahat, saya sedang berjalan menuju taman ini dan baru menyadari bahwa Jungkook mengikuti saya untuk mengembalikan lollipop yang terjatuh dari saku jas saya. Saat itu saya mengenakan earphone jadi tidak mendengar panggilan-panggilan darinya dan tanpa sengaja membawanya ikut kesini. Ketika di tanya tentang kenapa ia seorang diri, ia menjawab kalau ayahnya terlambat menjemput. Lalu saya putuskan untuk menemaninya selama anda belum datang. Maaf atas kelancangan saya."

Dari panjangnya penjelasan yang ada, Namjoon tidak menemukan dimana letak kesalahan sang dokter hingga ia terus meminta maaf sejak awal. Justru Namjoon berpikir, dokter ini sudah berhasil menyelamatkan satu nyawa. Milik Kim Namjoon.

"Saya Kim Namjoon, dan anda sama sekali tidak lancang justru saya sangat berterimakasih karena telah menemani Jungkook, terimakasih banyak, Dokter Kim."

"Kim Seokjin. Anda bisa memanggil saya Seokjin, Tuan Kim."

Namjoon tersenyum, menampilkan dimple di pipi kanannya yang diam-diam langsung Seokjin kagumi detik ini juga. Jungkook sudah berada dalam gendongannya sekarang, mereka berdiri di hadapan Seokjin yang masih betah duduk di bangku. Atau sebenarnya senyum itu membuat kaki-kakinya terlalu lemas untuk berdiri.

"Kalau begitu, panggil aku Namjoon dan kau bisa berhenti bicara formal padaku, Jin."

Saat ini, di taman kecil pinggir jalan, diiringi gesekan dedaunan yang ditiup angin awal musim gugur, juga mata bulat Jungkook yang menatap keduanya bergantian tiap tiga detiknya, Tuhan mengabulkan doa Min Yoongi pagi tadi.

.

.

.

.

.

.

Continue?

.

.

.

.

.

.

.


Aduh tolong kena writer's block itu sangat amat tidak menyenangkan! Ide-ide menyerbu masuk ke kepalaku, tapi cuma ini yang bisa aku tuangkan dalam satu alur utuh T.T ah, RMusic akan ditunda dulu sepertinya.

Mana ini MinYoon shipper yang selalu bikin aku tertantang buat bikin ff mereka, mana mana mana? Hahahaha aku tunggu kehadiran kalian di kotak review! Namjin ship juga sini, ini ff chapter pertamaku tentang mereka jadi mohon dukungannya *bow*

Chapter depan baru akan dijelasin latar belakang hubungan Namjoon-Yoongi dengan lengkap. Oh please siapa yang bertanggungjawab soal aku yang cinta mati sama baby!Jungkook?!