Aku tetap mencintaimu
By izzaNaruHina
Naruto hanya milik om MK
Banyak typo, garing, abal, gaje
Diambil dari kisah penulis sendiri, namun tidak semua, ada sedikit perubahan dan tambahan dari kisah aslinya. Kalau persis kan ga seru dong haha.
.
.
DLDR
Pertemuanku dengannnya yang aneh bahkan tidak terkesan romantis, membuatku tertawa kecil mengingatnya. Pertama kali melihatnya, aku memang tidak begitu mengaguminya. Kita yang sama-sama polos hanya memandang kikuk satu sama lain.
Ramen ichiraku, di kedai itulah awal pertemuan kita. Gara-gara aku di paksa membeli sarapan oleh ibu, dan dengan malas aku menurutinya. Aku belum hapal benar kampung yang baru tiga hari aku tinggali. dengan berjalan kaki dan menenteng mangkuk sedang, ku edarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri, kurasa ini memang terlalu pagi masih belum ada orang yang keluar dari rumahnya untuk kutanyai dimana tempat kedai penjual mie.
Hingga, ada seorang wanita yang yang kira-kira seumuran dengan ibuku, yang sedang menyapu halaman depan rumahnya, sesekali ia mmunguti sapu lidi yang berhamburan jatuh, mungkin sapunya sudah terlalu tipis dan ikatannya yang mulai renggang
"Permisi." Kudekati wanita itu, kulihat ia seakan tersentak dengan kehadiranku. Ia menghentikan aktifitasnya, memandangku kemudian tersenyum hingga bertambah keriputlah garis pipi dan sudut mata wanita itu.
"Iya, cantik ada apa?" tanyanya begitu ramah, karena memang dasarnya aku bukanlah tipe orang yang mudah di sanjung, tak ada semburat tipis walaupun aku di bilang cantik.
Aku tersenyum pada wanita itu, bahkan mungkin lebih lebar dari senyumannya. "aku baru di sini, dan sekarang aku di suruh ibu mencari sarapan. Di sini tempat jualan mie ramen dimana ya buk," tanyaku dengan sedikit melongo, ah mungkin wajahku seperti orang bodoh saat itu.
"Oh iya kamu tetangga baru ya?" sembari menepuk pundakku, "disana, di ujung gang ini ada kedai ramen, namanya Ramen Ichiraku, biasanya jam segini sudah buka," ucapnya, tangnnya menunjuk pada ujung gang di mana tempat kedai ichiraku berada.
"Terimakasih bu," ucapku sedikit membungkukkan itu hanya mengangguk kecil dengan senyuman yang masih setia menghiasi wajahnya yang sudah mulai keriput di makan usia.
Aku segera bergegas menuju tempat yang di tunjuk wanita tadi. Sedikit ku tolehkan kepalaku melirik wanita tadi, dan kulihat ia sudah melanjutkan aktifitas menyapunya yang tertunda karenaku tadi.
Aku kembali memandang ke depan, langkahku sedikit bersemangat. Entahlah, padahal tadi aku begitu malas dengan mata yang masih mengantuk, bahkan mungkin, sisa liur yang mengering masih tercetak jelasdi sudut bibirku.
Aku berhenti setelah sampai di kedai yang ku tuju. Ku lihat memang sepertinya masih baru buka, dan pelangganpun masih segelintir hanya sekitar dua sampai tiga orang. Ku hampairi kedai tersebut dengan cepat, yah karena aku tidak mau bila sampai ada orang baru dan masuk tiba-tiba hingga aku terpaksa menjadi antrian yang terakhir.
"Paman, aku ramennya satu yah," ucapku pada paman bertubuh sedikit tambun si penjual ramen, ku sodorkan mangkuk yang kubawa dari rumah tadi.
"Ya, tunggu sebentar, kau boleh duduk," ucap paman penjual ramen tersebut,paman tersebut tersenyum membuat pipinya terlihat bertambah bundar sambil memungut mangkuk yang ku berikan padanya.
Aku pun duduk, di bangku paling sudut. Yang karena bagian tengah ada dua peelanggan laki-laki, sedang aku memang selalu menjaga jarak dengan yang namanya laki-laki. Aku duduk menopang dagu sambil besenandung kecil. Pandanganku kemudian teralihkan pada seorang pemuda yang baru datang, berambut kuning jabrik, berkulit tan dengan wajah yang dihiasi tiga goresan tipis di kedua pipinya. Sedikit ku amati raut wajahnya yang kupikir memang mirip dengan kucing. Dan kurasa dia tidak tahu kalau aku sedang mengamatinya.
"Paman, mana pesananku, sudah jadi belum?" Kudengar ia sedang meminta ramen pesanannya.
"ya sebentar lagi," balas paman tersebut. Ku lihat ia hanya mengangguk kecil, kemudian manik birunya mulai memandangku. Aku yang sedari tadi mengamatinya mulai mengalihkan pandanganku ke arah lain. bahkan sekarang aku tidak tahu apa ia masih memandangku atau tidak.
Aku memandangnya lagi namun hanya sekilas, dan yang ku lihat dia menghampiriku. Dasar aku memang orang yang tidak peka, dan cuek tidak ada rasa takut atau gugup saat dia menghampiriku.
"Kau, sepupunya Neji kan?" tanyanya tiba-tiba tepat di sampingku, aku meliriknya dan hanya ku jawab dengan anggukan. Ku tatap kembali dapur kedai di depanku tidak mempedulikannya. Bahkan aku tidak tahu, seperti apa ekspresinya sekarang, karena ku acuhkan.
Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya, sepertinya dia sudah mulai malas. Ki dengar Paman penjual ramen itu memanggilnya karena pesannya sudah selesai. Kulihaat ia ikit menjauh menghampiri paman tersebut dan mengambil pesanan ramennya dan berlalu begitu saja.
Aku sedikit heran, kenapa dia mengenal Neji-nii? namun aku tidak terlalu ambil pusing dengan masalah itu. Hingga mie pesananku sudah jadi, ku ambil ramen yang masih panas tersebut dan membayarnya. Untung saja mangkuk yang aku bawa ada pengangan di sisi kanan kirinya, sehingga aku tidak takut kepanasan saat membawanya pulang.
Di jalan, ku hirup terus aroma ramen yang begitu nikmat itu. Warna merah kuahnya yang begitu menggoda membuatku mulai merasa lapar. Ah dan ya perutku mulai berbunyi, spertinnya itu efek dari wangi sedapnya ramen yang aku bawa.
Sesampainya di rumah, ku taruh mangkuk berisi ramen tersebut di meja dapur. Kucoba diam2 tidak memberitahu ibu agar aku bisa memakan ramen itu sendiri. Salah siapa terlalu asyik mengobrol dengan tetangga di belakang rumah. Ku ambil sumpit terlebih dahulu lalu ku bawa ramen tersebut ke teras, yah aku memang suka makan di tempat yang begitu terbuka. Lebih terasa fress dan nikmat menurutku.
Di teras aku duduk bersila, siap akan menyantap ramen lezat yang uapnya masih mengepul dan masuk ke sela-sela hidung mungilku, hingga menyisakan aroma lezat yang begitu nikmat. Saat aku akan memasukkan sesumpit ramen, aku mendengar suara dehem dari belakangku.
Patah-patah kitolehkan wajah ku pada asal suara itu. Ku lihat ibuku, sudah bersidekap dan menatapku kesal.
"Enak ya?" ucap ibuku seakan ia menyindir diriku.
Aku nyengir, sembari menggaruk pelipisku yang tidak gatal, "habis, ibu sih terlalu asyik mengobrol," ucapku, mengangkat mangkuk dan memutar badanku agar berhadapan dengan ibu.
Ibu hanya mengendikkan bahu, dan mulai menyumpit ramen di hadapannya. Bahkan aku tidak tahu, kalau ibu sudah siap dengan sumpitnya dari tadi. Dan akhirnya, kita makan semangkuk berdua.
Kalau kalian tanya Ayahku, dia sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Bekerja sebagai buruh kuli di sebuah toko memang sederhana, bahkan rumah kami sebenarnya bisa di bilang hanya mengontrak.
Selesai kami memakan ramen, aku membawa mangkuk kotor tersebut ke dapur untuk ku cuci. Sebenarnya jarang sekali aku mencuci mangkuk yang baru selesai di buat makan. Paling-paling aku tumpuk dengan piring kotor yang lain hingga menjadi suatu pencemaran dapur.
Di tengah aku mencuci mangkuk, aku mendengar di ruang tamu ada seseorang. dari suaranya sepertinya itu Neji-nii.
Selesai aku mencuci mangkuk, aku berjalan menuju ruang tamu, sambil mengelap tangan basahku pada celana yang aku pakai. Yah aku memang orangnya jorok dan seenaknya sendiri.
Ternyata benar itu Neji-nii sedang berbicara dengan ibu. Dan ada satu lagi orang yang bersama Neji-nii, dan aku pernah bertemu dengannya sebelumnya. Aku masih belum mengetahui siapa namanya, karena pertemuan itu masih terlalu singkat. Namun hanya satu yang nyantol di oendengaran ku waktu itu, paman itu memnaggil nama belakangnya 'to'. Dan aku tidak tau apa itu parto, narto, sarto, atau sukito.
Aku berjalan mendekati mereka bertiga, dan duduk di sebelah ibuku. Dia memandangku dan aku membalas pandangannya datar, namun perhatianku tertuju pada garosen tipis di kedua pipinya, batinku bertanya-tanya itu tanda lahir atau luka?
"Hinata, kau tidak sekolah?" Ucapan Neji-nii mengalihkan perhatianku dari pipi pemuda di sebelahnya.
"Tidak, masih libur semester," ucapku santai, ku lirik pemuda berambut kuning itu lagi. Ah ternyata dia masih memandangku, jujur saja aku merasa risih di pandangi terus seperti itu. Kalau pemuda yang aku suka sih aku tidak keberatan.
"Kau sendiri, tidak bekerja?" tanyaku, pada Neji. Yah hanya kalimat-kalimat seperti yang kaluar bila aku dan Neji-nii mengobrol, sebab aku dan Neji-nii tidak seberapa akrab.
"habis ini mau berangkat," jawabnya lalu manyandarkan punggungnya pada sofa buluk itu. Yah namanya orang miskin mana bisa bali sofa baru yang bagus.
Aku hanya manggut-manggut dan lagi-lagi aku mengerling pada pemuda itu, dan sudah kuduga dia masih betah memandangku dengan intens.
Ibu yang memang cerewet dan paling bisa membuat topik obrolan, terus mengobrol dengan Neji-nii, sementara aku hanya duduk diam seperti boneka yang menjadi hiasan sofa.
"Aku berangkat dulu bibi," Neji beranjak dari sofa dan merapikan sedikit jaketnya "Naruto, ayo," ajaknya pada pemuda yang kini sudah ku ketahui bernama Naruto itu.
"Sering-sering main ya?" ucap ibuku sebelum Neji-nii benar-benar keluar dari rumah.
"Itu pasti karena aku suka bermain kartu dengan paman," ucap Neji -nii sembari terkekeh kecil.
Sedang pemuda yang bernama Naruto itu tersenyum pada ibu dan mengangguk kecil, aku hanya memandang datar dirinya yang kini memandangku kembali. Sebenarnya dia memang manis saat tersenyum, walau bagiku dia orangnya tidak begitu tampan.
Mereka berdua telah keluar dari rumah kecilku, bersiap akan berangkat bekerja, yang aku tahu mereka bekerja sebagai pemasang reklame. Sebelum ia akan naik pada motor birunya, lagi-lagi menatapku. dan jujur saja lama-lama aku merasa sebal padanya yang terus menatapku sedari tadi.
Kini aku merasa sedikit lega, karena dia dan Neji-nii telah berangkat, paling tidak aku sudah terbebas dari tatapan maut pemuda bernama Naruto itu.
TBC