Osomatsu©Akatsuka Fujio

Euterpe©Miu

Warning: OOC, Tata bahasa yang aneh, EYD tidak diperhatikan, dan kemungkinan para pembaca yang tidak mengerti.

DON'T LIKE PLEASE DON'T READ.

Masih Rated T dan aman untuk dikonsumsi untuk remaja.

Enjoy it~

Suara berbisik itu mengeringinya sepanjang koridor rumah sakit.

Choromatsu, pemuda yang selalu berpenampilan rapi itu tak mengindahkan sindiran sinis dari orang-orang. Ia terus berjalan dengan kedua tangannya yang penuh memegang keranjang buah dan bunga.

Ia terhenti di kamar bernomor 346. Menghirup udara sebanyak-banyaknya seolah takut oksigen di bumi akan habis. Ya, bisa dibilang ia akan kehabisan udara saat memasuki ruangan itu.

Dibukanya pintu itu pelan-pelan. Memasang senyum lebar ia berjalan masuk. Seorang wanita berumur itu menatap Choromatsu sekilas lalu menatap keluar jendela.

Choromatsu tersenyum getir melihat reaksi wanita yang telah membesarkannya itu. "Hai, bu, bagaimana kabarmu?" tanyanya sambil menaruh keranjang buah di meja.

Matsuyo diam tak membalas pertanyaan Choromatsu. Choromatsu tersenyum maklum, sudah sering ia 'dicuekan' oleh ibunya. Choromatsu menaruh bunganya di meja lalu mengambil vas bunga yang berisi bunga yang sudah layu. Dibuangnya bunga layu itu ke tong sampah dan menggantinya dengan yang baru. Ia tampak fokus walau sebenarnya pikirannya sudah terbang entah kemana.

"Bagaimana keadaan di rumah?"

Choromatsu yang akan menaruh vas bunga di meja samping temapt tidur ibunya terdiam. Ia menatap sang ibu dengan tatapan tak percaya. Ibunya yang tidak—tidak mau tepatnya—akhirnya membuka suaranya.

Matsuyo masih diam menatap Choromatsu menunggu jawaban dari anak ketiganya. Choromatsu yang tersadar tersenyum senang, "Baik." Jawab Choromatsu sambil meletakan vas bunga itu lalu duduk disamping kasur ibunya. "Semua baik-baik saja," Matsuyo tidak tersenyum, masih menatap Choromatsu dengan tatapan kosong walau Choromatsu yakin mata ibunya masih menyiratkan rasa kekecewaan yang amat sangat.

"Lalu," suara Matsuyo menggantung, ia mengalihkan pandangannya keluar jendela, lagi. "Bagaimana dengan dia?" tanyanya datar.

Tubuh Choromatsu tersentak kaget. Ia sangat menghindari pertanyaan itu, terlebih pertanyaan itu terlontar dari mulut ibunya. Choromatsu menundukan kepalanya sedikit, menghindari kontak mata dengan ibunya. Matsuyo sekarang menatap Choromatsu dengan intens seolah Choromatsu adalah tersangka pembunuhan kelas berat.

Udara disekitar Choromatsu menjadi berat. Ia bingung harus menjawab seperti apa. Ia tahu kalau ia tidak bisa membohongi ibunya. Dan ia mendengar ibunya mendengus meremehkan.

"Masih tidak berguna, huh?"

Choromatsu tersentak dan menatap langsung ibunya. Matsuyo menatapnya jijik, dan hatinya ngilu melihat ibunya menatapnya seperti itu.

Choromatsu bangkit lalu tersenyum kepada ibunya. "Aku pulang dulu, bu," ujarnya menahan tangannya untuk tidak menyentuh ibunya. Ia tidak ingin ibunya histeris kembali dan membuat ia menyakiti dirinya sendiri. "Besok aku akan datang lagi." Lanjutnya sambil berjalan keluar.

Saat ia membuka pintu kamar rumah sakit ia mendengar ibunya kembali mendengus, "Kau tidak usah kembali lagi kesini," kata itu lagi. "Dan jangan membiayai pengobatanku."

Choromatsu membalikan badannya lalu tersenyum kearah ibunya, "Bye, bu." Ujarnya lirih. Ia pun keluar, menutup pelan pintu kamar bernomor 346.

"Matsuno Choromatsu-san," Choromatsu mendongak melihat dokter pribadi yang merawat ibunya tengah berdiri dihadapannya. Atsushi, si dokter, tersenyum lembut kearah Choromatsu.

Choromatsu membalas senyuman Atsushi tipis. "Ah, sensei," ujarnya pelan. "Bagaimana keadaan ibu saya?" tanyanya tanpa basa-basi, mungkin kepalanya tidak bisa menemukan kata-kata sekedar untuk basa-basi. Sepertinya ia sudah tidak sabar mengetahui keadaan sang ibu.

Atsushi menaikan sebelah alisnya, menatap Choromatsu dengan tatapan—agak—shock melihat raut wajah Choromatsu yang seperti telah menghadapi pembunuhan sadis.

Menggeleng pelan, ia kemudian tersenyum menenangkan Choromatsu yang dalam keadaan dalam kondisi tidak bisa menerima berita buruk. "Dia baik-baik saja," ujarnya pelan menepuk pundak Choromatsu.

Seketika pundak Choromatsu melemas lega. "Syukurlah—" Choromatsu mendesah lega.

Atsushi memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Hanya saja," Atsushi tampak menimbang kata-kata yang harus ia keluarkan. "Hanya saja keadaan mental ibu anda masih terguncang," lanjutnya pelan.

Tubuh Choromatsu tampak kaku seperti baru keluar lemari pendingin. Ia harusnya tahu, tapi entah kenapa sampai kapanpun ia tidak siap mendengar itu.

Atsushi menatap Choromatsu yang tagang kembali. Ia sudah menduga bahwa anak ketiga keluarga Matsuno akan bereaksi seperti ini.

Choromatsu membuka mulutnya tapi sedetik kemudian menutup mulutnya rapat-rapat. Kedua tangannya mengepal hingga jari-jarinya memutih. Benaknya berkecamuk, ia tidak tahu harus melakukan apa, bahkan untuk sekedar menanyakan bagaimana supaya ibunya kembali sehat.

Atsushi yang tampaknya mengetahui isi hatinya kembali menepuk pelan pundak Choromatsu, seolah mengirimkan kekuatan untuk bertahan. "Aku akan mengusahakan supaya ibumu kembali sehat," suaranya yang rendah dan tenang. "Anda berdoa saja supaya ibumu cepat sembuh," lanjutnya tak lupa diiringi senyuman menenangkan.

Choromatsu melemaskan kedua kepalannya dan menarik napas dalam-dalam, "Terima kasih, sensei," ujarnya lemah.

Atsushi menggangguk pelan dan menepuk-nepuk pundak Choromatsu. Choromatsu membungkuk lalu berjalan menuju lift.

"Ah, Choromatsu-san," panggil Atsushi. Choromatsu menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Atsushi. "Mungkin jika kalian semua bersama-sama datang menjenguk ibu kalian itu bisa membantu kesembuhan ibu kalian."

Choromatsu mematung. Tidak, ia tidak akan bisa membuat semua saudaranya datang menjenguk ibunya.

Terlebih dia.

Choromatsu mencoba tersenyum walau ia tahu senyumannya bukanlah senyuman yang ia harapkan.

"Saya akan usahakan, sensei," ujarnya pelan lalu membalikan badannya dan tidak berani menatap kebelakang utuk melihat ekspresi Atsushi.

Tidak, bukan ia malu. Hanya saja ia tidak mau melihat pintu masuk ruang rawat ibunya.

Membayangkan wajah menyesal dan jijik ibunya.

"Aku pulang," ujar Choromatsu sambil membuka pintu geser rumahnya. Ia lihat dua sepatu tidak tersusun rapi. Satu pasang sepatu seperti sepatu formal dan satu lagi sepatu berheels.

Ah sepertinya dia sudah pulang.

Choromatsu menaruh plastik belanjaanya diatas meja samping pintu masuk dan merapikan dua pasang sepatu itu.

"Ah, selamat datang, Choromatsu," Choromatsu mendongak. Seorang pemuda dengan rambut hitam berantakan, kemeja merahnya yang kancingnya semua terlepas dan tampak kusut menyenderkan pundaknya ke dinding. "Darimana saja?" tanyanya dengan nada santai.

Choromatsu tampak tidak memperdulikannya. Ia mengambil plastik dan berjalan menuju dapur. Ia terhenti sebentar menatap ruang tamu. Ia melihat seorang wanita tampak terbaring tak berdaya tanpa sehelai benangpun. Rambut pinknya tampak berantakan, dan yang membuat Choromatsu mendecih tidak suka adalah ruangan yang biasa dipakai untuk berkumpul menjadi kotor dengan cairan menyebalkan.

Pemuda yang masih menyender pada tembok menyeringai kearah Choromatsu, "Maaf ya aku bercinta dengan idolamu," ujarnya santai. Choromatsu melirik—lebihtepatnya mendelik—singkat lalu kembali berjalan karah dapur.

"Bersihkan semua kekacauan itu, Osomatsu-niisan," ujarnya pelan. Osomatsu tersenyum kalah lalu masuk ke ruang tamu dan memungut pakaian wanita atau lebih dikenal Hashimoto Nyaa, idol yang digemari adik ketiganya, dan melemparkannya begitu saja.

Choromatsu yang berada di dapur dapat mendengar kakaknya tengah menyuruh—atau mengusir—wanita yang dulu pernah ia idolakan itu. Terdengar berdebatan kecil yang diakhiri suara dentuman suara pintu.

Choromatsu memasukan beberapa sayuran dan bahan makanan lainnya ke dalam lemari pendingin.

"Hah, dasar wanita menyebalkan," Osomatsu ternyata sudah berada di dapur dan mendudukan dirinya di kursi makan. "Aku tidak menyangka kamu mau mengidolakan wanita cerewet itu, Choromatsu." Lanjutnya mengambil buah apel diatas meja. Choromatsu tidak menjawab dan memilih menyibukan diri dengan mencuci piring.

Keheningan menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara air mengalir dan suara kunyahan apel.

"Hei, Choromatsu," panggil Osomatsu yang sepertinya kesal dengan keheningan ini. Choromatsu mengumam pelan dan masih sibuk mencuci piring. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi," ujarnya dengan nada merajuk.

Choromatsu menoleh kearah Osomatsu, menatap kakaknya dengan tatapan bertanya. Osomatsu yang menyadari adiknya tidak mengerti apa yang ia maksudnya. Ia berdiri dan berjalan kearah Choromatsu dan memeluknya dari belakang.

"Hei—" protes Choromatsu merasa tidak nyaman dipeluk seperti ini. Terlebih sang kakaklah yang memeluknya.

Osomatsu tampak tak memperdulikan penolakan Choromatsu malah makin mempererat pelukannya. "Darimana kamu seharian, hm?" tanya pelan tepat di telinga Choromatsu. Choromatsu merintih pelan saat nafas kakaknya terasa dibagian—yang cukup—sensitif. "Dan membuatku bermain dengan wanita jalang itu," lanjutnya sambil mengigit pelan telinga Choromatsu.

Tangan Osomatsu mulai membelai perut Choromatsu, beranjak naik dan membuka kancing kemeja hijau Choromatsu. Dengan gerakan cepat tangan Choromatsu—yang masih terdapat banyak busa sabun—menghentikan tindakan tidak senonoh kakak pertamanya itu.

Choromatsu mendelik karah Osomatsu yang tampak seolah tidak mengerti apa-apa. "Jangan macam-macam," desis Choromatsu melontarkan ancaman. Osomatsu mengangkat tangannya, menghentikan segala kegiatannya tadi dan berjalan mundur menjauhi Choromatsu.

Choromatsu kembali mencuci piring yang sempat terhenti karena perbuatan Osomatsu. "Aku tadi habis menjenguk ibu," ujarnya pelan dan datar. Ia menunggu reaksi sang kakak. Ia melirik melihat sang kakak yang memasang wajah datar namun air mukanya begitu keras.

"Kau tahu bukan aku tidak suka kau melakukan itu," desis Osomatsu. Choromatsu tak menjawab, ia memilih diam, menyimpan piring terakhir di rak piring, mengelap tangannya yang basah, berjalan kearah lemari pendingin dan memilih bahan-bahan untuk membuat makan malam.

Osomatsu memperhatikan gerak-gerik Choromatsu, seolah Choromatsu adalah tersangka dengan kasus yang berat. Osomatsu membuang nafas kesal, meremas rambut hitamnya menyisirnya kebelakang dengan kasar. "Penolakan apa untuk hari ini?" tanyanya dengan nada mengejek.

Choromatsu tampaknya tidak terganggu dengan reaksi kakaknya yang tidak suka dengan 'kunjungannya' dan memilih mengangkat kedua bahunya santai. "Seperti biasa," balasnya pelan.

Choromatsu mendengar kakaknya mendengus meremehkan. "Dan kau masih tetap mendatanginya?" tanya Osomatsu dingin.

Choromatsu menghentikan kegiatannya mengupas kentang dan memandang kakaknya tidak percaya, "Dia masih ibu kita, kau harus ingat itu," ujarnya penuh penekanan. Osomatsu tertawa meremehkan. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap Choromatsu tajam.

"Oh ya? Apa wanita itu pantas kau panggil ibu setelah apa yang telah dia perbuat pada kita," desis Osomatsu menekan kata ibu. "Terlebih yang padaku," lanjutnya menunjuk dadanya sendiri.

Choromatsu tampak tidak setuju dengan kata-kata Osomatsu. "Itu tidak akan terjadi jika kau tidak memilih pekerjaan itu," balasnya sengit. Mata hijaunya menatap lurus bola mata merah milik Osomatsu. "Terlebih apa yang kau lakukan pada ayah."

Osomatsu mencengkram kerah baju Choromatsu. Menariknya hingga tidak ada jarak diantara mereka. Dada Osomatsu naik turun menahan amarahnya yang bergemuruh di dadanya.

"Harusnya," desis Osomatsu menatap tajam penuh intimidasi kearah Choromatsu. "Harusnya kau berterima kasih padaku, Choromatsu."

Choromatsu diam menatap datar kakaknya. Pikirannya melayang ke dua tahun lalu, dimana keluarganya hancur. Dimana ia harus menelan pahit ayah mereka meninggal di depan matanya,

Terlebih Osomatsulah yang menyebabkan ayah mereka meninggal.

"Kami pulang," sebuah suara ceria dan suara pintu terbuka terdengar. Osomatsu melepas cengkramannya. Sebelah tangan menyisir rambutnya kasar. Tanpa berkata apapun ia berjalan keluar.

"Eh, Osomatsu-niisan," sapa Jyushimatsu. Todomatsu yang asik mengetik di smartphone nya langsung menatap kakak pertamanya.

"Hai, Osomatsu-niisan," sapa Todomatsu. Osomatsu tidak membalas bahkan melirik keduanya dan berjalan keluar tidak memperdulikan keadaannya yang berantakan.

Jyushimatsu dan Todomatsu saling memandang lalu menatap heran Osomatsu yang tengah memakai sepatunya. Osomatsu memngeser pintu rumah mereka dengan kasar dan membanting pintu rumah mereka.

Jyushimatsu dan Todomatsu berjingjit kaget. Choromatsu yang sudah keluar dari dapur menatap sekilas pintu yang menjadi korban kemarahan Osomatsu dan menatap kedua adiknya yang masih menatap heran kearah pintu.

"Dimana Ichimatsu?" tanya Choromatsu membuyarkan kekagetan Jyushimatsu dan Todomatsu. Keduanya menoleh kearah Choromatsu.

"Ichimatsu-niisan tadi sih bilang mau ada urusan dulu," jawab Jyushimatsu dengan senyum lebar yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Todomatsu menganggukan kepala.

"Paling dia mau ke cafe kucing lagi," ujar Todomatsu. Choromatsu tersenyum tipis dan menepuk sayang kepala Jyushimatsu dan Todomatsu.

"Ganti pakaian kalian dan panggil Ichimatsu, hari ini aku memasak kare," Jyushimatsu langsung bersemangat dan berlari ke lantai dua. Todomatsu menggelengkan kepala heran dengan tingkah kakak kembarnya itu dan menyusul Jyushimatsu ke lantai dua.

Choromatsu tersenyum melihat dua adik kembarnya yang sangat berbeda sifat. Lalu dia menatap kembali kearah pintu.

Ah, sepertinya hari ini makan malam akan ia lalui bersama ketiga adiknya. Lagi.

.

.

.

To be continued

Mencoba menulis lagi setelah sekian lama vakum dalam hal tullis menulis.

Tata bahasa yang amburagul(?) gak hapal lagi dengan yang namanya bahasa yang baik dan bagus dan mudah dimengerti. /cries Judul cerita pun aku ngasal karena ide ini murni saat mendengar lagu Euterpe dari Mba Egoist yang kuudere.

Oh iya umur mereka berenam tidak sama satu sama lain. Intinya sih mereka bukan kembar enam lagi.

Osomatsu anak pertama lebih tua dan sekarang(dalam fanfik ini) berumur 25 tahun, Karamatsu(kasian dia belum muncul) berumur 24, Choromatsu 22, Ichimatsu 18, Jyushimatsu dan Todomatsu 14 dan mereka kembar tapi tetap Jyushimatsu kakaknya Todomatsu.

Ngeeeeng, di publish di tempat umum karena mau pake modem di block ama kartu sialan. Dengan berpanas-panasan saya akhirnya bisa mempublish cerita bejad ini.

Review and Fav ya~ /authordibuang