What If

Uchiha Sasuke x Haruno Sakura

Naruto ⓒ Masashi Kishimoto

Inspired by Otome Game My Forged Wedding Party ⓒ

Prologue

Story begin..

Aku berlari, terus berlari dengan linang air mata yang tak jua surut. Tak peduli berapa pasang mata menatapku aneh. Aku harus berlari, menjauh. Bahkan mungkin tak akan pernah kembali lagi.

Gesek stilettoku benar-benar memekik. Menukikㅡmenggema memenuhi gendang telinga. Beradu dengan trotoar, bersama pijak-pijak lain yang berlalu lalang. Aku tak peduli.

Kepalaku menunduk, membuat helai-helai pinkku menggantung bebas. Menutup sebagian wajahku seenaknyaㅡaku masih tak peduli.

Aku melangkah, terus, berlari tanpa kenal lelah. Bahkan kakiku sudah mati rasa sepertinya. Aku hanya ingin menjauh dari kenyataan menyakitkan yang tengah menawanku.

Hingga kudengar bunyi klakson yang ditekan kuat, aku masih berusaha berlari. Tubuhku terpental, terjerembab hingga sisi lain jalan. Aku meringis saat pipi kiriku terantuk ratusan kerikil. Perih menyebar hingga relung terdalam hatiku. Pandanganku menggelap.

"Ichiraku's Bar," aku mengeja huruf-huruf Hiragana yang terpampang jelas di banner. Seberkas senyum tercipta di bibirku.

Bangunan cukup besar dengan aksen khas tradisional Jepang terpampang di depan mataku. Aku benar-benar ingat ibu selalu memuji tempat ini. Yeah. Tempat yang tepat juga untuk memberi kejutan ayah dan ibu.

Kulenggangkan kaki jenjangku memasuki pintu. Jujur aku mengagumi detail awal yang tersaji di sini. Pintu geser bermotif bunga-bunga cantik nampak begitu menyegarkan. Dan kau tahu, ibuku selalu tepat menilai sesuatu.

Lonceng berbunyi cukup nyaringㅡyang kurasa inilah pertanda kapan ada pelanggan datang. Pilihan menarik. Aku menggenggam tali tas tanganku cukup erat. Mengedarkan pandang pada dinding-dinding bar. Warna kuning gading, benar-benar melambangkan ketenangan.

"Selamat datang," seorang pria paruh baya tersenyum manis. "Lewat sini," ucapnya sekali lagi kemudian aku mengangguk.

Aku duduk di meja dengan dua sofa membentuk pola setengah lingkaran. Memesan secangkir Melya hangat, aku meletakkan tas hitamku di atas meja. Aku masih tersenyum saat pria tadi menghilang di balik pintu dapur. Pukul dua lewat tiga menit. Aku tak pernah sebahagia ini seumur hidup.

Pria tadi kembali dengan pesananku. Semerbak wangi Melya langsung menusuk indera penciumanku dengan cepat. Aku baru sadar jika ada lima pria tepat di samping mejaku.

Kusesap sedikit kopi dengan campuran cokelat dan madu favoritku. Menutup mata, meresapi rasa yang benar-benar familiar. Aku bukan pecinta kopi, namun Melya adalah pengecualian. Seharusnya paman datang lima belas menit lalu. Aku tak pernah tahu pamanku juga mewarisi sifat kakek.

Lonceng kembali berbunyi sepuluh menit kemudian. Membuatku mengalihkan pandang. Kuharap pamanku tak melupakan janji pertemuan kami.

"Oh Sakura." Paman melambai-lambaikan tangannya. Aku meringis memutar mata. Demi YamanakaㅡpigㅡIno yang cantik, aku bukan gadis umur lima tahun lagi!

"Ah. Maaf. Aku terlambat setengah jam? Kau tahu, jalanan benar-benar macet. Seorang wanita hamil besar meminta pertolongan padaku, ia akan melahirkan dan jiwa sosialku tergerak untuk menolongnya," ia menghempas bobot tubuhnya ke kursi. Memasang wajah heroik dibuat-buat yang membuatku hampir jatuh terjungkal. Paman benar-benar tipikal pandai bercerita.

Aku tertawa aneh. Memutar mata sebelum menyahut. "Ya ya ya, lalu ibu itu melahirkan di mobil paman, anaknya kembar empat dan paman harus membantu mengeluarkannya? Oh paman, alasanmu benar-benar konyol."

Pamanku tertawa hambar. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. "He he he. Kau tahu alasannya."

Aku mendengus kasar. Kembali menyeruput Melya dalam diam. Karena paman sangat mirip dengan kakek, bisa kupastikan sebenarnya tadi ia lupa. Dan ya, datang terlambat adalah hal yang tak bisa beliau hindari. Aku tersenyum kecut.

Paman memanggil pria paruh baya itu lagi memesan secangkir kopi hitam. Manajer bar, tuan Killer Bee itulah namanya. Aku baru tahu beliau adalah wakil pamanku mengurus tempat ini. Paman mewarisi anak perusahaan kakek, jadi kurasa beliau lebih sering menghabiskan waktu di kantor dibanding mengurus tempat cantik ini.

Kuceritakan maksud kedatangan sesaat setelah tuan Bee meletakkan pesanan, menyusun rencana singkat bagaimana baiknya pertemuan antara aku, ibu, ayah juga tunanganku berjalan. Ia mengatakan bahwa aku boleh memakai ruang pribadinya di bar ini. Untuk itu, aku membungkuk beberapa kali sebagai ucapan terima kasih.

"Hei Teuchi, kau tak ingin memperkenalkan gadismu pada kami eh?" salah seorang dari lima pria tadi menepuk pundak paman. Ia pria berhoodie abu-abu bersurai blonde dengan senyum lebar. Aku berusaha mengimbangi senyum sepuluh jari yang ia ulas. "Hai, aku Namikaze Naruto, siapa namamu?" ia mengulurkan tangan, masih dengan senyum bodoh yang tetap terpetak.

"Haruno Sakura." Aku menerima uluran tangannya. Meringis kecil karena cengkeramannya terlalu kuat. Apa pria ini atlet bela diri?

"Jangan macam-macam dengan keponakanku. Dia sudah punya tunangan," peringat pamanku memutar dua bola mata. Naruto-san menarik tangannya. Aku berhutang terima kasih pada paman sekali lagi. Bersyukur tanganku tak jadi mengalami patah tulang. "Apa aku belum memperkenalkannya pada kalian?"

Lima pria tadi menggeleng cepat. Membuat paman mengangguk-anggukkan kepala. "Ah baiklah, namanya Haruno Sakura. Dia baru kembali ke Tokyo hari ini."

"Hmm... Haruno Sakura ya, nama yang cantik. Secantik orangnya," seorang berkemeja putih dengan dua kancing atasnya terbuka mengulas lengkung. Mengangkat tangan dari kursinya, ia mengerling singkat "Salam kenal. Aku Akasuna Sasori."

Aku mengangguk singkat menyahut layang tangannya. Sasori-san mengerling menata rambut merahnya, membuatnya semakin berantakan.

"Tch. Pandai menggombal." Pria dengan kaos hitam memutar mata. Warna rambutnya sama seperti Sasori-san, merah. Ia membenamkan kepalanya ke sofa. Membuatku harus memiringkan kepala untuk menatapnya. "Sabaku Gaara," ujarnya mengangkat sedikit kepala. Aku tersenyum hangat. Kami mengangguk bersama.

Seorang lain dengan kemeja kotak-kotak hijau menghampiriku. Menjabat tanganku, berkata bahwa namanya adalah Nara Shikamaru, salah satu relasi bisnis paman. Aku kembali mengangguk seraya tersenyum manis.

Kemudian mataku tertumbuk pada satu lagi pria yang belum memperkenalkan diri. Surai hitamnya benar-benar menutupi dahi. Juga mata tajam berwarna hitam, sangat kontras dengan kulit putih nyaris bak porselen yang ia miliki. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, ditambah rompi abu-abu juga dasi hitam terkalung di lehernya. Ia mempesona.

"Oi teme, kau belum memperkenalkan dirimu." Naruto-san melempar keripik kentang ke arah pria itu. Aku memutar mata jengah. Jika tidak ingin memperkenalkan diri ya sudah. Segera kualihkan pandang berpura tak terjadi hal aneh.

Kusesap kembali Melyaku dalam-dalam. Sadar atau tidak sedari tadi mataku tak berhenti menatapnya. Ini benar-benar kacau. Mengapa pesona pria tampan itu tak bisa kuhindari?

Ponselku berdering sesaat setelah pria terakhir tadi menyebutkan nama. Kubungkukkan badan berpamit menerima panggilan. Nama kekasihku terpampang di layar ponsel. Kugeser tombol hijau sembari tersenyum. "Apa kau sudah bersiap-siap? Masih ada waktu tiga jam lagi sebelum ayah dan ibuku datang. Kau tak harus mengkhawatirkan penampilan, aku yakin orangtuaku tak akan menghakimimu. Kau tampan pasti mereka akan langsung menyukaimu." Aku terlalu bahagia hingga tak sadar bicara begitu panjang.

Aku bisa mendengar helaan nafas dari seberang. Dahiku mengerut tak mengerti. Bukankah semalam ia bersemangat untuk hari ini? Jadi... adakah yang salah? "Maaf Sakura kita putus saja."

"Aku berkencan dengan gadis lain. Aku... tidak sungguh-sungguh mencintaimu Sakura. Maaf." Bagai tertikam sembilu hatiku mencelos. Serasa ada bara api menghujam tepat, mengoyak seluruh sel pembentuk organ terpentingku. Air mataku mengalir cepat tanpa kuperintah. Ia menyudahi panggilannya tanpa memberiku kesempatan menjawab.

Kepalaku terasa begitu pening saat aku membuka mata. Sinar oranye menyapa iris cokelatku. Aku memijat pelipis, mencoba mereda pusing yang terus bersarang.

"Sakura? Apa kau baik-baik saja?" Aku melihat Gaara-san serta Shikamaru-san berlutut mengelilingiku. Kuanggukkan kepala singkat. Mencoba duduk dengan kondisi pusing separah ini. Aku meringis.

Shikamaru-san membantuku berdiri sejurus kemudian. Melingkupkan tangan kekarnya di sekeliling pundakku. Menuntunku menjauh dari seberang jalan masih dengan luka sayat ringan di pipi kiri. Ini benar-benar memalukan.

Aku masih bergeming. Tidak menyahut apa pun pertanyaan yang mereka layangkan. Pikiranku terlalu sibuk memikirkan segala jawaban yang belum jua mampu kupecahkan.

Satu jam lalu, ya. Utakataㅡkekasihkuㅡmemutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Itu berarti hanya tersisa waktu dua jam sebelum kedua orang tuaku datang ke bar paman. Aku kembali menangis dalam diam, hanya derai menganak sungai yang mampu menjelaskan segala kerapuhan yang kujelang.

Aku menghambur ke pelukan paman sesaat setelah kami sampai kembali di bar. Menumpahkan tangis, menyampaikan keluh serta kesah yang kupunya. Aku tak peduli jika kelima pria itu memandang iba.

Aku masih terus menangis. Bagaimana aku bisa tenang jika ini menyangkut masa depanku? Dulu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tak mengecewakan ayah dan ibu, namun aku melanggarnya. Aku telah mengacaukan hari ini. Hari yang seharusnya jadi hari terbaik untukku.

###

Pukul enam sore tepat ayah dan ibuku datang. Tangisku sudah berhenti namun tidak berlaku untuk batinku. Aku masih teriris bahkan ketika keduanya memberikan rengkuh hangat padaku, aku hanya mampu tersenyum palsu.

Ayah menepuk pucuk kepalaku persis seperti ketika aku berumur lima tahun. Aku tertawa hambar menanggapi pelakuan beliau. Tuhan, bagaimana caraku menjelaskan pada mereka? Melihat mereka tersenyum hangat membuat lukaku semakin menganga.

"Ah ya, mana tunanganmu sayang? Apa ia telat?" ibuku berujar dengan seulas senyum. Melirik ayah dengan ekor matanya seraya mengerling jahil.

"Ya. Ayah ingin tahu pria seperti apa yang telah menggantikan posisi ayah. Jika ia tak tampan, ayah tak akan memberimu ijin." Keduanya tertawa bahagia. Lagi-lagi aku hanya mampu meringis, menyahut dengan tawa yang benar-benar hambar.

"Umm...," aku menggantungkan kalimat. Menautkan jemari, menekannya kuat-kuat. Ayah dan ibu mengalihkan atensi penuh padaku. Oh Tuhan, apa yang harus kuperbuat?

Aku masih tak melepaskan cengkeraman kuat di jemari. Dua irisku bergerak-gerak gelisah. Aku menghembus kasar napas. Bisa kudengar pintu belakangku digeser pelan. Juga suara berat seakan meruntuhkan duniaku saat ini juga. "Maaf aku terlambat."

To Be Continued..

A/N:

Haii ^^ salam kenal minna-san ;) aku author baru di fandom SasuSaku ^^ semoga suka yah dengan MC pertamaku di fandom ini. Jangan lupa reviewnya ^^

.

.

.

DheaNara Elinea