Naruto mencoba menghela napas, saat beban yang ia bawa kini benar-benar terasa.

"Ophis, bisa kau turun dari punggungku sekarang?"

"Oh ayolah. Kau baru saja berjalan sekitar satu kilometer dengan berjalan kaki, dan kau mengeluh?"

"Berat, goblok!"

—Nyatanya sih, Ophis kini memaksakan diri untuk terus berada di punggung Naruto, di gendongannya.

Siang hari ini, di bawah terik matahari yang mulai menyengat ini, Naruto berjalan menyusuri Kota. Niatnya tidak lebih untuk pergi menemui Azazel di tempat biasa meski ini tidak seperti waktu yang dijanjikannya. Namun, ia hanya tidak sabar tentang informasi yang diberikan sosok yang pernah menyewa jasanya itu.

Dan hal yang menjengkelkan dari semua itu adalah, Ophis, gadis yang berada di punggungnya ini telah berada di sana sesaat setelah Naruto beranjak berdiri dan hendak meninggalkannya di bukit. Namun apa daya, Ophis tak mau ditinggalkan dan memaksa untuk ikut. Tapi kenapa harus digendong sih?

Bahkan lebih dari itu, Naruto merasakan tatap orang-orang yang agak sedikit tidak enak padanya ketika ia sadar bahwa ia sedang membawa anak kecil dengan dress gothic lolita. Semacam, apa yang dilakukannya dengan gadis ghotic-loli itu? Dia Pedofil? dan pertanyaan tersirat lainnya yang membuat Naruto benar-benar jengkel pada Ophis.

"Beneran deh, Ophis. Turun dari punggungku, cepat!"

"Kau kelelahan? Cih. Dasar lemah!"

Dan bodohnya, Naruto merasa terpancing oleh ejekan Ophis.

"HA?! Siapa yang kau sebut lemah?"

"Makanya biarkan aku seperti ini. Punggungmu benar-benar nyaman. Mungkin lain kali biarkan aku menjadikanmu kasur tidurku"

"Ya, ya, ya, terserahmu, naga bego. Setidaknya jangan biarkan orang di sekitar kita menatap aneh ke arahku"

Apa yang dikatakan Naruto membuat Ophis heran. Orang di sekitar katanya? Ia awalnya agak waspada, mengingat Naruto menggunakan kalimat yang cukup ambigu. Ophis mengedarkan pandangannya, dan hanya kesal sendiri.

"Apaan sih goblok? Kukira ada musuh, ternyata hanya manusia saja"

"Ya memang manusia lah bego! Tatapannya agak aneh padaku, dan itu membuatku merasa tak nyaman"

"Kenapa kau begitu? Biarkan saja, mereka hanya manusia"

"Ya aku juga manusia, naga goblok! Kau mau membuat kehidupanku hancur karena dikira pedofilia yang dikira habis mengiming-imingi gadis kecil lalu digendong untuk dibawa pergi ke suatu tempat yang sunyi?"

"Apa yang kau katakan? Kau ingin memperkosaku, Uzuki?"

Naruto menepuk jidatnya. Ah bego!

"Itu hanya perumpamaan saja. Jadi, cepat turun!"

"Tidak akan! Sebelum kau sampai di tempat tujuanmu"

Sungguh, jika seandainya ia bisa menghajar moefikasi naga ini sekali saja, maka ia akan menghajarnya sekarang juga.

Kenapa orang sekelilingnya selalu aneh-aneh sih?

.

.

.

.

.


Disclaimer (c) Masashi Kishimoto, Ichie Ishibumi

Chapter 32 : After – Kenyataan dari sebuah nasib


.

.

.

.

.

Naruto mengambil rute jalan yang sepi, dengan harap ia bisa menghindari tatapan aneh dari orang-orang karena gadis cilik di punggungnya ini.

Jalan yang ia lewati hanyalah gang sempit yang mungkin hanya pas untuk tiga atau dua orang yang melintas. Naruto awalnya enggan dan malas untuk mengambil rute jalan ini. Alasan utamanya adalah ia akan memakan waktu lebih lama untuk sampai ke tempat tujuan jika mengambil jalan ini. Namun apa daya, demi nama baiknya, Naruto mengambil jalan ini.

Ya ... meski kemungkinan terbesar yang amat fatal adalah, akan ada orang yang melihatnya masuk ke jalan ini dan mengira bahwa dirinya adalah pemerkosa anak kecil.

"Uzuki, kenapa kita mengambil jalan ini?"

"Aku hanya mencoba meminimalisir resiko. Aku tidak betah ditatap seperti itu oleh orang-orang"

"Heeeh~ Kau takut ditatap seperti itu, sementara kau tidak takut saat kau dikeroyok habis-habisan oleh ulah para Iblis di malam yang lalu. Sasuga manusia dari dunia lain"

"Bacot!"

Apa yang dikatakan Ophis tentang dikeroyok memang benar sih. Benar dan memang nyata hingga membuatnya enggan untuk kembali mengingatnya. Setidaknya, Naruto ada sedikit kontribusi di malam itu meski ia sempat dianggap musuh oleh sekutu sendiri.

"Ophis ..."

"Ya?"

"Kau, naga betina kan?"

"Hah?! Kali ini, apa maksudmu?"

Naruto menggeleng pelan. Jujur, itu hanyalah pertanyaan yang melintas di kepalanya saat ia benar-benar bosan dengan hanya berjalan menyusuri jalan sepi ini. Toh, ia juga penasaran tentang diri Ophis yang sebenarnya.

"Iseng. Setidaknya, biarkan aku mengetahui dirimu setelah kau berhasil membuatku jengkel"

"Dih. Siapa yang kau maksud?"'

"Siapa lagi kalau bukan dirimu?"

Urat pelipis Ophis muncul saat apa yang dikatakan Naruto sungguh membuatnya kesal. Lantas ia menggigit leher Naruto hingga berdarah dan membuat Naruto meronta-ronta kesakitan. Dalam pikir, ini naga kenapa menggigit?

Eh, naga bukannya memang mengigit ya?

"Ophis, sakit goblok!"

"Makanya. Kau tidak sopan pada tuanmu"

"Siap yang maksud?"

"Siapa lagi kalau bukan diriku?"

" ... Ophis! Turun dari gendonganku sekarang!"

"HAH?!"

Sungguh, kenapa ia selalu dibuat jengkel oleh gadis kecil yang satu ini?

Entah kenapa, rasanya ingin sekali ia melihat sisi manis dari Ophis, setidaknya, meski Cuma sekali seumur hidup. Ia hanya tidak ingin tidur dengan tidak tenang karena Ophis selalu menjengkelkan baginya.

"Turun!"

"Huu ... Yaudah deh, maaf"

"Ha?"

"Aku minta maaf, bego"

Heeeh~ baru pertama kalinya ia mendengar kata maaf dari bibir Ophis.

Naruto kembali berjalan dengan biasa. Sesekali mencengkram lebih erat pergelangan tangannya di belakang yang menjadi dudukan Ophis. Di sisi lain, Ophis mengalungkan kedua lengannya pada leher Naruto. Sesekali ia tertawa melihat bekas gigitannya di leher Naruto yang sedikit mengeluarkan darah.

Seketika muncul di pikiran Ophis, apa Naruto tidak marah jika ia terus seperti ini padanya?

Jujur, Naruto adalah sosok yang jauh berbeda dengan sosok-sosok yang dulu pernah ia temui. Setidaknya, Naruto lebih ceria, mampu membuatnya tertawa, bertengkar, dan sebagainya daripada sosok yang pernah ada di sisinya, dulu.

Maka dari itu pertanyaan itu muncul di kepalanya. Secara, ada keinginan di dalam hatinya tentang ketidakinginannya Naruto pergi darinya. Naruto hanya miliknya, dan terus berada di sisinya. Ya, Ophis memang egois.

"Ya. Kau bisa menyebutku begitu, Uzuki"

"Soal apa?"

"Naga betina. Aku jauh berbeda dengan Red-chan sih"

"Tentu saja bukan? melihatnya saja, membuatku sadar jika Great Red itu adalah naga jantan yang mengerikan"

Ophis tertawa pelan, saat Naruto memberikan pandangannya soal Great Red. Ophis sendiri mau tak mau menyetujui apa yang dikatakan Naruto. Great Red memang menyeramkan sih untuk beberapa sisi, namun tidak dengan kekuatannya, bagi Ophis.

"Lalu, kenapa kau menggunakan tubuh anak kecil sebagai moefikasi?"

"Tidak. Inilah diriku jika aku berubah menjadi bentuk seorang manusia. Aku tidak suka dengan tubuh orang dewasa"

"Kenapa? Kau tidak tertarik dengan dada besar seorang perempuan?"

"Kenapa malah nyasar ke dada, goblok?!"

"Hahaha ... Tidak. Hanya saja, entah mengapa aku lebih memilih Ophis yang seperti ini daripada Ophis dalam bentuk dewasa"

Dan dalam sepersekian detik, Ophis tertegun atas apa yang Naruto katakan, sungguh.

"Uzuki …."

"Iya?"

"Jangan tinggalkan aku, ya?"

"Ya, ya. Aku hanya budak kesayanganmu yang tak akan pernah lepas darimu. Puas?"

"Hihihi~"

Ophis tertawa senang. Melingkarkan kedua lengannya, aga sedikit mencekik Naruto dari belakang, lalu menenggelamkan wajahnya pada lekuk leher Naruto.

Ya, Naruto sangat berharga baginya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Naruto menghela napas lelah. Keringat mengucur di dahinya saat kedua kakinya kini sudah lelah untuk berjalan lebih lama.

'Azazel sialan! Itu gubernur kemana sih?'

'Kan kau bilang janjiannya nanti malam, bego. Ya tunggu aja nanti malam'

'Huh … Kalau begitu, aku akan pulang'

'Uzuki, gendong aku!'

'Gak. Capek!'

'Ha?! Eh, hey! Tunggu aku!'

'Gak!'

Ia tertawa lepas saat teringat jika ia meninggalkan Ophis sendirian di bawah jembatan, tempat kesukaan Azazel. Orang lain akan sangat khawatir saat mereka meninggalkan gadis kecil di kolong jembatan, namun tidak dengan Naruto. Ia yakin, bahkan sangat yakin, itu moefikasi naga tak akan kenapa-kenapa.

Naruto menenggak soda kaleng di genggamannya, yang sebelumnya sempat ia beli di vending machine. Sungguh, berjalan jauh dan membawa beban di punggungnya benar-benar sesuatu yang enggan untuk ia lakukan kedua kalinya. Bahkan lebih dari itu, Ophis, si beban yang ia maksud, benar-benar membuat moodnya cepat berubah hari ini.

Itu naga mungkin bisa berubah menjadi mood boosternya?

Enggak, enggak, enggak! Daripada mood booster, Naruto lebih suka menyebutnya mood destroyer!

Naruto kembali melangkahkan kakinya saat dirinya tak jauh dengan apartemen tempat ia tinggal. Sungguh, rasanya ia ingin segera pulang, duduk di sofa, dan menikmati sebotol air yang disuguhkan Rize padanya.

Ah …. Rize dan Kurumi tidak berangkat sekolah ya?

Bukankah itu hal yang bagus?

Ketika sibuk tenggelam dalam pikiran bahagianya, membuat Naruto tak sadar jika ia sudah berada di depan apartemennya. Ia menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Jujur, ini melelahkan. Niatnya hanya sekedar mencari udara malah rasa capek yang didapatkan.

Lalu, saat Naruto membuka pintu apartemen secara perlahan, ia dikejutkan dengan Kurumi yang berdiri di hadapannya. Mereka berdua terkejut. Terlebih, Naruto melihat Kurumi dalam balut pakaian berbeda; sweater hitam, dengan rok pendek warna senada. Naruto tersenyum.

"Na-Naruto?"

"Yah … Kurumi. Kau mau kemana?"

"Hanya pergi ke swalayan saja kok"

Naruto tersenyum simpul. Jujur, apa pergi ke swalayan harus berpakaian seperti ini? Maksud Naruto, gadis di depannya ini terlihat cantik, pdahal keluar hanya sekadar ingin membeli sesuatu di swalayan.

"Katakan, apa yang ingin kau beli?"

"Sebenarnya, persediaan ramen cup milikmu sudah habis. Rize lalu menyuruhku untuk membelinya di swalayan"

Naruto tertawa halus. Hey! Dua gadis di rumah ini benar-benar perhatian padanya, bahkan hal kecil pun.

Naruto mencoba menggapai kedua bahu Kurumi, lalu berkata padanya bahwa ia bisa memakan makanan lain walaupun cup ramen telah habis. Tenang saja. Kau tak perlu khawatir. Kurumi mengangguk. Lantas, Naruto menyuruhnya untuk mengurungkan niatnya dan menghabiskan waktu mereka untuk bersantai hari ini.

"Wah, wah. Kau pulang juga ternyata"

Yang berkata barusan adalah Vali, yang duduk di sofa. Naruto yang baru saja masuk ke apartemennya, berjalan di belakang Kurumi, mau tak mau kembali dibuat kesal oleh Vali. Sungguh, kenapa orang-orang di sekitarnya selalu menjengkelkan?

"Ha? Apa yang kau katakan?"

"Tidak. Hanya saja, kupikir kau akan pergi dengan wajah ngambek hanya karena sebuah kesalahpahaman"

"Dih anjir! Jangan ingatkan aku pada itu!"

Entah kenapa belakangan Vali selalu mengejeknya saat ia salah paham soal Vali dengan Kurumi beberapa waktu lalu.

Itu memalukan. Sumpah!

"Sudah, sudah. Naruto-kun, maafkan dia ya? Maklum dia baru pulang dari pasar dan membawa belanjaan banyak" Naruto sempat melirik ke arah dapur, dan menangkap banyak plastik berisi persediaan makanan saat Rize berbicara padanya. Naruto menghela napas.

"Ya, dia memang begitu, bahkan sebelum kau tinggal di sini, Rize"

"Ha? Apa yang kau maksud? Naruto?"

Naruto menyeringai saat Vali menatapnya dengan tidak suka. Entah mengapa, ingatannya tentang masa yang telah lalu kini muncul di kepalanya.

"Katakan padaku, siapa yang dulu meminta sabun dan dengan bangganya telanjang dan memamerkan kejantanannya yang kecil padaku?" Seketika ucapan Naruto membuat Vali menahan kesalnya. Di samping itu, Kurumi dan Rize hanya memerah malu akibat ucapan Naruto yang terkesan vulgar.

"Dih bangsat! Itu belum ereksi goblok—"

*Ctaaaangg! Ctaaaanggg*

"Aduh … Rize, sakit tahu!"

"Ya! Naruto benar!"

"Ucapan kalian terlalu vulgar goblok! Mau kulempar lagi dengan sendok?!"

Dan Kurumi tertawa halus saat sadar jika dua sosok itu dengan mudahnya tuntuk dibawah kuasa seorang Rize.

.

.

.

.

.

.

.

.

Malam harinya, Naruto hendak pergi ke luar untuk menemui Azazel dan menagih janjinya akan informasi yang entah mengapa membuatnya benar-benar merasa penasaran. Di malam itu, Kurumi menatapnya khawatir di pintu apartemen. Seolah, ia benar-benar takut jika seandainya Naruto pergi dan tak kembali lagi.

Berbeda dengan Rize dan Vali, keduanya tengah menikmati acara televisi dengan tawa riang di sofa.

"Tenang saja, aku pasti pulang kok" Kata itu meluncur dari Naruto seolah menjadi sugesti tersendiri bagi Kurumi. Namun Kurumi masih belum yakin. Jujur, kemungkinan Naruto akan pergi masih terbayang di kepalanya.

Apa yang telah terjadi membuat Kurumi sadar akan perasaannya pada Naruto. Sadar bahwa Naruto bukanlah sekadar sosok yang ada pernah hinggap di hatinya, namun, mempunyai tempat spesial di hatinya. Ketika Naruto kembali, ia terbayang akan Naruto yang pergi darinya. Kurumi tak ingin itu, sungguh. Bahkan, ia merelakan tubuhnya pada Naruto agar Naruto tetap berada di sisinya. Ia tak ingin Naruto pergi jauh darinya, tak sama sekali.

"Aku ... aku tak ingin Naruto pergi"

Naruto tersenyum simpul saat Kurumi mengatakan itu dengan polosnya.

Naruto sadar, ia memang harus banyak menghabiskan waktu bersama Kurumi. Hanya berdua, ia, dengan Kurumi saja.

"Kurumi, ke sini"

*Ckleek!*

Naruto lalu menarik Kurumi keluar apartemen lalu menutup pintu apartemen. Kurumi awalnya cukup terkejut atas apa yang dilakukan Naruto. Semacam, Naruto ingin mengajaknya atau apa?

Lalu saat Kurumi masih dalam keterkejutannya, ia dikejutkan oleh Naruto saat Naruto mengecup bibirnya lembut. Tak ada nafsu, hanya kasih sayang yang tulus di dalamnya. Kurumi memerangkap Naruto yang terpejam saat menyesap pelan bibirnya. Kurumi terdiam. Tak ada sedikitpun niat untuk membalas.

—Dan setelah Naruto melepas ciumnya pada Kurumi, Naruto memeluk gadis itu dengan erat. Membawa Kurumi pada peluk hangat seorang Naruto. Ia merasakan kedua telapak tangan yang membawanya pada hangat akan lindungan seorang Naruto. Kurumi tersenyum, saat Naruto mengelus helai rambut hitam panjangnya yang cantik.

"Kau tak perlu khawatir. Aku akan pulang kok. Maaf jika aku tak bisa menghabiskan banyak waktu bersamamu"

"Tak apa ... Aku tak apa. Setidaknya, aku ingin Naruto berjanji padaku"

"Janji?"

Kurumi melepas peluk Naruto dan melangkah mundur, membuat Naruto agak terheran. Setelah itu, Kurumi tersenyum, dengan menunjukkan jari kelingkingnya pada Naruto. "Berjanjilah padaku, bahwa kau tak akan pergi jauh lagi dan meninggalkanku sendirian" ucapnya pada Naruto, hingga membuat Naruto tersenyum simpul.

Naruto mengangkat jari kelingkingnya, lalu mengaitkannya dengan jari Kurumi.

"Aku janji"

"Hihihi~"

"Kurumi ..."

"Iya?"

Lalu setelahnya, mereka kembali memberi cium untuk yang kesekian kali ...

.

.

.

.

.

.

Naruto menatap datar, kala mendapati dua sosok di depannya telah datang, saat Naruto tiba di tempat yang dijanjikan oleh Azazel. Di sana, di depannya adalah Ophis dengan pandang mata bosannya, sementara di sebelahnya adalah Azazel dengan joran pancingnya. Ember di sebelahnya pun masih belum terisi hasil tangkapannya.

"Kalian ..."

"Wah, wah. Kau datang juga, Naruto"

"Uzuki"

"Sebentar, kalian sedari tadi berdua di sini tanpa bicara sedikitpun?"

Keduanya mengangguk setuju. Naruto menepuk jidatnya. Ada apa ini, suasana yang agak tegang ini?

"Ophis?"

"Ya?"

"Setidaknya, bantu aku membawa ini"

Apa yang Naruto bawa adalah dua kantong plastik berisi cemilan untuk menemani mereka bertiga malam ini. Naruto tahu, ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama ketika ia teringat Azazel berkata dengan cukup serius saat itu. Mendengar perintah Naruto, lantas Ophis menurutinya dan mengambil satu kantong plastik dari Naruto untuk dibawa.

Sementara itu, Azazel hanya mampu sweatdropped. Dalam pikirnya, Ouroboros Dragon bisa diperintah oleh si pirang ini?

Jadi, Naruto jujur soal 'Dia sudah jinak padaku' saat itu?

Azazel lalu tertawa pelan.

"Apa yang kau tertawakan, Azazel?" Seketika Azazel terdiam dan menggelengkan kepala saat Ophis melayangkan pertanyaan itu dengan nada dingin, saat mereka berdua—Naruto dan Ophis—telah berada di sampingnya dan duduk di sana.

"Jadi, apa yang ingin kau berikan padaku?"

"Sebentar, Naruto. Apa tak apa jika dia ada di sini?" Azazel mengatakan itu sambil menatap Ophis, hingga membuat Ophis merasa agak sedikit kesal sendiri.

"Tenang saja, kau tak perlu khawatir. Bukankah bagus jika kita punya Ouroboros Dragon sebagai kubu kita?"

"Hah? Apa yang kau katakan, Uzuki? Aku di sini bukan berarti ini menjalin hubungan dengan Azazel"

Naruto kembali menepuk jidatnya. Sungguh, apa ia salah memakai kata?

"Naruto?"

"Ya, ya, ya. Intinya kau tak perlu khawatir. Jika Ophis berbuat sesuatu diluar dugaanmu, maka aku yang akan memaksa si naga bego ini untuk diam" Apa yang Naruto katakan membuat Azazel kembali sweatdropped. Melihat Naruto yang kini tengah dicekik oleh Ophis, membuat Azazel berpikir, apa ia serius dengan yang dikatakannya?

"O-Ophis! Lepas! Lepaskan goblok!"

"Dih! Kau benar-benar menjengkelkan!"

"Ha? Siapa yang kau maksud?"

"Tentu saja dirimu"

"HA?! BUKANNYA KEBALIKANNYA?!"

Ya. Setidaknya, Azazel bisa mempercayainya jika melihat hubungan yang terjalin antara mereka berdua.

"Ya, ya. Baiklah, aku percaya padanya"

Akhirnya, Ophis melepas cekikannya pada Naruto. Sedangkan Naruto hanya mampu menatap jengkel si gadis kecil moefikasi naga di sebelahnya. Sadar jika mereka sedari tadi terus bercanda—serius, Naruto malah bukan menganggap sebagai bercanda—membuat Naruto memulai pembicaraan dan mengambil sesuatu dari kantong plastiknya.

"Jadi, apa yang ingin kau beritahu padaku?"

Naruto mengatakan itu sambil memakan kripik kentang yang ia bawa. Di sampingnya, Ophis hanya terdiam sambil mengunyah makanan yang diambil dari kantong plastik yang Naruto bawa sebelumnya. Azazel tersenyum miring. Ini mereka sedang mengadakan acara kemah atau gimana?

"Ehem! Baiklah. Kita mencoba untuk mulai serius. Terlebih, ini untuk dirimu sendiri, Naruto"

"Diriku sendiri?"

Apa yang dikatakan Naruto membuatnya menaikkan sebelah alisnya pertanda penasaran. Meski sering kali Azazel membuka obrolan serius dengannya, namun untuk kali ini, Naruto benar-benar penasaran. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang memang seharusnya sudah tahu sejak lama.

"Ini adalah ide dariku, satu kemungkinan yang membuatmu bisa kembali ke rumahmu"

Dugaan Naruto benar ...

"Bagaimana caranya? Kau tidak menyuruhku untuk mencari Ring of Chaos yang dibuang Kokabiel di celah dimensi bukan?"

Satu-satunya kemungkinan yang Naruto ketahui untuk kembali pulang ke rumahnya adalah dengan mencari cincin yang Kokabiel buang di celah dimensi. Ya, hanya itu kemungkinan satu-satunya. Itu sangat mustahil untuk dilakukan.

Jika mengingat apa yang terjadi, rasanya ia ingin kembali menghajar wajah Kokabiel berkali-kali. Sungguh, apa yang datenshi hina itu benar-benar membuatnya kesal. Ia bahkan tidak menyangka jika ia adalah manusia yang telah tiga kali berpindah dimensi.

"Tidak. Bukan itu. Satu hal yang perlu kau tahu, Naruto. Kemungkinan terbesar pada cincin itu yaitu hancur karena tekanan yang kuat yang terjadi di celah dimensi. Maka dari itu. Hapus itu dari kepalamu"

Naruto terdiam mendengar apa yang dikatakan Azazel, namun setelahnya, Ophis kini ikut berbicara.

"Kurasa ada benarnya dengan apa yang kau katakan. Celah dimensi bukan tempat yang bagus untuk ditinggali. Meski ya, itu salah satu rumahku sih"

"Rumah?"

"Tentu. Itu adalah rumahku bersama Red-chan. Namun setelah kami menemukan rumah baru yang lebih nyaman, aku memutuskan untuk pindah rumah dan Red-chan juga ikut pindah bersamaku"

"Eh? Tak kusangka kau akrab dengan Great Red" Azazel memberi senyum simpul saat ia mengamati apa yang baru saja Ophis katakan. Semacam, apa yang pernah terlintas di dalam kepalanya benar-benar jauh berbeda dengan fakta yang ada.

"Oke, oke. Balik ke pembahasan. Jadi, bagaimana caranya?" Kini giliran Naruto untuk berbicara. Azazel menatapnya serius, mencoba mencari kesungguhan dari diri Naruto.

"Aku bisa saja membuat Ring of Chaos II, asal kau mau mendapatkan bahan utamanya"

"Bahan utama?"

"Ya. Aku perlu bahan utamanya. Tapi, apa kau serius tentang ini, Naruto?"

Azazel bisa berspekulasi bahwa apa yang ia katakan pada Naruto kini adalah hal yang tak bisa didengar oleh orang banyak. Atau dengan kata lain, yaitu informasi rahasia. Azazel akan menjadi penyebab utama atas kekacauan yang terjadi jika informasi ini tersebar oleh orang banyak. Setidaknya, Ophis dan Naruto bisa ia percayai.

Pada akhirnya, informasi yang tak berguna yang ia katakan pada Naruto sebelumnya hanyalah tipuan semata.

Naruto awalnya ragu. Ia mencoba mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan hal ini. Tentang siapa yang lebih berharga soal dunianya atau cinta, teman dan keluarganya. Naruto tak memberi jawaban pada Azazel. Ia hanya kembali memberi sebuah tanya.

"Aku tak bisa memastikannya. Tapi katakan padaku, apa bahan utamanya?"

"Sebelum aku memberitahumu, aku akan menjelaskan bahwa Ring of Chaos bukanlah sebuah alat yang mampu membuat celah dimensi yang langsung memiliki tujuan ke duniamu, Naruto. Ring of Chaos adalah sacred gear yang mampu membuat pergesekan antar dimensi, yang dimana saat kau masuk ke dalam celah dimensi yang dibuatnya, kau akan datang ke tempat yang tak akan pernah kau ketahui sebelumnya. Butuh puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kali untuk menemukan duniamu kembali dengan benda itu"

"Aku tahu itu. Aku menyadari itu saat Kokabiel menggunakannya saat dia kabur sebelum akhirnya mati di tanganku. Benda itu tidak membuat penggunanya berpindah ke dimensi yang diinginkan. Aku yakin jika Kokabiel menggunakan itu sebagai jalan terakhir untuk hidup dengan harap bisa bertemu dengan dunia yang berpihak kepadanya saat ia sadar jika aku mengejarnya. Namun apa daya, ia bertemu dengan dunia yang tak mendukungnya, dunia yang kau sebut dengan rumah, Ophis" Naruto mengatakan itu sambil menoleh ke gadis mungil di sebelahnya. Ophis tersenyum simpul.

"Begitu kah? Kalau begitu, mungkin lain kali aku berterima kasih pada Kokabiel yang telah mati itu setelah rela mengorbankan nyawanya untuk mempertemukanku dengan budak kesayanganku ini" Seketika Naruto menjitak kepala Ophis saat apa yang dikatakannya membuat Naruto menjadi kesal sendiri. Budak kesayangan, eh? Yang namanya budak ya tetap saja sosok yang berkasta rendah.

"Apa katamu?!"

"Huu ... Ya maap"

"Dih!"

Ophis tertawa kecil. Padahal, sebenarnya itu hanya candaan semata. Yah, mungkin candaannya agak keterlaluan sih.

"Ehem, ehem ... balik ke pembahasan"

"Baiklah"

"Jadi, bahan utamanya adalah—"

"—mata yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan ruang dan waktu, mata Tokisaki. Atau dengan kata lain, mata dari Tokisaki Kurumi"

Dan saat Azazel mengatakan itu, Naruto seketika terdiam dengan mata yang perlahan melebar.

.

.

.

.

.


[ After ]


.

.

.

.

.

"Ma-mata Kurumi?"

"Ya ..."

Azazel mengatakan itu dengan tatapan serius.

Tidak, tidak, tidak! ia tidak mungkin merelakan Kurumi untuk keinginannya ini!

Naruto berani sumpah, apa yang dikatakan Azazel benar-benar membuat degup jantungnya lebih cepat dari yang biasanya. Secara tidak langsung, Azazel memberi pesan tersirat bahwa ia harus mengorbankan Kurumi untuk keinginannya, pulang ke rumahnya.

Yang benar saja?!

Ia tidak mungkin mengorbankan Kurumi hanya untuk pulang ke rumahnya!

Malah sebelumnya pernah terlintas di benaknya untuk membawa Kurumi bersamanya ...

Namun jika nyatanya begini? Ada sisi dari dirinya yang tak bisa menerima!

"A-apa yang kau katakan, Azazel?"

Naruto mencoba menahan keinginannya untuk menarik kerah pakaian yang Azazel kenakan saat ini, dan menghabisi wajahnya sekuat yang ia bisa. Ia tak akan bisa, dan tak akan mau mengorbankan Kurumi untuk ini. Kurumi adalah sosok yang berharga dalam hidupnya, dan dia tak ingin kehilangan Kurumi.

Di sisi lain, Azazel cukup mengerti apa yang dirasakan oleh Naruto saat ini. Jujur, ia kagum pada Naruto yang mampu menahan emosinya untuk tidak melayangkan pukulan pada wajahnya. Karena secara tidak langsung, ia menyuruh Naruto untuk membunuh Kurumi dan mengambil matanya.

"Aku berbicara serius, Naruto. Bahan utama dari Ring of Chaos adalah mata keturunan Tokisaki" Apa yang diucapkan Azazel barusan membuat tatapan Naruto menajam pertanda penasaran—Sebenarnya sih, bukan hanya rasa penasaran saja—bersamaan dengan Ophis yang menatap Azazel dengan datar. Apa maksudnya mata keturunan Tokisaki?

Azazel tahu jika ini akan memakan waktu yang cukup lama untuk menjelaskan semuanya, semua tentang informasi yang tak berguna. Maka dari itu ia mengambil cola dari plastik yang sebelumnya Naruto bawa dan menenggaknya untuk sekali.

Azazel awalnya melirik Ophis, semacam bertanya tentang apa ini yang terbaik? dan hanya dibalas anggukan kecil oleh Ophis. Azazel kembali pada Naruto. "Ini akan menjadi cerita yang panjang, jadi kau hanya cukup mendengarkannya saja, Naruto" ucap Azazel dan dibalas anggukan oleh Naruto.

"Satu hal yang perlu kau ketahui tentang Tokisaki. Tokisaki adalah sebuah keluarga yang sebagian besar garis keturunannya mempunyai sacred gear yang sejenis, yaitu dapat mengendalikan ruang dan waktu. Namun yang sangat disayangkan adalah, mereka dinyatakan habis tak tersisa"

"Habis tak tersisa?"

"Atau dengan kata lain, mereka semua mati. Keturunan Tokisaki punah begitu saja, saat perang dingin antar tiga fraksi masih terjadi, dan kau masih belum ada di sini, Naruto. Bagian yang menyedihkan adalah, dua dari tiga fraksi ini mencoba menculik keturunan Tokisaki setelah mereka tahu ada hal yang spesial dari mereka"

"Sebentar. Dua dari tiga fraksi, itu artinya—"

"Kau benar. Datenshi dan Akuma ..."

"Kalian ..."

Segera Ophis memegang bahu Naruto saat emosi Naruto sedikit naik. Ia tahu, apa yang diceritakan Azazel memang sedikit sensitif. Terlebih, ini berkaitan dengan orang yang dicintai Naruto.

"Dua kubu ini mengetahui hal yang spesial dari keturunan Tokisaki, saat dahulu, sebelum Kuoh menjadi teritori fraksi iblis, ada seseorang yang menengahi pertarungan antara datenshi dengan iblis"

"Lalu, apa yang terjadi?"

"Para datenshi dan iblis itu mati seketika ..."

"..."

"Kematian pasukan dari dua kubu itu mendapatkan kecurigaan adanya pihak lain yang ikut campur. Setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka mengetahui siapa dalang dibalik kematian pasukan dari dua kubu, —"

"—yaitu keturunan Tokisaki, manusia biasa, yang dikaruniai sacred gear luar biasa, yang tak suka pada ulah datenshi dan iblis yang sering berbuat ulah di dunia manusia. Kau tahu? Dahulu, pertarungan dari pihak datenshi dan iblis selalu mengorbankan nyawa manusia, dikarenakan dua kubu ini tidak sadar jika apa yang mereka lakukan berakibat pada rusaknya dunia yang bukan milik mereka. Meski pada akhirnya, Kuoh berakhir menjadi teritori fraksi Iblis saat berhasil mengalahkan dan mengusir datenshi dari Kuoh. Mereka mengakui Kuoh sebagai wilayah mereka, tanpa sadar jika sesungguhnya, pemilik dari wilayah ini adalah milik manusia seutuhnya ..."

Apa yang dikatakan Azazel, membuat Naruto tertegun memahaminya. Jadi, inilah iblis yang sesungguhnya, serakah, dan suka mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?"

"Setelah diketahui bahwa yang ikut campur dalam permasalahan datenshi dan iblis adalah manusia keturunan Tokisaki¸ terlebih dua kubu mengetahui bahwa banyak keturunan Tokisaki yang memiliki sacred gear sejenis dengan yang pernah menyerang mereka, membuat dua kubu ini menculik keturunan Tokisaki sebanyak yang mereka bisa. Awalnya mereka kesusahan. Mau bagaimanapun, kekuatan mereka benar-benar kekuatan yang amat merepotkan. Aku yakin jika kau pernah terheran saat gadis heterochromia itu menunjukkan kekuatannya padamu saat pertama kali bertemu, bukan?"

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Bukan karena aku tahu, tapi itu adalah faktanya. Gadis yang kau sukai itu adalah satu-satunya keturunan Tokisaki yang tersisa. Adalah hal yang wajar jika ia waspada pada orang yang tak dikenalnya"

Naruto terdiam mendengar perkataan Azazel. Sejenak ia teringat pada reaksi yang pertama kali dikeluarkan Kurumi padanya. Ia menggunakan kekuatannya untuk menghindar dari Naruto.

Dengan kekuatan itu, adalah ha yang mudah untuk melakukan penyerangan atau hanya sekedar bertahan, lalu pergi mencari aman.

"Penculikan besar-besaran itu membuat keluarga Tokisaki hilang begitu saja. Mereka diculik untuk diambil matanya, dijadikan bahan eksperimen atas kekuatan yang mereka miliki, mencoba menjadikannya alat untuk senjata dari dua kubu. Meski pada akhirnya, mereka semua gagal untuk mengetahui cara menggunakan kekuatan dari mata Tokisaki setelah banyak nyawa yang mati. Mereka sadar, sacred gear yang dimiliki keturunan Tokisaki jauh berbeda dengan yang biasanya. Sacred gear yang hanya keturunan Tokisaki sendiri yang dapat menggunakannya. Itu adalah sacred gear spesial. Beberapa ada yang menganggapnya sacred gear yang termasuk longinus"

"Me-mereka membunuh keturunan Tokisaki hanya untuk memiliki kekuatannya saja?"

"Benar ..."

"..."

Naruto benar-benar mencoba menahan sekuat mungkin emosinya. Terlebih, sosok di depannya adalah pemimpin dari kubu yang pernah membunuh keluarga Kurumi hanya untuk memiliki kekuatannya saja.

"Sialan ... Lalu, apa yang terjadi?"

"Satu-satunya yang dapat mengetahui kebenaran dari kekuatan mata Tokisaki adalah aku. Aku sendiri mendapati mata itu dari sosok yang menjadi dalang dari tewasnya pasukan dua kubu. Dia adalah keturunan Tokisaki yang spesial, yang kedua matanya merupakan sacred gearnya sendiri. —"

"—Aku mengetahui bahwa kekuatan Tokisaki hanya dapat digunakan oleh mereka sendiri. Maka dari itu aku mencoba mengambil sampel dari tubuh sosok itu dan menelitinya. Setelah mengetahuinya, aku mengambil mata mereka dan memodifikasinya menjadi sacred gear buatan berdasarkan hasil dari penelitianku. Aku bahkan membutuhkan beberapa orang kepercayaanku untuk membantuku menyelesaikannya karena itu sangat rumit. Hingga akhirnya, terciptalah Ring of Chaos. Yang pada akhirnya, dicuri oleh Kokabiel dan salah satu orang kepercayaanku yang menghilang entah kemana"

"Sebentar. Jika Kurumi adalah keturunan terakhir dari Tokisaki, bukannya seharusnya Kurumi sudah mati karena penculikan yang terjadi secara besar-besaran?"

"Tidak. Tidak seperti itu. Saat seluruh keturunan Tokisaki itu lenyap dan hanya menyisakan si Tokisaki spesial ini, akulah yang mendapatkannya. Aku tahu jika gadis heterochromia itu adalah keturunan terakhir dari Tokisaki, karena saat kubunuh Tokisaki spesial itu, ia menyuruh anak perempuannya yang berlindung di belakangnya untuk pergi meninggalkannya, dan aku sengaja membiarkannya. Karena aku sadar, dialah yang terakhir dari keluarga itu"

"I-itu artinya ..."

"Kau benar, Ring of Chaos itu adalah orang tua dari gadis kesayanganmu, Tokisaki Kurumi. Akulah yang membuat hidupnya sengsara, dan akulah yang membuat hidupmu berubah, Naruto"

Azazel mengatakan itu dengan raut wajah yang agak sedih, dengan nada suara yang bercampur rasa bersalah.

Sementara Naruto sendiri ...

"Azazel ... kau ..."

.

.

.

.

.

Jadi, semuanya seperti ini?

Kenyataan dari nasib seorang Tokisaki Kurumi dan Uzumaki Naruto seperti ini?

Hanya karena haus akan kekuatan, membuat seseorang harus dikorbankan. Dan saat kekuatan itu berhasil didapatkan, membuat seseorang menjadi korban?

Mengapa semuanya berakhir menjadi seperti ini?

.

.

.

.

.

Kampang!

Bangsat sialan!

Naruto mungkin bisa menerima jika takdirnya hancur karena benda yang dibuat oleh orang yang pernah meminta bantuannya ini. Namun saat ia tahu jika Kurumi, gadis tercintanya, hidupnya hancur karena dua fraksi, karena iblis, karena datenshi, karena penculikan, karena haus akan kekuatan, –

- dan karena Azazel –

- maka ia tak akan bisa berdiam diri saja!

Kenapa, kenapa harus Kurumi yang bernasib seperti ini?

Kenapa Kurumi yang nasibnya persis sama seperti Naruto?

Kenapa?!

Keparat kalian! Datenshi! Iblis!

Dan lebih dari itu ...

.

.

.

.

"Maaf, maafkan aku, Naruto ..."

"..."

"Uzuki?"

"..."

Sungguh, Naruto tak mampu menahan emosinya lagi!

Sialan!

"Azazel sialan!"

*Duaaaaaaaagg!*

Azazel tak kuasa menahan rasa sakit luar biasa pada perutnya, saat Naruto memukulnya sekuat tenaga hingga membuatnya terpental. Tidak hanya sampai situ saja. Naruto mengejar Azazel yang masih terpental ke belakang, lalu menahan laju tubuh Azazel dengan kakinya hingga membuat Azazel mengerang kesakitan dan terjatuh ke tanah.

Tidak puas sampai situ, Naruto menaiki tubuh Azazel yang terbaring di tanah. Memukulnya wajahnya berulang kali, hingga sedikit darah menetes dari sudut bibir Azazel. Naruto tak peduli pada Azazel yang sama sekali tak melawan! Apa yang ia lakukan adalah untuk melampiaskan amarahnya!

*Duaaaaagg!*

"Andai jika aku tahu lebih dulu! Andai saja! maka aku akan menghancurkan kalian!"

*Duaaagg!*

"Ugh ... Karena itulah, Naruto, aku menceritakannya padamu sekarang. Karena aku tahu, kau butuh waktu untuk informasi ini"

"Bacot, Keparat!"

*Duaaaaagg!*

Azazel sama sekali tak melawan, saat Naruto terus memukuli wajahnya hingga terasa cukup menyakitkan. Ia sadar, ia telah banyak berbuat salah. Terlebih, ia telah menghancurkan kehidupan seseorang. Setidaknya, biarkan ia menganggap apa yang Naruto lakukan padanya adalah sebagai balasan atas apa yang ia lakukan.

Lalu, saat Naruto melakukan pukulan yang kesekian kalinya, ia mengeluarkan kunainya, dan hendak menusuk leher Azazel secepat yang ia bisa. Bahkan membuat Azazel sedikit merinding atas apa yang akan Naruto lakukan padanya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menghindar dari kunai Naruto, sebelum akhirnya—

*Grepp! Braaakkk!*

—Ophis menghentikannya dengan mencekik leher Naruto, melepaskan Azazel darinya, lalu membanting tubuhnya hingga mengakibatkan tanah yang menjadi tempat berbaringnya hancur dan retak kemana-mana.

Azazel menghela napas lega atas apa yang dilakukan Ophis untuknya. Mungkin jika Ophis tidak cepat, maka ia akan mati di tangan Naruto.

"Lepaskan aku, Ophis!"

"Sudah kuduga, kau termakan emosimu sendiri"

Ophis segera naik ke atas tubuh Naruto sebelum Naruto beranjak berdiri. Menahan kedua lengan Naruto dengan telapak tangannnya, Ophis dapat melihat Naruto yang tatap netranya menajam dengan mata yang memerah dan sedikit berkaca-kaca. Ophis menghela napas.

"Cepat lepaskan—"

*Plaaak!*

Ophis menamparnya dengan cukup keras, hingga membuat Naruto terdiam sambil menatap Ophis yang kini menatapnya serius.

"Katakan padaku, apa dengan emosi, kau bisa membuat semuanya menjadi lebih baik?"

"..."

"Apa dengan membunuh Azazel, semua masalah akan selesai begitu saja?"

"Ya! Setidaknya aku—"

*Plaaaak!*

Kali ini tamparan Ophis lebih keras lagi ...

"Tak ada yang selesai sama sekali dengan caramu itu, tolol!"

"..."

"Tak ada yang berubah, baik itu masa lalu gadismu, dirimu atau nasibmu. Tak ada yang berubah sama sekali!"

"..."

"Yang kau lakukan hanyalah memuaskan emosimu belaka. Tak ada gunanya. Hanya akan berakhir sia-sia bagi dirimu— bukan. tapi hanya akan merugikanmu. Kau pikir, apa yang membuat Azazel menaruh satu rasa kepercayaan padamu?"

"I-itu ..."

Menyadari emosi Naruto mulai menurun, Ophis lalu mendekati wajah Naruto. Ia lalu menggigit leher Naruto dan menyerap energi dari si pemuda pirang itu. Di sisi lain, Azazel terdiam menatap apa yang dilakukan Ophis. Hingga akhirnya, Naruto tak sadarkan diri.

"Ophis ..."

"Maaf jika Uzuki-ku merepotkanmu"

"... Terima kasih, Ophis"

"..."

.

.

.

.

.

"Kalau bukan karena kau, aku pasti akan terluka parah dan berujung dengan kematian"

"Kau berlebihan, Azazel ..."

"Lalu, bagaimana sekarang?"

"Tunggu saja dia bangun"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

- 10.00 pm

"..."

"Oh ... kau sudah bangun ternyata?"

Apa yang ia lihat saat ia sadar adalah ruang terbuka gelap yang masih terlihat kabur. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, memfokuskan mata pada objek yang ia lihat.

"O-Ophis ..."

Ia memerangkap wajah Ophis yang menatap lembut padanya, saat penglihatannya kini menjadi sedikit lebih jelas dari yang sebelumnya. Tubuhnya masih agak sedikit terasa lemas. Semacam, energinya seakan terkuras cukup banyak.

"Tak kusangka jika mengatasimu itu cukup merepotkan ..."

Ketika sadar pada apa yang dikatakan Ophis, membuat Naruto menoleh mancari sosok yang menjadi pelampiasan dari rasa emosinya. Setelahnya, Naruto mendapati Azazel duduk bersila di sebelahnya, dengan kepala tertunduk. Maaf, maafkan aku dan itu yang ia keluarkan dari mulutnya untuk beberapa kali.

"Kau tak perlu sebegitunya, Azazel. Aku yakin jika kau sudah memaafkannya bukan, Naruto?" Ophis mengatakan itu sambil menoleh kepada Naruto. Naruto cukup terkejut untuk beberapa waktu. Pasalnya, ia sudah lama tak melihat senyum manis dari Ophis.

Ya, Ophis tersenyum padanya ….

Naruto yakin jika itu adalah hal yang amat jarang terjadi ….

"... Uh ... kepalaku agak sedikit pusing. Apa yang kau lakukan padaku, Ophis?"

"Membuatmu pingsan saja. Kau pikir aku mau mengadu kekuatan denganmu hanya untuk memadamkan emosimu?"

Naruto segera beranjak bangun, membuat Naruto sadar bahwa sedari tadi ia tertidur dari pangkuan paha si gadis kecil moefikasi naga itu. Menyadari itu, membuat Naruto agak sedikit malu.

Lalu, ketika ia menoleh ke arah Azazel, ada satu sisi yang membuatnya benar-benar ingin menghancurkan Azazel sekarang juga. Itu adalah emosinya, emosi atas apa yang dilakukan Azazel padanya, dan pada Kurumi, yang nyatanya, kenyataaan dari hidup mereka cukup persis.

Orang tuanya mati, dan pernah hidup dalam kesendirian ...

Namun saat ia mencoba berpikir jernih dan memahami situasi dengan kepala yang dingin, membuat Naruto sadar, jika apa yang ia lakukan sebelumnya pada Azazel memang hal yang sia-sia bahkan merugikannya. Hubungan yang terjalin antara Azazel dengan Naruto bukan hanya sekedar teman ngobrol dengan kopi kaleng menemani. Hubungan mereka tidak hanya terbatas pada titik itu.

Apa yang dikatakan Ophis memang benar adanya, apa yang ia lakukan tak akan menyelesaikan apapun ...

"Sungguh. Dalam lubuk hatiku, aku minta maaf padamu atas nama datenshi. Khususnya, atas namaku sendiri. —"

"—Aku tahu bahwa ini akan jadi sulit bagimu untuk menerima, namun satu hal yang perlu kau tahu, Naruto. Aku—"

"Sudahlah … Azazel …."

Azazel terdiam, saat Naruto mengatakan itu dengan senyum getirnya, menunjukkan dua sisi yang berbeda; keinginan untuk membalas, dan kesadaran akan diri yang mencoba memaafkan. Namun meskipun begitu, Naruto telah mengambil keputusannya sendiri.

Sungguh, Azazel merasa benar-benar dibuat kagum dan bangga mengenal Naruto ….

Di sisi lain, Naruto, pemuda pirang itu rasanya ingin pulang segera dan memeluk Kurumi seerat yang ia bisa ….

"Jadi, hanya itu saja informasi yang tak berguna yang kau maksud? Bagaimana dengan perdamaian tiga fraksi?"

"Itu adalah salah satunya yang ingin kuberitahu padamu, Naruto. Dan kau juga, Ophis"

"Kau mencoba menyeretku ke dalam masalah kalian?"

Azazel terdiam saat Ophis mengeluarkan pertanyaan dengan nada yang cukup menusuk itu. Lalu, Azazel menoleh ke arah Naruto, memberitahu maksud tersirat kepada Ophis. Moefikasi Ouroboros Dragon itu hanya bisa menghela napas.

"Ha? Ada apa denganku?"

"Tak ada apa-apa. Lanjutkan, Azazel"

Entah kenapa Naruto menjadi agak kesal pada tingkah mereka berdua saat ini.

"Yang ingin aku katakan adalah, kau perlu bersiap jika ada ancaman yang mungkin saja suatu saat nanti bakal terjadi. Yang perlu digarisbawahi adalah perdamaian tiga fraksi akan membawa beberapa pihak yang tidak terima. Secara, entah itu iblis, datenshi atau bahkan dari pihak malaikat pun, Great War yang telah terjadi benar-benar memberikan luka, penderitaan dan dendam yang amat berarti"

"Tambahan dariku, mantan anggota Khaos Brigade, organisasi yang pernah kubuat dulujuga perlu dicurigai dan diwaspadai"

Naruto mengangguk setuju. Ophis memang pernah menyinggung soal Khaos Brigade meski tidak terlalu jelas. Dan lebih dari itu, ia merasa jika Ophis memang ada hubungan dengan Vali. Mungkin lain kali ia perlu bertanya pada Hakuryuukou itu.

Lalu, ada satu pertanyaan yang terbesit di kepalanya.

"Ophis, ini mungkin pertanyaan yang ada kaitannya dengan Khaos Brigade. Apa Kokabiel memiliki hubungan dengan Khaos Brigade?" Ucapan Naruto lantas dibalas dengan gelengan kecil dari si gadis mungil di sebelahnya. Apa yang Naruto katakan adalah salah. Ia tidak pernah kedatangan sesosok Kokabiel di markasnya dulu.

"Kurasa, bisa jadi"

"Bisa jadi?"

"Kita dapat berasumsi bahwa Kokabiel mempunyai hubungan dengan anggota Khaos Brigade tanpa sepengetahuanmu, Ophis. Kokabiel mempunyai koneksi yang cukup luas. Bukan hal yang mustahil bagi Kokabiel untuk mempunyai hubungan dengan mantan anak buahmu yang rata-rata diisi oleh fraksi yang kupimpin dan fraksi iblis, khususnya old-satan faction"

"Heeh ... tak kusangka kau mempunyai banyak informasi tentang organisasi yang telah hancur itu, Azazel. Kau mengirim mata-mata ke markasku dulu?" Ophis mengatakan itu sembari memberi senyum misterius pada gubernur datenshi itu. Azazel tertawa. Agak berlebihan jika menyebutnya sebagai mata-mata. Dalam diri, ia benar-benar merasakan sedikit hawa tak suka yang berasal dari Ophis

"Tidak seperti itu sih. Hanya saja, ada sesosok datenshi kepercayaanku yang membangkang dan memilih bergabung dengan Khaos Brigade. Ketika aku menyadari itu, aku mencoba mencari informasi tentang Khaos Brigade dengan bantuan dari Grigori"

"Seperti yang baru saja kukatakan," Azazel mencoba berdehem pelan. Entah kenapa melihat Naruto yang kini menatapnya dengan intens membuatnya aga sedikit tertekan? Terganggu? Ia agak bingung untuk menjelaskannya hanya dengan satu kata.

"Ada kemungkinan jika Kokabiel mempunyai hubungan yang luas. Dalam hal ini, khususnya adalah Khaos Brigade. Yang perlu kita curigai adalah datenshi yang membangkang dan old-satan faction. Karena mau bagaimanapun, tujuan mereka dan tujuan Kokabiel adalah sama, yaitu mencoba membangkitkan Great War II. Meski sebenarnya tujuan utama dan tujuan mereka dari dulu dari old-satan faction adalah mencoba mengambil kembali tahta yang seharusnya mereka tempati,"

"Kau tahu, Naruto? Vali merupakan salah satu dari old-satan faction yang seharusnya mengambil tahta yang mereka miliki. Namun sayang, dia berbeda dengan teman-temannya"

"Vali?"

"Vali Lucifer. Seharusnya bukan Sirzech yang memegang gelar itu, tapi Vali"

Ophis tersenyum simpul di sebelah Naruto, sementara si pemuda pirang itu hanya terdiam meski ia cukup terkejut dengan apa yang Azazel katakan. Ia tidak menyangka, Hakuryuukou itu seharusnya memiliki kasta yang lebih tinggi darinya.

Naruto mungkin tak peduli dengan apa yang ada dalam masa lalu Vali, tentang latar belakangnya atau apapun yang seharusnya tidak ia ketahui. Selama Vali mau menjadi sahabatnya, itu sudah cukup. Aku hanya ingin berteman, bukan pembunuh bayaran.

"Kurasa kau benar juga, Azazel" Kali ini giliran Ophis untuk berbicara. Gadis itu mau tak mau menyetujui apa yang baru saja dikatakan Azazel terkait dengan hubungan Kokabiel dengan mantan anggota organisasi yang pernah ia buat sebelumnya. Mendengar itu, membuat Azazel tersenyum.

"Oh iya, Azazel"

"Ya?"

"Ini berkaitan dengan apa yang kita bahas. Aku pernah cerita padamu jika Kurumi pernah diculik, bukan?" Azazel mencoba mengingat-ingat atas apa yang Naruto katakan padanya.

"Kurasa ..."

"Itu terjadi saat sebelum invasi yang dilakukan Kokabiel. Bagaimana menurutmu?"

"Dugaanku sama sepertimu, mereka bawahannya Kokabiel" ucap Azazel setelah menarik kesimpulan atas apa yang Naruto ceritakan padanya. Sementara itu, Ophis, gadis mungil di sebelah Naruto itu memberi ekspresi yang berbeda, yang membuat mereka; Naruto dan Azazel, menatapnya penuh tanya.

"Sebentar. Jika Kokabiel tahu tentang mata Tokisaki dan berusaha menculik Kurumi, maka itu artinya ada kemungkinan jika mereka tahu bagaimana cara menggunakan kekuatan mata Tokisaki. Terlebih, Kokabiel sendiri memiliki Sacred Gear yang bahannya memang berasal dari mata spesial Tokisaki"

Mereka yang dimaksud Ophis adalah pihak yang memiliki koneksi dengan Kokabiel. Mendengar penjelasan singkat dari Ophis, lantas membuat mereka berdua cukup terkejut, dan memaksa Azazel untuk menatap Naruto dengan serius.

"Gadis Heterochromia itu dalam bahaya, Naruto"

Naruto mengangguk menyetujui.

"Jika Kokabiel tahu tentang mata Tokisaki, maka kemungkinan terbesarnya adalah old-satan mungkin tahu soal ini"

"Mungkin banyak pihak yang tahu tentang mata Tokisaki yang tentunya mereka adalah musuh. Kau tahu Urushihara, Azazel?" Azazel mengangguk. Urushihara, mendengar namanya saja membuatnya tak segan untuk memberi julukan aib datenshi karena kelakuannya.

"Urushihara pernah mencoba menculik Kurumi dariku, meski yang ia culik malah Rize. Secara, ia pernah berkata jika ia tahu cara menggunakannya. Dan tentunya, Urushihara juga memang punya hubungan dengan Kokabiel. Kalau begitu, itu artinya informasi tentang kekuatan mata Tokisaki ini telah menyebar secara rahasia, bukan?"

Naruto dan Azazel saling menatap serius. Ia tak menyangka, informasi yang tak berguna yang dibilang Azazel ini akan menjadi seperti ini. Lalu, Naruto mencoba menatap Ophis. Gadis itu memberi peringatan padanya.

"Kau tengah memiliki kekuatan yang mengancam dirimu, Naruto"

"Aku tahu itu ... err ... Ophis?"

"Ya?"

"Jika suatu saat nanti, aku terjebak dalam situasi yang sulit, apa kau mau membantuku?" Naruto mengatakan itu saat Ophis memberi wajah lugunya.

Mendengar itu, membuat Ophis tersenyum simpul. Ophis lalu memberikan kepalan tangannya pada Naruto yang membuat pemuda pirang itu menatapnya aneh. Lalu setelahnya, ia membuka kepalan tangannya dan muncul ular hitam kecil di telapak tangannya. Naruto terkejut. Sementara di sisi lain, Azazel hanya tersenyum simpul.

"Kau mengejutkanku saja, naga bego. Kau pesulap?"

"Bukan, goblok. Aku sedang serius. Telan ini"

Apa yang Ophis katakan tentu saja membuatnya terkejut. Naruto lalu beranjak berdiri dan menolak apa yang diinginkan Ophis padanya.

"A-Apa? Kau gila ya?!"

"Azazel!"

*Grep!*

"Woy bangsat!"

Naruto mencoba menggerakkan seluruh tubuhnya dan mencoba melepaskan diri dari cengkaraman Azazel atas perintah Ophis. Naruto menjadi kesal sendiri, meski ia cukup terkejut. Azazel bisa diperintah oleh Ophis?

Ophis lalu maju melangkah mendekati Naruto, saat si pemuda pirang itu meronta-ronta ingin melepaskan diri dari cengkraman Azazel yang menahan pergerakannya. Mulutnya tertutup rapat dan menggeleng-geleng, saat Ophis menyodorkan ular hitam itu di mulutnya. Hal itu berlangsung beberapa kali, hingga membuat Ophis kesal sendiri. Mendapatkan ide cemerlang, Ophis lalu menendang selangkangan Naruto hingga membuat Naruto sedikit berteriak ngilu dan mau tak mau membuka mulutnya sehingga memudahkan Ophis untuk memasukkan ularnya ke dalam mulut Naruto, lalu memaksa pemuda pirang itu untuk menelannya sambil menahan rahang Naruto agar tak terbuka dan memuntahkan ular itu.

"Telan, bego!"

"Mmmmmm!"

"Telan, cepetan!"

*Glek!*

"Bangsat!"

Setelah ia berhasil menelan ular kecil itu, cengkraman yang dilakukan Azazel padanya terlepas, membiarkan Naruto untuk terduduk di tanah dan mencoba memuntahkan isi perutnya. Namun sayang, ia tak mampu mengeluarkan ular itu dari dalam tubuhnya. Azazel tertawa sendiri, sementara Ophis hanya bisa tersenyum senang.

"Hoeeek!"

"Kau berlebihan, Uzuki. Ular yang kau telan itu adalah separuh dari kekuatanku. Ketika kau mencoba menggunakan kekuatanmu dalam tingkat yang meninggi, otomatis ular itu bekerja untukmu. Sebagai pasokan energi, stamina, dan hal-hal akan sangat berguna bagimu. Jadi, bersyukurlah padaku"

Apa yang dikatakan Ophis membuatnya terdiam. Ia tak menyangka jika Ophis melakukan itu padanya. Namun tetap saja, memaksanya untuk menelan ular hidup itu adalah hal yang benar-benar menjijikkan!

"Kalau begitu, aku berterima kasih ... dih ..."

"Dih, dasar munafik!"

"Bacot, naga bego!"

Azazel hanya bisa tertawa melihat pertengkaran mereka berdua.

.

.

.

.

"Naruto, apa setelah ini kau berniat untuk pulang ke rumahmu?"

Azazel mengatakan itu saat Naruto berjalan pulang meninggalkan Azazel di bawah jembatan, memaksa Naruto untuk menoleh padanya.

Naruto seketika terdiam dan mencoba memikirkan apa yang Azazel katakan. Itu adalah pertanyaan yang sederhana. Namun bagi Naruto, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk mencari jawabannya.

Lalu, lalu ...

'"Hahahah ..."

Azazel tertegun saat Naruto melihat tertawa ...

"Aku bingung menjawabnya, namun kurasa, aku tak bisa pulang, Azazel"

Untuk saat ini, yang Naruto inginkan tidak lebih untuk pulang ke apartemennya, mencari Kurumi, dan mencoba memeluk gadis itu seerat mungkin, meyakinkan bahwa Naruto selalu ada untuknya, dan akan menjadi sosok yang berani berkata 'aku akan selalu menjagamu' dengan nada yang bijaksana.

Mungkin juga, mencumbunya?

Naruto kembali tertawa ...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


- To Be Continued


Note : Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap chapter akan tidak seimbang jumlah wordnya, jadi harap dimaklumi. Chapter ini pun hanya membawa 7k word [tanpa cek ulang untuk hanya sekedar melihat typo yang ada] sebagai penerus jalan cerita. Untuk chapter depan, mungkin hanya mampu menampung 5k atau bahkan kurang. Saya menulis berdasarkan sketsa sih /hahaha.

Satu lagi, maaf jika belibet. Saya yakin jika kamu merasa bahwa konflik yang diceritakan Azazel agak sedikit terasa palsu. Ya, saya juga ngerasa gitu kok. Seharusnya memang sebaiknya menggunakan flashback untuk menceritakannya. Namun yaa ... maafkan kesalahanku .

Selanjutnya ... err ... maaf jika saya banyak dosa. Dari dalam hati seorang Nhana Natsuki, saya merasa berdosa pada karya saya sendiri.

Salam. Berdoalah agar esok menjadi hari yang lebih baik. Atau setidaknya, fanfiksi ini lebih cepat updatenya /innocent.

Bye Bee~