timeline: tahun kelima - Februari 1942
"Yang Mulia." Wadah Roh Tanah memanggil dengan nada rendah. Perhatian Abraxas teralih dari prosesi penyembuhan yang dilakukan Duke pada tunangannya. Sepasang permata biru langit wadah Roh Udara berkilat, namun wanita itu tidak bersuara. Dengan ekspresi tenang melihat wadah Roh Tanah mengajak Yang Mulia untuk keluar ruangan. Lalu pupilnya bergulir, kembali terpatri pada sesosok gadis yang terbaring di atas ranjang wadah Roh Api.
Senyum samar tersungging tanpa bisa ditahan.
Siapa yang menyangka bahwa ternyata kelemahan itu lebih mudah ditemukan jika wadah Roh Api terpilih dari kalangan orang biasa?
Akan tetapi, Eliza tetap bersabar dan menyaksikan tiap kejadian. Ia yakin bahwa Gensira Albatross punya rencana yang lebih dalam dari sekedar melibatkan tunangan Yang Mulia. Glen yang sekarang sudah jelas lebih egois dan penuh ketidakpedulian dari para pendahulunya. Apakah yang akan dilakukan oleh sang Penguasa untuk mengikat sang Raja pada keluarga Baskerville?
Itulah pertanyaannya.
Daun-daun hijau yang tumbuh di musim semi membentuk bayangan terhadap sinar rembulan. Pohon-pohon yang menjulang tinggi berjejeran, sebagian membentuk jalan menuju beberapa rumah tanpa cahaya penerang. Desa kecil yang hening di bawah sinar bulan. Abraxas terpaku di tempatnya berdiri, memandang dengan mata terbuka lebar. Bibir terbuka namun tak mampu bersuara.
"Pencuri roh." Suara monoton di belakangnya membelah sunyi. Gensira berjalan melewatinya tanpa sedikitpun perubahan atas apa yang ia saksikan—bahkan Abraxas masih punya moral untuk merasa bahwa apa yang telah terjadi adalah bentuk dari kekejaman tanpa hati dan belas kasih.
"Be...berapa banyak..." Abraxas menelan ludah, tak bisa melanjutkan. Iris kelabunya masih terpaku pada tubuh-tubuh tanpa nyawa yang bergelimpangan di berbagai tempat. Raut wajah dipenuhi ketakutan dan teror akan kematian.
"Sekitar 200 lebih jika kau mau berjalan lebih jauh ke dalam."
Lantas iris kelabu bergulir tajam ke arah gadis itu.
Mempertanyakan sikap dinginnya terhadap kumpulan mayat di hadapan mereka.
Akan tetapi, sepasang permata hijau pucat memandangnya tanpa gentar dan perubahan. Tatapannya dingin dan menunggu. Sama sekali tidak peduli pada orang-orang yang telah mati dalam ketakutan. Sepenuhnya menaruh perhatian pada tindakan dan perintah Glen Baskerville.
Lidah Abraxas kelu. Lantas ia hanya bisa terdiam dan menatap.
"Raja," namun gadis berhati dingin itu mendesak dan memaksa, "apa keputusanmu?"
Sang Glen menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangan kuat-kuat. Tidak bisa menatap ke arah gadis itu, maupun pada mayat-mayat itu. "Kau urus semuanya," ucapnya dengan nada rendah, ada getar yang sekilas terasa membelah udara. Abraxas segera membalikkan badan dan berlari pergi.
Tanpa suara, Gensira menatap dari ujung matanya.
Punggung pemuda itu menghilang jauh ke dalam kegelapan.
.
.
.
Darah Baskerville
Rozen91
Harry Potter © J. K. Rowling
Pandora Hearts © Jun Mochizuki
sequel of Four Souls
mémoire 10 : Keputusan Naif
.
.
Semua ini bagaikan mimpi buruk.
Abraxas tak mampu bertahan lebih lama di tempat itu. Manusia bergelimpangan di jalan dan di halaman. Malam itu penuh keheningan. Abraxas tak mampu menghirup bau kematian tu lebih lama. Karenanya, ia berlari dan menembus kabut kegelapan. Namun, bayang-bayang dari pemandangan mengerikan itu terus terlintas di pikirannya. Perasaan menjadi tak terkontrol. Stimulus visual yang memberi tekanan pada otakpun mempengaruhi mekanisme tubuh. Abraxas lantas memuntahkan isi perutnya.
"Uhhukk! Khu! Huokk!"
Pemandangan seperti itu bukanlah sesuatu yang seirng ia bayangkan. Jika mengingat petualangan bersama Tom dan diskusi rahasia mengenai rencana, Abraxas tak pernah memikirkan akan korban jiwa. Berapa banyak dan siapa yang akan mati. Abraxas tidak pernah sekalipun memikirkannya. Dan apa yang diperlihatkan Gensira Albatross bukanlah sesuatu yang telah dipikirkan Abraxas sejak dulu.
Kalau dibandingkan dengan semua itu, jelas sekali bahwa apa yang dilakukan Abraxas dan Tom selama ini hanyalah sebatas permainan anak kecil. Bukankah mereka tak pernah berani melewati batas dan mengklaim satu nyawa manusia? Mereka seperti anak puber yang menari-nari di atas batu kali.
"Uhhuk!...hah...hah..."
Abraxas menyeka saliva di dagunya. Masih kesulitan mengatur nafas saat ia mencoba menoleh ke belakang, melihat apakah ada seorang gadis berambut putih yang menonton kelemahannya. Albatross tidak terlihat. Gadis itu mungkin mengurus mayat-mayat di sana—dan Abraxas tidak bisa membayangkan bagaimana caranya gadis berhati batu itu akan melakukannya. Mungkin ia akan menguburnya—bukankah itu yang paling masuk akal mengingat posisinya sebagai wadah Roh Tanah?
Kalau dipikirkan lagi, bukankah respon semacam ini terlihat aneh?
Abraxas tiba-tiba tersadar, spontan menaruh tangan di dadanya. Jantungnya berdebar kencang.
Benar juga.
Bukankah ini aneh?
Bukankah belum lama ini Abraxas juga melenyapkan beberapa ...'orang'?
'Orang'?
Abraxas menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba mengusir ingatan tentang jeritan dan suara lolongan saat api menyambar-nyambar tanpa ampun.
'Mereka' bukan manusia! Bukan manusia!
Balasannya juga sudah setimpal! Mereka hampir membunuh Lysia-nya!
...hihihi...
Kikikan ringan itu terdengar jauh di telinga, namun Abraxas tertegun, menyadari bahwa kefamiliaran itu ada. Dia pernah mendengarnya. Di alam bawah sadarnya. Tempat para Glen berkumpul dan menghantuinya.
Abraxas menggeram, "apa yang kalian tertawakan..."
Sekali lagi suara tawa itu terdengar bergaung, namun tak ada tanggapan untuk pemuda itu. Abraxas mendorong tubuhnya, bersandar di batang pohon. Kedua tangannya naik mencengekeram kepalanya. Menutup mata kuat-kuat.
Terkadang ia merasa bahwa para Glen berusaha untuk membuatnya gila.
Suara langkah berhenti tak jauh dari posisinya. Biarpun tersembunyi oleh kegelapan, Abraxas menandai aura perempuan itu. Ia tidak bergerak dari posisinya. Sorot matanya tajam bergulir ke ujung. "Apa maumu?"
"Aku sudah menelusuri sampai mana tubuh para penduduk tersebar. Sayang sekali, Yang Mulia, daerah itu merupakan salah satu tempat wisata di kota ini, Ery. Untuk tidak mengundang kecurigaan yang tidak perlu dari masyarakat, lebih baik jika kita membuatnya terlihat seperti sebuah kecelakaan. "
Apakah hati gadis itu telah membeku seperti tatapannya? Dalam hati Abraxas bertanya-tanya. Ia menurunkan tangannya saat ia mengalihkan matanya ke depan.
"Kau ingin aku menggunakan apiku."
Sekejap terlihat bagaimana perasaan Gensira saat gadis itu menatap ke bawah, pada sosok sang Raja yang terlihat dari balik pohon. "Ini hanya perkiraaan," katanya. Ekspresi Abraxas berubah tidak mengerti saat mendengarnya. Gensira melanjutkan, "Raja selalu mengendalikan wadah Roh Tanah, Air, dan Udara, dan para wadah Roh bergerak berdasarkan instruksi Raja. Karena itulah, wadah Roh Api memiliki tanggung jawab yang besar. Dan, kemungkinan besar, Glen Baskerville akan menghapus jejak kematian dengan api, jika misi wadah Roh memakan korban manusia biasa."
Iris kelabu mengeras saat wadah Roh Api langsung memutar kepalanya ke arah gadis itu. Menyadari hinaan tersembunyi dari perkataannya. Sepasang permata hijau pucat memandang tenang.
"Kau mau bilang ini semua salahku!?"
"Apakah kita harus memperdebatkan masalah ini sekarang?" tanya Gensira balik, "Sebentar lagi matahari akan terbit."
Abraxas memaksa dirinya untuk tidak melihat ke langit untuk mengecek kebenaran ucapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan kegusaran atas hinaan halusnya. Dengan gerakan kasar ia bangkit dan melangkah dengan tangan terkepal, melewati gadis itu tanpa meliriknya. Sama halnya seperti tatapan dingin Gensira Albatross yang sama sekali tidak memperlihatkan ekspresi.
Kala itu, Abraxas dengan gemetar mengangkat tangannya,
membakar habis seluruh pemukiman dan mayat-mayat yang dibiarkan tergeletak di tempat mereka menemui maut.
Tiba-tiba ia merasa takut terhadap dirinya sendiri.
xxx
Berita kebakaran hutan yang melahap sebuah daerah wisata kecil—Wilshere Heel, menggemparkan masyarakat Inggris. Di koran-koran, cerita-cerita, maupun acara televisi. Kecelakaan itu telah menelan banyak korban jiwa, dan tidak hanya di Inggris, di negara-negara lainpun hal ini diberitakan. Kematian-kematian para turis benar-benar disayangkan dan pemerintah Inggris dituntut untuk mencari tahu penyebab kebakaran itu.
Dan tidak heran jika keluarga Baskerville mulai bergerak dari balik bayangan. Dan alasan apapun yang diberikan, kredibilitas pemerintah Inggris pastinya tetap akan dipertanyakan. Tidak masalah. Apapun jadinya kejadian itu juga hanya akan menjadi memori yang perlahan dilupakan. Dan hal seperti ini, sama sekali tidak penting untuk diketahui oleh Yang Mulia Glen.
Satu minggu setelah kejadian itu, Abaraxas Malfoy mengurung diri di paviliun merah. Pelayan pribadinya tidak diperbolehkan masuk—untuk sementara, mereka mengikuti perintah wadah Roh Tanah. Hanya Eliza yang denagn leluasa keluar masuk ke dalam paviliun merah, membawa kereta makanan dan jika diminta, memberitahukan keadaan keluarga hari itu.
Namun, Abraxas yang sepertinya masih terjebak dalam kebingungan dan shock atas kejadian itu, lebih memilih sendiri dan tidak mau diganggu. Duduk di kursi di ruang kerjanya yang dihadapkan ke arah jendela besar di belakangnya. Diam dan memikirkan semuanya sendiri.
Menjadi seorang Glen bukanlah permainan. Ia tahu itu. Lysia sudah menjadi korban, bukan berarti Pemakan Roh tidak akan mengincarnya lagi. Dan jika mereka tahu bahwa ia adalah tunangan wadah Roh Api...apakah Lysia akan dimanfaatkan untuk membuatnya lemah?
Atau mungkin saja menggunakan Tom...atau bahkan seluruh penghuni Hogwarts?
Memikirkannya saja sudah membuat Abraxas menyadari bahwa ia sangat tidak berdaya. Roh Api merayunya dan menjebaknya, sementara para Glen memaksanya dan tidak memberikannya pilihan lain.
Semua ini tidak memberikannya pilihan lain.
Abraxas menoleh ke samping. Sekilas tatapannya terlihat datar. "Kau ini apa?"
Keberadaan yang terasa dekat di hati. Iris kelabu terpatri pada sepasang permata hijau terang yang memandangnya dari atas meja. Ekor yang bergoyang-goyang. "Namaku Cheshire," si kucing dengan warna bulu yang tidak biasa menyeringai lebar, "aku adalah tungganganmu."
"Tunggangan? Ah, aku ingat pernah mendengar hal seperti itu."
"Hm." Cheshire merenggangkan badan dengan tubuh yang perlahan menghilang. Abraxas tidak bereaksi. Ia menatap tanpa menunjukkan keterkejutan. Kala itu ia kembali menolehkan wajah ke jendela, menangkap panorama alam di baliknya. Sorot matanya tampak jauh dan menerawangi cakrawala. Dan gerakan itu ada begitu saja. Tangan Abraxas tampak natural terangkat ke atas pangkuannya, menyentuh sesuatu yang tak kasat mata. Mungkin saja dia merasakan keberadaan kucing itu di situ. Ia membelainya. Perlahan Cheshire memperlihatkan wujudnya. Bergelung di pangkuan sang majikan, tampak tertidur dengan wajah tersenyum miliknya.
Semilir angin meniup tirai putih di pinggir jendela. Sejuknya menerpa helai-helai perak pemuda yang duduk terpekur dalam kesendirian. Melempar pandangan jauh di ujung cakrawala. Abraxas menyandarkan kepalanya di badan kursi. Sepasang permata kelabu tersembunyi saat sang Glen memejamkan mata.
Kalau hal gila ini memang tidak punya jalan keluar
...maka tidak mengherankan jika Abraxas memilih untukmemanfaatkan keuntungan yang ada di tangannya .
Itulah hari terakhir, Abraxas mengasingkan dirinya sendiri.
Setelah sekian lama, akhirnya mendapatkan keputusan yang coock untuk orang sepertinya.
xxx
"Yang Mulia!" Panggilan itu terdengar ceria dan penuh semangat. Lilly Baskerville meloncat dari pundak Richard, berlari hingga hampir menabrak Abraxas. Ada beberapa orang yang memakai jubah merah di dalam manor. Sebagian tidak membuka tudung dan sebagiannya lagi tidak pernah terlihat memakai tudung untuk menyembunyikan wajah. Ada 6 orang yang selalu hadir jikalau sang Raja membutuhkan mereka. Merekalah para pelayan pribadi sang Glen. Dan mereka tidak diperbolehkan memperlihatkan wajah, sudah menjadi kewajiban untuk tidak membuka tudung jubah—karenanya, identitas mereka tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang merupakan anggota keluarga.
Lilly dan Richard, serta seorang lagi adalah tiga anggota keluarga Baskerville yang hadir di era Glen sebelumnya. Richard lebih lama memengang nama Baskerville karena ia terpilih di usia yang masih sangat muda. Dan hanya kedua orang itulah yang selalu mengenakan jubah merah tanpa mengenakan tudungnya. Untuk menunjukkan posisi sebagai anggota keluarga yang terhormat. Adik-adik yang Mulia Glen Baskerville dan para wadah Roh Udara.
Abraxas tidak pernah melihat Lilly sebelumnya—waktu pertama kali datang ke manor, ia tidak mempedulikan orang-orang di pendek merahnya mengingatkannya pada Portia Weasley. Lilly mendongak dengan mata birunya yang bersinar, penuh kekaguman dan takjub. Tanpa Abraxas sadari, tangannya telah menyentuh puncak kepala Lilly.
"Bagaimana kabarmu, Lilly?"
Di dalam relung hati terdalam, Abraxas bertanya apakah benar dirinya yang berkata demikian. Ia sadar betul telah mengatakannya, namun semuanya terasa seperti bukan miliknya. Perasaan yang menyambarnya di hati. Mungkinkah ini milik Glen sebelumnya? Atau milik semua Glen?
Hari itu Abraxas menuruti dorongan hati. Berbincang sebentar dengan Lilly dan Richard di taman dalam. Duduk di kursi dan menikmati rerimbunan bunga mawar berwarna merah, yang kelopaknya pun diterbangkan angin seperti hiasan musim semi. Tanpa adik-adik wadah Roh-nya, sang Glen tampak seperti bunga violet di tengah-tengah para jubah merah yang mengelilinginya.
Angin menghembus tirai lembayung yang diikat di sisi jendela. Turut menggoyangkan syal hitam di punggung seorang gadis yang berdiri di depan tirai seolah tengah menyembunyikan diri. Sorot mata yang terlihat dari iris hijau pucat sama sekali tidak terbaca. Sejenak raut wajahnya tampak melankolis.
Gensira, apakah yang kau pikirkan saat melihat pemandangan di bawah sana?
xxx
"Aku akan kembali ke Hogwarts. Banyak hal yang harus kuurus di sana."
Kejengkelan samar di wajah Duke sudah jelas menunjukkan rasa tidak suka, sedangkan Eliza menanggapi ucapan Rajanya dengan senyum ramah.
"Dan, tentu saja," timpal Eliza, "wadah Roh Tanah akan mendampingi Yang Mulia."
Abraxas melirik Gensira, yang dari tadi menatapnya dengan ekspresi dingin andalannya.
Duke mendecakkan lidah. "Kenapa harus Hogwarts? Manor Baskerville adalah tempat bagi sang Raja dan singgasananya pun ada di sini," cecarnya, tidak bisa menahan lidahnya. "Dan lagi, jika memang ada tempat lain untuk ditinggali, sudah pasti tempat itu adalah istana Buckingham," tambahnya. Ia terdengar seperti sedang mengomel.
Eliza menaruh tangan di bahunya sembari membungkuk saat mendekatkan wajahnya ke telinga putra kedua keluarga Debbleton itu. "Duke, kita tidak membahas hal itu di sini. Kau tahu, Yang Mulia...punya kehidupan lain. Dan Baskerville tidak termasuk di dalamnya."
Eliza sangat jujur dan terus terang. Mengatakan hal yang paling tepat mengenai apa yang sedang terjadi. Lantas Duke menoleh, serta merta menangkap tatapan Rajanya.
Apapun yang sebelumnya terlihat di mata magenta Duke saat menatapnya, sekarang seolah sirna. Abraxas melihat bagaimana sepasang manik itu melebar, dengan ekspresi terkejut menoleh padanya. Dan sorot mata anak itu mengingatkannya pada cara Albatross menatapnya.
Seperti melihat orang lain.
Orang yang bukan bagian dari mereka.
"...Ah," ucap Duke, memalingkan wajahnya. "Tentu saja."
Abraxas tidak berkomentar. Setidaknya ia menyadari bahwa beberapa hari ini wadah Roh Air melihatnya seperti melihat Glen, bukan Abraxas Malfoy.
Apakah dari dulu orang-orang memandangnya sebagi Abraxas Malfoy?
Albatross selalu memandangnya seperti itu.
Duke terkadang, seolah lupa diri, memandangnya juga seperti itu.
Kecuali, tentu saja, Elizabeth Mustang yang dari awal sorot matanya tidak bisa dibaca.
Seolah merasakan pandangan Yang Mulia padanya, Eliza menoleh. Mengulas senyum dengan air mukanya yang bersahabat.
Bagaimanapun seseorang melihatnya, pendirian wadah Roh Udara memang tidak jelas. Apakah dia membenci, ataukah dia menyukai? Tidak pernah Eliza tunjukkan perasaan seperti itu. Kalau diingat-ingat lagi, sebelum Abraxas datang, Eliza sudah dari dulu menjadi wadah Roh Udara. Bukankah jika ingin bertanya, Eliza lebih bisa percaya untuk memberinya jawaban langsung tanpa sarkasme atau hinaan?
"Aku ingin bicara dengan Eliza sendirian."
Gensira langsung berbalik tanpa banyak bicara. Duke yang penuh rasa penasaran mengulur waktu dengan menoleh ke arah Eliza, mengangkat sebelah alis, kemudian ia membalikkan badan dan keluar seraya menutup pintu.
"Apa yang ingin Raja bicarakan denganku?" tanya Eliza.
"Duke tadi berbicara tentang istana Buckingham. Kenapa? Kenapa ia berkata seolah-olah itu adalah hakku untuk berada di sana?"
"Yang Mulia," kata Eliza, " Baskerville adalah penguasa tanah ini. United Kingdom adalah milik Baskerville. Dan orang-orang yang mengaku sebagai Raja selain Glen Baskerville, tidak lain hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan kedudukan Baskerville di dalam tata pemerintahan wilayah United Kingdom. Di tanah ini, tidak ada Raja selain Yang Mulia Glen."
Senyum Eliza yang melebar itu sekilas tampak agak menakutkan. "Semua orang takut mendengar nama Baskerville. Baskerville mengadili tanpa memihak. Relasi maupun hubungan keluarga dengan darah yang tidak dipilih oleh cahaya Abyss, akan terputus dan mereka tak akan bisa memanfaatkan kedudukan pewaris mereka di dalam tatanan keluarga ini."
Eliza tiba-tiba terdiam saat melihat keheranan di wajah Abraxas. Ia menyunggingkan senyum. "Maaf, aku terlalu banyak bicara." Ia menegakkan badan. Iris birunya berkerling, tampak senang terhadap sesuatu yang tidak dimengerti Abraxas. "Raja tak perlu khawatir. Keluarga Baskerville hanya akan selalu loyal pada Yang Mulia Glen."
Abraxas punya banyak pertanyaan, namun ia mendiamkannya.
Bukankah hal rumit seperti ini mesti dipelajari secara bertahap dan perlahan?
Dan sebenarnya, kalau saja Abraxas lebih melihat raut wajah wadah Roh Udara, dia mungkin bisa menandai kekecewaan wanita itu. Ini sangat disayangkan. Akan lebih baik jika Abraxas tadi terus bertanya tanpa menunda. Jika ia melakukannya, mungkin Eliza akan bersimpati dan berhenti dari pihak netral—menjadi sepenuhnya mendukung sang Glen.
Di dalam batin menggeleng-gelengkan kepalanya, Eliza pamit dan keluar ruangan.
"Sayang sekali," gumamnya. Ia melirik dari balik bahunya. "Hei, kalau kau yang jadi raja, entahlah, setidaknya aku tahu kau memang pantas untuk menyandang nama itu. Seratus persen aku pasti akan mendukungmu."
Iris hijau pucat Gensira Albatross berkilat. Memandang tajam dingin dari ujung mata. Tanpa kata seolah sedang mengecam.
Sudut bibir Eliza berkedut. Sekilas iris birunya terlihat culas.
"Ah, maafkan aku. Abaikan saja ucapanku tadi."
Tidak mungkin. Eliza yang selama ini netral itu tiba-tiba berkata begitu. Wanita itu pasti sangat kesal hingga membiarkan sifat aslinya keluar. Jika diingat-ingat lagi, Elizabeth Mustang memang bukanlah seorang penyabar. Sungguh keajaiban bisa melihatnya bersikap netral sampai selama ini.
Gensira menyadari betapa berbahayanya pengaruh sikap plin-plan Abraxas.
Bagaimanapun caranya, ia harus cepat bertindak.
Sebelum seseorang berubah menjadi 'pengkhianat'.
xxx
Abraxas meninggalkan manor Baskerville, bersama Gensira yang mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba saja berada di sana tanpa bicara sedikitpun. Abraxas sendiri tidak sekalipun menoleh padanya, sikanya tampak dingin dan cuek—jelas menunjukkan rasa tidak suka atas sikap wadah Roh Tanah.
"Armando Dippet perlu diberitahu tentang singgasana yang sudah diduduki," mulai gadis itu, acuh dengan sikap kekanak-kanakkan Rajanya. "Dunia sihir di United Kingdom perlu diberitahu."
"Oh?" Abraxas bisa menahan senyum mencemooh di bibirnya. "Maksudmu, memamerkan kedudukan penting ini pada seluruh dunia sihir?"
Hening. Abraxas mengerutkan dahi, melempar lirikan dari balik bahunya. Akan tetapi, Gensira Albatross tidak menatapnya. Iris hijau pucatnya memandang lurus ke depan. Dari sorot matanya, entah kenapa, Abraxas merasa bahwa gadis itu punya tugas penting yang harus dilakukan.
"Pemberitahuan itu adalah peringatan bahwa," katanya, "Baskerville mengawasi dunia sihir. Dan kekacauan yang ada di dunia itu tidak boleh sampai mempengaruhi kehidupan para muggle. Jika hal itu terjadi lagi..." Gensira tidak melanjutkan ucapannya. Dan Abraxas mendecakkan lidah dengan nada jengkel.
Ia sudah tahu banyak kekacauan yang terjadi di dalam dunia sihir. Di dalam sejarah disebutkan perang-perang dan pemberontakan yang meledak tidak hanya melibatkan para penyihir, namun juga muggle. Keseimbangan dua dunia menjadi tidak terkendali, belum lagi sejumlah satwa gaib yang menampakkan diri di wilayah muggle akibat habitat yang secara insting menjauhkan diri dari kekuatan jahat. Dan...setelah ratusan tahu lamanya, memangnya apa yang akan dilakukan Baskerville?
"Apa maksudmu...'jika hal itu terjadi lagi'?"
Gensira tidak menjawab. Rasa ingin tahu waktu itu Abraxas cukup tinggi—mungkin ia merasa tergganggu karena hal itu berhubungan dengan dunianya. "Hei, Alba—"
"Hogwarts," potong gadis itu.
Abraxas terdiam. Terpatri memandang Hogwarts untuk beberapa lama. Terenyuh ia memandang. Entah sudah beraa lama ia di manor Baskerville hingga sampai pemandangan kastil Hogwarts saja sudah membuatnya emosional seperti ini. Ia melesat lebih cepat. Ingin lebih dekat dengan segera.
Di belakangnya, Gensira berdiri diam di udara, memandang punggungnya dengan tatapan khasnya. Luar biasa. Ternyata tidak sulit untuk mengalihkan perhatian Abraxas Malfoy. Tunggu saja, entah kapan ia bisa mengingat pertanyaanya.
Jika itu terjadi lagi?
Heh.
Jika perang besar terjadi lagi,
tentu saja,
Baskerville akan melenyapkan dunia sihir.
Karena itulah, sebelum bibit kerusakan itu tumbuh terlalu besar, dia harus segera dimusnahkan.
Abraxas Malfoy, ikatan terhadap sesuatu selain Baskerville adalah sesuatu yang tabu.
Seharusnya kau tidak mencegah Gensira untuk melenyapkan bibit bernama Tom Riddle itu—hanya karena dia adalah teman dekatmu.
xxx
"Raja Glen yang baru..." gumam sang kepala sekolah, mencondongkan badan seolah dari tempatnya ia tidak bisa melihat Abraxas dengan jelas.
"Aku bukan Glen yang baru," sela Abraxas, sorot matanya tampak tidak biasa. "Aku adalah Glen Baskerville." Samar-samar Abraxas merasakan kepuasan saat mengucapkannya, tapi tidak yakin jika itu memang berasal dari dirinya atau milik para Glen.
Armando Dippet diam sejenak, kemudian mengangguk paham. "Tentu saja."
Dumbledore mencuri pandang pada Kepala Sekolah Hogwarts. Albus tidak mengerti kenapa Armando sama sekali tidak menganggap hal ini sangat aneh dan tidak bisa diterima—tapi, ia teringat bahwa Armando langsung menerima Gensira saat pertama kali melihatnya, berkata tentang kemiripan genetisnya dengan Glen Baskerville. Bisa jadi seperti halnya Armando pada Tom Riddle, pria dewasa itu juga sepertinya menyukai Glen Baskerville. Padahal sekalipun, Dumbledore tidak pernah melihatnya. Dan sulit untuk dicari tahu karena informasi mengenai keluarga Baskerville sangat rahasia dan tersembunyi. Hampir tidak ada yang tahu, dan jikapun ada, mereka mengunci informasi itu di mulut.
Namun, pernah sekali Armando yang tengah termenung, berbicara dengan nada lambat, "Yang Mulia Glen adalah Raja di 'tanah' ini."
Bukankah pernyataan itu mengindikasikan tentang kekuasan 'Glen Baskerville' ini?
Dumbledore tidak mampu mengatur detak jantungnya.
Di antara jutaan manusia di United Kingdom,
kenapa harus Abraxas Malfoy yang terpilih?
Seorang Slytherin yang angkuh...dan pengikut Tom Riddle!?
Untuk beberapa saat yang singkat tatapannya tertumbuk pada sepasang permata hijau pucat yang berdiri dengan wajah berbayang. Iris gadis itu dingin seperti biasa, lurus terarah padanya. Namun, dari kilatan mata itu Albus bisa melihat bahwa gadis itu mengerti apa yang sedang ia pikirkan.
Mendadak perasaan dingin mencekam hatinya. Albus tidak mungkin bisa melupakan Gensira Albatross. Gadis itu, hampir tidak pernah kelihatan lagi semenjak ajaran tahun kemarin berakhir. Padahal dulu ia bersikukuh akan melenyapkan Tom Riddle, namun kali ini tidak pernah terdengar lagi kicauannya. Apakah Riddle telah berhasil melewati ujian yang diberikan oleh Albatross...ataukah—
Iris biru langit bergulir pada sosok sang Glen.
—ada campur tangan dari Abraxas Malfoy?
Bagaimanapun juga, status yang dimiliki Abraxas Malfoy sebagai sahabat terdekat Tom Riddle bukanlah sebuah fakta yang bisa diabaikan begitu saja.
Dumbledore merasakan tangannya basah oleh keringat, namun ia tetap berdiri kaku di tempatnya. Terkadang ia menjawab jika Armando meminta pendapatnya, namun setelahnya ia lebih banyak berdiskusi dengan dirinya sendiri.
xxx
Kenapa akhir-akhir ini Abraxas Malfoy jarang terlihat?
Tom tiba-tiba tersadar—bagaikan baru saja melangkah keluar dari kepungan kabut yang membutakan mata.
Benar.
Ia hampir tidak pernah melihat Abraxas, bahkan di asrama—padahal mereka adalah teman sekamar. Tom lantas memegang kepalanya, bertanya tentang apa yang terjadi hingga ia baru menyadarinya sekarang.
Di tahun ini sepasang teman dekat mulai berbeda jalan. Rutinitas yang terbengkalai. Hubungan yang tidak bisa lagi diperbaiki. Tom hanya bisa terpaku terhadap kenyataan itu, baru saja terlintas di pikirannya. Apa yang sedang terjadi? Hanya itu yang bisa ia pikirkan. Kenapa baru terpikir sekarang?
Dan seolah memang disengaja—seolah takdir sedang mempermainkan hubungan kedua sahabat itu, sepasang permata hitamnya menangkap dua sosok dari ekor matanya. Lalu tangannya perlahan kembali ke sisi saat pemuda itu menegakkan badan. Tanpa mengalihkan mata, bibirnya terbuka.
"...Hah?"
Di ujung lorong, tampak dua orang berjalan melewatinya. Dua orang dengan warna rambut yang sama. Tampak sisi wajah sang sahabat yang menunjukkan kebosanan dan ekspresi datar. Menyibak rambut peraknya yang telah mencapai bahu.
Dan mengikut di belakangnya, seseorang yang sangat familiar di ingatan. Ekor syal hitam yang bergoyang. Seorang gadis yang pernah menjadi favoritnya. Wajah dingin yang tidak berubah.
Suara tak percaya keluar dari tenggorokannya.
"...Apa-apaan ini?"
Apa yang terlihat di wajah Tom Riddle adalah rasa tidak percaya yang sangat mengerikan. Sedikit rasa bersalah dan kebingungan karena melupakan sosok sahabatnya kini tergantikan oleh perasaan kacau balau yang lebih melibatkan perasaan posesifnya. Sungguh, Tom benar-benar tak percaya ini.
Sisi posesifnya benar-benar dibuat menggila.
Seolah Abraxas telah merebut mainannya tanpa izin.
Ataukah memang itu yang sedang terjadi?
Katakan padaku bahwa semua ini bohong.
Abe, sahabatku, apakah kau menyuruhku untuk menjauhkan diri dari boneka favoritku
hanya agar kau bisa mengambilnya untuk dirimu sendiri?
Lalu hatipun menjadi dingin.
Hubungan dua sahabat yang terpecah belah telah membeku dan tak bisa disambung lagi.
Sementara itu, Abraxas Malfoy masih belum menyadari apapun.
Tatkala kepalan tangan Tom mengerat dan sorot matanya berbicara tentang tuduhan dan amarah.
.
.
.
"Tom yang kukenal tidak akan mengizinkan satu halpun menghambat ambisinya."
Ah, Abraxas Malfoy,
apakah kau benar-benar mengerti Tom Riddle?
Atau masihkah Tom adalah sahabat yang kau kenal?
_bersambung_