HUNjustforHAN

Present

.

.

.

.

.

.

Shortfic ini mengandung sedikit unsur yang tidak-tidak.Mohon tidak membacanya disiang hari saat sedang menjalankan ibadah puasa.Itu dosa, batalin puasa. Kekeke

Udah diperingatin dari awal ya.

Shorfict ini dipublish karena ada sedikit pemberitahuan di ujung.

.

Untuk Mbah Exoshiship, ini persyaratannya udah gue penuhin ya..:D

Dan untuk Meriska_Lu dan Tika Mutiara, makasih udah merekomendasikan FF HUNjustforHAN di blog pribadi kalian ^^

.

.

.

.

.

.

.

18

.

Part 2

.

.

.

.

.

.

.

Sebenarnya Luhan bingung apa yang harus dikerjakannya ketika Sehun berada di kantor. Laki-laki itu akan terus sibuk sepanjang waktu meskipun disela-sela kosongnya yang sedikit, Sehun rutin menghubunginya. Terkadang juga sering Luhan dapati Sehun menelpon hanya untuk memintanya bercerita tentang apa yang sedang dia kerjakan sedangkan lelaki itu diam mendengarkan sambil menyedok makan siang ke mulutnya.

Dan sekarang Luhan berada dalam kebingungan itu. Puluhan game di smartphonenya sudah tidak memberikan efek penghibur yang cukup. Dia memutuskan memakai coat coklat tua selutut, dipadu dengan boots tinggi dan kacamata hitam sombong menukik dihidungnya.

Dalam laci kaca di kamar Sehun, ada susunan kunci yang berjejer rapi. Dahi Luhan berkerut, pipinya menggembung saat dia berpikir sesuatu yang tidak penting sebelum akhirnya memilih kunci nomor 2 dari sebelah kanan. Itu kunci LaFerrari merah Sehun. Alasan Luhan mengambilnya adalah karena hari ini dia berniat memakai tas warna merah, itu terasa sangat cocok dipikirannya meskipun sebenarnya tidak bermanfaat.

Kemudian setelah menyelipkan blackcard tanpa limit milik Sehun dalam dompet tangannya, Luhan melenggang pergi; menemui pakaian dan seluruh tetek bengek wanita yang sangat dia rindukan. Persiapan jalan-jalan yang Baekhyun dan Kyungsoo gemparkan di grup pribadi mereka sejak dua hari lalu.

.

.

Butuh tiga jam bagi Luhan demi memuaskan hati materialistisnya yang kelaparan, namun sekarang, dia berdiri melongo di depan meja kasir, melepas kacamata hitamnya dan nyaris menjatuhkan rahang.

Bagaimana caranya untuk membawa 22 paperbag ini sendirian ? Apa LaFerrarinya cukup ?

Ponselnya berbunyi. Luhan menengok ke kanan kiri dan menemukan satu sofa panjang di sebelah selatan. Dia bergegas kesana untuk meluruskan kakinya yang pegal sambil menjawab panggilan dari kekasihnya, tentu saja.

"Dimana?"

"Salah satu mall di Gangnam."

"Shopping ?"

"Hm.." jawabnya malas sebelum melirik jam di pergelangan tangannya dan terkejut. "Sudah jam 6 sore ya ? Aku tidak sadar. Pantas saja kakiku pegal sekali." Keluhnya.

"Dari suaramu sepertinya terjadi masalah. Kenapa ?"

Sepatu bootsnya dilepas. "Belanjaanku terlalu banyak hingga membuatku bingung bagaimana cara membawanya pulang. LaFerrarimu kurasa tidak punya cukup ruang tersisa dan aku…..sendirian."

Bukannya memberi solusi, Sehun malah menertawakannya.

"Kau beli Lingerie ?"

"Sehun, jangan bercanda. Aku sedang serius. Sembilan puluh delapan persen."

"Jawab saja."

Luhan mendengus, menendang boots tingginya sampai tumbang. "Ya! Aku beli! Baaaaaaaanyak sekali! Puas?"

"Oke. Karena kau punya Lingerie baru dalam paperbag mu, maka tunggu disana. Aku jemput."

"Mobilnya ?"

"Tinggalkan saja. Besok biar sekretarisku yang ambil."

.

.

Tas-tas belanja berserakan di lantai kamar sedangkan Luhan sudah terlentang ditempat tidur dengan boots masih bersarang dikakinya yang menjuntai. Sehun datang menyusul namun dia meletakkan tas-tas belanja milik kekasihnya dengan cara sedikit lebih rapi.

"Capek. Tanganku kebas. Aku butuh istirahat." Luhan bicara pada dirinya sendiri selagi Sehun menggantung jasnya digantungan pakaian dekat pintu. "juga tidur."

Sehun melipat lengan kemeja abu-abunya sebatas siku sambil berjalan mendekati Luhan sebelum akhirnya berjongkok. Dia tidak berkata apa-apa tapi tangannya bekerja membuka boots pacarnya.

"Hun.." panggil Luhan seraya bangkit, menjuntaikan kaki di depan Sehun yang berjongkok di lantai.

Sebelah alis Sehun naik, itu berarti dia mendengarkan.

"Baekhyun dan Kyungsoo bilang mereka akan pergi liburan ke Bali selama tiga hari. Akan ada sejenis Beach Party untuk merayakan persahabatan kami yang kelima tahun. Mereka mengajakku." Luhan menggigit bibir saat dia menyelesaikan kalimatnya dengan hati-hati.

Dahi Sehun berlipat, tanda dia berpikir. Luhan pesimis lelaki itu mengizinkannya jika dilihat dari seberapa kusam ekspresi wajah milik laki-laki itu. Tapi Party bersama sahabat akan menjadi hari yang sangat menyenangkan dan Luhan tidak ingin melewatkannya hanya dengan berdiam diri di rumah sambil menunggu Sehun pulang kerja.

"Kurasa tidak. Aku tidak mengizinkanmu."

Benarkan apa kata Luhan.

"Kenapa ?" tanyanya meminta alasan yang masuk akal.

"Terlalu banyak orang disana."

"Tentu saja di pantai banyak orang. Pikirkan Sehun, tidak mungkin para gadis berlibur ke kuburan." Luhan mulai gerah. "Masalahnya sekarang apa ? Jelaskan padaku dengan bahasa yang sedikit manusiawi."

Sehun berdiri, memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana.

"Setidaknya aku bisa menebak apa yang gadis-gadis lakukan saat berpesta di pantai."

Luhan belum merasa puas atas jawaban lelakinya. Dia beranjak dari tempat tidur, menyusul Sehun yang sedang menyibak gorden panjang di sisi kamar. Malam langit London tersaji dibaliknya, berwarna gelap dan pekat.

"Kau berpikiran buruk padaku ?" nada sedikit tinggi Luhan keluarkan. Dia baru berumur 20 tahun untuk dapat mengontrol emosi kegadisannya yang labil. "Aku datang kesana hanya pergi berlibur, bukan menjual diri!"

"Luhan!"

Matanya mulai berair karena suara Sehun setingkat lebih keras dari biasanya. Itu menakutkan. Namun Luhan juga menginginkan masa mudanya berlarian di pinggir pantai dan bermain bola voli sampai tubuhnya diselimuti pasir, bukannya menjadi gadis rumahan yang menunggu lelakinya pulang hingga berjamur.

Luhan sudah meninggalkan dunia gemerlapnya demi Sehun, dia hanya menginginkan tiga hari menikmati waktunya di alam bebas bersama Baekhyun dan Kyungsoo. Bahkan Sehun tidak mengizinkan itu ? Well, dia sangat keterlalun.

"Ini tidak seperti apa yang kukhayalkan sebelumnya. Aku bukan burung yang bisa kau masukkan dalam sangkar selama bertahun-tahun semau hatimu. Aku manusia! Seharusnya kau menghargai sedikit saja kehidupanku sebagai seorang wanita."

"Lebih dari apapun, Luhan! Aku menghargaimu!"

"Omong kosong!" Luhan mengalihkan pandangannya, sibuk mengurus napasnya yang berantakan; tidak kalah jauh dari milik Sehun. "Kau hanya membuatku menua sampai keriput dalam kamarmu."

"Kau boleh menikmati dunia, tapi nikmati semuanya saat aku berada disampingmu."

"Kapan ?!" matanya yang indah berubah nyalang, begitu pula dengan dagu lancipnya yang naik 15 derajat ke atas. "Besok ? atau besoknya lagi ? atau bertahun-tahun kemudian ? Yang kutemukan selama ini waktumu bahkan tidak cukup untuk menemaniku makan siang."

Dahi Sehun berkerut mendapati egoismemenyala hebat di atas kepala Luhan, sedangkan egoismenya sendiri melepuh dikulitnya. Dalam, dalam dan semakin dalam Sehun memasukkan Luhan ke matanya, saat itu pula dia menyadari jika mereka butuh bernapas dengan cara lebih normal. Menghirup udara banyak-banyak sampai melayang.

Sehun membuang wajah, "Dari awal sudah kuperingatkan padamu bahwa aku adalah jenis lelaki kuno yang tidak suka melihat kekasihku memamerkan tubuh dihadapan laki-laki lain. Dan yang akan kalian lakukan disana tidak lebih dari berjalan nyaris telanjang di sepanjang pantai dengan berlenggak seperti anjing betina yang ingin digagahi," katanya berlalu meninggalkan Luhan, meninggalkan sedikit rasa tersinggung pada gadisnya.

"Bisakah sekali saja tidak berpikiran buruk terhadapku ?"

"Aku tidak berpikiran buruk," sahut Sehun dibelakangnya, Luhan berbalik demi menemukan lelaki itu. Lalu saat dia melihat Sehun meraih sesuatu dari dalam salah satu paperpag, Luhan terdiam. "Karena aku selalu memiliki alasan yang logis setiap kali memperlakukanmu, selayaknya manusia, seperti apa yang kau harapkan," dia mengakhiri kalimatnya dengan melempar sepasang bikini merah ke lantai. Kunci mulut Luhan jatuh bersamaan dengan itu, dia tidak sanggup menyanggah lebih banyak. Sehun menemukan kebohongannya dalam 15 menit.

Ada jeda beberapa menit diantara mereka. Kepulan asap menutupi rasa sayang.

Sebagai pihak yang lebih dewasa, Sehun menyiram api egoismenya terlebih dulu.

"Kapan keberangkatannya ?"

Luhan menunduk saat mengatakan, "Besok," dengan nada lirih yang kentara. Dari ujung matanya dia bisa merasakan kepalan tangan Sehun menggantung disisi tubuh laki-laki itu.

"Pergilah."

"Hun…"

"Terserahmu, Luhan. Sepertinya hidupmu tersiksa berada disini."

Satu dentuman pintu yang Luhan dapatkan membuatnya murung selama memasukkan baju ke dalam koper. Sehun yang tidak suka dan Luhan yang merasa tidak senang. Mereka cocok dalam memperburuk kesalahpahaman ini.

.

.

.

Sisi ranjang yang kosong merupakan apa yang Luhan temukan dikeesokan hari. Koper di sudut ruangan, pernapasan dihidungnya macet memikirkan bagaimana semalam mereka tidur saling membelakangi dan berakhir dengan Luhan bangun sendirian.

Sedangkan Sehun sudah berada di balik meja makan, menikmati potongan roti tawar yang dilapisinya dengan slai kekecewaan dan segelas rasa bersalah bercampur dalam kental kopinya.

Keposesifan yang dia hamparkan tidak dapat menyambut dengan baik usia muda Luhan.

Sisa dua gigitan lagi untuk roti hampanya pagi ini sebelum wanita muda itu datang, meletakkan sesuatu di pinggir meja dan berharap Sehun melihatnya.

"Blackcard-mu, terimakasih," katanya.

Sehun perhatikan baik-baik wajah muram Luhan, tidak ada gemilang semangat di ujung bulu mata lentiknya. Biasanya dia menemukan pelangi melengkung di mata kekasihnya untuk dipuji.

Sehun menarik kursi, "duduk sebentar," pintanya pada Luhan yang langsung menurut. "Sudah pesan tiket ?"

Wanita itu hanya mengangguk sementara jemarinya bermain gelisah di pangkuannya.

"Jam berapa ?"

"4 sore," cicitnya terdengar seperti tikus terjepit. Kerongkongan Luhan kering seperti tidak pernah dibasahi air berabad-abad.

Roti itu dihabiskan oleh Sehun sebelum menyesap pahit kopinya dari dalam cangkir. "Aku tidak bisa mengantarmu ke Bandara."

"Tidak perlu. Baekhyun bilang dia akan menjemputku."

Anggukan kepala Sehun yang tidak merelakan. "Pastikan ponselmu tetap aktif."

"Hm."

Dia mengangsurkan kartunya pada Luhan, "Simpan. Aku tidak tau berguna atau tidak disana, tapi semoga saja iya. Teman-temanmu pasti belanja, begitu juga seharusnya kau." Lalu berdiri dan meraih jas-nya di sandaran kursi. "Aku harus pergi sekarang."

"Hun.." Luhan menahan tangan Sehun, tapi saat Sehun memperhatikan, Luhan tidak bicara apa-apa selain matanya yang berair.

"Nikmati liburanmu. Hubungi aku setelah tiba disana," ujar laki-laki itu meletakkan Luhan dalam sebuah pelukan. Gadisnya terisak. "Luhan, boleh aku menitip satu pesan ?"

Dia merasakan Luhan mengangguk dibahunya.

"Tubuhmu, jangan dipamerkan kumohon. Gunakan pakaian yang setidaknya tidak membuatku cemas."

Luhan menarik diri sepelan mungkin, dia punya banyak kalimat yang ingin dikatakan namun tidak ada yang keluar sebagus airmata dipipinya. Semakin Sehun menghapus tetes-tetes itu, maka semakin deras mereka berjatuhan.

"Jangan menangis, kau akan kesulitan bernapas."

Luhan mengusap wajahnya dengan cara kekanakan. Dia mulai berhenti, nyaris berhasil. Namun ketika Sehun menggusak pucuk kepalanya dan berkata "Cepat pulang," Luhan malah memeluk lelaki itu sampai dada lelakinya basah.

Dia ingin pergi bersama Sehun, tapi lelaki itu tidak punya cukup waktu.

.

.

.

Berhari-hari Sehun mempersiapkan semua ini. Mengurangi jatah tidurnya yang memang sedikit dan menikmati jam makannya dengan mie yang disiram air panas. Dia meringkas tugas-tugas kantor seluarbiasa mungkin untuk mendapatkan tiga hari ke depan. Seharusnya dimulai besok, itu kalau Luhan tidak mematahkannya di tengah jalan.

Dia terduduk di kursi kantor dengan satu keranjang rasa penat bertengger di atas pundaknya, pukul 8 malam dan Sehun belum beranjak pulang. Luhan berangkat tadi sore dengan satu pesan teks yang dia kirimkan, lalu posisi Sehun disini adalah lelaki yang menunggu kekasihnya mengirimkan satu pesan (lagi) yang berisi bahwa wanita itu mendarat dengan kondisi sehat dan tidak mendapatkan pelecehan apapun di dalam pesawat.

Untuk keempat kali Sehun melirik jam di pergelangan tangannya, dan untuk keempat kali pula dia mendesah. Yang terakhir merupakan yang paling panjang.

"Memangnya berapa lama perjalanan kesana ?" Kesalnya sendirian, meraih kunci mobil lalu memasukkan dua tiket pesawat ke dalam saku jas.

Hal yang tidak Sehun sukai, salah satunya saat membuka pintu apartemen dia tidak menemukan adanya aroma kehidupan lain disini. Hidup tanpa Luhan membuat jantungnya rusak. Akal gila Sehun mulai bertingkah, mengatakan bahwa dia harus memesan tiket ke Bali juga malam ini dan menyusul Luhan kesana meski hanya untuk tidur beberapa jam di samping wanita itu.

Pikirannya berputar ulang tentang satu kejadian.

Pernah sekali mereka berselisih pendapat nyaris seperti tadi tapi dengan masalah berbeda, yang berujung Luhan pulang ke apartemennya. Sehun pikir dia tidak sanggup mengurus pikiran sakit Luhan dan membiarkan Luhan pulang tidak akan memberikan efek apapun. Nyatanya, tepat pukul 2 malam Sehun meraih kunci mobil dan menginjak pedal gas mobil sekuat yang dia bisa.

Menyusul Luhan, menjemputnya lebih tepat. Dia tidak bisa tidur tanpa gadis itu disisinya.

Tapi keadaan kali ini berbeda, Sehun yakin Luhan tidak akan suka jika dia muncul tiba-tiba dan mengganggunya dengan acara "ayo pulang". Luhan benar, seharusnya dia menikmati masa mudanya yang hanya datang sekali dengan bersenang-senang, bukan dijadikan burung peliharaan oleh Sehun.

Sekali lagi Sehun mengecek notifikasi ponselnya yang masih kosong, setelah itu dia mendesis, melempar ponsel ke ranjang. Tangannya meraih tiket pesawat dari dalam saku jas-nya, itu adalah apa yang membuat Sehun sekecewa ini.

Seharusnya Luhan ada disini untuk mendengarkan Sehun bicara kalau dia akhirnya berhasil mendapatkan cuti tiga hari yang menakjubkan, dan Sehun sudah menyewa sebuah pulau pribadi untuk Luhan berjemur sampai puas. Namun kekeras kepalaan wanita itu membuat Sehun menelan semua ini mentah-mentah. Kerongkongannya mulai bermasalah.

Demi melunturkan seluruh kemelut dalam otaknya, Sehun pikir dia butuh air hangat dan waktu yang cukup untuk berendam. Jas-nya dilepas, begitu pula dengan kemeja dan jam tangan. Dia menjari rambutnya ke atas sebelum menarik pintu kamar mandi dan…

tersenyum tanpa sadar.

Dunianya…..

Luhan berada disana, berendam di tengah buih sambil menanggalkan satu persatu kelopak bunga mawar. Wajahnya cemberut melihat senyuman Sehun.

"Jangan tersenyum!"

Tapi Sehun terlanjur kehilangan kontrol di sudut bibirnya. Dia bergegas mendekati wanita itu lalu duduk dipinggiran bath up.

"Apa pesawatnya meledak ?"

"Candaanmu konyol, Sehun."

Dia terkekeh sebelum mencium kilat bibir kekasihnya dan memperoleh satu pukulan dari tangkai mawar yang sedang dipegang Luhan. Untungnya, tidak lagi berduri.

"Serius, sayang. Kenapa batal ?"

"Pantainya kering."

Lelucon Luhan yang membuat Sehun tertawa nyaring. Dia tidak mengeluarkan tawa senyaring itu jika tidak benar-benar bahagia.

"Kenapa tidak jadi pergi ?"

"Seseorang tidak bisa tidur tanpa aku disampingnya."

"Itu aku."

"Memang itu kau!. Aku tidak mau tau, pokoknya kau harus membelikanku kalung berlian sebagai ganti liburanku yang berantakan."

"Mau model yang seperti apa ?"

Luhan berdecih nyaring. "Inilah hal menyebalkan memiliki kekasih terlalu kaya. Dia tidak pernah menyusahkan otaknya berpikir dua kali untuk mengabulkan barang apapun yang kuminta."

Sehun mencubit hidung Luhan gemas sementara gadis itu memukul-mukulkan tangkai mawarnya berkali-kali (lagi) pada Sehun.

Tangan laki-laki itu masuk ke dalam air, mengambilnya dalam jumlah sedikit untuk disiramkan pada pundak kekasihnya. Awalnya Luhan membiarkan itu sebelum dia melotot saat dengan kesengajaan yang jelas Sehun menyentuh ujung dadanya.

"Oh Sehun, tanganmu."

"Maaf. Tidak sengaja." Kilahnya, mengendikkan bahu. Tapi kemudian Sehun mengulanginya lagi, lagi dan lagi.

Luhan mencubit perut Sehun, berharap laki-lakinya akan menghentikan kejahilannya itu. Namun sayangnya, Sehun punya akal yang benar-benar licik. Karena bukannya berhenti, dia malah berpura-pura kesakitan lalu dengan sengaja menjatuhkan diri ke dalam air untuk merengkuh tubuh telanjang kekasihnya yang licin.

Luhan berteriak sedangkan Sehun mulai mencumbuinya.

.

.

.

Selesai melilitkan handuk putih disekitar pinggang, Sehun memeriksa perutnya. Ada dua bekas keungungan yang diciptakan Luhan. Cubitannya sungguh terlatih.

Walaupun Sehun harus berperang dulu, tapi dia berhasil menjamah tubuh kekasihnya untuk satu kali. Setelah itu Luhan berlari mengakhiri mandinya seperti seekor kelinci betina dengan Sehun yang terkekeh di belakang.

Dia keluar dari kamar mandi, Luhan duduk diranjang dengan bathrobe putih dan sedang mengamati sesuatu.

"Hun.." panggilnya.

Sehun menyahut dengan gumaman.

"Ini apa ?" dia mengangkat dua buah kertas.

"Tiket pesawat."

Dahi Luhan mengkerut tidak senang. "Kau mau perjalanan bisnis lagi ? Meninggalkanku sendirian ? Wow! Hebat sekali!" rutuknya.

"Aku tidak akan menghabiskan banyak uang untuk menyewa sebuah pulau pribadi jika hanya ingin melakukan perjalanan bisnis." Sehun berjalan mendekat.

"Menyewa pulau pribadi ?"

Dia mengangguk, "Yap," berdiri dihadapan Luhan dengan wajah senang.

"Untuk ?"

"Menemanimu berjemur ? Atau melihatmu memamerkan bikini merah itu ? Atau untuk apapunlah."

"Maksudmu kita liburan ?" mata Luhan melebar penuh semangat. "Berdua ?" Apalagi saat Sehun menaikkan sebelah sudut bibirnya, Luhan melompat.

BRAK!

Mendorong tubuh Sehun ke lantai lalu mendudukinya.

"Wow!" Sehun berseru takjub, merasakan nyeri di punggung belakang dan hal mengagumkan tersaji dihadapannya. Luhan, yang dengan senang hati menarik tali bathrobenya dan berkedip jahil.

"Kau mau berapa sesi malam ini ?"

Pertanyaan luar biasa.

"Banyak. Tapi kita punya perjalanan sangat pagi besok."

"Kau bisa menggendongku kan ?"

Napas Sehun lepas ke udara dengan cara yang asik. Luhan di atas sedang bermain dengan gigitan dibibirnya dan itu nyaris membuat Sehun sinting.

"Jadi, Tuan Oh Sehun, berapa banyak untuk malam ini ?"

"5 sesi ?" sebelah alis Sehun terangkat.

Luhan semakin nakal.

"Akan kuberi dua kali lipat."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

END or NOT, I don't know.

Wkwkwkwk

.

.

.

.

.

.

Okkeh. Di atas udah diumumin ya kalo dilarang baca ff ini siang –siang bagi yg berpuasa.Walaupun adegan itunya gak jelas, tapi setidaknya ini udah menjerumus (?).kekekeke

Sebenernya gue merasa berdosa banget publish ini shortfict di bulan Puasa. Dosanya kita tanggung sama rata ya gengs.

.

.

Oh iya, kemaren ada yang nanya kenapa judulnya ini "18". Sebenernya gak ada alasan khusus sih, waktu mau publish gue baru inget kalo gue belum kasi shortfict ini judul -_- karena di dalam cerita Luhan ini Goddess of Earth yang ke-18, makanya gue ambil dari situ aja. Gak ada hubungannya sama umur sih.

.

.

Oke. Dengan dipublishnya ini shorfict, dengan ini juga gue mau bilang kalo gue mau istirahat dulu bentar dari dunia perfanfican.Real Life gue kadang gak seimbang, ditambah otak lagi mumet mau nulis.Gue juga butuh tidur karena sekarang jadwal tidur udah terganggu.Gak tau juga kapan gue bakalan balik, moga aja cepetan.Doain besok dapet inspirasi buat nulis sehingga besok juga gue bisa comeback. Kekeke

Sorry buat yang nunggu BLACK PIANO. Itu ff kan konfliknya lagi hanget-hangetnya dan gue malah stuck ditempat. Tapi daripada nanti kelanjutannya jadi ngawur karena gue lagi gak mood buat nulis, gue lebih milih istirahat dulu.Seperti DESIRE, dulu juga pernah stuck berbulan-bulan kan ?kayaknya itu udah jadi kebiasaan gue deh bikin cerita ngestuck ditengah jalan. Wkwkwkwkwk

Semoga masih ada yang bersedia nungguin HUNjustforHAN comeback ya ^^

.

.

AI LOP YU ALL :*