"Semua orang itu penjahat, Min ...

Orang baik itu tidak ada ...

Jadi kau tidak usah takut berbuat buruk ...

Semua orang toh begitu ...

Jika seseorang ingin membunuh ...

Ya sudah, bunuh saja."

.

.

.

.

"Ah."

Kepalanya pening bukan main.

Tubuhnya dikelubungi selimut hijau, rambutnya basah oleh keringat. Agak jauh di kanannya, pintu kamar terbuka sedikit, sehingga cahaya pagi ikut melesak masuk ke dalam diam-diam, mengikuti matahari yang kian tinggi.

Ketika ia hendak mendudukkan diri, barulah tersadar dirinya, tangan kanan itu terbelenggu oleh rantai pada tiang penyangga tempat tidur, terjerat sedemikian kuat, hingga ia bisa merasakan ngilu di pergelangan tangannya.

"Oh," sepasang mata mengintip lewat celah pintu, selagi ia berusaha menarik dan menghentakkan rantai di tangannya. "Akhirnya bangun juga, kau tidur mati, kurasa."

"Lepaskan."

"Bodoh ya aku?" dihentakkan sebuah nampan dengan roti dan air putih. Matanya menyipit, tiada suka dengan ekspresi yang terekspos di depannya, sehingga tangannya mendorong wajah laki-laki bersurai hitam di depannya. "Jangan tunjukkan wajah menjijikkan seperti itu."

"Kau membun-"

"Yaya, aku membunuh orang," dikibaskan tangannya, tidak ingin mendengarkan lebih banyak, ia tahu sendiri seperti apa yang akan terdengar berikutnya. "Lalu? Kau mau merengek pada pacarmu untuk memenjarakanku?"

Terdiam.

Pacarnya. Kim Seokjin.

Ah, ya. Si Penembak itu, bukankah itu Seokjin.

"Jimin," laki-laki itu memanggil, sedang yang dipanggil tanpa sadar menolehkan kepala, menatap ragu pada manik sayu di depannya. "Byun Baekhyun bukan orang ba-"

"Aku tahu, Jungkook sudah bilang," potongnya, menunduk sedikit. Ia tiba-tiba ingin bertemu Jungkook saja. Ia ketakutan dengan laki-laki di depannya ini, mengingatkannya pada senjata, Seokjin, dan pembunuhan.

Yoongi berdeham, tidak berbicara-bicara, ia berdiri malas, mengambil ponsel dan melenggang pergi dari kamarnya. Berkata dengan jengah, "kau tidak akan berguna hari ini. Makanlah. Dan jangan-jangan kau coba kabur."

Sembari ia merapatkan pintu, ia berbisik dengan sebuah kengerian dalam nadanya. "Akan terasa tidak menyenangkan jika menghancurkan kepalamu sekarang."

Jimin berjengit, merasa lebih baik dalam kesendirian. Kemudian menatap roti di sebelahnya, merasa buruk disuguhi makanan seperti tawanan. Kembali ia menarik tangannya, dan hanya merasakan ngilu di dua detik berikutnya.

"Hyung," helanya, menatap pada tirai yang tertutup, pada celah yang terlihat. Pada kekosongan yang menemaninya. "Tolong."

"Hyung," menjerit dengan suaranya yang ditahan-tahan. Mendekam suaranya dengan melipat kaki dan menyembunyikan wajah di balik lutut. Terisak.

"Tolong."

.

.

.

.

"Tolong aku, Namjoon!"

"Tidak, kau baru saja membunuh orang penting dari perusahaan kita, bagaimana mungkin aku menyembunyikannya dari Hoseok?!"

Seokjin bersidekap. Bahunya merosot turun. Bayangan kepala berdarah dan jeritan-jeritan melesak masuk dalam kesunyian, seolah saat itu, ia masih memegang senjatanya, masih bersidekap bersama peluhnya.

"Tolonglah," Seokjin memelaskan nada suaranya, terdengar seperti hendak menangis saat itu juga, hendak marah dan hendak menembaki pada saat yang sama. Ia tiada bisa mengontrolkan ekspresinya yang bersimbahan dengan amarah yang melejit-lejit, dan bukannya ia menyukai Byun Baekhyun atau apa, tapi bayangan itu sendiri menyiksa kepalanya seperti rimbunan duri.

Namjoon menghela napas, rasanya terdengar terpaksa, terdengar berat, dan Seokjin tahu itu. Ia tahu bahwa keberadaannya di ruangan itu sebenarnya telah membuat hati laki-laki itu timpang sebelah. Bukan kebiasaan Seokjin jika ia senang merepotkan orang.

"Apa maumu?"

"Sembunyikan semuanya dari Hoseok sampai Jimin kembali," semburnya, berkata dengan pelan-pelan, menggebu, seolah ia tidak ingin telingan mencuri dengarnya. "Aku akan berusaha bekerja sendiri, tapi kumohon, jangan halangi aku."

Seokjin menghela sebentar sebelum ia melanjutkan, matanya menyipit oleh rasa ingin tahu, menahankan curiga dalam dasar hatinya. "Kau tahu semua ini, dari mana?"

"Senapanmu hilang, aku tahu, kau baru saja membunuh orang, dan siapa pun orang yang kau bunuh, itu bukan yang diperintahkan Hoseok," Namjoon menatap balas dengan sebuah bilahan iris tajam, dan Seokjin mengalah, ia tidak pernah bisa ditatap seperti itu oleh temannya itu. "Aku tahu semua orang yang akan mati di tangannya, dan mustahil ia membunuh anggota kesayangan perusahaan."

Saat itu Seokjin mengingat ketergesaannya, mengambil senapan sembarangan di lemari penyimpanan di gudang bawah gedung itu. Mungkin Namjoon memeriksanya. Tidak tahu, tidak penting. Ia pentingkan dalam masanya itu ialah eksistensi Jimin yang belum muncul juga itu.

"Aku akan berusaha bertindak diam-diam."

"Kalau kau butuh bantuanku, aku tidak keberatan."

"Simpan simpatimu, Namjoon. Aku tahu kau tak akan menyimpang dari apa yang dikatakan Hoseok."

Namjoon mengendik, kemudian berjalan keluar dari ruangan itu dengan sebulah kilatan yang berhentak menuruti suasana hatinya yang selalu waspada bahkan pada udara ia bernapas. Ia menoleh sebelum benar-benar pergi. "Aku sungguh-sungguh."

.

.

.

.

.

Jimin mengerang. "Sial."

Rantai di yang terjulur itu mempertemukan takupan dua kutub berbeda dari borgol di tangannya. Ia menghela, sudah lelah dengan semuanya, ia hampir melepaskan jarum di dalam lubang kuncian, ia hampir merebahkan dirinya dan memilih memakan rotinya, hampir.

"Aku akan membunuhmu Min Yoongi," suaranya tenggelam, namun ia tahu ia tak akan melakukannya, ia tak akan membunuh siapa-siapa.

Itulah yang diingatnya semenjak letusan peluru saat ia berumur tujuh tahun lalu. Dan kepalanya jadi tambah sakit, ia membengkokkan jarum itu lagi, semakin dalam, dan akhirnya benar-benar menyerah.

"Lelah?"

Terdengar lagi, suara itu merasuk seakan berada tepat di sebelahnya, dan Jimin hampir menjerit. Ia bergetar, tubuhnya kalut, ia tahu aliran darah mengalir dengan sangat tidak biasa. Kehadiran Min Yoongi bukanlah sesuatu yang biasa. Kehadirannya aneh, tidak diinginkan. Dan Jimin membenci kehadiran itu, tahulah ada yang salah.

"Ingin kabur?"

Ia mendekat, dan Jimin lagi-lagi merasakan tubuhnya bergejolak, oleh amarahnya, oleh rasa takutnya, oleh Min Yoongi, entah karena dasar apa. Ia merangsek ke belakang, mundur sedikit dari tempat ia duduk dengan sudut matanya yang tidak ingin menyisipkan celah untuk menatap Min Yoongi. Enyalah, pikirnya.

"Jangan menatapku begitu," sergahnya pelan, terdengar memaksa dan memerintah, penuh kekuasaan, namun terdengar memohon pula, seolah suaranya telah melunak barang sedikit saja pada waktu itu.

Ia mengeluarkan kunci, memasukkannya ke dalam lubang kuncian, diputarkannya keras hingga keduanya mendengar gemeletuk besi yang menghentak hening.

Jimin tidak tahu, tidak tahu apa yang Yoongi lakukan. Ia masih takut, dan ia akan selalu begitu, ia akan selalu merasakan gemetar kakinya hilang datang jika iris tajam itu lurus menatapnya. Ia tahu dan tiada dapat mengenyahkan pikirannya itu sehingga tidak ada yang bisa tubuhnya lakukan lagi selain melompat dari kasur dan berlari menuju pintu yang setengah terbuka.

"Jungkook di luar apartemenku," Yoongi berkata, melangkah lebar-lebar, hingga jaraknya terlampau dan menyentuhkan ujung sepatu hitam berkilat-kilat itu pada sudut pintu, tersenyum sinis. "Ini balasanmu setelah membuka borgolmu?"

"Aku tidak membalasmu apa-apa," Jimin memegangi lingkar pergelangan tangannya, sesaat nyilu di sana tidak dapat ia rasa-rasakan karena deguman-deguman yang menyentak pada sisi tubuhnya yang lain. "Biarkan aku pergi."

"Kau bisa minum, Jimin?"

Jimin mengerutkan alis, ia tidak bisa, itu jawabannya. Dan bukanlah suatu hal itu yang ia rasa membebani pikiran yang dipenuhi langkah untuk melarikan diri itu. Kenapa Min Yoongi mempertanyakannya, apakah penting?

"Tidak."

"Kalau begitu ayo keluar dari kamarmu, aku tahu kau sumpek," Yoongi menarik bahu itu pelan. Kemudian membawanya keluar dari kamar, mengitari ruang tengah dan duduk di sofa sembari ia hentakkan sebuah botolan alkohol warna biru tua, gelap dan dalam.

"Kenapa kau bersikap begini?"

"Aku habis membunuh orang, aku perlu hiburan, kau bisa tutup mulutmu, Jalang?"

"Kau tidak pantas memanggilku begitu."

"Aku pantas, aku pantas memanggil siapa pun di tempat aku memijak," Yoongi terdiam sebentar sebelum melayangkan suaranya di udara hampa. "Di tempat kekuasaanku."

Ia menuangkan minumannya, pelan-pelan, namun gelas yang kecil itu cepat terisi, sehingga cepat ia angkat tangannya, menelan air itu dalam sebuah tenggakan kasar, hingga suara gelegak yang tercipta dari tenggorokan si pucat terhantar pada telinga Jimin, yang menyerngit tidak suka. Ia tidak pernah suka alkohol.

"Kenapa kau membawaku ke sini?"

Min Yoongi memutar mata, menyelaraskan punggungnya pada sandaran sofa, berdecih. Matanya mengilat kembali, dan itu membuat Jimin berkelut dalam hati atas penyesalannya karena telah mengatakan hal itu.

"Aku tidak mau membicarakannya," Yoongi bangun dari sandarnya, meraupkan tangannya dalam gelas itu dan menyentakkan isi alkohol dalam minuman itu lagi. Mendengus. Sebelum sebuah tenggakan habis terdengar dan ia menawarkan, "kau mau?"

"Tidak," Jimin bersikukuh, ia tidak pernah suka alkohol, ia membecinya hanya dengan mencium aromanya. Namun ia tahankan suaranya agar tidak kedengaran gemetaran dan marah.

"Jungkook itu siapamu?"

"Keluarga tercinta."

Jimin terdiam, habis kata-kata. Bukan mengobrol tujuannya di dalam ruangan itu, dan ia bahkan tiada bertujuan apa-apa, berdiri di ruangan itu dan mendari pion bodoh, pengalih perhatian idiot.

"Kau akan membunuh orang lain sehabis ini?"

"Demi apa pun, aku akan menembak kepalamu jika kau mempertanyakan itu lagi."

Jimin terkesiap, entah terkejutkan oleh kalimat membentak yang meminta dengan sangat itu, entah disulutkan oleh bara ketakutan yang membuatnya mengatupkan bibir dengan tiada bercelah lagi.

"Dan kau," giliran Min Yoongi yang menyentakkan suara dalam ruangan itu. Ia menyipitkan matanya, sedangkan alkohol yang ia telan-telan itu, tidak berpengaruh suatu apa pada tubuh pucat itu. "Kenapa orang bodoh sepertimu jadi pelacur Kim Seokjin, kau dibayar berapa untuk berada di sisinya."

"Aku bukan pelacurnya," Jimin mengulum rengutan marah, dan alisnya menukik ke bawah dengan tajam, amarahnya memuncak dan ia bisa tahu bahwa wajahnya sendiri telah memerah geram. "Dan aku tidak dibayar."

"Bagus, kau melakukannya dengan gratis kalau begitu," Yoongi tertawa sendiri, bergema dalam sisi-sisi ruangan yang terheningkan dalam waktu yang terus berdentang diam-diam. Rambutnya turun ke bawah dengan berantakan, dan tangannya yang tidak memegang gelas menarik ke belakang. "Jangan marah seperti itu, lagipula banyak orang yang menjadi pelacur. Ibuku juga. Adikku juga."

Jimin tidak menanggapinya. Ia tidak tahu harus menaruhkan simpatinya pada bagian mana obrolan itu. Namun ia menatap kilatan mata itu lagi, yang melembut dengan drastis, mengawang pada langit-langit. Menatap dalam diamnya yang panjang itu, kosong tiada berpenghunikan.

Jimin menghela, ia tidak tahu dalam hal ini, harus berucap apa bibirnya.

Hiburan yang menenangkan, ataukah sebuah sulutan kebencian.

Kenapa ia begitu menimbang nimbangnya, penting tidak jualah kedua hal itu. Yang perlu ia lakukan adalah mengendap-endap pergi.

Jimin mengulum bibirnya. "Saat kau lelah, kau harusnya berdoa."

Yoongi mengangkat alis, tiba-tiba matanya kembali lagi bersama semua siaratan kekuasaan itu. Namun kali itu, menatap Jimin dengan sebuah ratap jahil yang membuat Jimin sendiri kebingungan, mengapa ia ditatap begitu.

"Saat aku lelah, aku tidur dan menenggak minumanku."

"Tidak benar, dasar perilaku buruk."

"Lalu aku harus apa?"

"Jalan-jalan, biasanya taman indah, taman damai, dan semua yang ada di sana menyenangkan, kalau kau memijak ke sana dan berdoa sedikit mengenai harimu yang panjang dan melelahkan itu."

Yoongi tersenyum, bukan senyum sinis. Saat itu, jati dirinya seolah menguap, seolah itu bukan Min Yoongi yang kemarin-kemarin telah menamparnya. Ini Min Yoongi yang lainnya, yang penuh dengan rasa ingin tahu dan kehati-hatian.

"Semua omonganmu itu munafik."

"Ya, ayahku juga bilang begitu," Jimin tersenyum, namun hilang begitu ia ingatkan hal itu pada ayahnya, pada letusan peluru, dan pada dirinya yang berumur tujuh tahun, ia bergidik.

"Kutebak masa kecilmu payah sekali."

"Ya, tidak jauh beda dengan hidupmu."

"Hm, orang payah akan selalu berakhir dengan menyedihkan," Yoongi menenggak dengan cepat, hampir membanting gelas kaca itu dan suara yang ditimbulkan menyeruak bersamaan dengan bunyi kling nyaring, persentuhan kaca botol dan gelas yang tidak disengaja.

Jimin menatap sudut gelas yang retak sedikit, dan tangan Min Yoongi yang menuangkan kembali isinya ke dalam sana. Baunya menyengat sekali, Jimin menyerngit lagi.

"Kau pasti orang yang baik hati," Yoongi mendumel, seperti mengoceh namun yang kedengaran hanya seperti igauan, alkohol menyentakkan kesadarannya setelah hampir habis satu botol penuh. Namun hanya hilang sedikit saja, ia masih kelihatan lebih segar dari kebanyakan pemabuk lainnya. "Tipe yang dibenci karakter antagonis."

Jimin tidak membalas. Ia tidak berniat mengatakan apa-apa lagi. Ingin melihat sampai sejauh mana alkohol merajahi pikiran laki-laki di depannya, sampai mana ia bisa larikan pijakan kakinya hingga menembus keluar dari sana.

"Dan harusnya aku membencimu."

Harusnya.

Memangnya Min Yoongi tiada berperasa benci padanya.

"Siapa bilang kau yang antagonis," Jimin tersenyum kendati ia tidak bisa menertawai leluconnya sendiri, ia tidak bisa mengungkapkan fakta sebenarnya mengenai seberapa baik hatinya dia yang disebut Min Yoongi itu.

Yoongi merebahkan diri, berpejam sebentar.

Jimin mengulurkan tangannya, menggeser botol minuman di sana. Mendekatinya pelan-pelan. Namun gejolak bergeliut dalam hati yang seolah tidak tahu harus memihak kenyataan atau alam bawah sadarnya.

Kenyataannya, Jimin harus cepat lari dari sana, ia harus kabur, ia harus menemukan Kim Seokjin dan memeluk kekasihnya itu erat-erat. Ia bisa pikirkan Jungkook, mungkin ia bisa kabur dari jendela.

Apa yang dirasakan dalam geliutan yang tiba-tiba itu membuatnya tersentak.

Seolah ia pantas berada di sana. Park Jimin tidak perlu kabur, ia sudah berada di tempat yang seharusnya. Seolah apartemen itu ialah tempat pelariannya, tempat Jimin berpijak seharusnya.

Dan Min Yoongi.

Jimin tidak tahu. Jauh sekali di dalam dirinya, yang bergetar dan berdentum. Jauh sekali sampai Jimin tidak mengerti itu apa. Sesuatu itu menatap Min Yoongi yang terpejam di depannya. Menatap lamat-lamat.

Dentuman itu bercampur bersama rasa takutnya, rasa kalutnya untuk berada di sana dan bertindak seperti orang bodoh. Ia gemetaran. Dan matanya mencar, mengenyahkan kegugupan itu namun tidak ada cara untuk itu.

Ia menggigit bibirnya. Desing udara menyindirnya, berderum di sekeliling. Ia Napasnya menderu dalam waktu sepersekian detik, dan ia melepaskan botol kaca itu.

"Tidak berniat untuk pindah ke kamar tidurmu?" Jimin mengatakan sesuatu, ia mengatakan sesuatu atas dasar, ia benar ingin mengobrol. Dan ia dengar suaranya bergelagat gugup, sehingga ia menenangkan diri supaya tak terdengar satu pun perasaan kalutnya tadi itu.

Min Yoongi membuka matanya, ia tidak terlihat benar-benar mabuk, hanya kemudian ia tersenyum dan menyeret kakinya untuk berdiri dan menaruk sesuatu dari laci meja dekat sana. Kemudian berdeham kecil.

"Aku sudah tenang sekarang," ia melemparkan sebuah map di atas meja. Dan Jimin menyentak, kaget hingga hampir berdiri. "Aku mungkin hanya perlu menelpon Seokjin dan mengatakan siapa lagi yang perlu ia tembak."

"Siapa?"

Seolah ia turut ikut di sana, Jimin berkata dengan sorot penasaran. Ia kaget oleh tindakannya itu. Dan Yoongi tertawa tidak percaya.

"Kau penasaran, eh?"

Jimin terdiam. Langkah Min Yoongi bersentakan di dalam telinganya. Dan ia merasakan aliran darahnya berhenti sebentar. Ia rasakan Min Yoongi menatapnya dengan sebuah tatapan melecehkan.

Namun saat ia menengadah, ia melihat alis berkerut dan sebuah siratan cemas. Entah bagaimana Min Yoongi nampak mengkhawatirkannya.

Jimin menatap mata itu lamat-lamat, dan ia tidak ingin menyadarinya bahwa si pucat itu memiliki wajah tampan yang dimiliki pengusaha kebanyakan, atau orang brengsek kebanyakan. Ia tepiskan itu, membodohi dirinya bahwa tidaklah suatu itu pantas dicerna dalam tubuhnya, memuji orang yang memperlakukanmu seperti bidak catur.

Ketika itu tangan pucat itu menghela dan menjulur ke pipi berisi itu pelan-pelan, merabainya lembut. Seolah sedang menenangkan seseorang.

Yoongi tersentak kecil, seolah baru menyadari lakunya sendiri.

"Kau tidak perlu tahu siapa, besok kau bertemu dengan orang penting lainnya," Yoongi berdecih, lalu berjalan menghempas kaki melewati ruangan.

Ia panggil Jungkook untuk masuk, dan ia lemparkan borgol ke tangannya, berseru pelan. "Borgol dia lagi, kau awasi, aku akan mencari di mana Kim Mingyu menyembunyikan diri."

Jimin mengerutkan alis, menatap tubuh yang lalu. Memegangi bekas rabaan di pipinya. Dan rasa hangat yang mendesir, seolah Min Yoongi memang benar berhasil menenangkannya. Seolah, tadi, walaupun hanya sekejap, Min Yoongi berusaha untuk menyampaikan sesuatu lewat sentuhan tangannya itu.

Bahwa ia ingin melindunginya.

Seolah,

Min Yoongi berusaha melindungi Jimin.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

Aku gak paham.

Kenapa bisa selama ini updatenya. Apa masih ada yang cukup hidup untuk membacanya?

Dan ini gak diedit sama sekali. Aku mager dan aku lagi badmood karena sesuatu. Mungkin seharusnya aku ga nulis ff ini sekarang.

Plot udah jelas-jelas ada. Entahlah, susah sekali menentukan siapa yang bakal mati dan siapa yang bakal hidup.

.

.

.

.

Entar aku matiin aja berdua itu.

.

.

.

.

Canda.

.

.

.

.

Aku cinta kalian.

See u!